Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab9"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 531: Line 531:
 
“Aku?”
 
“Aku?”
   
  +
Si Prajurit tua tampak sangat terburu-buru, Seakan-akan dia perwujudan seluruh Kekuatan Sekutu – Selalu terburu-buru.
   
  +
“Nona Vallière! Komdan Wimpffen memanggil!”
The messenger came to Louise when she waited for the withdrawal embarkation in the tent.
 
   
  +
Baru saat itulah Louise menyadari Jenderal De Poiters dan Marquis Handenburg dibunuh. Kebingungan diantara Kekuatan Sekutu sangat besar.
It was in the evening.
 
   
  +
Louise pergi menghadap komandan, sedangkan Saito menunggu di luar. Saito memiliki firasat buruk.
“Me?”
 
   
  +
Setelah mendapatkan perintah, Louise keluar dari tenda Komandan dengan wajah seputih Hantu.
The older soldier seemed to have been in a very great hurry. He was like a living embodiment of the whole Allied Forces – always in a hurry.
 
   
  +
“ Ada apa? Apa perintahnya?”
“Miss Vallière! Commander Wimpffen calls!”
 
   
  +
Meski dia bertanya, Louise tak menjawab.
Only now Louise understood that General De Poitiers and Marquis Handenburg were killed. The confusion within the Allied Forces was considerable.
 
   
  +
Louise memandang lurus kedepan…dan mulai berjalan ke ujung lain dari Rosais. Tapi tidak menuju tenda kloter.
Louise went to face the commander, while Saito was sticking around. He had a bad premonition.
 
   
  +
Dia pergi ke kuil di sisi kota…dan menerima seekor kuda dari penjaga kuda. Si penjaga lalu membungkuk kepada Louise yang hendak pergi.
After taking the instructions, Louise came out of the commander's tent, ghostly white.
 
   
  +
Saito mencengkram tangan Louise.
"What’s wrong? What were the orders?”
 
   
  +
:Hei! Mau kemana?! Tidak aman untuk meninggalkan kota!”
Even though he asked, she did not answer.
 
   
  +
“Lepaskan.”
She looked straight ahead… and began walking towards the other end of Rosais. But not towards the embarkation tent.
 
   
  +
Ucap Louise dengan suara kosong. Merasa ada yang tak beres, Saito meneriaki Louise.
She came to the temple on the side of the town… and received a horse from a horse keeper. Then the horse keeper bowed to Louise who tried to ride away.
 
   
  +
“Bicaralah! Apa perintah yang diberikan padamu?! Hei!”
Saito grabbed the Louise's hand.
 
   
  +
Louise tak menjawab. Dia hanya terus menggigit bibirnya.
“Hey! Where are you going?! It’s not safe to leave the city!”
 
   
  +
Dengan tangannya yang lain, Saito mengambil perkamen perintah dari Louise. Karena dia tak bisa membaca hurufnya, yang bisa dia mengerti hanyalah sebuah peta.
“Let go.”
 
   
  +
“Aku tak bisa membacanya. Apa yang tertulis disini?”
Louise muttered in a lifeless voice. Feeling that something was not right, Saito shouted at Louise.
 
   
  +
Lagi-lagi Louise menggigit bibirnya.
“Talk! What were the orders given to you?! Hey!”
 
   
  +
“Ngomong dong! Apa yang tertulis disini?!”
Louise did not answer. She just kept on biting her lips.
 
   
  +
Bukan Louise, namun Derfling yang tersimpan di bahunya yang membacanya.
With the other hand Saito took the order parchment from Louise. Since he could not read the letters the only thing he understood was a map.
 
   
  +
“Aaah, sebuah dapar. Tak terlalu terhormat.”
“I can’t read. What is written here?”
 
   
  +
“Dapar?”
Louise bit her lip again.
 
   
  +
“Huhu, bikin waktu supaya kekuatan utama bisa melarikan diri. Sendirian menghadapi 70.000 tentara musuh. Luar biasa sekali, kan?
“Talk! What is written here?!”
 
   
  +
Saito menjadi pucat. Dia berucap kosong.
Derflinger, on his shoulder, read it instead of Louise.
 
   
  +
“Apa?”
“Aaah, a backup. Not very honorable.”
 
   
  +
“Perintah yang cukup rinci sebenarnya. Hoho, tunggu di bukit 50 liga di sebelah kiri ini dengan mantra void yang siap tembak. Menghadap ke rute darat untuk memantau musuh dan terus menyihir hingga sihirmu habis. Kabur maupun menyerah tak diizinkan. Haah, dengan kata lain, ini sebuah perintah ‘bertahan hingga akhie’. Singkatnya –bertempur dengan musuh hingga tewas. Inilah perintah itu.”
“Backup?”
 
   
  +
“…Hei, apa itu – lelucon bukan?”
“Fufu, buying time for the main force to escape. Alone against enemy army of 70,000. Wonderful, isn’t it?”
 
   
  +
Ucap Saito sambil menggenggam bahu Louise.
Saito turned pale. He muttered blankly.
 
   
  +
“Tiada yang bercanda. Itu kenyataannya.”
“What?”
 
   
  +
“Benarkah? Apa kau tolol banget? Kau akan mati hanya karena jenderal-jenderal kita memerintahkanmu? Mereka memperlakukanmu seperti alat, tidak-tidak, seperti alat cadangan. Jangan lakukan itu! Jangan!”
“Quite detailed instructions actually. Hoho, wait on the hill 50 leagues on the left from here. Wait with 'Void' spells ready. Face towards the land route to see the enemy first and keep casting spells until you run out of magic. Neither withdrawal nor surrender are permitted. Haah, in other words, its an order 'defend till the end'. To put it briefly – fight against enemy until you die. That‘s what is this order about.”
 
   
  +
“Berhentilah terburu-buru.”
“...Hey, what is that - a joke?”
 
   
  +
Saito terkejut.
Saito said grabbing Louise’s shoulders.
 
   
  +
“Aaah, sinar matanya ini…aku ingat.”
“No one is joking. It’s the truth.”
 
   
  +
Louise tak berubah dari hari mereka pertamakali bertemu.
“Really, are you an idiot? You would die just because our generals told you to? They are treating you like a tool. No, a backup tool. Don’t do that! Don’t do that!”
 
   
  +
Louise tetap ingin diakui.
“Stop being hasty.”
 
   
  +
Dia memasuki perang ini melawan kehendak orang tua karena…dia ingin diakui.
Saito was amazed.
 
   
  +
Dia diejek sebagai “Louise si Nol”, Louise tolol.
''Ahh, this look in her eyes… I remember it.''
 
   
  +
Sejak itu…Louise berharap diakui orang tua dan teman-teman sekelasnya. Itulah mengapa dia melamar Pencarian Foquet.
Louise hasn’t changed since the day they met.
 
   
  +
Namun…sekali kekuatan elemen Void legendaris terbangun dalm dirinya, semua berubah.
Louise still wanted to be recognized.
 
   
  +
Dia ingin diakui lebih dari cuma sebagai itu.
She entered into this war against her parents’ will because… she wanted to be recognized.
 
   
  +
Saito tak bisa benar-benar mengerti ha itu, begitupun juga dengan Louise. Makanya dia mencoba membujuk Louise.
She was nicknamed "Louise the Zero", idiot Louise.
 
   
  +
“Ayolah, berfikirlah baik-baik. Untuk harga diri? Lihat ya, penginapan ini tak aman, dan kau akan tewas disini...Kau mengerti? Hentikan ya? Kau hebat, aku tahu itu, tapi ayo kabur dong? Abaikan perintah semacam itu dan pergi saja ya?”
Since those days… Louise dreamed to be recognized by her parents and her classmates. That’s why she applied for the Fouquet search.
 
   
  +
“Kemana kau akan lari? Ini daerah musuh.”
However… once the legendary Void elements power awoke in her it changed.
 
   
  +
“Berhentilah menjunjung tinggi-tinggi harga dirimu itu!”
She wanted to be recognized for more than just this.
 
   
  +
Louise menatap lurus Saito dan berkata dengan jelas,
Saito could not really understand it well. Neither could Louise. Therefore he tried to persuade her.
 
   
  +
“Ini bukan karena kebanggan. Apa yang akan terjadi bila aku kabur? Sekutu kita akan dihabisi, pembantumu, semua daripenginapan’Peri Menawan’…Guiche, Rene p semuanya. Mereka mungkin dibunuh atau dipermalukan.”
“Be reasonable. For your pride's sake? Look, it is not a safe inn, you are going to die here…Understand? Stop it, all right? You are great. I know that. But let's run away. Ok? Disregard such orders and flee. Ok?”
 
   
  +
Saito bermuka masam karena menyadari hal itu juga.
“Where would you run? It’s an enemy's territory.”
 
   
  +
Alasan mengapa Louise sangat bersikeras…bukan hanya karena harga dirinya.
“Stop being so prideful!”
 
   
  +
“Aku tak ingin mati, tapi aku juga tak ingin teman-temanku mati. Itulah…arti sebenarnya kata ‘Kehormatan’. Hey Saito, kau tetta mengatakan bahwa kehormatan itu bodoh tapi kehormatan mana yang kau bicarakan? Seseorang mati demi yang lainnya bukan karena kehormatannya. Ini berbeda.”
Louise looked straight at Saito and said clearly,
 
   
  +
Jelasnya. Tapi Saito terus berusaha mati-matian untuk membujuknya.
“It’s not because of pride. What would happen if I were to run away? Our allies will be annihilated. Your maid, everyone from the ‘Charming Faeries’ inn… Guiche, Rene – everyone. They might be killed. They might be shamed.”
 
   
  +
“ Maka, apa aku juga mati? Sepertimu? Apa kau akan mengorbanku demi menyelamatkan semua orang?”
Saito frowned, realizing that too.
 
   
  +
“Sumpah familiar pasti berbeda dengan ini!”
The reason why Louise is so determined… was not just because of her pride.
 
   
  +
Louise menatap Saito dengan sedih untuk sesaat…lalu menggelengkan kepalanya.
“I do not want to die. But I do not want my friends to die either. That is… the true meaning of the word 'honor'. Hey Saito, you kept on saying that honor is stupid but what ‘honor’ were you talking about? It’s not because of a great honor that one die for others. It is different.”
 
   
  +
“ Kau kabur saja. Jangan mengikutiku.”
She explained. But Saito desperately kept on trying to persuade her.
 
   
  +
“Apa?”
“Then, do I also die? Just like you? Would you sacrifice me to save everyone?”
 
   
  +
“Kemballilah pada ‘Varsenda’ dan ambil mesin terbangmu. Lalu kau dan pelayanmu bisa terbang ke timur.”
''A familiar’s oath surely must be different from this!''
 
   
  +
Mata Louise mulai berkaca-kaca. Suara Louise terdengar seperti hendak menangis.
Louise sadly watched Saito for a while… and shook her head.
 
   
  +
“Kau…baru-baru ini menanyai apa kau hanya alat bagiku. Jangan bodoh. Jika kau berpikir aku merasa kau hanya sebuah alat maka kau salah paham. Kau adalah kau. Seorang pemuda bebas dari dunia lain dimana dia harus pulangkepadanya. Bagiku, Kau bukanlah alat.”
“You run away. Don’t stay with me.”
 
   
  +
Louise…”
“What?”
 
   
  +
Saito membuang muka lalu berkata dengan suara nan teguh.
“Return back to the ''Varsenda'' and take your flying machine. Then you and your maid can fly to the east.”
 
   
  +
“Aku mengerti. Aku takkan lagi menghentikanmu. Namun, aku memiliki satu permintaan sebelum kau pergi.”
Louise's eyes began to moisten. Louise’s voice sounded like she was about to cry.
 
 
“You… recently asked if you are just a tool for me. Don’t be stupid. If you thought that I felt you were a tool you misunderstood me. You are you. A free boy from a different world where he should return to. You are not a tool for me.”
 
 
“Louise…”
 
 
Saito looked away and said in a determined voice.
 
 
“I understand. I will not try to stop you anymore. However, I have one request before you leave.”
 
   
 
“Eh?”
 
“Eh?”
   
  +
“Di duniaku, ada tradisi untuk minum dan bersulang sebelum berpisah. Kau masih ada waktu sebelum pergi, kan?
“In my world there is a tradition, to drink a toast before a separation. You still have some time left, right?”
 
 
“Yeah, a little…”
 
 
Saito looked around and next to the temple he noticed a box of supplies. It must be one of the supplies that was meant to be sent to the city of Saxe-Gotha, but ended up being left behind. It was a box of wine. He instantly recalled Scarron’s complaints about Albion beer.
 
 
Saito took one bottle out.
 
 
“It will be stolen by the enemy anyway.”
 
 
Meanwhile Louise stared at the temple nearby. Then, she turned to Saito. Her cheeks suddenly turned crimson.
 
 
“Hey, Saito…”
 
 
“What?”
 
 
“Since we are making toasts anyway, I have one request as well.”
 
 
“Tell me. Ask anything you wish.”
 
 
But Louise’s request… surpassed all Saito’s expectations.
 
 
“Marry me.”
 
 
“…Huh?”
 
 
Louise, now red from head to toes, shouted.
 
 
“D-don’t misunderstand! It is not like I l-love you or anything! However… dying before being able to marry is unpleasant. I just want to marry!"
 
 
 
 
 
 
It was an empty temple - there was no one inside. When the Allied Forces occupied it, all the priests who were in there ran away. 
 
 
Leaving the horse tied to the gate, two people entered inside.
 
 
It was clean and well swept.
 
 
The setting sun reflected through the stained glass, creating a solemn atmosphere.
 
 
Surrounded by this serene silence, Louise stood in front of the altar.
 
 
“You don’t wish to marry in Albion?”
 
 
Louise puckered up her brows.
 
 
“It just brings unpleasant memories.”
 
 
“You did this before, right?”
 
 
Louise nodded.
 
 
“Yes. However, at that time, I did not give my oath.”
 
 
“I see…”
 
 
Louise looked up at the Founder's image. Surrounded by the somewhat solemn atmosphere, she knelt before it and offered a silent prayer.
 
 
Louise thought while praying.
 
 
''Why did I think about a wedding at a time like this?''
 
 
''Do I want it?''
 
 
''Just between me and Saito, without anyone else…''
 
 
''After all, I did not give a proper answer to Saito’s confession, there was no time to answer it either.''
 
 
''As this is the end, I am not afraid to show my feelings anymore.''
 
 
''But what are my feelings and why I did I think about a wedding all of a sudden…''
 
 
Her mind felt disordered and she could not find an answer.
 
 
When she finished a prayer and opened her eyes… Saito stood there with a glass of wine.
 
 
“Where is this glass from?”
 
 
“It was decoration on the altar. And I thought God would not mind me borrowing it for such an occasion.”
 
 
Louise smiled, taking the glass.
 
 
“That’s the second time.”
 
 
Saito said.
 
 
“What?”
 
 
“You smiled to me. Now and the time we went shopping, it makes it two times, right? Even though you don’t really want to marry me.”
 
 
Louise felt happy. Saito was counting her smiles.
 
 
“That’s right.”
 
 
However, she could not say it directly. Straightforward words didn’t come easy to her. It was frustrating.
 
 
But the Louise of today was different.
 
 
Louise matched Saito’s cup.
 
 
“I’m sorry that we won’t be able to search for the way to return to your world together.”
 
 
“Don’t worry.”
 
 
Two people drank their wine.
 
 
From the alcohol and embarrassment, Louise’s cheeks turned crimson.
 
 
“So how do we get married?”
 
 
“I don’t really know myself.”
 
 
[[Image:ZnT07-229.jpg|thumb]]
 
 
“Is it all right? It won’t be done properly.”
 
 
“It’s all right. It’s you anyway.”
 
 
Not really knowing what to do, Louise clasped Saito’s hands.
 
 
“Now, give an oath.”
 
 
“But, there is no priest.”
 
 
“Stop complaining. Or do I have to do it for you?"
 
 
Saito looked straight at Louise and said,
 
 
“I love you, Louise.”
 
 
“Wha-…W-What…S-Stupid. It’s no good if you do not swear.”
 
 
Being told "I love you" so suddenly, Louise blushed furiously. Her body trembled with happiness.
 
 
“I am not lying. I am glad I was able to meet you. Really.”
 
 
Louise cast her eyes slightly down. ''I have to say it, now or never'', she thought.
 
 
“I-I too…”
 
 
However, when she was about say that… a sudden drowsiness hit her.
 
 
“T-that? I…”
 
 
Suddenly the drowsiness became stronger. She could not see anything.
 
 
“You, the wine…”
 
 
She was not able to finish it. Strength and thoughts left Louise's body.
 
 
Saito caught the falling Louise. He took a small jar out of his pocket. It was the magical sleeping medicine, which Siesta gave him the other day.
 
 
“As expected. Magic is strong,”
 
 
He muttered, stepping outside with Louise in his arms. The evening sun almost finished setting and the surroundings became dim.
 
 
“Cold…” muttered a voice nearby.
 
 
“Aah, Familiar-kun.”
 
 
Next to the gates of the temple a beautiful boy with blond, nearly white, hair stood supporting himself against the wall with his arms crossed. His blue eye shone reflecting the setting sun.
 
 
It was Romalia’s priest and dragon knight Julio.
 
 
“You were spying on us again. What a bad hobby you have.”
 
 
“No, I just came here to pray. I am a priest after all.”
 
 
Julio answered, not dropping his smile.
 
 
“Anyway, take care of Louise.”
 
 
He was carefully hugging Louise close to his chest with both his hands, as if she was a fragile object, and said to Julio.
 
 
“Please go. And return safely to the ship.”
 
 
Saito placed her on Julio’s dragon.
 
 
“Thank you. Well, then.”
 
 
Julio called Saito to stop.
 
 
“Where are you going?”
 
 
Saito answered in a nonchalant voice
 
   
  +
“Ya, sedikit…”
“I’m running away.”
 
   
  +
Saito memandang sekeliling mereka dan di sampineg kuil dia menyadari ada kotak perbekalan. Itu pasti salah satu perbekalan yang seharusnya dikirim ke kota Saxe-Gotha tapi akhirnya tertinggal. Itu berupa sekotak anggur. Dia langsung teringat keluhan Scarron soal bir Albion.
“You are going in the wrong direction. Albion’s army is that way.”
 
   
  +
Saito mengeluarkan sebotol.
“I know.”
 
   
  +
“Ia akan dicuri musuh juga sih.”
Saito carelessly jumped on the horse, but Jullio called him to stop again.
 
   
  +
Sementara itu Louise memandangi kuil di dekat mereka. Lalu, dia berbalik pada Saito. Pipinya tiba-tina berubah merah.
“There’s only one thing I want to know.”
 
  +
“Apa?”
   
  +
“karena kita akan bersulang, aku juga punya satu permintaan.”
Saito answered.
 
   
  +
“Ceritakanlah, mintalah apapun yang kau harap.”
“What?”
 
   
  +
Tapi permintaan Louise…melebihi semua perkiraan Saito.
“Why are you going there? Surely you aren’t that foolish to die for ''honor'', right?"
 
   
  +
“Nikahilah aku.”
Saito thought for a moment… then puckered up his brows feeling relieved and shook his head.
 
   
  +
“Huh?”
“Because…”
 
   
  +
Louise, kini merah dari kepala hinga jari kaki, berteriak.
“Well?”
 
   
  +
J-jangan slah paham! Bukannya aku mencintaimu atau apapun itu! Namun… mati sebelum menikah tidak baik, aku hanya ingin menikah.”
“Because of ''love''.” 
 
   
Julio began laughing loudly.
 
   
“Aahaha, you sound like a true Romalian!”
 
   
  +
Ia merupakan kuil kosong - tiada orang di dalam. Saat Kekuatan sekutu menguasainya, seluruh pendeta didalam kabur.
With a scowl, Saito crossed his arms.
 
   
  +
Meninggalkan kuda terikat di pagar. Dua orang memasukinya.
“No, it’s not because of love for a woman, but because my inner feeling tells me so.”
 
   
  +
Ia bersih dan disapu dengan baik.
“Please teach me that meaning if you can.”
 
   
  +
Matahari yang terbenam tercermin dari gelas berwarna, menciptakan suasana suci.
Saito looked straight up ahead and said.
 
   
  +
Dikelilingi keheningan menenangkan ini, Louise berdiri di depan altar.
“I cannot, putting it to words is already a lie. Words can always lie. Only my feelings cannot let me lie about it.”
 
   
  +
“Kau tak ingin menikah di Albion?:
Julio made a funny gesture with his finger.
 
   
  +
Louise mengernyitkan alis.
“Am I saying such strange things?”
 
   
  +
“Ia hanya membawa kenangan tak sedap.”
“You are not a noble, just like me, right?”
 
   
  +
Kau telah melakukan ini, kan?”
“Yes.”
 
   
  +
Louise mengangguk.
“Yet you think just like a noble.”
 
   
  +
“Ya. Namun, saat itu, aku tak memberi sumpahku.”
“Are you trying to get under my skin?”
 
   
  +
“Oh, begitu.”
Saito took the reins in his hands, gripped them tightly, and kicked the horse’s sides.
 
   
  +
Louise menatap menengadah pada Gambar Pendiri. Dikelulingi suasana suci, dia berlutut di hadapan itu dan memberikan doa dalam diam.
And rode towards the darkening road.
 
   
  +
Louise berpikir selama berdoa.
Watching his back, Julio smiled and muttered softly,
 
   
  +
Mengapa aku memikirkan pernikahan di saat seperti ini?”
“You are very clumsy, Gandálfr.”
 
   
  +
“Apa aku menginginkannya?”
<noinclude>
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
|-
 
| [[Zero no Tsukaima:Volume7 Chapter8 - MTL|Back to Chapter 8 - MTL]]
 
| [[Zero_no_Tsukaima|Return to Main Page]]
 
| [[Zero_no_Tsukaima:Volume7_Chapter10|Forward to Chapter 10]]
 
|-
 
|}
 
</noinclude>
 
   
  +
“Hanya di antara aku dan Saito, tanpa yang lain…”
<noinclude>
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
|-
 
| [[Zero no Tsukaima:Volume7 Chapter7 - MTL|Back to Chapter 7 - MTL]]
 
| [[Zero_no_Tsukaima|Return to Main Page]]
 
| [[Zero no Tsukaima:Volume7 Chapter9 - MTL|Forward to Chapter 9 - MTL]]
 
|-
 
|}
 
</noinclude>
 

Revision as of 00:19, 19 September 2015

Bab Delapan: Raja Gallia

Kerajaan Gallia merupakan negara besar dengan penduduk terbanyak di Halkeginia. Jumlahnya sekitar 15 juta. Gallia adalah negara maju dalam hal sihir...juga ada banyak bangsawan. Lutèce, sang ibukota, merupakan Kota terbesar dibandingkan dengan yang lain di seluruh Halkeginia

Kota ini berada di tepi Sungai Shire yang mengalir hingga samudra. Si "Kota Tua" ini telah berkembang luar biasa. Namun pusat kekuasaan Lutèce kini tak ada di sana.

Ia kini berada di tepi kiri sungai, agak jauh dari kota, dalam istana Versailles yang raksasa. Tak hanya Istananya yang elegan nan rumit, Taman Versailles pun begitu, menciptakan berbagai garis yang saling membentuk di depan gedung tersebut.

Taman dan gedung ini diperluas oleh tangan arsitek-arsitek dan para tukang kebun yang diundang dari seluruh dunia. Seluruh budaya yang berkembang telah digunakan untuk mengubah pemandangan Versailles.

Ada gedung dengan dimensi yang cukup menarik di dalam Istana Versailles. Keluarga kerajaan Gallia berambut biru yang cukup asing. Maka untuk meniru warna rambut ini, dibuatlah gedung bernama Troyes Agung dari bata-bata biru.

Di dalam Troyes Agung inilah hidup seorang lelaki yang memegang penuh kekuasaan 15 juta nyawa dalam kerajaan Gallia.

Dialah Joseph - Sang Raja Gallia

Rambut dan Jenggot biru membentuk mukanya, membuatmu menghela napas saking indahnya. Dengan tubuh tinggi dan penuh otot, dia terlihat seperti patung hidup. Meski berumur 45 tahun, dia terlihat muda dalam segala sesuatunya, seakan-akan dia baru saja menginjak 30.

Ada yang aneh di wajah indah dari lelaki tampan ini.

Dikelilingi dua orang, dia terlihat agak tak biasa.

Sebuah suara wanita terdengar dari sisi lain damsk.

" Yang Mulia..Yang Mulia! Yang engkau cari-cari telah ditemukan dan datang!"

Joseph tergopoh-gopoh menuju jalan masuk ruangan tersebut. Seorang wanita cantik tengah berdiri di sana dnegan dikelilingi mawar-mawar yang mekar. Wajah Joseph mulai bersinar.

"Ny. Molliere!Ny. Molliere! Engkaulah yang terbaik!"

Wanita yang disebut Ny. Molliere itu mempersembahkan sebuah kotak kepada Joseph.

"Disamping Tentara Yang Mulia"

Dengan mata yang berbinar-binar seperti anak kecil, Joseph membuka kotak tersebut. Setelah melihat isinya, wajahnya bersinar lebih terang.

"Ini...! Ini adalah Ksatria Sihir Berat Zaman Kaap! Pusaka yang luar biasa! Ny. Molliere, kau orang yang luar biasa!"

Sambil mengeluarkan boneka ksatria seukuran kira-kira 20 cm dari kotak itu, Joseph bersuara dengan sangat gembira.

Setelah itu, dia memegang tangan Ny. Molliere's dan membawanya ke tengah-tengah ruangan.

“Saahsaah, Aku ingin kau melihat ini! Inilah 'Duniaku'!"

Seisi ruangan telah berubah menjadi satu miniatur taman raksasa. Mata Ny. Molliere terbelabak.

Ia terlihat seperti sebuah peta yang meniru Halkeginia. Sebuah tiruan besar.

"Oh! Betapa Indhanya Taman miniatur ini! Sangat luar biasa!"

"Para ahli taman dari seluruh negara telah dipanggil untuk membuatnya! Butuh sebulan penuh untuk selesai!"

"Apakah ini model mainan terbaru? Apa kau sudah bosan dengan catur?"

"tititidadadak. Aku tak bosan!"

"Oh! Bolehkah ku bertanya apa ini? Aku selalu berfikir adalah aneh bahwa ini menyenangkan."

"Mengapa?"

"Karena, tiada lawan disini. Kuda musuh dan kudamu bergerak menuruti kemauanmu, di mana letak kesenangannya?"

"Memang menyedihkan, seperti yang kau lihat, tiada lawan disini."

Ny. Molliere tertawa pahit. Meski sang raja kaya raya dan memiliki wajah indah, dia biasa dipandang sebelah mata karena tidak ahli dalam sihir. Dia dihina sebagai seorang yang tolol bin dungu. Karenanya...sang raja yang memiliki masa kecil nan kelam menjadi gila dalam kesendirian. Dia mencurahkan jiwanya pada catur.

"Catur tak berubah dari asalnya, ia mengikuti pola tertentu yang harus diperhatikan. Tapi permainan ini berbeda!"

ucap Joseph, sambil menunjuk taman miniatur.

"ciri khas geografis dibuat mengikuti kenyataan - kuda-kuda, penombak, pemanah, musketeer, ksatria, ksatria naga, artileri, kapal perang... semua dibuat meniru tentara yang asli, begitu pula dnegan perangnya! Untuk menentukan menang dan kalahnya suatu kavaleri, sebuah dadu digunakan! Hasilnya...keluarannya selalu berbeda dan memberikanmu rasa perang sesungguhnya!"

Ny. Molliere tertarik untuk bermain bersama dalam perang yang raja selalu bicarakan dengan terhanyut, meski dia tak dapat benar-benar mengerti tentang itu. Dia senang melihat wajah gembiranya.

"Kalau begitu, bolehkah saya juga menjadi tentara garda Yang Mulia?"

"Dengan senang hati. Ksatria Parterre. Kau akan menjadi Ksatria yang hebat."

Joseph menempatkan boneka ksatria yang dibawa Ny. Molliere pada Taman miniatur. Ny. Molliere membungkuk dengan bercanda.

"Oh! Ksatria Parterre Gallian terhormat? Semua akan dengki padaku!"

"Satu tos untuk pemimpin ksatria tercantik sedunia!"

Joseph mengangkat cangkir di sisinya. Seorang pelayan berlari dan mengisinya dengan anggur. Si pelayan juga mengisi cangkir Ny. Molliere dan menyerahkannya.

"Dan dalam permainan ini, Yang Mulia akan menjadi keduanya - baik Teman maupun Lawan?"

Tanya wanita tersebut sambil meminum dari cangkir dengan anggunnya.

"Tentu. Bukankah aku sudah bilang padamu? Dalam permainan Halkeginia ini aku bukan sebuah bidak. Aku yang mengatur strategi...Stragei cerdas nan tepat! Begitulah. Seorang yang jaya dihancurkan oleh dirinya sendiri...Seperti yang kubilang, aku mengatur sebuah permainan untuk panggung istana pasir ini, seperti Shakespeare(terjemahan bebas dari dramawan, lebih pas menurutku)."

"Oh, Taman miniatur ini benar-benar sama persis dengan aslinya."

Ny Molliere yang tengah mengamatinya merasa kagum. Perbukitan, gunung, sungai-sungai..Naikan dan turunan dipahatkan untuk menyamai ciri-ciri geografi sebenarnya, bahkan bangunan-bangunan kecil di kota dan desa dibuat rinci. Di sebuah jalan kecil ada sebuah boneka tentara.

"Drama apa yang akan terurai disni? Mohon jelaskan lebih rinci."

"Sekarang, ada suatu tentara biru yang menduduki kota ini."

Joseph menunjuk sebuah kota yang dikelilingi benteng.

"Itu dan Tentara merah, yang mengurung diri di kota ini, saling mengamati gerakan masing-masing."

Ucapnya sambil menunjuk kota yang berdiri di sebalag kiri. Kota ini tediri dari bangunan-bangunan dnegan model dan bentuk yang hebat. Banyak boneka tentara ditaruh disana. Ada juga beberapa boneka monster dan naga, juga model kapal.

"Inilah dimana ia menjadi menarik. Si tentara biru tengah menuju kemenangan! Tapi tentara merak menggunakan 'kartu As' yang tak terduga dan membalikkan keadaan!"

Kekanak-kanakan sekali, gumam Ny. Molliere dalam hati. Urusan dalam dan luar negeri terabaikan karena gilanya sang raja. begitulah isu-isu yang berhembus. Dan mereka tak salah.

Joseph tersenyum dan mengambil boneka dari taman miniatur.

Ia sebuah model wanita semampai nan langsing berambut hitam.

Joseph menempatkannya dekat telinga.

Lalu, seakan boneka itu berbicara padanya, Joseph mengangguk-angguk.

Setelahnya. Joseph berbicara pada boneka itu.

"Itu benar! Pasti! Rencana tengah berjalan! Ini memang rencana yang penuh warna dan menyenangkan! Oh Muse! Muse melebihi lucu! Ambillah imbalanmu! Namun, karena kini ia penuh! Aku ingin mencengkram seluruh mainan, boneka, lebih dari yang sudah kumiliki! Kupikir kini saatnya menjalankan rencana!"

Tatapan Ny.Molliere pada Joseph yang tengah berbicara kepada boneka adalah pandangan penuh iba. Dia bukanlah seorang raja, dia nukanlah pemilik wajah tampan yang memukau, itu adalah kelakuan aneh seseorang yang hatinya tak pernah dicintai.

Dibandingkan adiknya yang bisa semuanya...Tahtanya terancam...oleh badai gonjang-ganjing politik...yang pada akhirnya mengganggu pikiran Joseph.

" Yang Mulia, Yang Mulia...Ah, Yang Mulia...kasihan"

Ny. Mollere dengan sikap teatrikal menepuk mandible Joseph. Joseph dengan lembut memeluk Ny. Mollere.

"Aah, Yang mulia...hentikanlah candaanmu..."

"Ya...kau menonton sebuah pemutarbalikan dramatis untuk mengakhiri permainan ini. Ia harus diputukan - menang atau kalah."

gumam Joseph sambil mengamati kedua kota...dan memanggil pelayan

"Lemparkan."

Si pelayan mengangguk dan melemparkan dua dadu. Joseph menonton mata dadu yang jatuh lalu mengangguk.

"Oooh, Tujuh! Nomor yang rawan! Hmm...untuk ini..."


Setelah termenung sebentar, Joseph memanggil menterinya.

“Menteri. Pengumuman resmi.”

Dari bayang-bayang, seorang lelaki pendek menunjukkan diri dan membungkuk.

Joseph dengan ringannya memberitahu sang menteri yang menggerakkan kuda dalam taman miniatur.

“Gerakkan skuadron. Ledakkan musuh-musuh Albion. Kau punya 3 hari untuk bersiap.”

“Seperti keinginanmu.” Sang menteri membungkuk dan pergi tanpa menunjukka perasaan.

Ny. Molliere mulai gemetaran sambil menonton semuanya dalam keterkejutan.

Ini bukan lagi permainan taman miniatur.

Baru saja perintah untuk perang asli diberikan.

“Ada yang salah, Ny. Molliere? Apa kau kedinginan? Pelayan, kayui perapian lebih banyak. Nyonya menggigil.” Joseph memerintahkan pelayan dengan suara tegas.

“Yang Mulia…Ooh, Yang Mulia…”

“Ada yang salah, nyonya? Pemimpin Korps Ksatria Parterre Gallia tak dapat mempermalukan dirinya dengan kepengecutan semacam ini.”


Di Hari Festival Advent dimulai…30 liga dari kota Saxe-Gotha yang bersalju, beberapa orang dalam pakaian gelap tengah berjalan.

“Aku mulai terbiasa dengan…perjalanan gunung.”

Ucap seorang lelaki besar. Sebuah wajah gagah tersingkap dari celah tudung besar itu.

Ia Wardes. Wajah Fouquet muncul di sebelahya.

Mereka dikirim ke sini sebagai pengawal Sheffield.

Namun Fouquet punya alasan lain untuk hadir.

“Mathilda of Saxe-Gotha – Kupikir aku pernah mendengar nama ini entah darimana sebelumnya.”

Ucap Wardes kepada Fouquet, yang menjawab balik sambil melangkah cepat.

“Penuh kenangan, Tak pernah terpikir olehku untuk berjalan melalui jalur gunung ini lagi.” Katanya sambil menghembuskan asap putih.

“Apa ini masih termasuk Saxe-Gotha?”

“Gunung ini juga termasuk kedalamnya.”

“Tanah ini milikmu sebagai rumah?”

“Dewa kota yang mengurus. Seperti wakil raja.”

“Tetap saja ini masih luas.”

“Aku membimbing yanglain ke tanah dimana aku diusir dulu. Ironis.”

“Ayahmu, aku tahu dia entah bagaimana dijauhi keluarga kerajaan Albion…Tapi mengapa tanah ini dan gelar dirampas darimu dan ayahmu?”

“Itu kebohongan keluarga kerajaan.”

“Kebohongan?”

“Yup. Ayahku setia melayani keluarga kerajaan Albion…Tapi begitu Keluarga kerajaan memerintahkan’Berikan’, dia tidak melakukannya.”

“Haah, dan apa itu?”

Fouquet tertawa mengejek dan melihat kedalam mata pria itu”

“Aku akan bilang padamu saat kau menceritakan ibumu padaku.”

Wardes lalu membuang muka. Fouquet mendengus tak puas.

“Hey Jean-Jacques Wardes, siapa yang lebih kau cintai - aku atau ibumu?”

“Tetapi Sheffield, yang berjalan di belakang mereka, lalu memanggil mereka.

“Seberapa dekat sungai terdekat?”

Fouquet berhenti, berjongkok, menyingkirkan salju…dan menyentuh tanah. Fouquet yang merupakan penyihir segitiga unsur tanah, memahami tanah dengan baik. Lagipula karena dia besar disini, dia memahami tanah disini lebih baik.

“Masih jauh. Tapi tidak hanya sumber air…sepertiga sumur-sumur juga mengambila air gunung.”

“Itu sudah cukup.”

Fouquet menyikut menembus semak-semak…dan mencapai sebuah atu yang retak. Meski salju meliputinya, air dapat terlihat mengalir dari retakan. Untungnya bagian tengah tidak membeku.

Sheffield mengeluarkan sebuah cincin dari kantongnya. Wardes dan Fouquet langsung mengenali cincin itu.

“Itu…bukankah itu cincin Cromwell?”

Ucap Fouquet. Sheffield menggeleng.

“Bukan, ini berbeda dari cincin Cromwell.”

Seorang sekretaris memanggil kaisar dnegan namanya> Wardes dan Foquet saling menatap.

“Apa yang akan kau lakukan dengan cincin itu?”

Sheffield tersenyum. Karena ini kali pertama mereka menyaksikan senyumnya, Wardes dan Fouquet heran.

“Air dianggap sebagai makhluk hidup dan Cincin Andvari memiliki kuasa untuk mengendalikannya…karena ia unsur yang mirip dengan ruh air. Atau bisa kubilang mereka hampir sama.”

“Hmm.”

“Airmata ruh air merupakan bahan mahal yang digunakan untuk berbagai macam ramuan. Kekuaran air menguasai komposisi tubuh…dengan suatu ramuan, seseorang bisa memanipulasi keduanya – tubuh dan pikiran.”

“Ceramah yang bagus. Kini, ceritakan apa sih yang akan kau lakukan dengan itu?”

Kekuatan air untuk mengembun…dengan kata lain, aku bisa memanipulasi kota dengan ini…”

Tuuh Sheffield mulai bersinar.

Wardes ingat cahaya ini. Tangan kiri familiar lelaki Louise juga memancarkan cahaya ini. Langsung setelahnya…tangan kirinya terpotong habis.

Di kening Sheffield yang setengah tertutup rambut, sebuah tanda kuno bersinar.

Wardes membelabakkan mata.

“Apa yang kau lakukan?”

Sheffield tak lagi menjawab. Sepertinya dia tengah memfokuskan diri. Dia menjulurkan cincinnya menuju air dengan tangannya. Perlahan-lahan, cincin itu mulai bersinar…dan meleleh.

Seakan-akan…ia dilelehkan panas tubuh Sheffield.

Tetesan lelehan cincin Andvari mulai bercucuran…dan aliran deras dari air memancar melalui retakan dan mengalir menuju kota Saxe Gotha.


Bab Sembilan : Mengalah

Ini hari kesepuluh festival Advent, dan semua terlihat berjalan seperti biasa.

Karena salju yang terus menerus, kota berubah menjadi dunia penuh perak.

Sepasang tentara Tristain tengah berpatroli di kota, Dan kini salah seorang memanggil yang lain.

“Hei, bukankah mereka dari Unit patroli Rossa?”

“Memang. Tapi apa yang mereka lakukan disini?”

Salah satu grup patroli mereka tengah berdiri di depan sebuah penginapan dan melakukan sesuatu yang bersifat mencurigakan

“Hei!” panggil salah seorang. Namun, tiada jawaban. Mereka terus bekerja dalam diam.

“Bukankah itu satu tas mesiu?”

Ucap seseorang dengan suara tertahan. Dan memang ada beberapa sak mesiu yang diletakkan disana.

Unit patroli Rossa tengah membawa sak-sak itu menuju penginapan.

“Hei! Itu sebuah hotel bukan gudang. Unit Navarre tinggal disana. Terlalu berbahaya membawa sesuatu yang mudah meledak ke dalam.”

Dia menghampiri dan menepuk pundak tentara tersebut. Tapi wajah yang berputar memandanginya mengejutkan. Wajah yang tanpa emosi dan ekspresis. Merasakan ada yang jahat di wajah tersebut, sang penjaga menghunus tombaknya.

“Hei! Letakkan sak itu! Letak…”

Saat itu, tentara lain menarik pistol dari sabuknya dan menembak mati penjaga tersebut.

Penjaga yang lain mencoba melarikan diri sambil berteriak. Tapi sebuah pisau yang dilempar tentara yang pertama tadi menembus punggungnya. Sang penjaga jatuh gedabruk ke tanah.

Lalu mereka kembali menempatkan sak-sak ke dalam hotel dalam diam.

Lalu sebuah sumbu dimasukkan dan dinyalakan dengan korek.

Setelah beberapa detik, sebuah suara ledakan nan besar terdengar dan seluruh penginapan beserta tentara disana tersapu habis.


Di sebuah blok premium kota, di lantai dua dari gabungan penginapan, pemimpin-pemimpin kekuatan sekutu tengah merapatkan strategi lanjutan invasi.

‘Gencatan berakhir besok. Pemindahan pasokan isi ulang harus selesai malam ini.”

Lapor Ketua staf umum Staff Wimpffen sambil melihat perkamen di meja.

“Itu bakal tepat waktu. Tapi kupikir Albion akan mencoba serangan kejut selama gencatan…”

“Kau pikir mereka tak memiliki masalah yang sama? Mereka perlu waktu karena persiapan musuh belum lengkap. Itulah mengapa mereka setuju gencatan senjata dengan mudahnya…”

Ucap Marquis handenburg dengan murung. Wimpffen mentapnya tajam. De Poiters menyela mereka. Sebagai komandan utama, dia mengerti perlunya meredam konflik jenderal-jenderal bawahannya.

Tapi lalu…seseorang mengetuk pintu.

“Siapa? Kami tengah rapat militer.” kata Wimpffen.

“Sebuah kiriman dari keluarga kerajaan. Baru datang pagi ini.”

Kiriman itu berupa punnet cantik dengan ukiran lambang kerajaan. Sebuah surat dengan cap menkeu tertera padanya. Begitu dia melihatnya, wajah De Poiters berubah. Dia mulai membaca surat itu dengan ganasnya. Setelah selesai membaca, De Poiters berucap gembira.

“Menkeu menyelamati dengan sebuah promosi!”

De Poiters dengan gembiranya membuka bagian atas kotak. Wimpffen dan Handenburg juga memperhatikannya. Begitu melihat apa yang ada di dalam, mata mereka berdua terbelabak.

“Oooooh! Sebuah cane marshal lapangan!”

Memang, itu adalah cane marshal lapangan yang diukir dari ebony dengan lambang emas keluarga kerajaan. Menatap bayangannya sendiri di cane itu, De Poiters bersorak gembira.

“Biasanya, ada prosedur resmi untuk lolos. ‘Cane ini adalah pengingat berhasilnya kemenangan dibawah kepemimpinanmu.’ Dengan nota selamat dari Menkeu. Meski Perang belum berakhir, Kekuatan sekutu telah memiliki seri kemenangan beruntun. Tentara musuh telah menutup diri dalam ibukota dan takkan keluar. Mengelilingi dan memenangkan sebuah kemenangan akhir hanya masalah waktu. Pertempuran akhir yang menentukan dan tertulis, dan dikonfirmasi oleh tanda tangan Menkeu, bahwa aku akan memimpin dengan cane marshal lapangan.”

“Selamat, Pak.” Handenburg dan Wimpffen berjabat tangan dengannya.

“Ya…dengan semua yang telah tertulis, semuanya ada dalam genggamanku. Kita tak bisa lengah sekarang. Tiada kelengahan!”

Ucap De Poiters, tapi tak bisa menyembunyikan seringai lebar di wajahnya.

Bum! Bum!

Saat itulah, suara-suara ledakan nan keras bergetar dari jendela.

“Apa yang terjadi?”

Dengan wajah curiga, De Poiters mendekati jendela sambil tetap menggenggam cane marshal lapangan.

Jendela itu mengarah ke plaza. Disana para prajurit berlarian sambil menunjuk sesuatu. Dia menyadari emblem di baret mereka.

“Bukankah mereka dari unit La Shien?”

Ini adalah blok timur, namun unit patroli ini bertanggung jawab untuk sisi kiri kota. Mengapa mereka disini? Terlebih lagi, mereka bersenjata lengkap…

Marquis Handenburg lalu melangkah ke samping De Poiters.

“Mereka juga pasti bukan prajurit dari tentaraku. Saya tak memberi perintah untuk ke…”

Lalu keduanya saling menatap…

Para prajurit telah memutar senpi mereka mengarah ke kedua orang yang berdiri di jendela.

Lalu sebuah lentingan tiba-tiba datang.

Hal terakhir yang dilihat De Poiters adalah pemandangan cane marshal lapangan yang dimakan peluru, memecahkannya menjadi serpihan-serpihan.

Terpana saking terkejutnya, Wimpffen menonton De Poiters dan Marquis Handenburg yang berdiri dekat jendela, terjatuh. Dia tak bisa mengerti apa yang tengah terjadi.

Sesaat kemudian para petugas melompat masuk ruangan.

“Pemberontakan! Pemberontakan dimulai!”

“Pemberontakan?”

“Unit Rossa, La Shien dan sebagian tentara Germania yang ditempatkan di kecamatan Sai penyebabnya! Bentrokan mereka dengan tentara kita terjadi di banyak tempat! Terlalu berbahaya untuk berdiam disini!”

Lalu para petugas melihat serpihan-serpihan kaca dan tubuh De Poiters beserta Marquis Handenburg yang terbaring di lantai, dan kemudian berdiri tegak di hadapan Wimpffen.

“P-Perintah anda, Komandan Tertinggi!”


Runtuhnya kekuatan Sekutu di Saxe-Gotha terjadi cepat sekali.

Para pemimpin terkejut dnegan pemberontakan yang tiba-tiba. Atau bisa dikatakan bahwa penyebab pemberontakan yang membingungkan mereka. Apalagi tiada laporan mengenai desas-desus tak puas maupun kekacauan dari para prajurit.

Seakan-akan pemberontakan terjadi dari kenihilan.

Para prajurit juga kebingungan. Para sahabat seia sekata, dimana mereka bertarung dan merayakan kemenangan bersana hingga kemarin kini menyerang mereka dengan wajah kosong dan senjata di tangan.

“Tembak!”

Meski para komandan meneriakkan begitu, para musketeer tak bisa menarik pelatuk, pemanah tak bisa memanah, penombak tak bisa melempar tombak.

“…Kami t-tak bisa menembak, Pak!”

“Tidak! Tolol! Pemberontak itu bagian dari tentara raja musuh!”

Meski sang komandan mencoba mengucapkan mantra kepada para prajurit berwajah kosong yang perlahan mendekat…dia melihat seorang komandan di garis depan dan menggelengkan kepalanya.

“Marco! Ini aku! Maurice! Apa yang kau lakukan?! Mengapa kau mengarahkan tongkatmu pada kami?!”

Satu-satunya jawaban adalah sebuah peluru yang menghantam tanah di kakinya, dan sang komandan memerintahkan untuk mundur.

“Sial! Mundur! Mundur sekarang!”

“M-mundur kemana…?

“Kayak aku tahu saja! Pokoknya mundur!”

Pagi harinya, garis pertahanan dirusak oleh tentara raja.

Dan…akhirnya, sebuah lapiran dari Redoutable yang dibawa ksatria naga pengintai.

Tertulis bahwa tentara utama Albion dari Londinium mulai bergerak dan mengarah lurus ke kota Saxe-Gotha.

Di perbatasan Markas sementara kota, Wimpffen membuat sebuah keputusan. Terang saja, sebab kini dialah pemimpin utama semua operasi.

“Kita mundur ke Rosais. Tiada gunanya tetap disini.”

Dan perintah mundur pun diberikan kepada seluruh tentara dibawah komandonya.


Tentara yang bergembira atas kemenangan dan melangkah maju kini kembali sebagai tentara yang kalah, berkurang menjadi 30.000 berkat pemberontakan. Seluruh wajah tampak lelah dan rasa putus asa bergentayangan.

Jenderal De Poiters merupakan seorang pengkhianat dan merumuskan pemberontakan, tidak, sang jenderal dibunuh, mereka semua dimanipulasi sihir yang tak diketahui dan dibuat membunuh – didalam tentara yang kalah, kebenaran tercampur dengan pelbagai isu.

Namun bagi petugas yang memimpin maupun prajurit, isu semacam itu membantu mereka untuk bertahan. Hanya insting bertahan ala hewan yang bergelora dalam kepala manusia yang melarikan diri.

Kebingungan makin membesar saat nyata bahwa tentara utama Albion bergabung dengan pemberontak dalam pengejaran.

Kesatuan-kesatuan kekuatan sekutu dalam barisan panjang nan tipis mundur melalui jalan besar ke Rosais.

Di antara mereka, tentu saja ada Louise dan Saito.

Dengan pedang di bahunya, Saito memanggil Louise yang berjalan di sampingnya. Dia tak pernah ngobrol dengan Louise sejak pagi kedua Festival Advent saat dia kembali ke kamar mereka. Tapi meski mereka belum saling berbicara selama hampir 10 hari…hanya kata-kata panas yang keluar.

“Jadi diaman kehormatan ini dalam perang?”

Louise menunduk.

“Lihat sekelilingmu.”

Sekelompok petugas mengendarai kuda melewati mereka dengan kecepatan penuh sambil berteriak.” Menyingkir! Menyingkir!” unit infantri yang terkejut berdiri di sisi jalan. Namun para musketeer dan penombak tak berekasi. Semua membuang senjata mereka yang berat-berat karena mereka melarikan diri.

Kini mereka tak berfikir mereka bisa selamat. Kemarin mereka semua berteriak ‘Hidup kemenangan milter raja! Kita harus menang untuk keadilan mutlak bagi kehormatan para prajurit yang gugur!’, dan kini mereka marah pada rekan mereka sendiri?

“kuharap Guiche dan Rene baik-baik saja…”

Ucap Saito sambil menerawang

Saito dibangunkan sahutan “Pemberontakan!Pemberontakan!”. Dia pergi ke markas pimpinan sementara…yang sudah menghilang. Seluruh anggotanya telah melarikan diri. Setelah kurir datang dengan perintah mundur, mereka langsung meninggalkan senjata mereka.

Saito membalikkan badan. Scarron, Jessica, Siesta dan seluruh gadis dari Penginapan ‘Peri-peri Menawan’ mengikuti mereka.

Mengapa ada kerusuhan semacam itu dan mengapa ada perintah mundur? Dia berlari mengejar Siesta dan orang-orang lain dari penginapan mengikutinya.

“Tentu saja aku Prajurit Kerajaan yang terhormat. Aku harus menyemangati orang-orang untuk melarikan diri meninggalkanku, itu adalah kehormatan tertinggi.”

Louise terus berjalan.

“”Apa kini kau mengerti dimana letak kehormatan sebenarnya? Apa kini kau mengerti arti di balik kata-kata guru? Mereka semua mengerti…mereka hanya ingin hidup, itulah mengapa mereka berusaha keras untuk kabur.”

Hujam Saito dengan udara superioritas. Sebagian besar karena dia merasa terlalu hancur untuk membicarakan yang lain.

“Memalukan.”

Louise akhirnya membuka mulut.

“Memalukan? Aku suka hal tiu. Kehormatan kemenangan! Keadilan! Bersuara keras-keras tapi pada akhirnya sifat asli menunjukkan diri dan membuat mereka jujur.”


Kekuatan sekutu, termasuk Wimpffen yang sampai pertama kali di Rosais, meminta izin kembali ke negara mereka. Jawaban dari pemerintahan monarki yang tak bisa menelan keadaan pendek saja: “Izin mundur tak diberikan. Jelaskan keadaan lebih rinci.”

Setengah Kekuatan sekutugugur atau berbalik, De Poiters tewas? Fakta-fakta ini gila. Mereka tampak ragu apakah itu laporan yang benar. Apa itu palsu? Wimpffen tak dapat menyalahkan pemerintahan mereka untuk itu. “mungkin, bahkan aku takkan mempercayainya begitu saja setelah mendengar laporan semacam itu dan mampu langsung memberikan izin mundur.”

Tentara yang kalah terpusat dalam Rosais.

Wimpffen mulai bernegosiasi dengan negerinya sendiri.

Dia bersikeras berulang-ulang bahwa dengan mempertimbangkan kemana situasi berjalan, mereka menuju kehancuran.

Dengan usaha keras, akhirnya dia memperoleh izin mundur…setelah setengah hari; setengah hari yang sangat berharga. Setengah hari yang bisa jadi sangat telak bagi kekuatan sekutu.

Saat tentara yang kalah mulai berdatangan…mereka menerima lebih banyak berita buruk dari ksatria naga pengintai. Tentara utama Albion dari Londinium bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan.

Dengan kondisi begini…

“Pada besok subuh, tentara utama musuh akan menyerbu masuk Rosais.”

Dia melihat peta dan menanyai bawahannya.

“Berapa waktu yang diperlukan tentara kita untuk berangkat seluruhnya?”

Staf logistik menjawab.

Hingga pagi lusa. Meski Rosais memiliki fasilitas pelabuhan raksasa untuk kapal-kapal, di tanah, hanya bisa ada tentara dalam jumlah terbatas di waktu yang sama.”

Wimpffen khawatir. Jika kau memikirkannya – dia perlu memulai persiapan mundur sebelum diizinkan. Namun, Wimpffen takut dirinya bakal kena dan tak mau digantung di sebuah pengadilan perang.

“Pertama-tama, adalah perlu untuk menghentikan laju tentara musuh.”

“40.000…tidak, tidak, dengan para pemberontak, jumalhnya lebih besar. Dimana kita bisa mendapatkan tentara untuk menahannya?”

Apalagi, bombardir dari udara akan menarik garis mundur ke kloter. Lagipula, peluru kapal takkan membantu mengerem barisan musuh.

Terlebih lagi, untuk mendapatkan waktu yang lebih banyak, para prajurit yang melarikan diri dengan kecepatan penuh kehilangan seluruh baju besi berat mereka.

Wimpffen berpikir.

Dan…tiba-tiba dia memiliki sebuah ide…

“..Ya…Kita gunakan ‘itu’.”

“Itu?”

“Kartu As! Kartu As tentaraku! Kini saatnya untuk menggunakan dia! Kurir!”


Si kurir datang kepada Louise dimana dia menunggu untuk naik mundur dalam tenda.

Waktu menunjukkan sore.

“Aku?”

Si Prajurit tua tampak sangat terburu-buru, Seakan-akan dia perwujudan seluruh Kekuatan Sekutu – Selalu terburu-buru.

“Nona Vallière! Komdan Wimpffen memanggil!”

Baru saat itulah Louise menyadari Jenderal De Poiters dan Marquis Handenburg dibunuh. Kebingungan diantara Kekuatan Sekutu sangat besar.

Louise pergi menghadap komandan, sedangkan Saito menunggu di luar. Saito memiliki firasat buruk.

Setelah mendapatkan perintah, Louise keluar dari tenda Komandan dengan wajah seputih Hantu.

“ Ada apa? Apa perintahnya?”

Meski dia bertanya, Louise tak menjawab.

Louise memandang lurus kedepan…dan mulai berjalan ke ujung lain dari Rosais. Tapi tidak menuju tenda kloter.

Dia pergi ke kuil di sisi kota…dan menerima seekor kuda dari penjaga kuda. Si penjaga lalu membungkuk kepada Louise yang hendak pergi.

Saito mencengkram tangan Louise.

Hei! Mau kemana?! Tidak aman untuk meninggalkan kota!”

“Lepaskan.”

Ucap Louise dengan suara kosong. Merasa ada yang tak beres, Saito meneriaki Louise.

“Bicaralah! Apa perintah yang diberikan padamu?! Hei!”

Louise tak menjawab. Dia hanya terus menggigit bibirnya.

Dengan tangannya yang lain, Saito mengambil perkamen perintah dari Louise. Karena dia tak bisa membaca hurufnya, yang bisa dia mengerti hanyalah sebuah peta.

“Aku tak bisa membacanya. Apa yang tertulis disini?”

Lagi-lagi Louise menggigit bibirnya.

“Ngomong dong! Apa yang tertulis disini?!”

Bukan Louise, namun Derfling yang tersimpan di bahunya yang membacanya.

“Aaah, sebuah dapar. Tak terlalu terhormat.”

“Dapar?”

“Huhu, bikin waktu supaya kekuatan utama bisa melarikan diri. Sendirian menghadapi 70.000 tentara musuh. Luar biasa sekali, kan?

Saito menjadi pucat. Dia berucap kosong.

“Apa?”

“Perintah yang cukup rinci sebenarnya. Hoho, tunggu di bukit 50 liga di sebelah kiri ini dengan mantra void yang siap tembak. Menghadap ke rute darat untuk memantau musuh dan terus menyihir hingga sihirmu habis. Kabur maupun menyerah tak diizinkan. Haah, dengan kata lain, ini sebuah perintah ‘bertahan hingga akhie’. Singkatnya –bertempur dengan musuh hingga tewas. Inilah perintah itu.”

“…Hei, apa itu – lelucon bukan?”

Ucap Saito sambil menggenggam bahu Louise.

“Tiada yang bercanda. Itu kenyataannya.”

“Benarkah? Apa kau tolol banget? Kau akan mati hanya karena jenderal-jenderal kita memerintahkanmu? Mereka memperlakukanmu seperti alat, tidak-tidak, seperti alat cadangan. Jangan lakukan itu! Jangan!”

“Berhentilah terburu-buru.”

Saito terkejut.

“Aaah, sinar matanya ini…aku ingat.”

Louise tak berubah dari hari mereka pertamakali bertemu.

Louise tetap ingin diakui.

Dia memasuki perang ini melawan kehendak orang tua karena…dia ingin diakui.

Dia diejek sebagai “Louise si Nol”, Louise tolol.

Sejak itu…Louise berharap diakui orang tua dan teman-teman sekelasnya. Itulah mengapa dia melamar Pencarian Foquet.

Namun…sekali kekuatan elemen Void legendaris terbangun dalm dirinya, semua berubah.

Dia ingin diakui lebih dari cuma sebagai itu.

Saito tak bisa benar-benar mengerti ha itu, begitupun juga dengan Louise. Makanya dia mencoba membujuk Louise.

“Ayolah, berfikirlah baik-baik. Untuk harga diri? Lihat ya, penginapan ini tak aman, dan kau akan tewas disini...Kau mengerti? Hentikan ya? Kau hebat, aku tahu itu, tapi ayo kabur dong? Abaikan perintah semacam itu dan pergi saja ya?”

“Kemana kau akan lari? Ini daerah musuh.”

“Berhentilah menjunjung tinggi-tinggi harga dirimu itu!”

Louise menatap lurus Saito dan berkata dengan jelas,

“Ini bukan karena kebanggan. Apa yang akan terjadi bila aku kabur? Sekutu kita akan dihabisi, pembantumu, semua daripenginapan’Peri Menawan’…Guiche, Rene p semuanya. Mereka mungkin dibunuh atau dipermalukan.”

Saito bermuka masam karena menyadari hal itu juga.

Alasan mengapa Louise sangat bersikeras…bukan hanya karena harga dirinya.

“Aku tak ingin mati, tapi aku juga tak ingin teman-temanku mati. Itulah…arti sebenarnya kata ‘Kehormatan’. Hey Saito, kau tetta mengatakan bahwa kehormatan itu bodoh tapi kehormatan mana yang kau bicarakan? Seseorang mati demi yang lainnya bukan karena kehormatannya. Ini berbeda.”

Jelasnya. Tapi Saito terus berusaha mati-matian untuk membujuknya.

“ Maka, apa aku juga mati? Sepertimu? Apa kau akan mengorbanku demi menyelamatkan semua orang?”

“Sumpah familiar pasti berbeda dengan ini!”

Louise menatap Saito dengan sedih untuk sesaat…lalu menggelengkan kepalanya.

“ Kau kabur saja. Jangan mengikutiku.”

“Apa?”

“Kemballilah pada ‘Varsenda’ dan ambil mesin terbangmu. Lalu kau dan pelayanmu bisa terbang ke timur.”

Mata Louise mulai berkaca-kaca. Suara Louise terdengar seperti hendak menangis.

“Kau…baru-baru ini menanyai apa kau hanya alat bagiku. Jangan bodoh. Jika kau berpikir aku merasa kau hanya sebuah alat maka kau salah paham. Kau adalah kau. Seorang pemuda bebas dari dunia lain dimana dia harus pulangkepadanya. Bagiku, Kau bukanlah alat.”

Louise…”

Saito membuang muka lalu berkata dengan suara nan teguh.

“Aku mengerti. Aku takkan lagi menghentikanmu. Namun, aku memiliki satu permintaan sebelum kau pergi.”

“Eh?”

“Di duniaku, ada tradisi untuk minum dan bersulang sebelum berpisah. Kau masih ada waktu sebelum pergi, kan?

“Ya, sedikit…”

Saito memandang sekeliling mereka dan di sampineg kuil dia menyadari ada kotak perbekalan. Itu pasti salah satu perbekalan yang seharusnya dikirim ke kota Saxe-Gotha tapi akhirnya tertinggal. Itu berupa sekotak anggur. Dia langsung teringat keluhan Scarron soal bir Albion.

Saito mengeluarkan sebotol.

“Ia akan dicuri musuh juga sih.”

Sementara itu Louise memandangi kuil di dekat mereka. Lalu, dia berbalik pada Saito. Pipinya tiba-tina berubah merah. “Apa?”

“karena kita akan bersulang, aku juga punya satu permintaan.”

“Ceritakanlah, mintalah apapun yang kau harap.”

Tapi permintaan Louise…melebihi semua perkiraan Saito.

“Nikahilah aku.”

“Huh?”

Louise, kini merah dari kepala hinga jari kaki, berteriak.

J-jangan slah paham! Bukannya aku mencintaimu atau apapun itu! Namun… mati sebelum menikah tidak baik, aku hanya ingin menikah.”


Ia merupakan kuil kosong - tiada orang di dalam. Saat Kekuatan sekutu menguasainya, seluruh pendeta didalam kabur.

Meninggalkan kuda terikat di pagar. Dua orang memasukinya.

Ia bersih dan disapu dengan baik.

Matahari yang terbenam tercermin dari gelas berwarna, menciptakan suasana suci.

Dikelilingi keheningan menenangkan ini, Louise berdiri di depan altar.

“Kau tak ingin menikah di Albion?:

Louise mengernyitkan alis.

“Ia hanya membawa kenangan tak sedap.”

Kau telah melakukan ini, kan?”

Louise mengangguk.

“Ya. Namun, saat itu, aku tak memberi sumpahku.”

“Oh, begitu.”

Louise menatap menengadah pada Gambar Pendiri. Dikelulingi suasana suci, dia berlutut di hadapan itu dan memberikan doa dalam diam.

Louise berpikir selama berdoa.

Mengapa aku memikirkan pernikahan di saat seperti ini?”

“Apa aku menginginkannya?”

“Hanya di antara aku dan Saito, tanpa yang lain…”