Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 10"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(Created page with "== '''Firebird, Luar negeri, tas obat''' == Malam itu, setelah aku selesai makan malam, aku latihan bass lagi. Di tengah latihan, aku mendengar suara benda berjatuhan dari kam...")
 
m (terakhir edit dah)
Line 1: Line 1:
  +
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
== '''Firebird, Luar negeri, tas obat''' ==
 
  +
==Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat==
Malam itu, setelah aku selesai makan malam, aku latihan bass lagi. Di tengah latihan, aku mendengar suara benda berjatuhan dari kamar utama.
 
“Ohhh….. Membahagiakan sekali kalau kematianku nanti dikubur oleh tumpukan CD musik dari berbagai zaman……”
 
   
Di dekat pintu Tetsurou dengan setelan rapihnya—pemandangan langka—sedang terkubur diatas tumpukan CD yang berjatuhan. Dia menatap langit-langit sambil bergumam sendiri.
 
 
“Tolong rajinlah menabung sebelum kau meninggal.”
 
Bukannya aku sudah merapikan tumpukan CD itu ya? Sesering apapun aku merapikannya, CD itu pasti akan ditumpuk sampai setinggi-tingginya—percuma juga kalau dirapikan. Aku mengeluh sambil menggali tumpukan CD yang menibani Tetsurou.
 
   
  +
Malamnya, setelah selesai makan malam seorang diri, aku mulai berlatih bas. Di tengah latihan, kudengar suara nyaring dari benda-benda yang berjatuhan dari arah pintu utama.
“Kalau aku mati, kau harus menaruh Stravinsky <Firebird> di dalam petiku. Terus jangan mainkan <Requiem Mass in D minor> atau lainnya, kau hanya boleh memainkan <St Matthew Passion>! Setelah itu aku akan menulis ulang partiturnya bersama Jesus Christ dan aku akan hidup kembali dalam 2 hari.”
 
“Gausah repot-repot, lebih baik kau pergi ke neraka dan jangan balik lagi! Bukannya aku sudah memberitahu kalau sedang minum panggil aku?”
 
   
  +
"Oh .... Sebuah anugerah tiada tara bisa mati terkubur dalam tumpukan mahakarya musik dari berbagai zaman ...."
“Ah,mhmm. Sudah lama aku tidak bertemu dengan teman sekelasku dari sekolah musik…… Urgg….”
 
Pemusik hebat dari zaman yang berbeda, lalu setelan pakaian satu-satunya milik Tetsurou, menjadi kotor dan bau karena cairan yang sudah menempel. Temannya pasti udah setengah mati karena pingsan.
 
“Ahhhh. Sepertinya aku harus mengirim ini ke laundry.”
 
   
  +
Di dekat pintu, Tetsurou yang mengenakan jas — sebuah pemandangan langka — sedang tertimbung oleh tumpukan CD yang berjatuhan. Beliau menatap langit-langit sambil bergumam sendiri.
Setelah muntah di toilet, Tetsurou kembali dengan wajahnya yang pucat pasi. Bahkan setelah sekian lama aku melihat setelannya yang sering kotor, ia berbuat seolah hal itu gak ada hubungannya dengan dia. Hanya ada satu kemungkinan Tetsurou berpakaian rapih seperti ini : yaitu konser. Mungkin karena termasuk pekerjaannya, ia harus sering pergi ke konser, tapi, ia hanya punya satu setelan rapih. Apa yang harus kuperbuat? Untuk sekarang ini, sepertinya aku harus memberinya secangkir lemon hangat biar dia gak pingsan.
 
   
  +
"Sebelum kamu mati, tinggalkan dulu uang yang cukup supaya aku bisa tenang menjalani hidup."
“Uuuuh, kalau diingat-ingat. Aku ini laki-laki yang beruntung. Istriku pergi meninggalkanku, tapi Tuhan memberikanku seorang anak yang sangat peduli denganku.”
 
   
  +
Bicara soal itu, seingatku, aku sudah merapikan CD-CD ini, 'kan? Sesering apapun aku merapikannya, CD itu pasti akan ditumpuk sampai setinggi-tingginya — percuma kalau ditegur. Aku mengeluh sambil menggali tumpukan CD yang menimpa Tetsurou.
Oh ibu, kenapa kau tidak berusaha keras untuk menjadi hak asuh?
 
   
  +
"Kalau aku mati, kamu harus menaruh partitur <Sang Burung Api> gubahan Stravinsky di dalam petiku. Jangan mainkan <Misa Massal pada D minor> atau semacamnya, mainkan saja <Passion Santo Matius>!<ref>Passion adalah suatu komposisi musik yang disusun untuk memperingati penderitaan dan kematian Kristus berdasarkan keempat Injil.</ref> Setelah itu aku akan menimpa catatan yang dipegang Yesus Kristus lalu bangkit kembali dalam dua hari."
“Aku sudah bosan dengan wanita. 5 teman sekelasku single, dan 3 dari mereka bahkan sudah bercerai!”
 
   
  +
"Itu tidak perlu. Pergi saja ke neraka dan jangan kembali! Bukankah sudah kuberi tahu kalau mau minum alkohol harus bilang dulu padaku?"
Tetsurou bernyanyi dengan liriknya sendiri dengan nada <Rigoletto>—<La donna è mobile>. Dengan kesal aku menutup kepalanya dengan plastik sampah agar diam. Pikirkan tetangga kita, dan berhentilah bernyanyi!
 
[TLNote: 'La donna è mobile' diterjemahkan ke Inggris'Woman is fickle', kalau di terjemahkan ke Indonesia ‘Wanita itu plin-plan.]
 
   
  +
"Ah, hmm. Sudah lama aku tidak bertemu teman sekelasku dari sekolah musik .... Hoek ...."
“Sama sepertimu kan? Kau sudah membuang gitar atau apalah punyamu itu, kan?”
 
“Aku masih memainkannya! Jangan mengurusi urusanku seperti orang bodoh!” aku menunjuk bassku yang tergeletak di sofa.
 
“Tapi permainanmu sangat buruk tau?”
 
“Yah, maaf aja soal itu!” Jadi apa suaranya terdengar sampai keluar? Sepertinya untuk hari esok aku tidak akan memakai ampli lagi saat berlatih di rumah.
 
“Aww, Kenapa? Apa bagusnya dari dia? Ah, Ebisawa Mafuyu, kan? Kemarin-kemarin kau menyebut dia. Dia lumayanlah. Kau tau, ini konyol lho….. biasanya foto cover album musisi perempuan diambil dari wajahnya—khususnya seorang pianis. Kalau biasa aja, fotonya sedikit dimiringkan dari wajahnya, kalau cantik, fotonya diambil langsung dari depan wajahnya. Aku sudah menjalani profesi ini selama 15 tahun, dan untuk pertama kalinya Mafuyu difoto bagian belakang atas—Eh? Kenapa ya, Nao? Memangnya kenapa harus difoto disitu?
 
   
  +
Mahakarya musik dari berbagai zaman, bersama dengan satu-satunya jas mahal milik Tetsurou, menjadi kotor karena cairan berbau asam. Orang tua ini sudah hampir mati karena mabuk.
"Diamlah."
 
   
  +
"Ahhhh. Ini harus dicuci."
Aku memercikan segelas air ke wajahnya Tetsurou
 
“Apa yang kau lakukan…. Hari ini Nao dingin sekali. Apa kau membenciku?”
 
   
  +
Setelah muntah di toilet, Tetsurou kembali dengan wajah pucat. Bahkan setelah melihat betapa joroknya jas yang beliau kotori itu, beliau beralasan kalau itu bukan karena beliau. Hanya ada satu alasan kenapa Tetsurou berpakaian serapi ini. Yaitu konser. Mungkin karena bawaan dari pekerjaannya, makanya beliau sering menghadiri sebuah konser, meski begitu, beliau hanya punya satu setel jas. Harus bagaimana aku menghadapi kelakuannya itu? Yang penting, aku harus memberinya secangkir jus lemon hangat dulu biar beliau tidak mabuk lagi.
"Hei, Tetsurou......"
 
   
  +
"Uuuuh, aku hidup kembali. Aku memang pria yang beruntung. Istriku pergi meninggalkanku, tapi Tuhan memberikanku seorang anak yang sangat peduli padaku."
"Mmm?"
 
  +
“Apa kau membenci panggilan konsumsi pajak?”
 
  +
Kenapa ibuku tidak berusaha keras memperjuangkan hak asuhku?
“Huh? Pertanyaan macam apa itu?”
 
  +
  +
"Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan wanita. Lima teman sekelasku tidak memiliki pasangan, dan tiga di antaranya sudah bercerai!"
  +
  +
Tetsurou tiba-tiba dengan liriknya sendiri, menyanyikan aria <Sang Wanita yang Lincah> dari opera Rigoletto. Kututpi wajahnya dengan kantong sampah supaya diam. Harusnya beliau tahu kalau kita ini bertetangga dan jangan membuat keributan!
  +
  +
"Sama sepertimu yang mencoba berurusan dengan gadis itu, 'kan? Kamu sudah menyerah berlatih gitar atau apalah namanya itu, 'kan?"
  +
  +
"Aku masih memainkannya! Dan berhentilah memperlakukanku seperti orang bodoh!" aku menunjuk basku yang tergeletak di sofa.
  +
  +
"Tapi permainanmu payah, 'kan?"
  +
  +
"Yah, aku minta maaf kalau soal itu!" berarti suaranya terdengar sampai keluar, ya? Untuk kedepannya, kurasa aku tidak akan memakai ''amplifier'' lagi saat berlatih di rumah.
  +
  +
"Wah, kok bisa? Apa gadis itu sebegitu hebatnya? Ah, Ebisawa Mafuyu, kan? Tempo hari kamu sempat menyinggungya. Gadis itu lumayan juga. Tahu tidak? Ada semacam pembicaraan di komunitas kami .... Coba perhatikan, pada sampul depan musisi perempuan, foto yang digunakan biasanya foto yang diambil dari samping — terutama pianis. Kalau ia cukup manis, maka foto wajahnya sedikit dimiringkan, dan kalau ia menawan, foto wajahnya diambil langsung dari depan. Aku sudah menjalani profesi ini selama 15 tahun, dan Mafuyu adalah perempuan pertama yang kuketahui difoto dari bawah — eh? Kenapa, ya, Nao-chan? Kenapa harus sampai difoto dari bawah?
  +
  +
"Berisik."
  +
  +
Kusimburkan segelas air ke wajah Tetsurou
  +
  +
"Kamu ini kenapa .... Belakangan ini sikap Nao-chan dingin sekali. Jangan-jangan kamu membenciku, ya?"
  +
  +
"Hei, Tetsurou ...."
  +
  +
"Hmm?"
  +
  +
"Apa kamu benci dengan yang namanya PPN"
  +
  +
"Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
   
 
"Jawab saja."
 
"Jawab saja."
“Mmm, kalau ditanya benci atau gak….. mungkin jawabannya benci. Tapi aku sudah lama membayar pajak, jadi aku sudah lupa rasa bencinya itu.”
 
   
  +
"Hmm, kalau ditanya benci atau tidak .... Kurasa hal itu tidak perlu ada dalam hidupku, jadi mungkin jawabannya adalah benci. Tapi aku sejak dari dulu sudah membayar PPN, jadi aku sudah lupa rasa bencinya itu."
"Mmm, itulah yang kurasakan."
 
   
  +
"Hmm, jujur, begitulah perasaanku yang sebenarnya padamu."
"...... Apa aku boleh menangis?"
 
   
  +
"... apa aku boleh menangis?"
"Keluar saja kalau mau nangis!"
 
   
  +
"Kalau mau menangis, di luar saja, sana!"
Tetsrou mengapit botol whiskey nya ke dalam sikutnya dan sepertinya ia benar-benar akan pergi keluar. Kalau dipikir-pikir ini bisa mengganggu tetangga lagi, aku harus menghentikannya sekarang. Sadar dengan umurmu dan cepatlah tidur!
 
   
  +
Tetsurou mengapit botol wiskinya di ketiaknya dan tampak seperti memang hendak keluar. Jika melihat betapa beliau bisa mengganggu tetangga yang lain, aku harus segera menghentikannya. Semoga beliau sadar dengan umurnya dan cepat tidur!
“Kalau dipikir-pikir kau tidak akan cocok dengan Ebisawa Mafuyu. Karena…… ya kau taulah, kau ini anak seorang kritikus musik, dan dia juga tau siapa aku ini. Sebenarnya, tadi aku baru kembali dari konser Ebichiri di Jepang. Sehabis konsernya aku mengajaknya minum, tapi dia bilang harus datang ke live TV show, karena itu dia menolakku. Saat perjamuan makan, kami mengobrol satu sama lain. Sepertinya ia tinggal di Jepang hanya sebulan, setelah itu ia akan berkelana saat bulan Juni. Mungkin dia akan balik ke Amerika.”
 
   
  +
"Namun rasanya kamu tidak mungkin punya peluang pada Ebisawa Mafuyu. Soalnya .... Yah, kamu tahu sendiri, kamu ini anak seorang kritikus musik, dan ia juga tahu soal itu. Sebenarnya tadi aku baru kembali dari konser Ebichiri yang kebetulan diadakan di Jepang. Dan sebenarnya aku tadi juga sempat mengajaknya minum, tapi ia bilang kalau ia akan tampil secara langsung di TV, jadi sudah bisa ditebak kalau ia pasti menolaknya. Biarpun begitu, kami sempat saling mengobrol saat acara jamuan makan malam. Sepertinya untuk sebulan ini ia akan menetap di Jepang, setelah itu ia akan pergi jauh saat bulan Juni nanti. Mungkin ia akan balik ke Amerika."
"Sepertinya kau salah paham, aku sama dia itu—Eh?"
 
   
  +
"Sudah kubilang, kamu itu salah paham .... Eh?"
Ebichiri—Ayahnya Mafuyu—balik ke Jepang?
 
Dan dia akan kembali ke Amerika bulan Juni. Tunggu, di bulan Juni Mafuyu kan….. jadi karena itu?
 
   
  +
Ebichiri — ayah Mafuyu — berada di Jepang?
“…… Bagaimana dengan Mafuyu? Apa kau mendengar sesuatu darinya?”
 
  +
  +
Dan ia akan kembali ke Amerika bulan Juni nanti. Kalau begitu, ''Juni'' yang Mafuyu katakan waktu itu ..., maksudnya itu?
  +
  +
"... lalu, soal Mafuyu? Apa ada yang kamu dengar tentangnya?"
   
 
"Hah?"
 
"Hah?"
   
"Bukan apa-apa. Jadi, apa nanti dia akan ikut balik ke Amerika?"
+
"Bukan apa-apa. Jadi ..., apa nanti ia akan ikut balik ke Amerika?"
   
Di akhir tahun ini, Mafuyu mungkin saja akan terbang bersama ayahnya ke Eropa dan Amerika untuk ikut tur dunia. Dia tidak bisa melakukan hal sia-sia lagi seperti pindah ke sekolahku hanya untuk satu bulan, ya kan?
+
Sekitar tahun-tahun terakhir ini, Mafuyu mungkin bepergian bersama ayahnya ke negara-negara di Eropa dan Amerika untuk tur internasional. Ia tidak perlu melakukan hal percuma seperti pindah ke sekolah kami hanya untuk satu bulan, 'kan?
   
“Menurutku dia tidak akan main piano lagi. Tadi aku dengar kabar kalau para kritikus mengkritiknya dengan sangat jahat. Bahkan setelah dia mengikuti kompetisi yang tidak ada hubungannya dengan Ebichiri, dan memenangkannya. Tapi bagaimanapun juga, dia akan selalu menanggung beban berat nama ayahnya.
+
"Ia mungkin tidak akan bermain piano lagi. Aku baru saja mendengar mengenai hal itu tadi, tapi tampaknya para kritikus sudah menulis ulasan-ulasan kejam tentang dirinya. Ia bahkan sampai pernah mengikuti kompetisi yang tidak ada hubungannya dengan Ebichiri, dan memenangkannya. Meski begitu, ia tetap saja dihubung-hubungkan dengan nama besar ayahnya.
   
"Ah......"
+
"Ah ...."
Aku jadi ingat kejadian saat Mafuyu menatapku, penuh dengan kebencian. “Kritik-kritik yang nyata hanyalah sebuah masalah. Semuanya cuma sampah.” Dia juga mengatakan hal ini.
 
   
  +
Aku jadi ingat kejadian saat Mafuyu menatapku penuh dengan kebencian tempo hari. ''Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu. Mereka selalu saja menulis omong kosong,'' aku yakin kalau ia mengatakan itu.
“Permainannya itu seakan minta di kritik. Seperti, dirinya yang tidak bersemangat; permainannya yang terlalu tenang; bagian presentasinya yang buruk; musik yang ia keluarkan seperti serangga yang merangkak; atau permainannya yang terlalu bergantung pada teknik…. Bahkan aku bisa memikirkan kritik jahat dengan cepat saat ia bermain. Dan kalau aku mau, aku mungkin bisa menulis sebanyak 3 lembar tentang permainannya. Tapi jika aku melakukannya, aku mungkin adalah orang terbodoh—bukan berarti permainanmu dianggap bagus karena memainkannya dengan penuh semangat.
 
   
  +
"Gaya permainannya seakan mengundang kritikan itu sendiri. Contohnya, sikapnya yang tidak bersemangat; permainannya yang terlalu tenang; penyampaian terhadap bagian-bagian dalam sebuah komposisi yang buruk; musik yang terasa bagaikan serangga yang merayap; atau gaya bermain yang terlalu bergantung pada teknik .... Bahkan aku sendiri bisa langsung memikirkan kritikan kejam sewaktu ia bermain. Dan kalau aku mau, aku mungkin bisa menulis ulasan tentang permainannya hingga tiga puluh halaman. Tapi akan terasa bodoh kalau aku sampai melakukannya — ini bukan soal memainkan komposisi dengan bagus tapi soal memainkannya dengan cemerlang."
   
 
"Jadi itu alasan Mafuyu tidak bermain piano lagi?"
 
"Jadi itu alasan Mafuyu tidak bermain piano lagi?"
“Entahlah. Para kritikus lain juga menulis tentang kehidupan pribadinya, meski itu ga ada hubungannya dengan musik, ya mungkin itu karena dia adalah anak dari Ebichiri. Kau taukan kalau ibunya yang orang Hungaria itu sudah cerai sekarang.
 
   
  +
"Entahlah. Para kritikus lain tampaknya juga menulis tentang kehidupan pribadinya, meski itu tidak ada hubungannya dengan musik, yah, mungkin karena ia anak Ebichiri. Tahu sendiri, kalau ibunya itu orang Hungaria dan mereka sudah bercerai."
“Ah…. Jadi dia bener anak blasteran ya.”
 
   
  +
"Ah .... Jadi ia memang anak blasteran, toh."
Beberapa saat aku mengingat kejadian dimana aku memperbaiki recordernya. Hungaria.
 
   
  +
Mendadak aku teringat kejadian saat aku memperbaiki ''tape recorder''-nya dulu. Hongaria.
“Ah—kau tidak tau soal itu? Yah, lebih baik masalah ini ga usah dibahas lagi. Aku jadi seperti paparazzi yang hina.”
 
   
  +
"Ah— jadi kamu tidak tahu? Yah, sebaiknya itu tidak usah dibahas lagi. Aku merasa seperti paparazzi yang sedang memburu berita."
Tetsurou membuka tutup botol whiskey-nya lalu meminumnya. aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menahannya.
 
   
  +
Tetsurou membuka tutup botol wiskinya dan langsung meminumnya. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menahannya.
Saat aku menjalani kehidupan santaiku sebagai murid SMP di Jepang, Mafuyu sudah berada di seberang lautan, dibawah pengawasan rasa ingin tahu dan benci di sekelilingnya, hidup dengan rasa takut yang menggentayangi saat bermain piano. Kehidupan macam apa itu? Aku tidak bisa membayangkannya.
 
   
  +
Saat aku menjalani kehidupan santaiku sebagai murid SMP di Jepang, Mafuyu sudah melanglang buana ke mancanegara. Di bawah tatapan keingintahuan dan benci dari sekelilingnya, ia menjalani hidup dengan rasa takut yang menggentayangi ketika ia memainkan piano. Kehidupan macam apa yang dialaminya itu? Aku tidak sanggup membayangkannya.
Bagaimanapun, aku masih memikirkan permasalahan utama. Kalau dia sudah menyerah untuk bermain piano, kenapa sekarang dia beralih ke gitar?
 
   
  +
Meski begitu, aku pun kembali ke permasalahan utama. Kalau ia memang sudah tidak ingin lagi bermain piano, kenapa kini ia bermain gitar?
Keesokan harinya, saat aku berjalan menuju kelas, aku mendengar teman di kelasku sedang mendiskusikan suatu acara di tv kemarin.
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
   
  +
Keesokan harinya, saat aku berjalan menuju kelas, kudengar teman-temanku sedang berbincang soal sebuah acara di TV.
"Acaranya ditayangin langsung?"
 
   
  +
"Acaranya ditayangkan langsung?"
"Ya, sepertinya dia sudah kembali ke Jepang."
 
   
  +
"Ya, sepertinya ia sudah kembali ke Jepang."
"Wawancaranya?"
 
“Mereka membicarakan yang tidak kumengerti. Tidak seperti mendengar musik klasik yang mudah dicerna.”
 
 
"Apa mereka mirip?"
 
   
  +
"Mereka membahas apa saja?"
"Tidak begitu. Tuan putri mungkin akan ikut dengan ibunya?"
 
Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka, aku jadi tau kalau mereka sedang membicarakan Ebichiri. Sekilas aku menoleh ke tempat duduk Mafuyu.
 
   
  +
"Aku bingung dengan yang mereka perbincangkan. Yah, walau tidak sebingung saat aku mendengarkan musik klasik, sih."
“Host nya juga bertanya seperti itu.”
 
   
  +
"Apa mereka berdua ada kemiripan?"
“Bapak sama anak itu hubungannya ga harmonis kan?
 
   
  +
"Tidak sedikit pun. Hime-sama lebih mirip ibunya?"
Aku berpikir sejenak—kalian tau kalau Mafuyu sebentar lagi akan masuk ke kelas, dan kalian masih membicarakannya dengan suara yang keras?
 
   
  +
Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka, aku jadi tahu kalau mereka sedang membicarakan Ebichiri. Sekilas aku melirik ke kursi Mafuyu yang kosong.
"Nao, ayahmu itu teman sekelas Ebichi, Kan?"
 
   
  +
"Pembawa acaranya juga menanyakan soal hime-sama."
"...... Kenapa kau tau?"
 
“Maki yang bilang! Dia juga bilang, saat Ebichiri masih mengajar, ayahmu sudah semena-mena main dengan berbagai macam perempuan.”
 
   
  +
"Hubungan antara ayah dan anak itu tidak terlalu harmonis, 'kan?"
Maki…. Tolong jangan melebih-lebihkan saat bercerita kepada mereka.
 
   
  +
Sejenak aku berpikir — mereka tahu kalau Mafuyu sebentar lagi akan datang, tapi kenapa mereka masih bergosip tentang dirinya dengan suara keras?
“Apa, jadi Nao tidak tau tentang tuan putri sebelumnya.”
 
   
  +
"Nao, ayahmu itu dulunya teman sekelas Ebichiri, 'kan?"
“Tapi dari yang kulihat kemarin, Ebichiri terus mengalihkan topik yang selalu ditanyakan host tentang anaknya. Apa kau tau alasannya?"
 
   
  +
"... Kamu tahu dari mana?"
"Urm, sini......"
 
Aku memindahkan bassku yang berpangku di pundak lalu aku sandarkan di meja. Kemudian, aku mengumpulkan keberanianku dan berkata,
 
“Berhenti membicarakan tentangnya, oke?
 
   
  +
"Maki-chan yang bilang! Beliau juga bilang, saat Ebichiri masih mengajar dulu, ayahmu selalu menggoda gadis-gadis."
Orang-orang menatapku dengan tatapan kaget. Aku berpura-pura merapikan bukuku, lalu berkata lagi,
 
   
  +
Maki-sensei .... Semoga beliau tidak selalu berlebihan sewaktu bercerita pada mereka.
“Biarkan saja dia, oke? Dia itu seperti anakkucing liar yang terluka—kalau sekali saja kalian mendekatinya, dia akan langsung mencakar; tapi kalau kalian membiarkannya sendiri, dia tidak akan mengganggu. Dia punya masalahnya sendiri saat tur Amerika dan semacamnya, jadi—”
 
   
  +
"Eh, jadi Nao tidak tahu tentang hime-sama sebelumnya?"
Saat aku berkata itu semua, orang-orang yang memandangiku mengalihkan pandangannya. Tusukan yang tajam serasa di bahuku. Aku membalikkan badan, dan melihat Mafuyu berdiri di depan kelas. Wajah kemerahan muncul dibawah kulitnya yang berwarna terang. Mungkin karena ibunya yang berdarah Hungaria? Matanya yang besar menatapku—bukan tatapan marah, tapi agak seperti, kaget.
 
   
  +
"Tapi dari yang kulihat kemarin, Ebichiri selalu mengalihkan topik setiap kali pembawa acara bertanya tentang anaknya. Apa kamu tahu alasannya?"
   
"...... Ah, ini, aku tidak......"
+
"Eng, begini ...."
   
  +
Kulepaskan basku dari bahu lalu kurebahkan ke meja. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun berkata,
Aku tidak yakin apa yang sebenarnya ingin aku katakan.
 
   
  +
"Berhenti menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, paham?"
"Kau pasti sudah sangat ahli menyebarkan berita."
 
   
  +
Seluruh kelas melihat ke arahku dengan tatapan kaget. Aku berpura-pura merapikan bukuku, dan lanjut berkata,
Gumam dirinya sambil berjalan ke arah tempat duduknya. Orang-orang disekitarku tiba-tiba sudah pergi entah kemana.
 
 
"I-ini bukan seperti yang kamu pikirkan."
 
   
  +
"Jangan ganggu dirinya lagi. Ia itu bagaikan anak kucing liar yang sedang terluka — kalau kalian mendekat, ia mungkin akan langsung mencakar; tapi kalau kalian membiarkannya sendiri, ia tidak akan mengganggu. Gadis itu sudah punya sejumlah masalah sewaktu tur internasional di Amerika, itu sebabnya—"
"Tolong jangan berbicara padaku."
 
Suara Mafuyu bagaikan dua belah sisi tajam gunting, yang memotong jarak diantara kita berdua. Aku hanya bisa diam. Orang-orang disekitarku yang sudah pergi menjauhiku berkedip-kedip padaku menandakan rasa takut.
 
   
  +
Saat aku menjelaskannya, semua perhatian murid-murid di sekitarku langsung tertuju padaku. Bisa kurasakan sensasi menusuk pada belakang pundakku. Aku membalikkan badan, dan melihat Mafuyu sudah berdiri di depan pintu kelas. Rona merah tampak dari balik kulit cerahnya. Apa itu bawaan lahir dari ibunya yang merupakan orang Hongaria? Mata besarnya menatap ke arahku — sepertinya itu bukanlah tatapan marah, tapi lebih seperti terkejut.
Dengan terburu-buru Chiaki memasuki kelas setelah bel berbunyi. Saat dia berjalan melewatiku dan Mafuyu, dia menyadari atmosfer berbahaya.
 
   
  +
"... ah, begini, aku tidak ...."
"Ada apa ini?" Dia menoleh padaku, kemudian ke Mafuyu. "Kalian berdua bertengkar lagi?"
 
   
  +
Aku tidak yakin kalau aku kini sedang merangkai kata untuk membuat alasan.
"Aku tidak pernah bertengkar dengannya, karena itu tolong jangan pakai kata ‘lagi’"
 
   
  +
"Kamu memang ahli dalam menyebarkan berita, ya."
Kata Mafuyu sambil membuang mukanya.
 
Chiaki sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum itu aku sudah menarik lengannya dan memohon padanya agar dia tidak mengatakan apapun lagi.
 
Lupakan tentang pembicaraan itu, semenjak tadi Mafuyu tidak pernah menoleh kepadaku. Dia bahkan segera keluar kelas setelah bel istirahat berbunyi.
 
   
  +
Gumam dirinya sambil berjalan ke arah kursinya. Sekelilingku pun sudah berpencar ke segala arah.
"Dia marah......"
 
   
  +
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."
"Tuan putri marah......"
 
Semua orang di kelas bergumam penuh penyesalan, tatapan mereka pun langsung tertuju padaku. Kali ini memang benar-benar salahku, tidak ada pilihan lain lagi bagiku selain berdiri dan keluar kelas.
 
   
  +
"Tolong jangan bicara padaku."
Aku berjalan di halaman sekolah menuju ruang latihan musik di bangunan tua. Gembok yang biasanya terpasang di pintu tidak ada, dan pintunya pun cukup terbuka. Perlahan aku memasuki ruangan itu, tidak ada orang. Ada apa ini?
 
   
  +
Suara Mafuyu bagaikan sepasang bilah gunting yang memotong jarak di antara kami berdua. Aku hanya bisa terdiam. Mereka yang sudah tidak di sekitarku tadi mengedip-ngedipkan mata tanda prihatin.
Aku berjalan di ruangan itu dan melihat sebuah gitar yang tersambung dengan amplifier; sebuah pick tergeletak di salah satu meja. Sepertinya seseorang setelah masuk langsung keluar secara terburu-buru. Artinya, mungkin akan baik-baik saja kalau aku menunggu dia disini, kan? Terus aku harus mewujudkan entah bagaimana caranya untuk meminta maaf padanya. Lagipula, kenapa Mafuyu marah padaku?
 
   
  +
Chiaki yang tergesa-gesa masuk ke kelas segera setelah bel berbunyi, melintasi diriku dan Mafuyu. Ia menyadari suasana berbahaya ini.
Aku duduk di bantalan empuk yang diletakkan di atas meja sambil berpikir bagaimana caranya meminta maaf. Dengan tidak sengaja aku menjatuhkan pick-ku ke lantai karena tanganku. Ini mungkin pick-nya Mafuyu. Sebelum aku mengambil kembali pick itu—bentuknya rada aneh.
 
   
  +
"Ada apa ini?" Ia menoleh padaku, lalu ke Mafuyu, "Kalian bertengkar lagi?"
Ngomong-ngomong, pick adalah plastik tipis yang berbentuk segitiga atau seperti onigiri. Bagaimanapun, picknya mafuyu berbentuk lingkaran di kedua sisinya.
 
   
  +
"Aku tidak pernah bertengkar dengan anak ini, jadi jangan pakai kata ''lagi''"
Aku menyentuh lingkaran plastik itu dengan jempol dan jari telunjukku, dan posisi jariku sekarang seperti memegang pick seperti biasanya. Biarpun begitu, aku belum pernah melihat pick seperti ini. Aku pernah lihat pick jari atau pick jempol yang melindungi jari-jari itu, tapi pick berbentuk lingkaran—
 
   
  +
Ucap Mafuyu sambil membuang mukanya.
"Jangan disentuh!"
 
Suara datang dari arah pintu, aku berada di tempat pick itu jatuh. Mafuyu mendorong pintu dengan pundaknya. Aku mengembalikan pick itu ke posisi semula, kemudian aku pergi menjauhi meja tersebut.
 
   
  +
Chiaki hampir ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menarik lengannya dan memohon agar jangan mengatakan apa-apa lagi.
"Urm, dengar...... Aku minta maaf."
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Aku menunduk dan melihat dia sedang menggenggam plastik kresek kecil warna putih dengan tangan kirinya……. Apa itu obat?
 
   
  +
Jangankan berbicara, bahkan Mafuyu sejak tadi tidak sekali pun menoleh ke arahku. Ia langsung bergegas keluar kelas setelah bel istirahat berbunyi.
"Apa kamu sakit?"
 
   
  +
"Ia marah ...."
Mafuyu kaget mendengar pertanyaanku, dan ia berkata, “Bukan apa-apa.” Kemudian ia menaruh plastik obatnya itu dibawah bantal. Jadi dia baru balik dari rumah sakit?
 
   
  +
"Hime-sama marah ...."
"Apa maumu?"
 
   
  +
Seluruh penghuni kelas bergumam penuh penyesalan, bersama dengan tatapan-tatapan mereka yang tertuju padaku. Kali ini memang benar-benar salahku, jadi tidak ada pilihan lagi bagiku selain berdiri dan keluar kelas.
Mafuyu mengatakannya dengan nada mengeluh, perilakunya seakan ingin mengusirku sesegera mungkin. Sangat menakutkan kalau dia benar-benar berperilaku seperti itu.
 
   
  +
Aku berjalan ke arah lapangan menuju ruang latihan di gedung musik tua. Tidak ada gembok yang terpasang di pintu, dan pintu itu pun dibiarkan sedikit terbuka. Diam-diam kuintip ke dalam ruangan, rupanya tidak ada siapa-siapa. Ada apa ini?
Tanpa basa basi aku mengatakannya, “Aku kesini untuk minta maaf padamu.” sambil memikirkan kalimat selanjutnya, Mafuyu berkata.
 
   
  +
Aku masuk ke dalam ruangan dan melihat gitar yang sudah tersambung pada ''amplifier''; sebuah ''pick'' tergeletak sembrono di meja. Sepertinya ada seseorang yang baru saja masuk kemudian langsung bergegas keluar dari ruangan ini. Itu berarti, harusnya tidak apa-apa kalau aku menunggunya di sini, 'kan? Aku pun tersadar kalau aku masih belum memikirkan cara untuk meminta maaf padanya. Kenapa Mafuyu sampai semarah itu padaku?
"Kenapa? Kenapa kau minta maaf? Katakan saja tentangku pada semua orang, aku tidak peduli."
 
   
  +
Aku duduk di alas empuk yang diletakkan di atas meja sambil berpikir bagaimana caranya meminta maaf. Tidak sengaja kujatuhkan ''pick'' tadi ke lantai saat mengibaskan tanganku. Mungkin itu ''pick'' milik Mafuyu. Aku pun menyadari sesuatu saat aku mengambilnya — bentuknya agak aneh.
“Hei, aku jelasin, jadi tolong dengar,” kataku sambil menekan emosi. “kemarin, Tetsurou—ngomong-ngomong dia ayahku—pergi mabuk-mabukan dan mendengar rumor dari beberapa kritikus lainnya. Dia bilang beberapa kritikus Amerika sudah menuliskan hal-hal buruk padamu. Bagaimanapun, dia tidak mengatakannya secara rinci, jadi—“
 
   
  +
Bicara soal itu, ''pick'' adalah sepotong plastik tipis yang berbentuk segitiga atau seperti 'onigiri'. Walau begitu, ''pick'' Mafuyu ini punya semacam cincin plastik yang menempel di kedua belah sisinya.
"Jadi karena itu kau minta maaf padaku!"
 
   
  +
Kucoba untuk menyelipkan jempol dan jari telunjukku pada cincin plastik tersebut, dan posisi jariku sekarang seperti sedang memegang pick pada umumnya. Biarpun begitu, belum pernah kulihat ''pick'' yang semacam ini. Aku pernah lihat ''pick'' khusus telunjuk atau ''pick'' khusus jempol yang aman untuk jari-jemari tersebut, tapi pick dengan dua cincin plastik.
Emosiku seakan langsung membakar wajahku.
 
   
"Jangan menyela perkataanku."
+
"Jangan sentuh!"
   
  +
Sebuah suara datang dari arah pintu, membuatku hampir menjatuhkan ''pick'' tersebut. Mafuyu mendorong pintu tersebut dengan pundaknya. Kukembalikan pick itu ke posisi semula kemudian menjauh dari meja.
“Apa, jadi kau kesini hanya untuk marah padaku?"
 
   
  +
"Anu, begini .... Aku minta maaf."
"Bukan seperti itu, ok?" aku menekan perkataanku lagi sambil menekan emosi semaksimal mungkin. "Oke, aku mengerti. Aku kesini meminta maaf atas nama para kritikus yang hanya menulis hal sampah."
 
   
  +
Aku menunduk dan melihatnya sedang menggenggam tas plastik kecil berwarna putih di tangan kirinya .... Apa itu tas obat?
Kebiasaanku berbicara kasar keluar, kedipan Mafuyu seakan kaget, termasuk ekspresinya mukanya yang juga terkejut
 
   
  +
"Apa kamu sedang tidak enak badan?"
"Tapi kau bukan kritikus, kan? Yang kritikus itu ayahmu.”
 
   
  +
Mafuyu kaget mendengar pertanyaanku, dan berkata, "Bukan apa-apa," ia lalu menaruh tas obat itu di bawah bantal. Apa ia baru kembali dari UKS?
"Aku termasuk."
 
  +
  +
"Kamu mau apa?"
  +
  +
Sambil berdesah, Mafuyu menanyakan itu padaku. Ini tidak seperti caranya yang biasa ia pakai untuk mengusirku. Justru lebih menakutkan jika ia bersikap seperti itu.
  +
  +
Tanpa basa basi kukatakan, "Aku ke sini untuk meminta maaf padamu," di saat aku hendak memikirkan kalimat selanjutnya, Mafuyu berkata,
  +
  +
"Kenapa? Kamu meminta maaf untuk apa? Ceritakan saja soal diriku ke semua orang! Aku sama sekali tidak peduli."
  +
  +
"Hei, biar aku jelaskan, jadi dengarkan aku dulu," kataku sambil menahan emosi. "Kemarin, Tetsurou, yang juga ayahku, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan bercerita soal gosip yang didengarnya dari para kritikus lain. Beliau bilang kalau ada beberapa kritikus di Amerika yang menulis hal-hal buruk tentangmu. Meski begitu, beliau tidak pernah mengatakan apa pun secara rinci, itu sebabnya—"
  +
  +
"Itu sebabnya kamu tidak usah meminta maaf padaku!"
  +
  +
Bisa kurasakan emosi yang seketika membakar wajahku.
  +
  +
"Berhenti menyela omongan orang lain!"
  +
  +
"Apa, jadi kamu ke sini untuk melampiaskan kekesalanmu padaku?"
  +
  +
"Bukan begitu ...." kutahan ucapanku sambil berusaha sebisa mungkin menjaga emosi. "Baiklah, aku mengerti. Aku ke sini untuk meminta maaf atas nama para kritikus yang selalu saja menulis omong kosong."
  +
  +
Kebiasaanku yang sering mengatakan omong kosong muncul kembali. Mafuyu mengedip-ngedipkan matanya karena kaget, yang kemudian diikuti dengan ekspresi terkejut.
  +
  +
"Tapi kamu bukan seorang kritikus, 'kan? Yang kutahu itu ayahmu."
  +
  +
"Aku termasuk di antaranya."
   
 
Mafuyu memiringkan kepalanya. Tatapannya penuh dengan kebingungan.
 
Mafuyu memiringkan kepalanya. Tatapannya penuh dengan kebingungan.
“Benar. Sekitar empat atau lima kali aku pernah menulis artikel atas nama Tetsurou, dan artikel itu terbit di majalah musik. Karena itu, aku beralasan untuk meminta maaf padamu, kan?
 
   
  +
"Ya, itu benar. Aku sudah menulis artikel mengatasnamakan Tetsurou hingga sekitar empat atau lima kali, dan artikel itu rupanya terbit di majalah musik. Itu sebabnya, aku harusnya wajib untuk meminta maaf padamu, 'kan?"
Mafuyu menggit bibirnya. Setelah itu, dia melihat lantai dan kepalanya bergetar.
 
  +
  +
Mafuyu lalu menggit bibirnya. Setelah itu, ia melihat lantai kemudian menggelengkan kepala.
  +
  +
"Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang mau kamu katakan. Kamu sebenarnya mau mengatakan apa?"
  +
  +
Tiba-tiba ia berkata dengan suara yang agak bergetar.
  +
  +
"Kenapa? Kenapa kamu meminta maaf padaku? Padahal aku sudah sering berlaku kejam padamu."
  +
  +
"Jadi kamu sebenarnya sadar, ya?"
  +
  +
"Dasar bodoh."
  +
  +
Mafuyu mengangkat kepalanya. Matanya dipenuhi warna suram layaknya langit yang mendung — persis seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Terasa lembab seakan sebentar lagi turun hujan.
  +
  +
"Aku tidak peduli dengan hal-hal kejam itu. Terserah bagaimana mereka menulis tentangku atau apa yang mereka tulis tentangku, aku tidak peduli. Aku tidak seperti itu .... Tidak seperti itu ...."
  +
  +
Samar-samar kudengar suara Mafuyu yang beriak dari kejauhan, dan perlahan terasa sulit untukku bernapas. Aku jadi berpikir — ada di mana sebenarnya dirinya itu? Gadis yang susah dipahami ini, dengan aura ungu suram yang mengelilinginya, harusnya ia berada tepat di depanku — tapi kenyataannya, seberapa jauh jarakku dengan dirinya? Kenapa ... suara dan tanganku tidak mampu menggapainya?
  +
  +
"Kenapa kamu peduli denganku? Ini sama seperti yang dulu. Kenapa kamu menolongku? Kumohon, tidak usah pedulikan aku lagi. Karena aku pun akan segera menghilang."
   
  +
Mafuyu menyandarkan gitarnya lalu duduk di atas meja, ia rangkul lututnya hingga menyentuh dada dan membenamkan wajahnya pada kedua lengan. Kesuraman dari derasnya hujan terasa di sini, namun hujan tersebut hanya turun pada dirinya.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Jadi apa maumu?
 
Dia mengatakannya dengan suara yang agak bergetar.
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
"Kenapa? Kenapa kau meminta maaf padaku? Sudah cukup aku menerima perilakumu yang buruk."
 
   
  +
Aku berjalan keluar dari ruangan, tapi aku masih bisa mendengar suara samar dari hujan yang masih turun. Meski begitu, langit pada bulan Mei ini justru cerah dengan satu atau dua awan di atas gedung.
"Jadi kamu sudah menyadarinya?"
 
   
  +
Aku berpikir dalam benakku — aku pasti melupakan sesuatu; aku pasti melewatkan sesuatu yang penting tentang Mafuyu. Meski begitu, aku tidak tahu apa itu. Hingga saat ini, aku merasa kalau aku mulai memahami sebuah hal, namun perasaan tersebut ditelan semua oleh awan mendung khayalan yang berada di dekat gadis itu. Kupaksa tubuhku untuk bergerak, serasa basah kuyup, aku pun berjalan kembali menuju kelas.
"Bodoh."
 
   
Mafuyu mengangkat kepalanya. Matanya dipenuhi warna langit yang pudar—seperti saat pertama aku bertemu dengannya, perasaan basah, seakan sebentar lagi akan hujan.
 
   
  +
<noinclude>
"Aku tidak peduli dengan benda menjijikan itu. Tidak peduli bagaimana mereka menulis tentangku atau apa yang mereka tulis tentangku, aku tidak peduli. Selain itu, aku bukan….. aku bukan….”
 
Samar-samar aku mendengar suara Mafuyu yang berombak dari kejauhan, dan lama kelamaan aku sadar kalau dia sulit bernapas. Aku jadi penasaran—sebenarnya dia itu darimana? Perempuan ini susah dibayangkan, aura ungu kusam yang menyelimuti dirinya, harusnya dia berada di depanku—tapi kenyataannya, seberapa jauh aku dengannya? Kenapa….. suara dan tanganku tidak bisa meraihnya?
 
   
  +
===Catatan Penerjemah===
Mafuyu menyandarkan gitarnya lalu duduk di meja, memeluk lututnya yang menyentuh dada dan mengubur dalam wajahnya. Kesuraman saat hujan turun, tapi mungkin hanya dia yang merasakannya.
 
   
  +
<references/>
Aku jalan keluar menuju kelas, tapi samar-samar aku masih bisa mendengar suara hujan yang turun. Bagaimanapun, langit pada bulan Maret tidak bertanggung jawab untuk cerah, dengan satu atau dua awan diatas yang menggarisi bangunan.
 
   
  +
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
Aku berpikir sendiri—aku pasti melupakan sesuatu; aku pasti melupakan sesuatu yang sangat penting tentang Mafuyu. Bagaimanapun, aku masih belum tau apa itu. sampai sekarang, aku baru mengerti sesuatu, tapi perasaan itu ditelan semua oleh awan hujan di imajinasinya. Aku menarik badanku, serasa basah kuyup, lalu jalan kembali ke kelas.
 
  +
|-
  +
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 9|Bab 9]]
  +
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
  +
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 11|Bab 11]]
  +
|-
  +
|}
  +
</noinclude>

Revision as of 06:19, 13 October 2016

Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

Malamnya, setelah selesai makan malam seorang diri, aku mulai berlatih bas. Di tengah latihan, kudengar suara nyaring dari benda-benda yang berjatuhan dari arah pintu utama.

"Oh .... Sebuah anugerah tiada tara bisa mati terkubur dalam tumpukan mahakarya musik dari berbagai zaman ...."

Di dekat pintu, Tetsurou yang mengenakan jas — sebuah pemandangan langka — sedang tertimbung oleh tumpukan CD yang berjatuhan. Beliau menatap langit-langit sambil bergumam sendiri.

"Sebelum kamu mati, tinggalkan dulu uang yang cukup supaya aku bisa tenang menjalani hidup."

Bicara soal itu, seingatku, aku sudah merapikan CD-CD ini, 'kan? Sesering apapun aku merapikannya, CD itu pasti akan ditumpuk sampai setinggi-tingginya — percuma kalau ditegur. Aku mengeluh sambil menggali tumpukan CD yang menimpa Tetsurou.

"Kalau aku mati, kamu harus menaruh partitur <Sang Burung Api> gubahan Stravinsky di dalam petiku. Jangan mainkan <Misa Massal pada D minor> atau semacamnya, mainkan saja <Passion Santo Matius>![1] Setelah itu aku akan menimpa catatan yang dipegang Yesus Kristus lalu bangkit kembali dalam dua hari."

"Itu tidak perlu. Pergi saja ke neraka dan jangan kembali! Bukankah sudah kuberi tahu kalau mau minum alkohol harus bilang dulu padaku?"

"Ah, hmm. Sudah lama aku tidak bertemu teman sekelasku dari sekolah musik .... Hoek ...."

Mahakarya musik dari berbagai zaman, bersama dengan satu-satunya jas mahal milik Tetsurou, menjadi kotor karena cairan berbau asam. Orang tua ini sudah hampir mati karena mabuk.

"Ahhhh. Ini harus dicuci."

Setelah muntah di toilet, Tetsurou kembali dengan wajah pucat. Bahkan setelah melihat betapa joroknya jas yang beliau kotori itu, beliau beralasan kalau itu bukan karena beliau. Hanya ada satu alasan kenapa Tetsurou berpakaian serapi ini. Yaitu konser. Mungkin karena bawaan dari pekerjaannya, makanya beliau sering menghadiri sebuah konser, meski begitu, beliau hanya punya satu setel jas. Harus bagaimana aku menghadapi kelakuannya itu? Yang penting, aku harus memberinya secangkir jus lemon hangat dulu biar beliau tidak mabuk lagi.

"Uuuuh, aku hidup kembali. Aku memang pria yang beruntung. Istriku pergi meninggalkanku, tapi Tuhan memberikanku seorang anak yang sangat peduli padaku."

Kenapa ibuku tidak berusaha keras memperjuangkan hak asuhku?

"Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan wanita. Lima teman sekelasku tidak memiliki pasangan, dan tiga di antaranya sudah bercerai!"

Tetsurou tiba-tiba dengan liriknya sendiri, menyanyikan aria <Sang Wanita yang Lincah> dari opera Rigoletto. Kututpi wajahnya dengan kantong sampah supaya diam. Harusnya beliau tahu kalau kita ini bertetangga dan jangan membuat keributan!

"Sama sepertimu yang mencoba berurusan dengan gadis itu, 'kan? Kamu sudah menyerah berlatih gitar atau apalah namanya itu, 'kan?"

"Aku masih memainkannya! Dan berhentilah memperlakukanku seperti orang bodoh!" aku menunjuk basku yang tergeletak di sofa.

"Tapi permainanmu payah, 'kan?"

"Yah, aku minta maaf kalau soal itu!" berarti suaranya terdengar sampai keluar, ya? Untuk kedepannya, kurasa aku tidak akan memakai amplifier lagi saat berlatih di rumah.

"Wah, kok bisa? Apa gadis itu sebegitu hebatnya? Ah, Ebisawa Mafuyu, kan? Tempo hari kamu sempat menyinggungya. Gadis itu lumayan juga. Tahu tidak? Ada semacam pembicaraan di komunitas kami .... Coba perhatikan, pada sampul depan musisi perempuan, foto yang digunakan biasanya foto yang diambil dari samping — terutama pianis. Kalau ia cukup manis, maka foto wajahnya sedikit dimiringkan, dan kalau ia menawan, foto wajahnya diambil langsung dari depan. Aku sudah menjalani profesi ini selama 15 tahun, dan Mafuyu adalah perempuan pertama yang kuketahui difoto dari bawah — eh? Kenapa, ya, Nao-chan? Kenapa harus sampai difoto dari bawah?

"Berisik."

Kusimburkan segelas air ke wajah Tetsurou

"Kamu ini kenapa .... Belakangan ini sikap Nao-chan dingin sekali. Jangan-jangan kamu membenciku, ya?"

"Hei, Tetsurou ...."

"Hmm?"

"Apa kamu benci dengan yang namanya PPN"

"Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Jawab saja."

"Hmm, kalau ditanya benci atau tidak .... Kurasa hal itu tidak perlu ada dalam hidupku, jadi mungkin jawabannya adalah benci. Tapi aku sejak dari dulu sudah membayar PPN, jadi aku sudah lupa rasa bencinya itu."

"Hmm, jujur, begitulah perasaanku yang sebenarnya padamu."

"... apa aku boleh menangis?"

"Kalau mau menangis, di luar saja, sana!"

Tetsurou mengapit botol wiskinya di ketiaknya dan tampak seperti memang hendak keluar. Jika melihat betapa beliau bisa mengganggu tetangga yang lain, aku harus segera menghentikannya. Semoga beliau sadar dengan umurnya dan cepat tidur!

"Namun rasanya kamu tidak mungkin punya peluang pada Ebisawa Mafuyu. Soalnya .... Yah, kamu tahu sendiri, kamu ini anak seorang kritikus musik, dan ia juga tahu soal itu. Sebenarnya tadi aku baru kembali dari konser Ebichiri yang kebetulan diadakan di Jepang. Dan sebenarnya aku tadi juga sempat mengajaknya minum, tapi ia bilang kalau ia akan tampil secara langsung di TV, jadi sudah bisa ditebak kalau ia pasti menolaknya. Biarpun begitu, kami sempat saling mengobrol saat acara jamuan makan malam. Sepertinya untuk sebulan ini ia akan menetap di Jepang, setelah itu ia akan pergi jauh saat bulan Juni nanti. Mungkin ia akan balik ke Amerika."

"Sudah kubilang, kamu itu salah paham .... Eh?"

Ebichiri — ayah Mafuyu — berada di Jepang?

Dan ia akan kembali ke Amerika bulan Juni nanti. Kalau begitu, Juni yang Mafuyu katakan waktu itu ..., maksudnya itu?

"... lalu, soal Mafuyu? Apa ada yang kamu dengar tentangnya?"

"Hah?"

"Bukan apa-apa. Jadi ..., apa nanti ia akan ikut balik ke Amerika?"

Sekitar tahun-tahun terakhir ini, Mafuyu mungkin bepergian bersama ayahnya ke negara-negara di Eropa dan Amerika untuk tur internasional. Ia tidak perlu melakukan hal percuma seperti pindah ke sekolah kami hanya untuk satu bulan, 'kan?

"Ia mungkin tidak akan bermain piano lagi. Aku baru saja mendengar mengenai hal itu tadi, tapi tampaknya para kritikus sudah menulis ulasan-ulasan kejam tentang dirinya. Ia bahkan sampai pernah mengikuti kompetisi yang tidak ada hubungannya dengan Ebichiri, dan memenangkannya. Meski begitu, ia tetap saja dihubung-hubungkan dengan nama besar ayahnya.

"Ah ...."

Aku jadi ingat kejadian saat Mafuyu menatapku penuh dengan kebencian tempo hari. Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu. Mereka selalu saja menulis omong kosong, aku yakin kalau ia mengatakan itu.

"Gaya permainannya seakan mengundang kritikan itu sendiri. Contohnya, sikapnya yang tidak bersemangat; permainannya yang terlalu tenang; penyampaian terhadap bagian-bagian dalam sebuah komposisi yang buruk; musik yang terasa bagaikan serangga yang merayap; atau gaya bermain yang terlalu bergantung pada teknik .... Bahkan aku sendiri bisa langsung memikirkan kritikan kejam sewaktu ia bermain. Dan kalau aku mau, aku mungkin bisa menulis ulasan tentang permainannya hingga tiga puluh halaman. Tapi akan terasa bodoh kalau aku sampai melakukannya — ini bukan soal memainkan komposisi dengan bagus tapi soal memainkannya dengan cemerlang."

"Jadi itu alasan Mafuyu tidak bermain piano lagi?"

"Entahlah. Para kritikus lain tampaknya juga menulis tentang kehidupan pribadinya, meski itu tidak ada hubungannya dengan musik, yah, mungkin karena ia anak Ebichiri. Tahu sendiri, kalau ibunya itu orang Hungaria dan mereka sudah bercerai."

"Ah .... Jadi ia memang anak blasteran, toh."

Mendadak aku teringat kejadian saat aku memperbaiki tape recorder-nya dulu. Hongaria.

"Ah— jadi kamu tidak tahu? Yah, sebaiknya itu tidak usah dibahas lagi. Aku merasa seperti paparazzi yang sedang memburu berita."

Tetsurou membuka tutup botol wiskinya dan langsung meminumnya. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menahannya.

Saat aku menjalani kehidupan santaiku sebagai murid SMP di Jepang, Mafuyu sudah melanglang buana ke mancanegara. Di bawah tatapan keingintahuan dan benci dari sekelilingnya, ia menjalani hidup dengan rasa takut yang menggentayangi ketika ia memainkan piano. Kehidupan macam apa yang dialaminya itu? Aku tidak sanggup membayangkannya.

Meski begitu, aku pun kembali ke permasalahan utama. Kalau ia memang sudah tidak ingin lagi bermain piano, kenapa kini ia bermain gitar?

Keesokan harinya, saat aku berjalan menuju kelas, kudengar teman-temanku sedang berbincang soal sebuah acara di TV.

"Acaranya ditayangkan langsung?"

"Ya, sepertinya ia sudah kembali ke Jepang."

"Mereka membahas apa saja?"

"Aku bingung dengan yang mereka perbincangkan. Yah, walau tidak sebingung saat aku mendengarkan musik klasik, sih."

"Apa mereka berdua ada kemiripan?"

"Tidak sedikit pun. Hime-sama lebih mirip ibunya?"

Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka, aku jadi tahu kalau mereka sedang membicarakan Ebichiri. Sekilas aku melirik ke kursi Mafuyu yang kosong.

"Pembawa acaranya juga menanyakan soal hime-sama."

"Hubungan antara ayah dan anak itu tidak terlalu harmonis, 'kan?"

Sejenak aku berpikir — mereka tahu kalau Mafuyu sebentar lagi akan datang, tapi kenapa mereka masih bergosip tentang dirinya dengan suara keras?

"Nao, ayahmu itu dulunya teman sekelas Ebichiri, 'kan?"

"... Kamu tahu dari mana?"

"Maki-chan yang bilang! Beliau juga bilang, saat Ebichiri masih mengajar dulu, ayahmu selalu menggoda gadis-gadis."

Maki-sensei .... Semoga beliau tidak selalu berlebihan sewaktu bercerita pada mereka.

"Eh, jadi Nao tidak tahu tentang hime-sama sebelumnya?"

"Tapi dari yang kulihat kemarin, Ebichiri selalu mengalihkan topik setiap kali pembawa acara bertanya tentang anaknya. Apa kamu tahu alasannya?"

"Eng, begini ...."

Kulepaskan basku dari bahu lalu kurebahkan ke meja. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun berkata,

"Berhenti menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, paham?"

Seluruh kelas melihat ke arahku dengan tatapan kaget. Aku berpura-pura merapikan bukuku, dan lanjut berkata,

"Jangan ganggu dirinya lagi. Ia itu bagaikan anak kucing liar yang sedang terluka — kalau kalian mendekat, ia mungkin akan langsung mencakar; tapi kalau kalian membiarkannya sendiri, ia tidak akan mengganggu. Gadis itu sudah punya sejumlah masalah sewaktu tur internasional di Amerika, itu sebabnya—"

Saat aku menjelaskannya, semua perhatian murid-murid di sekitarku langsung tertuju padaku. Bisa kurasakan sensasi menusuk pada belakang pundakku. Aku membalikkan badan, dan melihat Mafuyu sudah berdiri di depan pintu kelas. Rona merah tampak dari balik kulit cerahnya. Apa itu bawaan lahir dari ibunya yang merupakan orang Hongaria? Mata besarnya menatap ke arahku — sepertinya itu bukanlah tatapan marah, tapi lebih seperti terkejut.

"... ah, begini, aku tidak ...."

Aku tidak yakin kalau aku kini sedang merangkai kata untuk membuat alasan.

"Kamu memang ahli dalam menyebarkan berita, ya."

Gumam dirinya sambil berjalan ke arah kursinya. Sekelilingku pun sudah berpencar ke segala arah.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Tolong jangan bicara padaku."

Suara Mafuyu bagaikan sepasang bilah gunting yang memotong jarak di antara kami berdua. Aku hanya bisa terdiam. Mereka yang sudah tidak di sekitarku tadi mengedip-ngedipkan mata tanda prihatin.

Chiaki yang tergesa-gesa masuk ke kelas segera setelah bel berbunyi, melintasi diriku dan Mafuyu. Ia menyadari suasana berbahaya ini.

"Ada apa ini?" Ia menoleh padaku, lalu ke Mafuyu, "Kalian bertengkar lagi?"

"Aku tidak pernah bertengkar dengan anak ini, jadi jangan pakai kata lagi"

Ucap Mafuyu sambil membuang mukanya.

Chiaki hampir ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menarik lengannya dan memohon agar jangan mengatakan apa-apa lagi.

Jangankan berbicara, bahkan Mafuyu sejak tadi tidak sekali pun menoleh ke arahku. Ia langsung bergegas keluar kelas setelah bel istirahat berbunyi.

"Ia marah ...."

"Hime-sama marah ...."

Seluruh penghuni kelas bergumam penuh penyesalan, bersama dengan tatapan-tatapan mereka yang tertuju padaku. Kali ini memang benar-benar salahku, jadi tidak ada pilihan lagi bagiku selain berdiri dan keluar kelas.

Aku berjalan ke arah lapangan menuju ruang latihan di gedung musik tua. Tidak ada gembok yang terpasang di pintu, dan pintu itu pun dibiarkan sedikit terbuka. Diam-diam kuintip ke dalam ruangan, rupanya tidak ada siapa-siapa. Ada apa ini?

Aku masuk ke dalam ruangan dan melihat gitar yang sudah tersambung pada amplifier; sebuah pick tergeletak sembrono di meja. Sepertinya ada seseorang yang baru saja masuk kemudian langsung bergegas keluar dari ruangan ini. Itu berarti, harusnya tidak apa-apa kalau aku menunggunya di sini, 'kan? Aku pun tersadar kalau aku masih belum memikirkan cara untuk meminta maaf padanya. Kenapa Mafuyu sampai semarah itu padaku?

Aku duduk di alas empuk yang diletakkan di atas meja sambil berpikir bagaimana caranya meminta maaf. Tidak sengaja kujatuhkan pick tadi ke lantai saat mengibaskan tanganku. Mungkin itu pick milik Mafuyu. Aku pun menyadari sesuatu saat aku mengambilnya — bentuknya agak aneh.

Bicara soal itu, pick adalah sepotong plastik tipis yang berbentuk segitiga atau seperti 'onigiri'. Walau begitu, pick Mafuyu ini punya semacam cincin plastik yang menempel di kedua belah sisinya.

Kucoba untuk menyelipkan jempol dan jari telunjukku pada cincin plastik tersebut, dan posisi jariku sekarang seperti sedang memegang pick pada umumnya. Biarpun begitu, belum pernah kulihat pick yang semacam ini. Aku pernah lihat pick khusus telunjuk atau pick khusus jempol yang aman untuk jari-jemari tersebut, tapi pick dengan dua cincin plastik.

"Jangan sentuh!"

Sebuah suara datang dari arah pintu, membuatku hampir menjatuhkan pick tersebut. Mafuyu mendorong pintu tersebut dengan pundaknya. Kukembalikan pick itu ke posisi semula kemudian menjauh dari meja.

"Anu, begini .... Aku minta maaf."

Aku menunduk dan melihatnya sedang menggenggam tas plastik kecil berwarna putih di tangan kirinya .... Apa itu tas obat?

"Apa kamu sedang tidak enak badan?"

Mafuyu kaget mendengar pertanyaanku, dan berkata, "Bukan apa-apa," ia lalu menaruh tas obat itu di bawah bantal. Apa ia baru kembali dari UKS?

"Kamu mau apa?"

Sambil berdesah, Mafuyu menanyakan itu padaku. Ini tidak seperti caranya yang biasa ia pakai untuk mengusirku. Justru lebih menakutkan jika ia bersikap seperti itu.

Tanpa basa basi kukatakan, "Aku ke sini untuk meminta maaf padamu," di saat aku hendak memikirkan kalimat selanjutnya, Mafuyu berkata,

"Kenapa? Kamu meminta maaf untuk apa? Ceritakan saja soal diriku ke semua orang! Aku sama sekali tidak peduli."

"Hei, biar aku jelaskan, jadi dengarkan aku dulu," kataku sambil menahan emosi. "Kemarin, Tetsurou, yang juga ayahku, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan bercerita soal gosip yang didengarnya dari para kritikus lain. Beliau bilang kalau ada beberapa kritikus di Amerika yang menulis hal-hal buruk tentangmu. Meski begitu, beliau tidak pernah mengatakan apa pun secara rinci, itu sebabnya—"

"Itu sebabnya kamu tidak usah meminta maaf padaku!"

Bisa kurasakan emosi yang seketika membakar wajahku.

"Berhenti menyela omongan orang lain!"

"Apa, jadi kamu ke sini untuk melampiaskan kekesalanmu padaku?"

"Bukan begitu ...." kutahan ucapanku sambil berusaha sebisa mungkin menjaga emosi. "Baiklah, aku mengerti. Aku ke sini untuk meminta maaf atas nama para kritikus yang selalu saja menulis omong kosong."

Kebiasaanku yang sering mengatakan omong kosong muncul kembali. Mafuyu mengedip-ngedipkan matanya karena kaget, yang kemudian diikuti dengan ekspresi terkejut.

"Tapi kamu bukan seorang kritikus, 'kan? Yang kutahu itu ayahmu."

"Aku termasuk di antaranya."

Mafuyu memiringkan kepalanya. Tatapannya penuh dengan kebingungan.

"Ya, itu benar. Aku sudah menulis artikel mengatasnamakan Tetsurou hingga sekitar empat atau lima kali, dan artikel itu rupanya terbit di majalah musik. Itu sebabnya, aku harusnya wajib untuk meminta maaf padamu, 'kan?"

Mafuyu lalu menggit bibirnya. Setelah itu, ia melihat lantai kemudian menggelengkan kepala.

"Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang mau kamu katakan. Kamu sebenarnya mau mengatakan apa?"

Tiba-tiba ia berkata dengan suara yang agak bergetar.

"Kenapa? Kenapa kamu meminta maaf padaku? Padahal aku sudah sering berlaku kejam padamu."

"Jadi kamu sebenarnya sadar, ya?"

"Dasar bodoh."

Mafuyu mengangkat kepalanya. Matanya dipenuhi warna suram layaknya langit yang mendung — persis seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Terasa lembab seakan sebentar lagi turun hujan.

"Aku tidak peduli dengan hal-hal kejam itu. Terserah bagaimana mereka menulis tentangku atau apa yang mereka tulis tentangku, aku tidak peduli. Aku tidak seperti itu .... Tidak seperti itu ...."

Samar-samar kudengar suara Mafuyu yang beriak dari kejauhan, dan perlahan terasa sulit untukku bernapas. Aku jadi berpikir — ada di mana sebenarnya dirinya itu? Gadis yang susah dipahami ini, dengan aura ungu suram yang mengelilinginya, harusnya ia berada tepat di depanku — tapi kenyataannya, seberapa jauh jarakku dengan dirinya? Kenapa ... suara dan tanganku tidak mampu menggapainya?

"Kenapa kamu peduli denganku? Ini sama seperti yang dulu. Kenapa kamu menolongku? Kumohon, tidak usah pedulikan aku lagi. Karena aku pun akan segera menghilang."

Mafuyu menyandarkan gitarnya lalu duduk di atas meja, ia rangkul lututnya hingga menyentuh dada dan membenamkan wajahnya pada kedua lengan. Kesuraman dari derasnya hujan terasa di sini, namun hujan tersebut hanya turun pada dirinya.

Aku berjalan keluar dari ruangan, tapi aku masih bisa mendengar suara samar dari hujan yang masih turun. Meski begitu, langit pada bulan Mei ini justru cerah dengan satu atau dua awan di atas gedung.

Aku berpikir dalam benakku — aku pasti melupakan sesuatu; aku pasti melewatkan sesuatu yang penting tentang Mafuyu. Meski begitu, aku tidak tahu apa itu. Hingga saat ini, aku merasa kalau aku mulai memahami sebuah hal, namun perasaan tersebut ditelan semua oleh awan mendung khayalan yang berada di dekat gadis itu. Kupaksa tubuhku untuk bergerak, serasa basah kuyup, aku pun berjalan kembali menuju kelas.



Catatan Penerjemah

  1. Passion adalah suatu komposisi musik yang disusun untuk memperingati penderitaan dan kematian Kristus berdasarkan keempat Injil.
Mundur ke Bab 9 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 11