Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 5"
m |
m |
||
Line 595: | Line 595: | ||
Mungkin karena Yuigahama sudah memutuskannya sebelumnya, dia agak ragu saat dia berkata. "Ha-hari ini juga aku tidak bisa... Aku harus ikut pertemuan untuk pertunjukkannya..." |
Mungkin karena Yuigahama sudah memutuskannya sebelumnya, dia agak ragu saat dia berkata. "Ha-hari ini juga aku tidak bisa... Aku harus ikut pertemuan untuk pertunjukkannya..." |
||
− | "Apa? Kamu tidak ikut, Yui? Ayooolahhǃ" (Terjemahanː ''Hei, kalau kamu tidak ikut, Hayama juga tidak akan ikut, kan? |
+ | "Apa? Kamu tidak ikut, Yui? Ayooolahhǃ" (Terjemahanː ''Hei, kalau kamu tidak ikut, Hayama juga tidak akan ikut, kan? Ayolahǃ'') |
Woaaah, reaksi yang ini tidak sama dengan yang sebelumnya, kan? Terang-terangan sekali, ya? Kamu agak terlalu terang-terangan seperti salah satu orang itu, tahu tidak? |
Woaaah, reaksi yang ini tidak sama dengan yang sebelumnya, kan? Terang-terangan sekali, ya? Kamu agak terlalu terang-terangan seperti salah satu orang itu, tahu tidak? |
Revision as of 14:52, 28 August 2024
Dengan Riang, Shiromeguri Meguri Membuat Semuanya Bekerja Keras
5-1
Apa itu sesuatu yang tidak akan pernah habis, meskipun kamu terus melakukannya?
Kerjaan.
Pemikiran seperti itu bertengger di dalam otakku selagi aku menghadap komputer dengan tatapan hampa.
Bahkan menuliskan notulensi sudah menjadi pekerjaanku sekarang. Kenapa itu bisa terjadi? Aku berani bersumpah bahwa kepala bagian Dokumentasi, anak kelas tiga, yang seharusnya mengerjakan itu.
"Dokumentasi, kalian masih belum menyerahkan notulensi minggu lalu." Semua itu bermula dengan satu kalimat itu dari Ibu Wakil Ketua Komite.
Siapa yang bertanggung jawab atas notulennya? Absen ya? Jadi siapa selanjutnya? Mereka juga tidak hadir. Baru siapa selanjutnya? Selanjutnya? Selanjutnya...
Selanjutnya itu aku.
Ketika aku mengatakan bahwa aku akan mengerjakannya, aku mendengus 'fuhi'[1].
Tentu saja aku tidak akan ingat isi rapat minggu lalu. Setengah dari notulensi ini isinya karangan, untaian kata-kata abstrak yang terlihat cocokː perkembangan acara berjalan baik, lihat lampiran laporan perkembangan, melakukan penyesuaian, berbagai hal sedang direncanakan dan sebagainya aku isi terus. Tidak masalah. Ketua yang akan bertanggung jawab. Itu fungsi ketua.
Aku mengakhirinya ketika aku rasa sudah cukup baik dan meneguk teh yang kutuang untukku sendiri.
Ruangan ini lebih senyap dibanding biasanya, jadi banyak pekerjaan yang bisa kuselesaikan, pikirku. Melirik ke sekeliling ruangan konferensi, ada kurang dari dua puluh orang yang bekerja sepertiku. Lima darinya berasal dari OSIS. Seharusnya ada dua anak dari setiap kelas yang bergabung ke komite budaya, tapi pada saat ini, bahkan tidak ada setengahnya disini.
Orang yang paling agresif mengerjakan pekerjaannya adalah Yukinoshita. Mungkin karena Haruno tidak ada disini hari ini, dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan tenang. Dia terlihat bekerja lebih banyak dan lebih lama dibanding sebelumnya. Mungkin karena persaingannya dengan Haruno.
Dan juga jumlah tugas yang ada semakin meningkat.
Pasti kedatangan kelompok voluntir Haruno yang memicu kemunculan kelompok-kelompok baru ini, yang berarti kami kebanjiran tugas penyesuaian untuk dilakukan.
Kami tidak akan sanggup mengerjakan itu semua dengan jumlah kami yang terus berkurang jika bukan karena usaha dari para anggota OSIS, talenta dari Yukinoshita dan bantuan Haruno. Dia kadang-kadang muncul kemari untuk mengerjakan beberapa hal selagi dia disini untuk berlatih dengan kelompok voluntirnya. Entah bagaimana, kami masih bisa bertahan.
Saat aku beristirahat, aku mengamati bagaimana keadaan yang lain dan menemukan seseorang yang juga sedang beristirahat.
Orang itu Meguri-senpai. Ketika matanya bertemu dengan mataku, dia berusaha untuk berbicara denganku. “Uh, um…” Kelihatannya dia sedang mencoba untuk mengingat namaku. Aku merasa dia akan bertanya padaku dengan riang, Maaf, siapa namamu lagi? Dan itu akan membuat diriku sedih, jadi aku memutuskan untuk mulai bicara terlebih dulu.
“Terima kasih atas kerja kerasmu.”
“Ya, kamu juga.” Meguri tersenyum. Aku dapat melihat sentuhan kelelahan di dalam ekspresinya. Jika ini terus dibiarkan, beban pada setiap orang akan meningkat. Ya, kamu bisa bilang mau bagaimana lagi, dan ya, kamu benar.
“Jadi…,” tuturku, “jumlah kita semakin berkurang ya?”
“Ya…kelihatannya mereka sibuk dengan yang lain.” Ruangan konferensi ini sangat sepi, sampai terasa lebih luas dari yang seharusnya. "Ta-tapi aku yakin akan makin banyak orang yang datang besokǃ" kata Meguri. Itu mungkin tidak akan terjadi.
Malah, semakin lama akan semakin banyak orang yang pergi. Setelah mereka sadar bahwa jika mereka tidak datang juga tidak ada masalah, jumlah kehadiran akan terus menurun pesat.
Ada sesuatu yang dinamakan "teori jendela pecah."
Katakan ada suatu jendela yang pecah pada bangunan di suatu kota. Jika kamu membiarkannya begitu saja, itu akan memicu rasa apatis, dan rasa apatis itu akan mengikis nilai moral kita, dan meningkatkan kriminalitas. Teori sebab musabab ini dinamakan “teori jendela pecah.”
Pada dasarnya, manusia itu tidak tegas pada dirinya sendiri.
Tidak semua anggota komite budaya bergabung secara sukarela. Beberapa, seperti aku, dipaksa untuk bergabung ke dalamnya. Tapi mereka tetap akan mengerjakan tugas mereka karena mereka percaya bahwa orang lain juga bekerja keras, dan hati nurani mereka akan memicu mereka untuk terus bekerja. Jika kamu menghilangkan persepsi atau dorongan yang mencegah mereka bermalas-malasan, semuanya akan runtuh. Itu sudah jelas.
Akan lebih mudah untuk mencari alasan untuk tidak mencoba dibanding untuk mencoba. Aku yakin semua orang pernah merasakannya, entah saat belajar atau saat berdiet. Kamu akan memakai alasan cuaca lah, suhu lah, suasana hatimu lah— seribu satu alasan dicari untuk tidak melakukannya.
Di suatu titik, kita tidak akan bisa melakukannya lagi. Meguri pasti juga memahaminya. Tapi tidak ada orang yang tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana untuk keluar dari situasi ini. Ketua komitenya sendiri juga tidak hadir, dan wakil ketuanya teramat bertalenta, dia sangat amat bisa mengerjakan pekerjaan orang-orang yang tidak hadir.
Meguri dan aku sama-sama menyesap teh kami dengan hening. Aku menikmati momen damai ini bersamanya (tentu saja, tanpa berbicara), tapi kami tidak bisa beristirahat lama. Seiring waktu mendekati festival, aktivitas semakin meningkat, dan peningkatan aktivitas itu menambah lebih banyak pekerjaan.
Sekarang juga sudah ada tok, tok pada pintu ruangan konferensi.
Omong-omong, aku dengar bahwa dun du du duuun dari "Fate" karya Beethoven itu adalah suara takdir yang sedang mengetok pintu. Jika itu benar, takdir itu punya tata krama yang baik.
Aku rasa orang yang sedang mengetok pintu saat ini akan membawa lebih banyak pekerjaan. Artinya, takdir sama dengan pekerjaan, dan diriku, dalam usaha untuk hidup tanpa bekerja, adalah dirinya yang sedang berusaha melawan takdir. Aku rasa mereka harus mengambil kisah hidupku menjadi suatu game dengan genre "RPG - Bertarung Melawan Takdir untuk Bekerja". Aku harap aku bisa memakai royalti darinya untuk menghidupi diriku tanpa harus bekerja.
“Masuk,” seru Meguri, karena tidak ada yang membalasnya.
Seseorang melangkah masuk, sembari berkata, "Permisi." Orang yang mengetuk pintu surga[2] tersebut adalah Hayama Hayato.
5-2
“Aku datang untuk mengumpulkan permohonan voluntirku…,” kata Hayama pada Yukinoshita ketika dia melihatnya.
“Permohonan di sebelah kanan, di belakang,” sahutnya, sembari jemarinya terus mengetik. Dia akan mendapat nilai nol kalau melayani pelanggan seperti itu, tapi, yah, ini Yukinoshita, jadi sudah biasa.
Sepertinya Hayama memahaminya dengan cukup baik, karena dia pergi ke bagian permohonan dengan ucapan "Terima kasih." yang lancar.
Sekarang Hayama sudah selesai melakukan tugasnya, tapi anehnya, dia masih disini. Dia malah beranjak ke arahku. "...Jumlah kalian semakin sedikit ya?"
Oh, itu. “Ya, begitulah.”
“Hmm…” Dia mengusap-usap rambut di tengkuknya sambil berpikir.
Hei, kalau rambutmu itu menganggumu, potong saja. Tapi seperti biasa, setiapkali dia berada di dekatku, aku anehnya merasa jengkel...
"Jadi... apa yang kamu perlukan?" tanyaku, karena tidak tahan lagi, dan dia tersenyum lebar padaku.
“Oh, tidak ada apa-apa. Aku cuma menunggu berkasku diperiksa. Dia bilang dia akan melihatnya apakah ada yang kurang atau tidak."
Itu saja? Jadi kenapa dia berdiri persis di sampingku? heranku, tapi aku lalu sadar bahwa dia bawaannya seperti itu. Aku tidak tahu mengapa, tapi tipe-tipe seperti ini akan membentuk kelompok meskipun mereka tidak perlu melakukannya. Kurasa ketika mereka melihat wajah yang mereka kenal, mereka tidak sanggup menahan diri untuk tidak menghampirinya. Mungkin akan lebih kurang menjengkelkan bagiku untuk menganggapnya seperti kebiasaan seekor anak anjing.
Sementara itu, kami mendapatkan tamu lagi, dan lagi.
Bukan hanya kelompok voluntir yang perlu mengisi formulir permohonan pertunjukkan mereka; kelas dan klub juga perlu melakukannya. Untuk voluntir, kami juga harus memperhatikan jadwal penggunaan panggung dan masalah perlengkapan, yang merupakan bagian dari tugas Humas, tapi para OSIS menangani semua permohonan itu. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman, bagian Kesehatan dan Sanitasi yang akan menanganinya, dan mereka yang akan mengevaluasi dan memberi perizinan.
Batas tenggang untuk permohonan sudah hampir tiba, dan itu berkontribusi dalam jumlah pengunjung yang lebih banyak dibanding biasanya hari ini. Tapi waktu kedatangan mereka semua tidak pas, karena tidak ada cukup orang di setiap bagian permohonan, jadi situasi mulai menjadi kacau. Itulah ketika kami mendapat beberapa pemohon yang tidak tahu mau kemana.
Seorang gadis yang terlihat bingung, mungkin anak kelas satu, yang tidak tahu mesti bagaimana datang untuk bertanya. Pada Hayama... Pada Hayama. "Um... aku mau mendaftar voluntir..."
“Permohonan untuk kelompok voluntir ada di sebelah sana." Dia membantunya dengan begitu lancarnya, seakan dia sendiri bagian dari komite. Tentu saja, itu memancing kesalah-pahaman, jadi semua orang yang datang dengan permohonan mereka diberitahu, Oh, tanya Hayama, tanya Hayama sajaǃ
“Aku tidak tahu cara mengisi ini... Apa boleh tolong bantu aku mengisinya?”
“Ya, kalau kamu tidak keberatan dengan bantuanku.”
Aku rasa gadis ini datang minta bantuan karena itu kamu, Hayama. Selagi Hayama menjelaskan kepadanya dengan lebih terperinci, suatu barisan terbentuk di belakangnya.
“Bantu aku,” kata Hayama padaku.
“Ah, hei—” Sebelum aku menyadarinya, aku sudah dipaksa membantunya. Apa gadis-gadis yang dioperkan padaku sekilas terlihat kecewa? Ya, pasti.
Hayama dan aku sama-sama menjadi sibuk, dan kami menangani antriannya sebisa mungkin. Meguri juga bergegas membantu, dan kami bertiga menangani permohonan mereka sampai akhirnya gelombang keramaian tersebut usai.
“Maaf ya. Terima kasih atas bantuannya!” Ketika situasinya mereda untuk sementara waktu, Meguri menuangkan teh. Untuk Hayama... Untuk Hayama. Yah, dia pasti merasa tidak enak karena yang bukan anggota komite sepertinya membantu kami. Tapi, um, aku juga bekerja di luar tugasku, tahu... hiks.
Hayama berterima kasih pada Meguri sembari menyesap minumannya dan lalu bertanya, "Apakah kalian cukup tenaga?"
“Aku tidak tahu paham semua situasinya," kataku. "Kami para bawahan sudah cukup sibuk dengan tugas kami sendiri."
“Jadi kamu di bagian mana?”
“Dokumentasi,” sahutku.
“Ah.” Kelihatannya itu masuk akal buatnya. “Cocok sekali.”
Kamu mau ajak berantam disini?
Setelah melihat situasinya sendiri, Hayama sepertinya memiliki gambaran kasar apa yang sedang terjadi. Dia mengangguk dengan tatapan seperti sudah tahu segalanya. “Oh begitu. Pasti sulit, ya.”
“…Oh, tidak juga.” Tidak ada masalah. Malah kebalikannyaː Masalahnya disini adalah karena tidak ada masalah disini.
Yukinoshita menangani hampir semuanya sendirian. Dia punya kemampuannya, dia punya cukup kuasa untuk itu sebagai wakil ketua, dan lagipula, karena tidak terlibat dengan acara kelasnya dan klubnya, dia punya banyak waktu. Meskipun hampir setengah dari komite tidak hadir, dia mampu untuk menutupi pekerjaan mereka semua.
“Tapi dari apa yang kulihat, Yukinoshita mengerjakan hampir semuanya.” Hayama berpaling ke belakang dan mencoba untuk memancing perhatian Yukinoshita.
Yukinoshita terus diam untuk sejenak, tapi dia tidak sanggup melawan tatapan hangat Hayama. Itu terlihat seakan dia sedang menunggu jawaban. Jadi dia berkata, "...Ya, ini cara paling efektif."
“Tapi sebentar lagi kamu akan kewalahan.” Kalimat itu diucapkan dengan keras tidak seperti Hayama Hayato yang biasanya.
Meguri bereaksi dengan perubahan suasana tersebut dengan cemas.
Satu-satunya suara di ruangan itu hanyalah tak tak tak dari papan ketik.
“…”
Itu benar. Yukinoshita tidak bisa membantahnya.
“Kamu sebaiknya mulai meminta bantuan orang lain sebelum terlambat," kata Hayama.
“Iyakaħ? Tapi aku tidak setuju,” kataku, dan Hayama menatapku dengan tajam, menungguku melanjutkannya. "Banyak hal memang jadi lebih cepat ketika Yukinoshita melakukannya sendiri. Lebih sedikit kerugiannya, dan itu suatu nilai plus, kan? Lagipula, mempercayakan orang dengan tugasnya itu melelahkan. Dan ketika kamu jauh lebih mampu dibanding mereka, itu lebih melelahkan lagi." Kami-atau setidaknya aku-tidak bisa mempercayakan orang untuk mengerjakan sesuatu.
Jika sesuatu tidak berjalan baik untukmu dan dirimu sendiri, kamu hanya bisa menyalahkan dirimu, dan kamu tidak akan ada niatan untuk membuang tanggung jawab. Kamu tidak bisa membuat dirimu menyalahkan orang lain untuk itu. Dan bukan karena baik hati atau rasa tanggung jawab. Karena kalau cuma dirimu, kamu bisa pasrah, tapi kalau orang lain yang mengerjakannya untukmu, kamu tidak bisa pasrah. Menjalani hidupmu berpikir Kalau saja kemarin dia melakukan ini atau kalau saja dia menyelesaikan tugasnya dengan benar itu berat, menyakitkan dan menyedihkan.
Kalau akan jadi seperti itu, alangkah baiknya kerjakan saja sendiri.
Karena kalau cuma ada penyesalanmu sendiri, kamu cukup meratapinya saja dan selesai.
Hayama memincingkan matanya sedikit dan lalu menghela pendek dengan sedikit rasa kasihan. "...Apakah ini akan berhasil jika kamu melakukannya seperti itu?"
“Hmm?”
“Jika semuanya berjalan lancar, tidak apa-apa, tapi sekarang ini, kalian tidak sanggup menangani semaunya, dan semua ini tidak akan bertahan lama sebelum hancur. Yang paling penting itu adalah membuat ini berhasil, kan? Kalau begitu, kalian harus mengubah cara kalian melakukannya."
“Ngh…” Datang-datang dengan argumen logismu, huh, Hayama? Tunggu dulu, bukankah itu tempat yang terkenal dengan teh hitamnya? Dia meng-assam, maksudku menggasak argumentasiku dengan mudah. [3]
Selagi aku mengerang, aku mendengar “Kamu...benar.” yang pelan. Sepertinya ucapannya tersebut menusuk tepat pada Yukinoshita. Tangannya saat ini sudah berhenti mengetik.
Tapi Yukinoshita tidak punya orang yang bisa dia andalkan. Jika Yuigahama ada disini, mungkin situasinya akan berbeda.
“Jadi... aku akan membantumu,” kata Hayama.
“Tapi kamu tidak bergabung ke dalam komite” Meguri mencoba untuk menolaknya.
Hayama tersenyum sambil menyahut "Tidak, aku cuma akan membantu mengoordinir kelompok voluntirnya. Sebagai perwakilan mereka."
Usulannya itu menarik. Tidak seperti kelas dan klub, yang memiliki perwakilan dan sistem yang jelas untuk memberi mereka arahan, kelompok voluntir dan pertunjukkan mereka bervariasi dalam susunan anggota dan isi pertunjukkannya, dan menangani mereka satu per satu pasti akan menjadi rumit. Jika kelompok tersebut dapat menangani itu sendiri, maka beban pada bagian Humas-beban pada Yukinoshita, blak-blakan saja-akan bisa jauh berkurang. Dan sebenarnya, masuk akal jika para peserta voluntir mengoordinir pertunjukkan mereka sendiri.
Meguri terlihat khawatir sejenak, tapi kemudian dia mengangkat kepalanya dan tersenyum dengan malu. "Jika cuma itu saja, baiklah. Kami akan senang jika kamu dapat membantu kami melakukannya."
“Bagaimana?” tanya Hayama pada Yukinoshita.
Dia meletakkan tangan pada dagunya dan menimbangnya sejenak. “…”
“Meminta bantuan orang lain juga penting, Yukinoshita,” Meguri menegurnya dengan baik-hati.
Hayama dan Meguri tidak sepenuhnya salah. Itu menabjubkan. Menyentuh hati. Sungguh suatu persahabatan yang indah.
Semua itu sangat baik sekali bagi semua orang yang terbiasa meminta bantuan. Mereka dapat mengandalkan orang lain tanpa ragu. Untuk bekerja sama dan bekerja bersama-samaː Itu adalah sesuatu yang sungguh menabjubkan.
Tapi aku tidak akan memuji tindakan tersebut dengan begitu saja. Maksudku, coba pikir saja.
Jika berpartisipasi dengan kelompok itu menabjubgkan, jika itu adalah suatu hal yang sungguh baik, maka apa bekerja sendirian itu hal yang buruk? Kenapa kamu harus menolak orang yang bekerja keras sendirian?
Aku tidak bisa membiarkan ini.
“...Aku yakin itu penting untuk bisa meminta bantuan orang lain, tapi saat ini, ada orang yang cuma bisa meminta bantuan. Tidak masalah kalau cuma meminta bantuan, tapi beberapa orang cuma memperalatmu." Kalimatku terdengar lebih agresif dibanding yang kuduga. Ketika aku menyadari Meguri terlihat pucat, aku mengubahnya menjadi lelucon. Aku tidak mau mendapat rasa bersalah karena menakuti seseorang yang riang dan jelita. "Intinya, itu, um... Ohǃ Ya, seperti orang-orang yang melemparkan pekerjaannya padaku. Wah, parah sekali itu mah. Aku tidak bisa bersantai-santai sekarang ini... tapi aku tidak akan memaafkan mereka yang sedang bersantai saat iniǃ"
“Kamu jahat sekali, yah?" Meguri membalasnya dengan riang. Dia menganggap apa yang kukatakan sebagai lelucon.
“Aku akan membantumu juga.” Hayama tersenyum masam.
Yukinoshita menghela dengan sangat pelan. “Benar—sepertinya banyak beban berpindah ke bagian dokumentasi, jadi aku akan mempertimbangkan kembali pembagian tugasnya. Karena Shiromeguri-senpai juga merasa itu bagus, aku akan menerima bantuanmu. Aku berterima kasih padamu... Maaf." Matanya masih menatap ke arah komputernya. Tidak jelas untuk siapa dia meminta maaf.
Aku dapat menanggapinya bahwa Yukinoshita bersikap seperti itu karena diriku, tapi aku tidak sedang berusaha untuk membela dirinya. Tidak ada juga alasan baginya untuk meminta maaf padaku. Aku hanya benar-benar tidak bisa melihat orang yang membuang pekerjaan mereka pada orang lain agar mereka bisa bersantai.
Aku benci melihat orang-orang yang berusaha dengan rajin diperlakukan seperti itu. Aku tidak bisa memalingkan mata ketika orang-orang yang benar-benar bekerja keras mengatasi masalah di hadapan mereka terjebak mengatasi semua tugas-tugas mereka.
Itu saja.
Maksudku, aku sendiri juga tidak banyak membantu. Malah, aku menciptakan suatu tugas baruː membagi ulang beban pekerjaannya. Aku memang sangat tidak berguna.
"Oke, mari kita bekerja keras,"
"Aku juga akan mencoba memanggil orang-orang yang bisa kupanggil."
Hayama tersenyum lebar, dan Meguri mengangguk dengan bersemangat.
5-3
“Kelihatannya jumlah kita semakin sedikit sekarang...”
Seminggu setelahnya di suatu rapat komite, terdapat lebih sedikit peserta dibanding sebelumnya. Bahkan tidak perlu dibandingkan dengan sebelumnya. Selain Yukinoshita, aku hanya dapat melihat beberapa anak OSIS disini.
Meguri mengerang pasrah. “Aku sudah mencoba memanggil mereka. Mungkin aku seharusnya langsung menolak ide dari Sagami...,” katanya dengan penyesalan.
Dia pasti mengacu pada pernyataan Sagami sebelumnya bahwa kelas itu juga penting.
Tangan Yukinoshita berhenti membalik halaman dokumennya. “Tidak masalah. Aku akan mengurus penilaian dan pemberian izin permohonan dari setiap bagian sendiri. Aku yakin kita akan bisa terus lanjut tanpa masalah sampai akhir." Semuanya terlihat berjalan dengan lancar, mungkin karena realokasi dari beban kerjanya.
Mungkin aku tahu ini dari manga atau anime, tapi kata mereka hanya 20 persen semut yang bekerja dengan serius. 20 persennya tidak bekerja sama sekali. Untuk 60 persen sisanya, kadang mereka bekerja kadang tidak. Sepertinya ini juga berlaku untuk manusia.
Intinya 60 persen itu sedang melihat situasinya untuk memutuskan mau mengikuti kelompok yang mana. Atau mungkin, mereka berpindah-pindah di antara kedua kelompok itu agar tidak membuat masalah.
Melihat keadaan komite budaya saat ini, prospek kelompok semut yang bekerja keras tidak terlihat baik. Memang orang-orang itu bukannya sengaja tidak datang. Tapi ada peraturan tidak tertulis yang berkata" Kamu tidak usah datang.
Semua orang anehnya merasa lebih tenang ketika mereka menang jumlah. Memang benar; kamu merasa bahwa Kalau semua orang juga begitu, kurasa aku begitu juga tidak masalah. Jadi bisa dibilang, bekerja keras bukanlah tren pada komite budaya saat ini.
Aku menjadi bagian dari minoritas-lagi. Kurasa memang sudah takdir aku seperti ini.
Tapi bahkan di antara mereka yang tersisa, ada beberapa orang yang memang bekerja dengan sepenuh hati. Seperti yang bisa kamu tebak, OSIS memiliki rasa tanggung jawab dan solidaritas yang tinggi. Mereka memainkan peran yang aktif baik dalam tugas biasa mereka sebagai anggota OSIS dan juga tugas mereka sebagai anggota komite budaya.
Mungkin mereka bisa seperti itu karena karisma dari pemimpin mereka, Meguri. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, anggota OSIS bekerja sama untuk mendukung ketua mereka yang riang tapi agak sedikit bebal.
Meguri juga membalas kerja keras mereka dengan baik. Dia berkeliling menyapa semua anggota dan orang-orang yang hadir di sana. "Jumlah kita tidak banyak, tapi tetap ada orang yang terus hadir, jadi kita harus tetap semangat bekerja. Aku mohon bantuan kalian semua, oke?”
“Ha-ha-ha, terima kasih, kurasa…,” sahutku. Dia bahkan juga datang berbicara padaku. Untunglah... Kalau cuma aku yang tidak disemangati olehnya, aku benar-benar tidak akan hadir besok.
Aku meletakkan tasku dan melihat tugasku untuk hari ini. Karena aku sudah terus mengerjakan tugasku sedikit demi sedikit, banyak tugas yang sudah kuselesaikan. Kalau aku bekerja seperti ini terus, tidak lama lagi aku akan selesai semuanya.
Saat aku sedang perlahan-lahan menggarap pekerjaanku, bahuku ditepuk beberapa kali.
Ketika aku berpaling ke belakang, muncul Hayama yang membawa sejumlah berkas. Meskipun anggota komite yang datang cuma sedikit, Hayama tetap kadang-kadang akan hadir. Malah, dia secara aktif datang untuk bekerja. Tentu saja, dia tidak datang setiap hari, tapi kelihatannya dia berusaha datang kalau ada waktu.
Hayama itu orang yang baik.
“Maaf menganggu pekerjaanmu.” katanya. “Bantu aku menyusun permohonan perlengkapan ini. Tiga puluh menit saja.”
“O-oke…” Dia tidak cuma memberiku waktu tenggang, tapi dia juga menjelaskan dengan baik apa yang akan kami lakukan, jadi aku tidak dapat menemukan alasan untuk menolaknya. Bagus juga caranya untuk mencari bantuan orang.
Dia adalah manager yang ideal. Dan saat ini, aku adalah anak buah Hayama yang menabjubkan. Ahhh, Aku mau mati.
Ketika kami mengerjakan tugasnya tanpa bersuara, ada seseorang yang membuka pintunya dengan deritan keras. Di dalam ruangan konferensi yang sepi senyap, suara tersebut terdengar amat nyaring.
Semua mata tertuju pada Hiratsuka-sensei, yang berdiri di depan pintu dan mengisyaratkan dengan tangannya. "Yukinoshita, ada waktu sebentar?"
Yukinoshita mengangkat kepalanya ke atas layar komputer di mejanya. “Hiratsuka-sensei... Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku saat ini. Kalau tidak keberatan, sensei bisa mengatakannya padaku disini." sahutnya.
Hiratsuka-sensei memikirkannya sejenak. “Hmm... Yah, kita tidak harus begitu formal tentang hal ini...” Dia melangkah ke dalam ruangan konferensi dan berdiri di samping Yukinoshita. "Sepertinya kamu masih belum memilih jurusanmu," katanya.
“…Maaf. Aku belum sempat mengisinya.” Yukinoshita melirik ke bawah, terlihat malu. Dia melepaskan tangannya dari komputer dan meletakkannya dengan pelan di atas pangkuannya.
“Ahh… Aku paham kalau komite ini menghabiskan banyak waktumu, tapi jangan bekerja terlalu keras.”
“Aku mengerti.”
Hiratsuka-sensei tersenyum seakan sedang memberikan teguran pelan, dan balasan Yukinoshita singkat dan padat.
“Hmm… Yah, kamu bisa mengisinya setelah festival budaya selesai. Karena kamu masuk ke kurikulum internasional, pilihanmu tidak akan banyak berpengaruh pada pengaturan kelas. Kamu masih ada waktu. Sebenarnya, itu cuma semacam survei. Tidak usah berpikir terlalu dalam.” Hiratsuka-sensei menepuk kepala Yukinoshita dengan pelan, hampir seakan dia sedang membelai rambutnya, kemudian meninggalkan ruangan sambil mengangkat lengannya. Yukinoshita merapikan rambutnya kembali dengan wajah jengkel selagi dia melihatnya pergi.
Aku sedikit terkejut bahwa sang Yukinoshita belum mengumpulkan sesuatu seperti itu. Sepertinya, bukan cuma aku sendiri yang merasakannya, karena Hayam juga melirik Yukinoshita dengan tatapan sangsi. Aku dan Hayama sama-sama berhenti bekerja.
“Hei... apa kita sudah selesai?" tanyaku. Sulit untuk mengatakannya ketika pasanganmu bekerja sepenuh hati, tapi setelah tugas kita terhenti, aku bisa mengatakannyaǃ Aku mau kebebasanǃ
Hayama kembali tersadar dan tersenyum padaku. "Ya, maaf. Ayo kita mulai lagi."
Bukan itu maksudku... Aku sedang coba bertanya, Apa aku bisa berhenti melakukan tugas ini sekarang? Ini bukan permohonan untuk memulainya lagi. Tapi sekarang setelah Hayama menanggapi komentarku dengan itikat baik dan bahkan memberiku senyuman Hayama-nya, aku tidak bisa mengatakan dia salah paham.
Dan sebenarnya, tiga puluh menit yang dijanjikannya padaku belum usai. Ya... Aku tidak akan bisa kabur.
Aku sedang mengetik informasi dari permohonan tersebut ke dalam Excel dan menyusunnya menjadi suatu daftar ketika Meguri, yang sedang mengerjakan tugasnya di dekatnya, memulai percakapan dengan Yukinoshita. "Jadi apa yang akan kamu pilih, Yukinoshita, IPS atau IPA?”
“Aku masih belum memutuskannya.”
“Tidak apa! Ya, ya. Aku paham sulitnya mengambil keputusan ituǃ Aku juga kesulitan. Jadi kamu unggul di bidang apa? IPA?"
“...Bukan begitu...” sebenarnya Yukinoshita tidak terlihat marah, tapi jawabannya sangat dingin. Meguri tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Tangan Hayama berhenti bekerja, dan dia mengangkat kepalanya dari layar komputernya. "Kamu pandai pada bidang IPS juga, huh, Yukinoshita?”
“Oh, benarkah?” kata Meguri, merasa lega melihat Hayama mengikuti percakapannya.
Dipikir-pikir lagi, aku juga agak merasa bahwa Yukinoshita juga ahli di bidang IPS. Di angkatan kami, aku peringkat tiga di bahasa Jepang, sementara Hayama peringkat dua, dan Yukinoshita peringkat pertama. Kami tidak tergoyahkan di tiga besar, dan jika kami semua memilih jurusan IPS, kami mungkin juga akan menduduki peringkat atas di sana juga. Omong-omong, Yukinoshita juga banyak membaca, dan aku rasa dia juga banyak kecondongan ke arah IPS, setidaknya pandanganku seperti itu dari luar.
“Aku masuk IPS, lho,” kata Meguri. “Kalau kamu tidak yakin mau pilih apa, tanya apa saja padakux!”
“Haa… Terima kasih. Aku berterima kasih atas keprihatinanmu.”
Sopan sekali atau pikirku begitu, tapi dia sedang menolaknya secara amat tidak langsung.
Tapi Meguri sepertinya tidak menyadarinya. Dia terus mengoceh dengan agak semangat. "Ya, yaǃ Ohǃ Aku tidak terlalu tahu mengenai jurusan IPA, jadi aku tidak bisa menjawab tentang itu. Tapi Haru masuk jurusan IPA, jadi kurasa kamu bisa bertanya padanya.”
“...Kamu benar.” Tiba-tiba, ekspresi Yukinoshita terlihat kelam.
Aku ragu Yukinoshita akan pernah bertanya pada Haruno.
Yukinoshita sebelumnya juga tidak banyak bicara, tapi setelah itu, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Suasananya menjadi hening, jadi Meguri juga berhenti berbicara dengan sendirinya. Setelah itu, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu adalah suara ketikan komputr dan gemeresik dokumen, seperti kode Morse yang dilakukan dengan buruk.
Di dalam keheningan tersebut, bahkan suatu ahem saja akan menarik perhatianmu. Bahkan suara batuk ringan seakan untuk mengecek keadaan suaranya membuat mataku berkeliling untuk mencari sumbernya.
“...Ketua 2-F. Berkas permohonan pertunjukkanmu masih belum dikumpulkan." Dengan berkas di tangannya, Yukinoshita menghela pendek.
Masih ada orang yang masih belum mengumpulkan berkas itu? Astaga. Siapa itu? ...Itu akuuuuǃ Rasa keterikatanku pada kelasku begitu lemah sampai aku sepenuhnya lupa.
Tunggu dulu, bukankah Sagami bilang dia akan melakukannya? Yah, dia juga tidak menghadiri rapat komite belakangan ini, jadi aku tidak bisa menanyakannya.
“...Maaf, aku akan menulisnya.”
Aku bisa saja menunggu, tapi berkas itu mungkin tidak akan terkumpul, jadi aku tulis saja sendiri.
“Baik... Kumpulkan itu hari ini.”
Aku mengambil berkas itu dari Yukinoshita dan mulai menulis.
Jumlah orang, nama perwakilan, nama registrasi, perlengkapan yang diperlukan, nama guru wali kelas... Ayolah, kenapa dia mau aku menggambar diagramnya juga? Kamu yakin kamu mau menantang pelukis sampah sepertiku ini?
Aku membaca sekilas hal-hal lain yang perlu diisi.
Ah-ha... Aku tidak tahu.
Komitmenku untuk tidak berpartisipasi di dalam aktivitas kelasku telah membuahkan hasil. Tentu saja aku tidak tahu nama registrasi mereka, apalagi jumlah orang yang berpartisipasi di dalamnya.
Tapi untuk saat seperti inilah dia ada di sini. Malah, cuma untuk saat seperti ini aku perlu dia. "Hayama, apa yang kuisi disini?" tanyaku padanya.
Dia terlihat berpikir sejenak. "Maaf, aku tidak begitu tahu semua tentang itu."
“Tidak masalah. Aku karang saja isinya.”
“Uh, kamu tidak boleh begitu.”
“...Aku bisa mendengarmu.” mata Yukinoshita tetap terkunci di depan layarnya, tapi suaranya sudah cukup sebagai peringatan.
Hayama tersenyum masam. "Kurasa lebih cepat kalau kamu bertanya pada mereka yang ada di kelas."
“Baiklah kalau begitu.” Aku mengambil berkas-berkas itu dan pergi ke kelas 2-F.
5-4
Ruangan kelas terlihat hiruk pikuk dengan aktivitas setelah sekolah dalam persiapan untuk festival. Suara dari sejumlah besar orang-orang yang sedang mempersiapkan acara menunjukkan sebesar apa mereka menikmati kegiatan mereka.
Ketika perempuan dan laki-laki saling berbicara, jumlah keberhasilannya dalam membuat si perempuan tertawa sama dengan satu jempol masa muda (jMM), setiap jam dia melakukan pekerjaannya sama dengan satu jam masa muda (jMM), dan perkalian dari dua nilai tersebut menjadi jumlah juara menaklukan momen masa muda (jMM²). Mereka akan membandingkan level mereka dari satuan-satuan tersebut. Satuan tersebut sulit dimengerti karena satuannya sama semua.
Dan untuk 2-F, nilai jMM mereka lumayan tinggi. Ada pertunjukkan, ada panggung yang disusun dari meja-meja yang digabung bersama, ada yang sedang menjahit kostum-kostum , dan ada para pemeran yang sedang berlatih lakon mereka.
“Heii, kalian, lakukan yang benarǃ" teriak Sagami pada beberapa lelaki, termasuk Ooka.
Jadi Sagami ada disini, huh?
Yah, meskipun Sagami ada bersama kami, dia tidak akan begitu banyak berguna, jadi tidak masalah. Terkadang, terasa agak kejam melihat seseorang jauh mengungguli dirimu.
Aku tidak tahu apa aku harus memintanya datang ke komite atau tidak.
Aku mempertimbangkannya, tapi satu patah kata dariku akan membuatnya berkata di belakangkuː Uhhh, Hikitani, dia komplaaaaaaiiiin tentangku. Ew. Ini perundungan. Dia begitu jijik, jadi sebenarnya lebih ke pelecehan seksual, kan? HAHA. Tuntut, HAHAǃ Tapi, dia bukan bosku juga, HAHA. Siapa dia itu? HAHA... Eh, tunggu dulu, dia siapa ya?. Khayalan itu terputar di dalam otakku dengan begitu jelas, sampai aku mulai berpikir apa akan ada suatu pertarungan supranatural karena aku membangkitkan kemampuan untuk melihat masa depan.
Mengamati ruangan kelasku, aku melihat teman sekelasku tidak mengenakan seragam biasa mereka.
Itu sudah terjadi...
Senjata penghancur jiwa yang mengerikan ituː kaos kelas.
Kaos kelas. Intinya, kaos yang dibuat setiap kelas untuk festival budaya. Penjelasan yang tidak berarti, karena sebenarnya artinya sudah jelas dari sebutannya.
Aku merasa kaos itu dibuat untuk menekankan solidaritas, keakraban dan kegembiraan kelas untuk festival budaya. Aku mengerti bahwa itu adalah suatu memento dari acara ini, bukti nyata dari masa muda mereka.
Pada kaos kelas, entah kenapa kamu biasanya akan melihat nama panggilan mereka tercetak di punggung kaos mereka, setidaknya sepengalamanku begitu.
Pada kaos-kaos ini juga terlihat nama panggilan mereka tertulis di punggung kaos mereka, dan cuma punyaku yang tertera namaku yang sebenarnya, yakni Hikigaya-KUN. Karena sebagian besar nama panggilan tertulis dengan huruf katakana atau hiragana, sehingga kata-kata kanji pada namaku terlihat amat menonjol. Ditambah lagi, mereka bahkan menambahkan sisipan KUN di belakang namaku dengan katakana agar membuatku terlihat lebih menjadi bagian dari kelompok mereka. Kebaikan hati yang salah tempat itu membuatku menjadi merasa bersalah.
Pada saat aku kelas satu, hal semacam ini akan membuatku cukup terpukul, tapi sekarang ini, aku cuma, ayo bawa sini. Hah, aku bahkan tidak akan peduli biarpun mereka menuliskan nama lengkapku dengan kanji. Ha-ha-haǃ Setelah festival budaya sudah selesai, aku akan langsung menggunakan kaos ini menjadi kain lap. Kain kaosnya tidak begitu berkualitas, jadi kaosnya tidak cocok jadi baju tidur.
Aku mencari-cari sosok Yuigahama di dalam kelas tersebut. Hmm… Gahama, Gahama…
Dan pada saat itulah sosok yang indah mendadak memasuki lapangan pandangku.
Wujud gemulai yang memancarkan aura yang lembut. Lengan mantel kedodoran yang begitu panjang menutupi semuanya kecuali ujung jemari Totsuka yang mengenakan kostum Pangeran Kecil-nya. Kelihatannya ujung celananya sedang disisip. Kain celananya yang disingsingkan ke atas diberi jarum-jarum pentul.
Dia terlihat bosan sampai dia melihatku, dan tangan yang mengintip dari lengan mantelnya melambai ke arahku. “Oh, Hachiman. Selamat datang kembali.”
“...Ya, aku pulang.” Meskipun itu memalukan, aku sudah pulangǃ Aku nyaris akan refleks membungkuk. Kalau Totsuka akan menyambut kepulanganku dengan kata-kata tersebut, aku akan senang untuk pulang kepadanya setiap hari.
“Oh ya!” Totsuka berlari kecil seakan dia baru saja mengingat sesuatu. Dia mengambil keluar sesuatu dari tasnya dan kemudian bergegas kembali. Saat dia kembali, dia menginjak ujung mantelnya dan tersandung jatuh persis ke dalam pelukanku...ǃ Atau tidak, aku hanya membayangkan hal tersebut sejenak. Hidup tidak seenak itu. Dunia nyata itu selalu kejam.
“Terima kasih untuk ini.” Totsuka menyodorkan sebuah buku padaku. Itu adalah buku softcover Pangeran Kecil yang kupinjamkan padanya beberapa waktu yang lalu. Aku sudah membacanya berkali-kali, jadi sudut sampul bukunya terlihat lecek, dan bukunya juga agak sedikit kotor. Aku jadi agak menyesal sekarang, berpikir bahwa ini bukanlah seharusnya sesuatu yang kupinjamkan pada orang lain.
“Jadi aku berpikir bagaimana aku bisa membalas rasa terima kasihku...” Totsuka mengangguk kuat seakan dia sedang berusaha untuk menyemangati dirinys sedikit, kemudian langsung menatap ke arah mataku. "Um... jadi apa yang kamu inginkan, Hachiman?”
Kamu, Totsuka.
Aku nyaris saja membeberkan kalimat tersebut. Malahan K-nya sudah meninggalkan mulutku. "K... Kurasa tidak ada, ya," sahutku, entah bagaimana berhasil menutupi salah kataku.
Totsuka melipat sedikit kedua lengannya dan mulai memikirkan hal tersebut dengan serius. "Hmm... sungguh...? Ka-kalau begitu beritahu aku makanan atau buku yang kamu suka, atau... cemilan? Apapun yang kamu mau.”
Kamu, Totsuka.
Sekali lagi, aku nyaris membeberkannya. Malah, kali ini aku sampai menyebutkan kam. “Kam… Kamu membuatku bingung bertanya tiba-tiba seperti itu. Yah, kalau aku harus memilihnya, kurasa aku suka sesuatu yang manis." Seperti Kopi MAX.
Dan juga, kacang miso, jeli malt, dan es krim lembut dari Mother Farm asli Chiba, dan pai kacang di Orandaya.
“Sesuatu yang manis... Oke, nanti aku akan membawakan sesuatu untukmu!” kata Totsuka sambil tersenyum, tapi kemudian ada suara yang memanggilnya. Sepertinya mereka sudah siap untuk melakukan sisipannya. Totsuka membalas panggilan itu sebelum kembali berpaling padaku. "Oke, aku pergi dulu."
“Sampai jumpa nanti," sahutku, melihat dirinya pergi selagi dia mengangkat lengannya. ...Aku suka ini. Aku ingin melihat Totsuka berangkat pergi dari rumahku setiap pagi. Tapi entah kenapa, membuat Totsuka yang pergi bekerja buatku terlihat agak menyakitkan. Itu membuatku merasa bersalah.
Sekarang sendirian, sekali lagi aku melihat sekeliling kelas. Totsuka begitu imut, sampai-sampai aku melupakan tujuan awalku.
Um, Gahama…
Oh, disana dia.
“Yuigahama.”
Es krim yang digigitnya menandakan bahwa dia sempat keluar untuk berbelanja, dan dia memegang secarik kertas selagi dia mengikuti sejenis rapat. Dia mengangkat kepalanya dan berlari ke arahku. "Huh? Apa kamu sudah selesai bekerja, Hikki?"
“Kamu dapat berhenti bekerja, tapi itu tidak berarti pekerjaan sudah selesai.”
“Apa yang sedang kamu katakan?” sahutnya, melihat ke arahku seakan aku itu orang tolol.
Tch, manusia yang diberkati dengan lingkungan kerja yang baik... Bagaimana kalau aku mengajari gadis ini derita dan ngerinya menjadi seorang budak korporat? Tapi aku tidak punya banyak waktu. Sambil mengunci rasa benciku terhadap bekerja di dalam hatiku, aku berpikir sebaiknya aku segera menyelesaikan hal ini.
"Aku masih bekerja. Maaf, bisa kamu beritahu aku apa yang harus aku isi disini? Aku harus mengumpulkannya hari ini."
“Kamu buru-buru? Oh, tunggu, apa Hayato juga ada di sana?" Maksudnya pasti ruangan komite budaya.
“Ya.”
“Kalau begitu kita isi di sana saja, ribut sekali disini soalnya. Aku juga sebentar lagi ingin memanggilnya kembali untuk membahas tentang pertunjukkan kita."
Selagi kami berbicara, Sagami menyahut di belakang kami. "Oh, aku juga harus pergi ke komite. Maaf, kawan-kawaaann. Setelah aku selesai disini, aku akan kesana.”
5-5
Aku kembali ke ruangan konferensi, dan Yuigahama memberiku kuliah mengenai rencana pertunjukkannya.
Selain hal-hal yang konkret seperti perlengkapan yang diperlukan, jumlah orang yang terlibat, serta bagaimana anggarannya digunakan, aku juga harus mengisi beberapa hal yang lumayan abstrak, seperti tujuan pertunjukkan dan gambaran umumnya. Aku bisa mengarang sesuatu kalau cuma perlu tulisan saja, tapi aku juga diharuskan untuk menggambar sebuah diagram susunan pertunjukkannya.
Ini benar-benar menyusahkan.
“Sudah kubilang, itu salahǃ" kata Yuigahama. "Itu seharusnya lebih, bamǃ Dekorasinya akan begitu menabjubkan, okeǃ"
“Aku tidak paham…” Bukan menggambar diagramnya itu yang menyusahkan, tapi memahami maksud Yuigahama yang menyusahkan. Kenapa penjelasannya selalu memakai feeling? Penjelasannya begitu membingungkan sampai membuatku ngeri.
“Dan juga, jumlah orang yang kamu masukkan ke sini itu salah.”
“Ini memalukan... Sampai aku harus diajari oleh Yuigahama...”
“Apa katamu?ǃ Cepat perbaiki ituǃ” Dia mengejutkannya begitu tegas.
Aku menggambarkan beberapa garis dan entah bagaimana berhasil membuat suatu kemajuan.
Melihat siswa yang lain begitu rajin bekerja membuat para anggota OSIS juga bersemangat karena Meguri-senpai juga terlihat tersenyum selagi dia bekerja. Selagi waktu berlalu, ruangan konferensi tersebut tidak terasa sedikit tegang seperti biasanya tapi malah terasa damai dan sentosa.
Kemudian, suatu suara deritan yang melengking memotong suasana tersebut. “Maaf aku telaaaatǃ Oh, Hayama-kun, kamu ada disiniǃ"
Ada dua teman biasa Sagami yang mengikuti di belakangnya. Ini salah satu momen langka kedatangannya ke tempat kerja. Setelah menyapa Hayama, dia baru saja akan menghampirinya ketika Yukinoshita berjalan ke depannya. Sagami terlihat kelimbungan melihat Yukinoshita mendadak menghalangi jalannya, tapi Yukinoshita tidak memberi dia waktu untuk terkejut. Dia segera menyodorkan beberapa berkas dan sebuah stempel kepada Sagami.
"Sagami, aku perlu kamu untuk mengecap berkas ini. Aku yakin tidak ada masalah dalam peninjauan berkas ini. Aku juga memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kutemukan."
“...Benarkah? Makasihǃ”
Percakapan tersebut langsung masuk ke intinya, tanpa ada ruang untuk basa basi.
Mungkin karena percakapannya dengan Hayama diganggu, atau mungkin tidak senang karena dipaksa ke dalam suatu pembicaraan mengenai pekerjaan, Sagami terlihat datar untuk beberapa saat. Namun, dia segera menerima berkas tersebut dengan senyuman pada wajahnya untuk menyembunyikan rasa ketidak-sukaannya.
Sagami mengecap berkas-berkas tersebut dengan stempelnya, bam, bam, bam, tanpa melihat isi berkas tersebut dengan baik. Sementara itu, Yukinoshita beranjak ke sampingnya, menerima berkas tersebut kembali dan memeriksanya sekali lagi sebelum dia menyusunnya. Ini bukan sesuatu yang baru, tapi komposisi orang-orang ini punya cukup banyak masalah, huh?
Ini adalah sesuatu yang dapat kurasakan, karena aku orang yang terlibat di dalamnya, tapi aku penasaran bagaimana ini kelihatannya bagi orang luar. Dengan pemikiran ini, aku melirik ke arah Yuigahama dan melihat bibirnya ditekan kuat dan pandangannya menatap ke lantai. Yah, dia pasti memiliki pendapatnya sendiri mengenai hal ini. Tanpa adanya aktivitas klub, terasa ada suatu jarak antara dia dan Yukinoshita, dan sekarang dia sendiri melihat percakapan ini antara Yukinoshita dan Sagami. Melihat ini sama sekali tidak mengenakkan hati.
Di sisi lain, orang luar yang satu lagi, Hayama, memasang senyumannya seperti biasa. Dia bahkan memanggil Sagami. "Hei. Apa kamu ada di kelas, Sagami?"
Mendengar suaranya, Sagami menggeliat seperti musang dan menghadap Hayama. “Oh, uh-huh.”
“Ohh begitu… Jadi bagaimana keadaannya?”
“Kurasa semuanya berjalan cukuuuuup lancar,” sahut Sagami.
Hayama terhening untuk beberapa detik. Keheningan yang mencolok tersebut membuat komentarnya yang selanjutnya lebih berdampak besar. "Oh, bukan itu maksudku. Maksudku tentang komitenya. Kurasa pekerjaan di kelas berjalan cukup lancar karena Yumiko menanganinya." Ada sedikit racun di dalam kata-katanya, entah disengaja ataupun tidak. Kalau Hayama sengaja memilih untuk menyampaikan kalimatnya seperti itu, pasti ada suatu maksud tertentu di baliknya. Jika diterjemahkan secara kasar, kurasa maksudnya seperti ini, Sepertinya kamu membolos dari komite... Apa kamu rasa itu tidak masalah?
Tapi kelihatannya, Sagami kebal terhadap racun tersebut, karena dia terus menjawabnya tanpa terpengaruh apapun. "Aah... Miura-san, dia amaaaaaat bersemangat melakukannya, huh? Sampai aku hampir tidak mengenalinya. Sungguuuuh bisa diandalkan." (Terjemahanː Miura sialan it lebih menjengkelkan dari biasanya. Memuakkan sekali melihat dia terus ikut campur.)
“Ha-ha-ha. Ya, dia banyak membantu, jadi bagus kan? Itu bukan hal yang buruk." (Terjemahanː Kamu sebaiknya berhenti berbicara, oke?)
Aku pasti memakan sejenis jeli penerjemah [4], karena aku mampu mengamati begitu banyak maksud di balik kalimat mereka.
Bukannya aku amat memperhatikan mereka. Cuma saja kurasa karena kalimat yang dipilih Sagami begitu buruk sampai entah kenapa aku jadi tertarik. Aku bahkan bisa merasakan implikasi yang tersembunyi di dalam kata-kata lelaki baik seperti Hayama. Otakku memproses informasi ini dan menampilkannya ke dalam lapangan pandangku dalam bentuk takarir[5]. Aku terus mengikuti percakapan mereka sampai ada suatu tepukan nyaring di depan wajahku.
“Hei, buruan. Aku mau cepat kembali," kata Yuigahama.
“Tapi, ini, ini sebenarnya bukan pekerjaanku...” Ya, bukankah ini sesuatu yang Sagami bilang akan dia kerjakan? Kenapa malah jadi aku yang mengerjakannya? Aku tidak mengerti. Aku tidak paham... Aku gak tak ndak pahammm Niyander Mask.[6]
“...Ribut sekali,” tutur Yukinoshita dengan pelan mendengar semua bla bla bla yang ada di sekeliling ruangan ini.
Yuigahama dan aku secara otomatis menutup mulut kami, tapi Sagami pasti tidak mendengarnya, dan terus menikmati percakapannya dengan Hayama. "Tahu tidak, aku haraaaap aku bisa seperti Miura-san. Caranya memimpin semua orang begitu menginspirasikuǃ" (Terjemahanː Aku ingin menghancurkannya dan mengambil alih posisinya.)
“Kamu punya kelebihanmu sendiri. Kamu sudah cukup baik menjadi dirimu sendiri, iya kan?" (Terjemahanː Aku sudah bilang berhenti berbicara, kan? Tahu diri kamu-untuk kebaikanmu sendiri, oke?)
“Huh? Tapi aku tidak punya banyak kelebihan." (Terjemahanː Nah, sekarang aku sedang merendahkan dirikuǃ Puji aku, puji akuǃ Hayama, puji akuǃ)
“Semua orang itu berbeda. Mungkin itu tidak terlihat seperti suatu kelebihan bagimu, tapi orang lain dapat melihatnya." (Terjemahanː Maaf, aku tidak begitu mengenalmu untuk memberimu pujian, jadi berikut pujian standar untukmu.)
Sepanjang waktu, aku terus membaca takarir yang diterjemahkan secara bebas yang kadang bisa kamu lihat di film-film Amerika, dan itu begitu menganggu. Alih suara adalah cara terbaik untuk menonton film luar negeri.
Suara tap dari ponsel yang ditutup memutus rentetan pemikiranku. "Hikki, kamu berhenti bekerja. Aku sudah menunda rapat pertunjukkannya sampai petang nanti, jadi kita akan mengerjakan ini dengan benar.”
“Dua puluh menit lagi sebelum kita pulang," kata Yukinoshita.
Mereka semua menekanku...
“Hei, dia tidak ada di kelas, jadi dia pasti akan butuh lebih banyak waktu mengerjakannya, ya kan?" Tidak sanggup cuma menonton saja, Hayama memotong untuk mendukungku. Sungguh lelaki yang baik.
Yah, kalau dari awal kamu bisa memberitahuku tentang gambaran acaranya, ini tidak akan terjadi. Tapi, kalau ini bagian dari pekerjaan komite budaya, yah mau bagaimana lagi, pikirku, aku cuma harus bertahan...
Sagami berkata, "Karena aku ketua komitenya, jadi ada beberapa tugas yang perlu kuberikan padamu. Makasihǃ" (Terjemahanː "Lakukan yang benar, budak. Cuih.)
Tahan saja... Setelah putaran kedua aku akan membalasnya dua kali lipat. Atau aku akan kehilangan semua kesabaranku di putaran itu?
Jadi, entah bagaimana, setelah apa yang terasa seperti tak terhingga lamanya, kami berhasil selesai menulis formulir permohonannya. "Sudah selesai..."
“Iya, akhirnya” sahut Yuigahama, merasa lelah.
“Maaf. Tapi terima kasih. Kamu banyak membantu.”
“Huh? Oh ya. Tidak masalah. Sebenarnya jarang sekali Hikki datang meminta bantuanku.”
“Ya. Bahkan aku juga tidak berpikir hari seperti ini akan tiba.”
“Sebodoh apa kamu anggap aku ini?!”
Aku tidak menghiraukan komplain dari Yuigahama dan pergi mengumpulkan berkasnya. Yukinoshita menerimanya tanpa berkata apa-apa, memeriksa halaman pertama dan kedua, dan ketika dia selesai membacanya, dia mengambil dan menepuk kertasnya ke atas meja untuk merapikannya. "Bagus, terima kasih atas kerja kerasmu."
Tanpa sekalipun melirik ke arahku, dia meletakkan kertas itu ke tumpukan berkas yang disetujui dan menyimpannya.
“Tidak perlu distempel?” tanyaku.
“…Oh.” Sambil menyahut singkat "Iya juga," Yukinoshita menarik keluar berkas itu lagi.
Itu bukan masalah besar. Cuma suatu kecerobohan.
Dan itulah kenapa jadi terasa sangat tidak biasa.
“Cap disini, Sagami,” kata Yukinoshita.
Sagami menghentikan percakapannya sejenak untuk menerima berkas tersebut. "Oh, oke. Oh ya, aku kasih padamu stempelku saja, jadi kamu dapat mengecapnya sendiri, oke?"
“Sagami-san, kamu agak sedikit kelewatan,” saran Meguri-senpai dengan terang-terangan, tidak membiarkan itu begitu saja.
Tapi Sagami sama sekali tidak merasa malu atas apa yang dia lakukan. "Huh? Tapi cara kita melakukannya saat ini tidak efisien, bukan? Aku rasa yang lebih penting itu apa yang kita lakukan dan bukan formalitas kaku, kaaaan? Maksudku, kepercayaan atau semacam itu?"
Kalau tanpa konteks, kata-kata tersebut akan terdengar seperti suatu teori yang menabjubkan. Namun, dari sudut pandang kepragmatisan, memang akan lebih efektif untuk menyerahkan tugas pengecapan pada Yukinoshita daripada menunggu persetujuan Sagami.
Meguri pasti memikirkan hal yang serupa, karena dia menghela ragu. "Kalau Yukinoshita tidak keberatan, ya..." Dia kemudian melirik ke arah Yukinoshita untuk melihat pendapatnya.
Yukinoshita sendiri tidak terlihat keberatan dan mengangguk. "Tidak apa-apa. Kalau begitu mulai sekarang, aku yang akan menyetujui semua berkas-berkasnya."
Sagami mempercayakan stempelnya pada Yukinoshita, dan Yukinoshita segera mengecap berkasku.
Sekarang jam kerja hari ini sudah usai. Dan persis di saat itu, belnya berbunyi.
“Oke, kurasa cukup sampai disini untuk hari ini. Aku akan mengunci pintunya, jadi kalian semua silahkan pergi duluan. Untuk anggota OSIS, tolong cek semuanya sebelum pulang." Meguri-senpai menyampaikan arahannya, dan anggota OSIS segera bergegas. Komite budaya yang menentukan waktu untuk pulang, jadi mereka tidak boleh melampaui waktu tersebut. Kami segera berberes-beres dan meninggalkan ruangan konferensi tersebut.
Pada jalan menuju pintu gerbang, aku melihat Sagami sedang berbincang riang dengan teman-temannya, dan kemudian dia memanggil kami juga. "Hei, bagaimana kalau kita semua pergi makan setelah ini? Hmm?" Selagi dia mengatakannya, matanya hanya tertuju ke arah Hayama.
Mata Hayama dan Yuigahama bergerak, seakan sedang mengamati bagaimana yang lain menanggapinya. Yukinoshita menyadari tatapan Yuigahama menuju ke arahnya, dan dia dengan kalem menyahut, "Aku masih ada pekerjaan." Aku yakin itu bukan cuma sebuah alasan, dan dia memang ada pekerjaan. Ditambah lagi kewenangan tambahan yang baru saja Sagami alihkan padanya atas nama kepercayaan. Tanggung jawab dan beban kerjanya juga jadinya semakin meningkat.
“Oh, tentu, ya, baiiiiiiiiklah," kata Sagami. "Mau bagaimana lagi," (Terjemahanː Tidak, aku sebenarnya tidak sedang mengundangmu.)
Kelihatannya, takarirku masih belum dimatikan, karena aku bisa langsung menyadari maksud di balik perkataannya. Jangan anggap remeh kekuatan dari Mata Jagan[7]...
Setelah Yukinoshita. Aku juga menolaknya. "Aku mau pulang."
“Ya, oke.” (Terjemahan: Kamu tidak dapat tempatǃ)
Aku sudah tahu aku tidak diundang, tapi aku pikir untuk menolaknya dengan benar adalah salah satu sifat diriku yang terpuji. Maksudku, ayolah, memaksa seseorang untuk berkata, E-Em, jadi... kamu bagaimana? kamu tidak harus datang kalau kamu tidak mau di akhir percakapan itu lumayan sakit. Begitu juga bagi orang yang mendengarnya. Tidak akan ada yang senang. Dan lagipula kenapa aku harus dipaksa ikut pesta selepas kerja?
Yang Sagami undang itu bukan aku ataupun Yukinoshita tapi yang dua lagi.
Mungkin karena Yuigahama sudah memutuskannya sebelumnya, dia agak ragu saat dia berkata. "Ha-hari ini juga aku tidak bisa... Aku harus ikut pertemuan untuk pertunjukkannya..."
"Apa? Kamu tidak ikut, Yui? Ayooolahhǃ" (Terjemahanː Hei, kalau kamu tidak ikut, Hayama juga tidak akan ikut, kan? Ayolahǃ)
Woaaah, reaksi yang ini tidak sama dengan yang sebelumnya, kan? Terang-terangan sekali, ya? Kamu agak terlalu terang-terangan seperti salah satu orang itu, tahu tidak?
“Oh, ada pertemuan, ya? Aku juga ikut." (Terjemahanː Aku akan memakai alasan ini, makasih.) Hayama dengan berani mengambil kesempatan untuk menolak tawaran Sagami.
Sagami pun dengan enggan menarik kembali tawarannya. "Hmm... Baiklah... Kalian semua ada rencana, huh? Lain kali saja kalau begitu." (Terjemahanː Kalau Hayama tidak datang, ya sudahlah.)
Meskipun aku sadar bahwa membaca maksud di balik kata-kata tersebut sungguh tidak mengenakkan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membacanya. Memiliki sifat yang sebusuk ini merupakan suatu kemampuan yang unik.
Takarir Sagami tidak mau hilang, sampai kita semua berpisah di pintu gerbang sekolah. Sagami masih ingin berjalan bersama dengan Hayama sebentar selagi dia pulang, dan maka meskipun kami sudah di luar, dia masih mengulur percakapannya.
Mengikuti bersama dia dan yang lain, aku juga mengenakan sepatuku dan beranjak ke luar.
Matahari terbenam sudah lama usai, dan kegelapan malam sudah tersebar di sekeliling langit.
“Bye.” Yukinoshita mengucapkan sampai jumpanya dengan singkat dan segera bergegas pergi. Tasnya pasti berat dengan semua kertas-kertas yang harus dia urus di rumah, karena dia berulang kali menyesuaikan tas dia pada bahunya.
“Yah, sampai jumpa besok, Hikki." Yuigahama menepuk pelan bahuku dan kemudian berlari pergi. Kurasa dia pergi ke pertemuannya. Dia juga punya banyak tugas.
Aku mulai mengayuh sepedaku keluar dari lapangan parkir yang sepi. Lampu jalan teramat terang dan menganggu. Aku banyak menggunakan mataku hari ini. Takarir itu benar-benar melelahkan matamu.
Selagi kepalaku diisi dengan pemikiran tidak berguna itu, satu lagi melintasi otakku.
Oh ya. Untuk beberapa orang, takarir aneh itu tidak muncul sama sekali, huh?
Mundur ke Bab 4 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 6 |
Catatan Translasi
- ↑ Eroge-like Idol Master (エロゲーッぽいアイマス) – Fuhiho (フヒ歩) adalah karakter di game tersebut yang menyeru “fuhi” setiap kali dia bersemangat atau lagi birahi, intinya, si mesum.
- ↑ Knockin’ on Heaven’s Door (Mengetuk Pintu Surga) adalah lagu dari Guns N' Roses
- ↑ Ceylon – Lelucon homonim Jepang. Japanese hononym joke. Argumen logis (正論, seiron) dan Ceylon (セイロン, Ceylon). Ceylon adalah nama lain dari Srilanka. Assam merupakan negara bagian di timur laut India. Ceylon dan Assam sama-sama terkenal dengan tehnya.
- ↑ Salah satu alat Doraemon – Sepotong jeli dari konjac yang membuat seseorang bisa memahami dan mengucapkan semua bahasa yang ada di alam semesta ini.
- ↑ bahasa indonesia dari subtitle.
- ↑ Mighty Cat Masked Niyander
- ↑ Referensi dari manga YuYu Hakusho.