Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 6"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
Line 881: Line 881:
 
===6-5===
 
===6-5===
   
  +
Seiring mendekati hari festival budaya, SMA Sobu mulai memanas meski suhu udara semakin menurun.
(Placeholder/Hanya Sementara)
 
   
  +
Ruang kelas 2-F begitu riuh semenjak pagi.
As the Cultural Festival approached closer day by day, Sobu High began heating up in contrast to the declining temperature.
 
   
  +
Hari ini kami melakukan persiapan sepanjang hari sebelum acara dimulai besok.
The classroom of 2-F was clamorous since the morning.
 
   
  +
Meja-meja disusun dan disatukan untuk mendirikan panggung.
Today was for all-day preparation before the day of the event.
 
   
  +
Di bawah arahan ketua kelas, Oda atau Tahara, atau siapalah itu mengangkat papan dan hiasan latar belakang yang terbuat dari karton dan tripleks.
Tables were set up and combined together to build a stage.
 
   
  +
Tobe, Yamato, dan si perjaka Oooka berseru satu-dua-tiga dan mengangkat suatu tiruan pesawat yang dibuat dengan sepenuh hati.
With the class officer giving directions, Oda or Tahara, or whatever lifted up the background props created from plywood and cardboard.
 
   
  +
Kawasaki sedang menyesuaikan kostum sembari mendengarkan musik dari headphone-nya. Miura dan Yuigahama sedang berbicang selagi mereka mendekorasi dengan bunga merah palsu.
Tobe, Yamato, and the virgin Oooka went heave-ho with considerable enthusiasm and carried over the airplane props.
 
   
  +
Karena kelihatannya bunganya tidak cukup, gadis-gadis itu mulai membuat lebih banyak bunga lagi. Pasti salah satu bunga itu. Bunga yang kamu buat dengan menumpukkan lima lembar kertas tisu berwarna, lalu dilipat sesuai dengan tahapannya, ikat bagian tengahnya dengan karet, dan kemudian kupas lembarannya satu per satu.<ref>Jika tertarik, boleh coba liat video youtube ini. [https:// /rRrCjavX6zI?si=tDp9aDJY9O-dVLEH Bunga palsu dari tissue]</ref> Ya yang itu. Sering muncul di festival budaya.
Kawasaki was listening to her headphones as she fixed up the outfits. Miura and Yuigahama were chatting while they were decorating the fake red flowers.
 
   
  +
Totsuka dan Hayama berlatih peran mereka bersama.
Since it looked like there weren’t enough flowers, the girls began making more. It must’ve been one of those things. You create the flowers by piling five sheets of tissue-like paper, fold it back step by step, hold the center with a rubber band, and then rip the sheets one by one. Yeah that. It’s often seen at Cultural Festivals.
 
   
  +
Kalau aku sendiri, aku sedang duduk manis di sudut panggung karena tidak ada pekerjaan apapun.
Totsuka and Hayama were rehearsing their lines together.
 
   
  +
“Malam ini... Kamu jangan datang kemari."
As for me, I was sitting idly at the corner of the stage with nothing in particular to do.
 
   
  +
“Kita akan tetap bersama selamanya.”
“Tonight… You mustn’t come here.”
 
   
  +
Sang "narator" secara langsung menyampaikan perasaannya seakan untuk menyemangati suara pangeran kecil yang rapuh.
“We’ll be together forever.”
 
   
  +
Aku tahu itu cuma bagian dari pertunjukkannya, tapi aku tetap menggertakkan gigiku... ''Sial, kalau aku tahu aku akan bisa membuat kenangan semacam itu, aku harusnya ikut bergabung saja.''
The “narrator” directly conveyed his feelings as if to support the voice of the vulnerable little prince.
 
 
I knew it was just part of the play, but I couldn’t help but grind my teeth… ''Damn it, if I knew I I’d able to make these kinds of memories, I should’ve signed up instead.''
 
 
 
''Ugh, I can’t watch them any longer'' I jerked my gaze in a different direction and the producer Ebina-san was there. She had a considerably glossy smile.
+
''Ugh, aku tidak sanggup lagi melihat mereka''... Aku menghempaskan kepalaku ke arah lain dan muncul sang produser Ebina-san di sana. Dia memasang senyuman yang lumayan menjijikan.
   
“YOU, go on out there!”
+
“KAMU, naik ke atas sana!”
   
  +
''Apa kamu orang dari Sesuatu & Associates?<ref>[https://en.wikipedia.org/wiki/Johnny_%26_Associates Johnny & Associates]. Agensi talenta Jepang yang mengelola grup idola pria.</ref> Kumohon. Tolong jangan mendirikan Ebina & Associates.''
Which person from Something’s & Associates[52] were you trying to be? I beg you. Please don’t start up an Ebina’s & Associates.
 
   
  +
“Maaf, aku sudah ada komite panitia..." sahutku.
“Sorry, I have the planning committee…” I answered.
 
   
Ebina-san tapped her shoulders with the rolled up script. “Oh. That’s a bummer. Both of you would’ve made a good coupling too; Hikitani-kun as the “narrator” and Hayato-kun as the prince. Just now, you were watching the two of them practice on stage and were about to be consumed by the flames of jealou— Oh! Is this what you call NTR!? Bufu!”
+
Ebina-san menepuk bahunya dengan naskah yang digulung. "Oh. Sayang sekali. Kalian berdua juga bisa jadi pasangan yang serasi; Hikitani-kun sebagai "narator" dan Hayato-kun sebagai pangeran. Tadi kamu menonton mereka berdua berlatih di panggung dan baru saja akan dikobari oleh api kecemburu- Oh! Apakah ini yang dinamakan NTR!? Bufu!”
   
  +
Hidungnya meneteskan darah seakan dia sedang memuncratkannya. ''Dia menakutkan sekali, sungguh...''
Her nose was dripping blood as though she was vomiting it out. She’s freaking scary, seriously…
 
   
  +
“Ya Tuhan, dia mulai lagi. Ebina. Ayo, hembuskan." Miura menghampirinya setelah menyadari betapa ricuhnya dia dan menyeka hidung Ebina dengan kertas yang diperuntukkan untuk bunga palsu. ''Aku dengar sebenarnya kamu tidak boleh menghembuskan lewat hidung ketika kamu sedang mimisan.''
“God, there she goes again. Ebina. C’mon, blow your nose.” Miura came over after noticing how noisy she was being and propped up the paper that was meant for the artificial flowers to Ebina-san’s nose. Supposedly you’re not supposed to blow your nose when you had a nose bleed.
 
   
  +
Setelah mengamati kelas untuk beberapa saat, aku berdiri dan meninggalkan kelas.
After watching the class for some time, I stood up and left the class.
 
   
  +
Setiap kelas yang kupapasi terlihat penuh dengan energi.
Every class was brimming with energy as I went on my way.
 
   
  +
Bagi para penyendiri, ini mungkin suatu lingkungan yang sulit untuk mereka tempati. Jika sekarang ini sekolah sudah selesai, mereka bisa langsung hilang dengan diam-diam dan tidak akan ada yang menyadarinya. Atau setidaknya pura-pura tidak menyadarinya, tapi kalau masih pagi hari, mereka tidak akan bisa kabur begitu saja.
For loners, this was probably a difficult environment to stay in. If this was after school, then they could just disappear quietly and no one would notice. Then again, it’s more like people acted as if they didn’t notice, but if it’s in the morning, you weren’t exactly free to do so.
 
   
  +
Singkatnya ini antara "ayo tunggu arahan" dan "ayo melamun saja”.
It was basically between “let’s wait for instructions” and “let’s just stand around”.
 
   
 
Normally I’d be doing that, but this year, I was in the Cultural Festival planning committee.
 
Normally I’d be doing that, but this year, I was in the Cultural Festival planning committee.
Line 1,008: Line 1,006:
 
|-
 
|-
 
|}
 
|}
  +
 
==Catatan Translasi==
 
==Catatan Translasi==

Revision as of 14:53, 19 October 2024

Tidak Seperti Biasanya, Yuigahama Yui Geram

6-1

Oregairu 6 chapter 6.png

Apa itu sesuatu yang tidak pernah menjadi semakin enteng, meskipun kamu terus bekerja dan bekerja?

Hidupku.

Bahkan Ishikawa Takuboku[1] akan setuju dengan pernyataan itu. Malah kujamin itu lebih parah bagi rakyat jelata sepertiku. Tanganku berhenti dari pekerjaannya, dan aku mendapati diriku melototi tanganku dengan tatapan keji. Dan hal itu membuat tanganku berhenti total dan semakin lama semakin sulit untuk lanjut bekerja. Ada apa dengan spiral kemunduran ini?

Kenapa dan bagaimana bisa kita begitu sibuk? Untuk memecahkan misteri tersebut, aku melihat ke sekelilingku. Pertama, kita kekurangan orang.

Anggota OSIS diburu oleh masalah dari segala arah, dan penolong mereka Haruno tidak datang hari ini. Hayama sedang bekerja bersama kami, sendirian menangani masalah-masalah terkait para voluntir. Tapi kelihatannya dia juga bisa lelah, senyuman yang biasanya tampak sedikit kaku.

Belum lama ini, kami masih sanggup menangani semuanya, meskipun dengan jumlah segini. Tapi perbedaannya hari ini Yukinoshita tidak ada disini.

Yukinoshita, yang biasanya akan datang bekerja ke ruangan konferensi paling awal dan pulang paling akhir. Hari ini, sosoknya tidak tampak disini.

“Ada masalah apa dengan Yukinoshita hari ini?"

"Tidak tahu..." Aku tidak bisa memberikan jawaban pada pertanyaan Meguri-senpai. Tapi bukan cuma aku saja; tidak ada orang di komite ini yang dapat menjawabnya.

Suara derit terdengar saat pintu ruangan konferensi dibuka. Masuk ke dalam ruangan tanpa mengetok pintu terlebih dulu adalah kebiasaan buruk Hiratsuka-sensei.

“Hikigaya.”

“Ya?” sahutku.

Hiratsuka-sensei berjalan ke arahku. Mimik wajahnya terlihat tidak biasanya lembut. "Ini tentang Yukinoshita. Dia tidak enak badan hari ini jadi dia tidak masuk sekolah. Dia menghubungi sekolah, tapi aku rasa dia belum memberitahu komite budaya...”

Dia tepat sasaran.

Karena, tidak ada orang disini yang bisa menghubunginya.

Namun, tidak enak badan, huh? Aku tahu dia bukanlah seseorang yang aktif secara fisik, tapi aku pikir dia tipe orang yang memperhatikan kesehatannya. Yah, dia memang sibuk sekali belakangan ini dan dia juga membuat kesalahan kecil itu semalam. Dia pasti merasa kelelahan.

...Apa dia baik-baik saja? Dia tinggal sendirian pula, pikirku.

Hayama mengangkat kepalanya, seakan dia baru saja menyadari sesuatu. "Yukinoshita-san tinggal sendirian, jadi kupikir sebaiknya ada seseorang yang menjenguknya."

“Oh, begitu… Oke. bolehkah kalian pergi menjenguk dan melihat keadaannya? Aku dan OSIS bisa menangani komitenya dulu," kata Meguri-senpai selagi dia melihat ke arah Hayama dan diriku.

“Apa kalian semua masih sanggup tanpa bantuan?" tanya Hayama.

Meguri-senpai mengernyit. Tapi kemudian dia menunjukkan senyuman riangnya yang biasa. "Hmm... Tidak apa-apa. Selama itu sesuatu yang masih bisa kupahami, seharusnya kami bisa menanganinya.” Dia mungkin tidak terdengar meyakinkan, tapi senyumannya terlihat dapat diandalkan.

Kalau dia bilang begitu, maka lebih baik kalau kami pergi menjenguk Yukinoshita dan menyerahkan pekerjaan disini pada anggota OSIS. Akan jauh lebih produktif untuk ketua OSIS tetap disini dibandingkan Hayama dan aku, perwakilan voluntir dan anggota dokumentasi.

Meguri-senpai adalah satu-satunya disini yang punya gambaran semuanya. Meguri-senpai mengakhirinya dengan "sekali lagi makasih" dan mulai kembali bekerja.

“Ketua!”

Bam! Pintu ruangan konferensi itu dibuka keras dan seorang anggota OSIS segera masuk ke dalam.

“Ada apa!?”

“Itu, kelihatannya ada sedikit komplain mengenai slogannya..."

“Ugh! Kenapa sekarang?!” Kelihatannya ada suatu masalah besar yang mendadak muncul karena Meguri-senpai segera berlari keluar dari ruangan konferensi untuk menanganinya.

Tanpa ada kesempatan untuk menanyakan situasi tersebut, kami sudah ditinggal dia.

“...Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Hayama. "Aku tidak keberatan kalau aku yang pergi."

Kata-kata yang anehnya terdengar provokatif itu membebani pikiranku.

Kalau aku, tidak, kalaupun aku pergi, aku juga tidak ada sesuatu untuk dibicarakan dengannya.

Kalau Hayama memutuskan untuk pergi, maka aku akan tetap disini. Begitu pula sebaliknya, kalau dia bilang dia tidak akan pergi, maka aku yang akan pergi ke sana.

“Yah... lebih baik kamu yang menjenguknya. Pada situasi ini, lebih baik dia mendapat seseorang yang berempati dan berguna,” kataku.

Hayama mengedipkan matanya. "...Mengejutkan. Aku tidak menyangka mendengar kamu mengatakan sesuatu seperti itu."

“Toh, kamu yang akan pergi. Setidaknya aku memujimu sedikit."

Hayama tersenyum masam dan berpaling padaku. "Ahh begitu. Tapi kalau alasanmu itu, bukankah lebih baik orang yang berempati dan berguna itu tetap disini?"

Itu benar. Melihat kami kekurangan orang, taktik yang tepat adalah meninggalkan individu yang cekatan dan mampu mengerjakan berbagai hal. Kalau suatu tim kekurangan pemain, akan lebih efisien untuk meminta bantuan pahlawan berlevel tinggi.

“Ahh, kalau kamu mengatakannya seperti itu, kamu benar juga," sahutku sambil menggaruk kepalaku.

Tatapan Hayama tertuju ke arahku. "Aku akan mengatakannya selagi aku bisa, tapi aku tidak pernah berpikir kamu itu tidak kompeten. Kamu menangani semua pekerjaan di bagian dokumentasi, jadi tidak akan ada orang yang bisa menyebutmu tidak berguna."

...Sekarang aku yang terkejut. Aku tidak menyangka aku akan mendengar sesuatu seperti itu darimu.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?" Hayama memastikannya lagi.

Hikigaya Hachiman tidak bisa menang melawan Hayama Hayato. Itu adalah sesuatu yang ada di benak semua orang. Aku sungguh berpikir itulah kebenarannya. Kenyataannya, aku tidak akan bisa menang melawannya dari segi manapun.

Tapi itu lucu. Semakin handal dan baik seseorang, semakin sulit dia dapat menjalani kehidupan sesuai dengan yang dia inginkan. Selalu diandalkan oleh orang lain berarti mereka harus memenuhi ekspektasi mereka. Pada akhirnya, hal tersebut melekat ke dalam jati dirinya. Orang-orang seperti dirinya bahkan rela menjulurkan bantuan mereka pada orang sepertiku yang berada di pinggiran.

“…Kalau begitu aku akan menjenguknya. Semua orang juga akan berpikir lebih baik ada dirimu disini. Kamu handal dan semua orang membutuhkanmu."

“Aku tidak merasa begitu buruk mendengar kata-katamu itu-kalau memang kamu benar berpikir begitu," Hayama menunjukkan suatu senyuman yang agak terlihat kesepian. Hayama itu lelaki yang baik, tapi justru karena kebaikan itulah dia tidak mampu memilih siapapun atau apapun. Bagi dirinya, semuanya itu penting. Aku baru sadar betapa kejamnya hal tersebut.

“...Baiklah. Jadi, aku akan pergi dulu sebentar,” sahutku, dan berpaling ke Hiratsuka-sensei.

Dia kemudian tersenyum. "Ya... Oke, pergilah kalau begitu. Tapi, aku tidak bisa memberitahumu alamat murid lain..."

“Ahh, tidak masalah.”

Aku mungkin tidak tahu, tapi pasti ada orang lain yang tahu. Ada seorang gadis yang akan segera melesat pergi kalau aku memberitahu hal ini padanya.

Aku segera membereskan barang-barangku dan berdiri. Mataku bertemu dengan mata Hayama yang memincing dan tajam.

“Oke, makasih. Aku juga akan memberitahu Haruno-san."

"...Ya, itu akan membantu. Makasih." Aku mengungkapkan terima kasihku dengan singkat, menyesuaikan tas di punggungku, dan beranjak meninggalkan ruangan konferensi.

Aku mengeluarkan ponselku selagi aku berjalan ke pintu gerbang. Aku menelepon sembari berjalan. Satu deringan, dua deringan, tiga deringan... Tujuh deringan dan baru saja aku mau menutup panggilannya, dia menjawabnya.

[“A-ada apa? Tumben sekali meneleponku...”]

“Apa kamu tahu Yukinoshita hari ini absen?"

[“...Eh, Aku...tidak tahu itu.”]

“Aku dengar dia sakit."

Aku dapat mendengar dia menelan dari lawan bicaraku. Sakit sedikit bukanlah sesuatu yang serius. Tapi mengingat sikap Yukinoshita belakangan ini dan fakta bahwa dirinya tinggal sendirian, Yuigahama pasti akan merasa cemas.

Dia menghirup nafas dengan suatu keputusan. ["Aku akan pergi menjenguknya sebentar."]

Persis seperti yang kurasa akan dia katakan.

"Aku juga akan pergi. Bisa kita bertemu di depan pintu gerbang sekolah?"

[“Oke.”]

Kami segera menyelesaikan panggilannya dan aku memasukkan ponsel ke dalam sakuku.

Di luar masih terlihat cerah, tapi matahari sudah mulai terbenam. Pada saat kami sampai ke tempatnya, mungkin matahari sudah akan selesai terbenam.

6-2

Baik aku maupun Yuigahama tidak banyak berbicara saat berjalan ke sana.

Pada saat dia bertemu denganku, Yuigahama langsung membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai keadaan Yukinoshita, tapi aku tidak punya banyak jawaban untuknya.

Apartemen tempat Yukinoshita tinggal merupakan menara apartemen yang terkenal, bahkan dianggap mewah di lingkungan ini.

Karena mewah, keamanannya juga ketat. Masuk ke dalam sana tidak semudah itu. Kami memanggil ruangan Yukinoshita dari pintu masuk. Yuigahama menekan tombol belnya.

Sebeluimnya Yuigahama sudah memanggilnya dan mengirimkan pesan teks padanya, tapi dia tidak mendapat balasan. Jadi aku merasa dia tidak akan bertemu kami meskipun kami pergi ke tempatnya.

Meskipun begitu, dia membunyikan belnya dua kali, tiga kali bahkan.

Tidak muncul juga, huh..? “Pura-pura sedang keluar?” kataku.

“Tidak masalah kalau cuma itu. Tapi kalau dia terlalu sakit sampai tidak sanggup untuk berdiri...”

Pemikiranmu sedikit terlalu ekstrim, pikirku, tapi aku tidak merasa ingin menertawainya.

Dia berhenti sejenak dan kemudian membunyikan beli itu sekali lagi.

Kemudian terdengar suatu suara statis.

[“…Ya?”] Suara yang terdengar lemah muncul dari kotak bel tersebut.

Yuigahama melesat ke depan dan menyahut, "Yukinonǃ? Ini aku, Yui. Apa kamu baik-baik saja?"

“…Ya, aku baik-baik saja, jadi…”

“Jadi”. Apa maksudnya dengan "jadi"? "Jadi, pulang saja"? Itu apa yang ingin dia katakan?

“Cepat buka pintunya.”

[“...Kenapa, kamu ada disini?”] Dia pasti mengira cuma Yuigahama yang datang. Mendengar suaraku sedikit mengejutkannya.

“Kita perlu bicara.”

[“...Bisakah, kalian menunggu sepuluh menit?”]

“Oke.”

Kami duduk di sofa pintu masuk dan menunggu seperti yang diminta selama sepuluh menit. Aku rasa hanya apartemen bagus yang memiliki sofa di pintu masuk, huh...

Yuigahama melototi ponselnya sepanjang waktu. Karena jari-jarinya tidak bergerak, aku rasa dia sedang terus menatapi jamnya.

Selagi aku duduk termenung, Yuigahama berdiri dari sampingku.

Dia membunyikan belnya dan memanggil Yukinoshita.

[“Ya…”]

“Sudah sepuluh menit.”

[“...Silahkan masuk.”] sahut Yukinoshita, lalu pintu otomatis tersebut terbuka.

Yuigahama melangkah maju tanpa ragu. Aku mengikuti persis di belakangnya ke dalam lift dan dia menekan tombol ke lantai 15.

Lift tersebut naik dengan kecepatan yang lebih tinggi dari yang kuduga. Angka yang ditunjukkan di layar lift tersebut terus silih berganti dan tidak lama kami sudah sampai ke lantai 15.

Di luar lift, kami disambut dengan berbagai pintu, tapi pintu yang kami hadapi di depan kami tidak memiliki plat nama.

Yuigahama mengepalkan tangannya dengan kuat untuk sejenak seakan sedang menguatkan dirinya dan kemudian meraih interkom dengan jarinya.

Aku tidak tahu mengenai kualitas belnya, tapi suara yang dihasilkannya bukanlah suara bel mekanik, tapi lebih menyerupai suara dari suatu instrumen musik. Bel tersebut dibunyikan sekali dan kami menunggu sejenak. Kami tidak bisa mendengar apa-apa dari dalam sana, mungkin karena dindingnya memiliki fitur kedap suara. Beberapa detik kemudian kami dapat mendengar suara gemeretak kunci pintu yang sedang terbuka. Perlu beberapa detik lagi sampai semuanya terbuka.

Kami menunggu di depan pintu tersebut sampai pintunya terbuka dengan perlahan tanpa ada suara.

Wajah Yukinoshita mencuat sedikit dari celah pintu tersebut.

“Silahkan masuk.”

Setelah masuk, tercium wangi lambaian sabun yang samar.

Sosok Yukinoshita juga terlihat berbeda dibanding biasanya. Sweater tenunnya yang bertekstur lembut dan berwarna putih terlihat terlalu besar untuk tubuh ramping Yukinoshita sehingga lengan sweater tersebut terbentang sampai ke telapak tangannya. Leher dan tulang selangkanya terlihat jelas dan rambut hitamnya yang diikat menjadi satu terjuntai sampai ke dadanya seakan untuk menyembunyikan lehernya tersebut. Rok maxi-nya yang panjang terbentang sampai ke pergelangan kakinya.

YahariLoveCom v6-193.jpg

Dari pintu masuk, aku dapat melihat beberapa pintu. Pintu yang terlihat jelas seperti kamar tidur setidaknya ada tiga. Sisanya terlihat seperti pintu kamar mandi dan toilet. Di ujung lorong masuk terdapat ruang tamu yang diterangi pencahayaan alami serta ruang makan. Jadi ini yang dinamakan apartemen 3LDK[2].

Di dalam apartemen yang luas ini, Yukinoshita tinggal disini sendiri.

Dipandu oleh Yukinoshita, kami bergerak melalui lorong menuju ruang tamu.

Tampak balkon mencuat di luar ruang tamu. Dari jendela, dapat terlihat langit senja yang telah seluruhnya gelap serta pemandangan malam pusat kota yang baru. Di arah barat, cahaya senja yang tersisa tampak amat kesepian.

Laptop yang tertutup terletak di atas suatu meja gelas miniatur. Di sampingnya tertumpuk berkas-berkas yang berada di dalam map. Kelihatannya dia terus bekerja dari kemarin malam.

Desain ruang tamu itu minimalis, seakan dia tidak mengharapkan kedatangan tamu sama sekali. Tempat itu lebih menyerupai interior hotel bisnis, dengan sedikit furnitur yang sederhana tapi efektif. Di antara furnitur tersebut, terdapat sofa yang terasa hangat, ditutupi dengan kain berwarna krem.

Di depan sofa tersebut terdapat suatu meja tv. Agak mengejutkan melihat dia mempunyai televisi yang besar, tapi setelah dilihat lebih dekat, bagian bawah meja tersebut diisi dengan barang-barang Destinyland termasuk "Pan-san si Panda". Dia tidak membeli televisi besar itu hanya untuk bisa mengisinya dengan itu, kan...?

“Silahkan duduk disana." Dipersilahkan olehnya, Yuigahama dan aku duduk tanpa banyak bersuara.

Aku heran apa yang akan dilakukan Yukinoshita, tapi dia hanya bersandar pada dinding. Ketika Yuigahama berkata padanya, "ayo duduk." Yukinoshita menggelengkan kepalanya dengan lembut.

“Jadi, apa yang perlu kita bicarakan?" Meskipun wajahnya menghadap ke arah kami, pandangannya melihat lebih jauh ke bawah. Bahkan kilauan di dalam matanya yang biasanya berkobar sekarang amat jinak seperti permukaan air yang surut.

Aku terus duduk tanpa menjawab pertanyaannya selagi Yuigahama mencari kata-kata yang tepat. "Ah, um... Aku dengar kamu tidak masuk sekolah hari ini, Yukinon. Jadi aku ingin tahu apa kamu baik-baik saja."

“Ya. Baru cuma sehari, kalian terlalu berlebihan. Aku juga sudah memberitahu sekolah.”

“Kamu tinggal sendirian, tentu saja orang akan khawatir." kataku.

“Dan kamu juga kelelahan sekali, kan? Kamu masih terlihat agak sakit," kata Yuigahama.

Yukinoshita menunduk dengan pelan, seakan sedang mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. "Aku hanya sedikit capek, itu saja. Tidak masalah."

“...Bukankah itu masalahnya?" kata Yuigahama.

Yukinoshita terdiam. Ya, dia menyerangnya di tempat yang tepat. Dia tidak akan beristirahat di rumah kalau semuanya berjalan dengan baik-baik saja.

Yukinoshita terlihat semakin rapuh dibanding sebelumnya sembari masih menundukkan kepalanya.

“Yukinon, kamu tidak perlu melakukan semuanya sendiri. Ada orang lain yang bersamamu juga.”

“Aku paham itu. Itulah kenapa aku membagi kembali beban kerjanya agar bebannya berkurang-”

“Tapi bebannya tidak berkurangǃ” dia memotong kata-kata Yukinoshita.

Suara Yuigahama pelan dan kalem, namun juga berapi-api dan cemas. Suaranya menutupi suara lain di sekelilingnya, sehingga hanya suaranya yang tersisa.

“Aku sedikit marah denganmu, ya" kata Yuigahama, dan bahu Yukinoshita tersentak.

Wajar bagi Yuigahama untuk merasa geram. Yukinoshita bahkan sampai menolak segala bantuan serta melakukan semuanya sendirian dan malah membuat dirinya sakit.

Aku menghela sedikit dan Yuigahama melotot ke arahku. "Aku juga marah padamu, Hikki. Aku bahkan memberitahumu untuk membantunya jika dia ada masalah..."

Jadi itu alasannya kenapa dia terus terdiam sepanjang waktu saat kami berjalan kemari. Tapi memang, aku tidak punya alasan. Memang benar aku sama sekali tidak berguna. Aku akhirnya menundukkan bahuku karena malu.

“...Aku tidak mengharapkan anggota Dokumentasi untuk bekerja di luar apa yang diminta pada mereka. Itu sudah cukup kalau dia sanggup menyelesaikan tugasnya."

“Tapi—“

“Tidak apa-apa. Waktunya masih cukup. Aku juga bekerja di rumah, jadi kita tidak ketinggalan begitu jauh. Ini bukan sesuatu yang perlu kamu cemaskan, Yuigahama-san.”

“Tapi itu aneh.”

“Aneh...kah...?” tatapan Yukinoshita belum beranjak dari atas lantai. "...Apa pandanganmu?"

Perlu sedikit waktu bagiku untuk menyadari bahwa pertanyaannya tertuju padaku. Dinding yang disandari oleh Yukinoshita membentang sampai ke dapur dan di dalam ruangan yang samar-samar tersebut, ekspresi wajahnya tidak dapat terbaca.

Aku perlu memberitahunya bahwa pendekatannya ini salah.

Ini bukan seperti argumen logis Hayama. Itu bukan sesuatu yang bisa kuucapkan.

Ini bukan seperti kebaikan hati Yuigahama. Hatiku tidak sebaik itu.

Tapi aku tahu dimana salahnya.

“‘Meminta bantuan orang', 'semua orang seharusnya saling membantu satu sama lain'. Tentu saja itu hal yang benar untuk dilakukan. Itu semua adalah solusi yang baik."

“Begitukah...” sahutnya dengan datar dan apatis, namun lengannya yang terlipat terkulai lemah.

“Tapi semua itu idealistik. Dunia ini tidak akan berputar seperti itu. Akan selalu ada orang yang mendapatkan tugas yang tidak mengenakkan dan tetap akan ada orang yang mendorong hal itu terjadi. Seseorang selalu harus memikul bebannya. Itu kenyataannya. Jadi aku tidak berencana untuk memintamu meminta bantuan atau bekerja sama dengan orang lain."

Aku dapat mendengar suara helaan pelan Yukinoshita. Aku masih belum pasti maksud dari helaan tersebut.

“Tapi cara pendekatanmu terhadap masalah ini salah."

“...Jadi...apa kamu tahu cara yang benar?" suaranya bergetar.

“Tidak. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang tidaklah sama dengan apa yang biasa kamu lakukan sebelumnya."”

“……”

Sampai hari ini, gaya Yukinoshita itu konsisten. Dia tidak akan dengan gegabah langsung terjun untuk menyelamatkan orang lain hanya karena mereka meminta bantuan dirinya. Dia akan tetap akan mengulurkan tangannya, tapi selalu menyerahkan keputusan akhirnya pada keinginan orang itu sendiri.

Tapi kali ini berbeda. Yukinoshita mengerjakan semuanya dari A sampai Z, mungkin karena orang itu memintanya melakukan hal tersebut, dan dia entah bagaimana akan menanganinya semua sampai akhir. Ini akan menghasilkan suatu Festival Budaya yang lumayan absah; meskipun kita tidak tahu apakah semuanya akan senang melihatnya atau tidak.

Tapi hal tersebut bertentangan dengan ideologi yang Yukinoshita ucapkan.

Yukinoshita tidak menjawab.

Dari sana, keheningan mengisi ruangan tersebut.

“……”

“……”

Ruangan tersebut membeku. Suhu yang kami rasakan mungkin lebih rendah dari suhu yang sesungguhnya.

Achooǃ Yuigahama bersin. Dia terdengar seakan sedang menangis ketika dia mengisakkan hidungnya.

Menyadari bahwa ruangan tersebut perlahan semakin dingin, Yukinoshita berhenti bersandar pada dinding.

“Maaf. Aku bahkan tidak menuangkan teh untuk kalian...”

“Ti-tidak apa, kamu tidak perlu melakukannya... A-aku bisa melakukannya."

“Kamu tidak perlu kuatir dengan kesehatanku. Aku merasa jauh lebih baik setelah istirahat sehari."

“Kesehatanmu, huh?” tuturku.

Kali ini kata-kata yang diucapkannya dengan enteng menarik perhatianku.

Yuigahama terbata-bata, merasa sulit untuk membuka mulutnya. Dia menarik nafas, tapi kata-katanya masih tidak mau keluar. Dia berhenti sejenak dan kemudian perlahan mulai berbicara. "Kamu tahu.. Um, aku pikir, Yukinon. Kamu sebaiknya lebih mengandalkan aku dan Hikki. Bukan siapa saja atau semua orang... tapi andalkan kami berdua, ya? Aku, um... memang tidak banyak yang bisa kulakukan, tapi Hikki-"

“...Kalau teh hitam oke?” Yukinoshita memalingkan punggungnya tanpa mendengar sampai akhir dan menghilang ke dalam dapur. Suara Yuigahama tidak bisa langi menggapai sisi yang remang-remang tersebut.

Kata-kata mereka selalu tidak sampai.

Apartemen yang tinggi, tinggi sekali ini menyerupai Menara Babel dimana kata-kata mereka tidak sampai ke tujuan mereka masing-masing.

Yukinoshita membawa datang seperangkat cangkir dan teko teh hitam.

Waktu teh tanpa adanya percakapan.

Yuigahama memegangi cangkirnya dengan kedua tangan dan menghembus-hembus untuk mendinginkan tehnya.

Yukinoshita, masih berdiri, memegangi cangkir dengan tangannya dan melihat ke luar.

Tak bisa berkata-kata, aku menaruh cangkir pada mulutku dan segera menegaknya sampai habis.

Tidak ada lagi yang perlu didiskusikan.

Aku meletakkan cangkirnya dan berdiri. "Oke, aku pulang dulu."

“Eh, a-aku juga…”

Yuigahama segera ikut berdiri dan kami berjalan menuju pintu masuk. Yukinoshita tidak menghentikan kepulangannya.

Meski begitu, dia mengikuti kami ke pintu masuk dengan langkah goyah untuk mengantar kami pergi.

Selagi Yuigahama mengenakan sepatunya, Yukinoshita dengan lembut menyentuh tengkuk Yuigahama dengan tangannya. "Yuigahama-san.”

“Y-Ya!?” Yuigahama memekik kaget ketika tengkuknya disentuh. Dia mencoba untuk berpaling ke belakang, namun dicegah dengan lembut.

“Um... Itu sulit kulakukan sekarang ini. Tapi aku pasti akan mengandalkanmu suatu saat nanti. Jadi, terima kasih..."

“Yukinon...”

Senyuman Yukinoshita pada Yuigahama terlihat rapuh. Namun, pipinya sedikit merona merah.

“Tapi, aku ingin lebih banyak waktu untuk berpikir lagi, jadi..."

“Oke...” Tanpa berpaling ke belakang, Yuigahama meletakkan tangannya di atas tangan yang memegangi tengkuknya.

“Aku akan serahkan ini padamu, Yuigahama.”

“Eh, tung—“

Aku memotong kata-katanya dan menutup pintunya dengan perlahan.

Maaf, tapi tolong urus ini.

Yuigahama telah melakukan apa yang perlu dia lakukan; dengan cara yang hanya bisa dia lakukan.

Tapi itu tidak akan menyelesaikan masalahnya.

Kalau begitu serahkan masalahnya padaku.

Mereka bilang waktu itu adalah obat untuk segalanya. Itu suatu kebohongan. Yang waktu lakukan adalah menghempaskan semuanya ke dalam memori masa lalu. Waktu membuat semuanya tidak berguna dan tidak berarti, waktu hanya menutupi masalah yang sesungguhnya.

Mereka bilang dunia akan berubah jika kamu berubah. Itu juga suatu kebohongan. Itu penipuan. Dunia akan selalu mencoba untuk menyeretmu, mengesampingkanmu, mencabut semua komponen yang menyolok. Pada akhirnya, kamu akan berhenti berpikir. Dunia ini-sekelilingmu ini-hanya akan mencuci otakmu sampai kamu percaya bahwa "Aku berubah dan maka dunia ini juga berubah".

Dunia ini, sekelilingmu ini, masyarakat ini tidak akan berubah dengan pandangan sentimental, emosional dan idealistik tersebut.

Aku akan mengajarimu bagaimana cara mengubah dunia ini.

6-3

Ada beberapa masalah dengan slogan festival budaya.

Ya. Aku sempat mendengar sesuatu yang berbunyi seperti ini.

[Asikǃ Terlalu asikǃ ~Dengarlah suara desiran laut. Festival Budaya SMA Sobu~]

…Tentu saja slogan itu tidak akan diterima. Maksudku, itu slogan milik Juumangoku Manjuu[3] di Saitama. Tentu saja tidak akan diterima dengan baik di suatu acara Chiba.

Yah, mari kita sampingkan Chiba. Ada diskusi bahwa slogan ini dicaplok bulat-bulat dari slogan tempat lain, jadi keputusan akhir dari negosiasinya berakhir dengan ditolaknya slogan tersebut.

Kami kemudian segera menyelenggarakan rapat untuk menyelesaikan masalah ini.

Haruno-san dan Hayama, pengamat yang akhir-akhir ini sering ada disini, juga turut hadir.

Ini juga merupakan suatu bukti terhadap komite panitia yang semakin kacau.

Petinggi komite yakni para anggota OSIS dan Yukinoshita diperas sampai kelelahan. Sejauh ini mereka masih sanggup bertahan dengan jumlah orang yang semakin sedikit. Tapi kejadian ini menimpa mereka di saat genting, dan bisa menjadi krisis yang menghancurkan komite ini.

Belum ada tanda-tanda rapat akan dimulai.

Hiruk pikuk mereka yang mengobrol menyelimuti seluruh ruangan konferensi tersebut. Sagami, orang yang seharusnya memimpin rapat ini, sedang mengobrol di depan papan tulis dengan teman-temannya yang diangkatnya sebagai sekretaris.

Meguri-senpai mulai berbicara, setelah tidak sanggup terus mendiamkan hal ini, "Sagami-san, Yukinoshita-san. Semuanya sudah datang."

Obrolan Sagami terhenti. Dia kemudian melihat ke arah Yukinoshita.

Tentu saja, pandangan semua orang juga tertuju padanya. Meski begitu, Yukinoshita terus menatapi notulen di tangannya dengan tatapan hampa.

“Yukinoshita-san?” kata Sagami.

Yukinoshita menyentakkan wajahnya ke atas. “Eh…?” Perlu waktu sejenak, tapi dia segera menilai situasi saat ini. "Kita akan mulai rapat komitenya sekarang. Seperti yang disebutkan oleh Shiromeguri-senpai, kita akan mendiskusikan slogan festival budaya hari ini.” Yukinoshita mulai memimpin rapat ini secara sistematis setelah dia menenangkan dirinya.

Pertama-tama, dia meminta usulan slogan. Tapi bagi kelompok yang pasif seperti ini, hal itu terlalu sulit. Tidak ada orang yang termotivasi. Tidak ada apapun selain suara bisikan yang mengisi rapat serius ini.

Duduk di sampingku, Hayama mengangkat tangannya. "Kurasa mungkin terlalu sulit bagi kita untuk tiba-tiba menyampaikan ide slogan kita di depan semua orang. Bagaimana kalau kita tulis di kertas saja? Setelah itu baru dijelaskan ide slogannya.”

“Baiklah… Mari kita tulis di kertas dulu sekarang.”

Semua orang diberikan secarik kertas. Setiap orang memiliki secarik kertas, tapi tidak semua orang punya sebuah ide. Hanya beberapa yang menulis, sisanya hanya cekikikan dengan satu sama lain dengan lelucon yang mereka buat.

Setelah waktunya untuk mengumpulkan ide slogan, banyak yang tidak mengumpulkannya.

Meski begitu, di antara orang-orang teledor ini, ada beberapa orang yang tetap rajin bekerja meskipun tidak terlihat oleh yang lain. Mereka terus mengerjakan pekerjaan mereka di balik layar. Mereka orang-orang yang telah menyokong komite sampai ke detik ini. Dan sekarang, sepertinya merekalah yang akan menyokong kami lagi.

Slogan-slogan yang tertulis di dalam kertas yang dikumpulkan tersebut ditulis pada papan tulis.

Pertemanan - Usaha - Kesuksesan

Ya. Kira-kira slogan sejenis itu yang tertera di papan tulis.

Satu slogan yang menonjol adalah "Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap"[4] One slogan that stuck out was “All Eight Corners of the World Under One Roof”[50] Whoa, aku rasa aku tahu siapa yang menulis itu…

Ada satu lagi slogan yang menarik perhatian semua orang.

[SATU UNTUK SEMUA]

Setelah slogan itu ditulis di papan tulis, Hayama berseru "oh" dengan suara kecil.

“Slogan itu cukup bagus."

Sepertinya slogan itu menarik perhatian Hayama. Ya, kamu tipe orang yang menyukai hal seperti itu. Slogan itu bahkan ditulis dengan huruf kapital.

Aku menyahut dengan helaan sinis yang maksudnya "yang benar saja".

Hayama mengangkat bahunya. "Satu orang berusaha demi semua orang. Aku sebenarnya suka sekali hal seperti itu.”

“Apa, jadi itu maksudmu. Sederhana saja bagiku."

“Huh?”

Haha—bahkan Hayama-san sendiri juga tidak mampu memahami kalimatku. Maka mari saya jelaskan, oh tuanku, maksud dari perkataanku.

“Dorong semua beban pada satu orang, lalu buang dia... Satu orang demi semua orang. Cukup sering terjadi, bukan?”

——Persis seperti apa yang kalian semua sedang lakukan sekarang ini.

“Hikigaya… kamu-“ ekspresi Hayama terlihat seakan dia baru saja dihantam, tapi tatapannya perlahan semakin tajam. Dia membalikkan badannya ke arahku dan menghadapku secara empat mata.

Kami mungkin terlihat seakan kami sedang melototi satu sama lain.

Obrolan-obrolan di sekitar kami terhenti sejenak.

Karena suara kami pelan, mungkin membuat sekeliling kami hanya berbisik-bisik mengenai kami.

Konfrontasi Hayama tanpa bersuara hanya berlangsung beberapa detik, meski itu karena aku segera memalingkan mataku.

Tidak, bukan karena aku takut.

Itu karena perhatian semua orang juga terpaling ke depan, jadi bukan cuma aku sendiri.

Sagami berbicara dengan teman-temannya yang diangkat menjadi sekretaris dan berdiri. "Oke, ini yang terakhir. Slogan ini dari kamiː [Pertemanan ~Festival Budaya Saling Gotong Royong~]…”

“Ughhh…” secara refleks suara tersebut keluar dariku ketika mendengar kata-kata itu dari mulut Sagami. Apa isi kepalanya itu Kebun Hanabatake[5], hah? Apa dia membuat karamel di dalam sana?

Reaksiku memicu bisikan-bisikan di sekelilingku. Suara-suara cibiran tersebut membuat Sagami tidak senang. Jadi cukup beralasan bahwa dia akan menargetkan diriku karena aku, yang posisinya ada di bawah dia, merupakan penyebab dari suara-suara tersebut.

“…Kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?" Sagami tetap mempertahankan senyumannya, tapi pipinya berkedut dan dia jelas terlihat geram.

“Tidak, tidak ada…”

Katakan sesuatu lalu berhenti, tapi buat itu terdengar seakan kamu sedang mengeluh. Ini merupakan jawaban yang paling menjengkelkan. Karena jawaban itu berasal dari diriku yang pernah melakukannya tanpa sadar dan kehilangan teman karena itu, jadi tidak perlu diragukan lagi.

Sampaikan hal-hal yang tidak bisa kamu sampaikan dengan kata-kata.

Aku tahu bagaimana melakukannya. Itu cara bagaimana kamu bisa menyampaikan maksud hatimu meskipun kata-katamu tidak mengatakan hal tersebut.

Itu karena aku tidak pernah menyampaikannya dengan percakapan.

Pura-pura tidur pada saat jam istirahat, membuat wajah tidak senang ketika diminta melakukan sesuatu, dan menghela ketika bekerja.

Itu karena aku selalu mengekspresikan diriku tanpa perlu menggunakan kata-kata.

Aku tahu caranya... Hanya saja, aku cuma tahu cara menggunakannya dengan tujuan yang negatif.

“Apa kamu yakin kamu tidak mau mengatakan sesuatu?"

“Tidak. Ya, sungguh tidak ada.”

Sagami melototiku sejenak dengan tidak senang dan berkata, "Yaaaaaa, oke. Kalau kamu tidak suka, coba sebutkan idemu."

Dan itulah kenapa aku kemudian mengatakan slogan ituǃ

“[Manusia ~Amati Lebih Dekat dan Ada yang Bersantai sambil Bersandar pada Lain. Festival Budaya~]”

Bam!

…Aku pikir mungkin dunia ini terhenti sejenak.

Tidak ada yang bersuara. Sagami, Meguri-senpai, Hayama tidak ada yang berkata apa-apa; mereka cuma tercengang. Ïni adalah situasi yang mereka bilang terdiam.

Komite tersebut tidak bersuara.

Bahkan mulut Yukinoshita ternganga.

Kesunyian tersebut dipecahkan oleh suatu suara tawa.

“Ahahahahaha! Tolol sekaliǃ Ada orang tolol disiniǃ Hebat sekaliǃ E-Ehehe~, ahhhh. Oh ya Tuhan, perutku sakit.” Haruno-san tertawa terbahak-bahak.

Hiratsuka-sensei melototiku dengan tatapan masam. Anda menakutkan sekalib bu. Ketakutanku berlipat ganda, bu. Dia kemudian menyengol Haruno-san dengan sikunya. "...Haruno, tertawamu berlebihan."

“Ahahaha, ha… Mm, mmm,” Haruno-san menahan tawanya dan terbatuk, setelah menyadari suasana dingin di sekelilingnya. "Maksudku, aku rasa itu ide yang cukup bagus. Yep. Selama itu menarik, itu oke bagikuǃ”

“Hikigaya… Jelaskan…” Hiratsuka-sensei meminta penjelasanku sembari terlihat agak tercengang.

“Ya, mereka bilang kanji untuk manusia, 人, memperlihatkan orang yang menyokong satu sama lain, tapi bukankah sebenarnya itu cuma satu orang yang bersandar pada orang yang satunya lagi? Aku rasa sebenarnya konsep kanji ini adalah selalu akan ada seorang korban. Makanya untuk festival budaya ini —untuk komite panitia ini— Aku rasa itu sangat sesuai."

“Persisnya apa maksudmu dengan korban?” sudah tidak ada lagi ekspresi tercengang pada wajah Hiratsuka-sensei.

“Lihat saja aku. Aku itu korban disini. Aku dipaksa untuk mengerjakan segunung pekerjaan. Malah orang-orang terus memberiku lebih banyak pekerjaan. Apa ini yang dimaksud dengan "gotong royong" yang diserukan ketua disini? Aku tidak mendapat bantuan apapun, jadi aku sama sekali tidak memahaminya."

Tatapan semua orang tertuju pada Sagami.

Setelah melihat Sagami yang sedang gemetar, mereka kemudian berpaling pada satu sama lain.

Suasananya menjadi liar.

Suara-suara muncul dari satu orang ke orang lain.

Bisikan-bisikan yang diarahkan padaku dan kemudian diarahkan ke depan seperti ombak yang menghantam pesisir pantai dan kemudian surut.

Kemudian, semuanya berhenti di pusatnya.

Itu adalah pusat dimana petinggi panitia komite festival budaya dan wakil ketua Yukinoshita Yukino berada.

Tidak ada satu suara-pun yang muncul di dalam ruangan konferensi ini di detik ini.

Yukinoshita adalah ratu es yang memerintah dengan kekuasaan otokratis absolut, menggunakan cara-cara yang drastis sejak pelantikannya. Semua orang memusatkan pandangan mereka padanya dengan ekspektasi bahwa dia akan memberikan hukuman untuk omong kosong ini.

Kemudian, Yukinoshita mengangkat notulen kusut yang ada di tangannya untuk menutupi wajahnya.

Bahu Yukinoshita bergetar. Dia menundukkan badannya ke depan meja dan punggungnya yang merosot bergerak naik turun.

Semua orang hanya bisa menonton hal aneh tersebut. Rasa sunyi yang sampai menyakitkan telinga tersebut terus berlanjut beberapa saat lagi.

Setelah itu, Yukinoshita menghela pendek dan mengangkat wajahnya. “Hikigaya-kun.”

Tatapannya tertuju tepat ke arah tatapanku.

Terasa sudah agak lama sejak dia memanggil namaku seperti itu dan sejak aku melihat mata biru yang jernih tersebut.

Pipinya yang tampak sedikit merona.

Mulutnya yang membentuk suatu senyuman.

Bibir berwarna ceri dan berbentuk indah tersebut bergerak lembut.

Dengan suatu wajah yang tersenyum dengan cemerlang dan mengingatkanku dengan suasana hangat bunga yang bermekaran, dia menyatakan, "Ditolak."

Yukinoshita kembali serius, meluruskan punggungnya, dan mengosongkan tenggorokannya. "Sagami-san. Mari kita sudahi dulu disini hari ini. Sepertinya kita tidak akan mendapatkan ide yang baik hari ini.”

“Huh? Tapi…”

“Alangkah baiknya kalau kita tidak membuang-buang waktu untuk hal ini. Semua anggota komite sebaiknya memikirkan suatu slogan dan kita akan putuskan slogan yang sesuai besok. Untuk sisa pekerjaannya, jika semua anggota turut berpartisipasi selama sisa waktu yang ada, kita seharusnya bisa mengejar ketertinggalannya," kata Yukinoshita, melihat ke sekeliling ruangan konferensi tanpa bersuara namun dengan tatapan yang tegas. "Sepertinya tidak ada yang keberatan."

Tidak ada yang mengajukan keberatan setelah merasakan intensitasnya. Dengan sekejap, dia mampu mendorong semua orang untuk kembali berpartisipasi.

Begitu pula dengan Sagami.

“O...ke, baiklah. Kalau begitu ayo kita tetap semangat untuk besok. Terima kasih atas kerja keras kalian."

Setelah dia membubarkan rapatnya, semua orang meninggalkan tempat duduk mereka berdua dan bertiga.

Tanpa melihat ke arahku, Hayama berdiri dan meninggalkan ruangan konferensi tersebut.

Selagi mereka mengikutinya keluar, orang-orang menatapiku dengan sinis dan tajam setelah berpapasan denganku.

Bahkan ada orang di antaranya yang membisikkan "ada apa dengan orang ini". Ya, betul. Ada apa dengan orang ini? Eh, itu aku.

Setelah anggota komite meninggalkan ruangan tersebut, yang tersisa disana adalah anggota OSIS yang biasanya.

Di dalam suasana yang santai tersebut, ada satu orang yang terlihat kecewa.

Dia adalah Meguri-senpai.

Meguri-senpai berdiri dari tempat duduknya tanpa bersuara. Dia mendekatiku dan tidak memasang senyuman riangnya yang biasa.

“Aku kecewa… Aku pikir kamu itu orang yang benar-benar serius…”

“……”

Tidak ada kata-kata yang bisa kulontarkan untuk bisikan sedihnya.

Itulah kenapa aku tidak ingin bekerja. Jika kamu bekerja keras untuk melakukan pekerjaanmu, kamu akan dihadapkan dengan ekspektasi. Suatu saat nanti, satu salah langkah saja dari dirimu akan menghasilkan kekecewaan.

Aku menyeka semua rasa penyesalanku dengan satu helaan.

Aku mengangkat diriku dari kursiku.

Baru saja aku akan berjalan keluar dari ruangan konferensi, Yukinoshita muncul di depan pintu.

“Apa kamu tidak masalah dengan ini?"

“Dengan apa?” tanyaku balik, tapi dia tidak menjawab.

“Aku rasa akan lebih baik jika kamu membenarkan kesalah-pahaman ini.”

“Aku tidak akan bisa membenarkannya. Itu sudah ada di luar sana, jadi masalahnya selesai disana. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan."

Jawaban yang benar, suatu kesalah-pahaman; apapun istilahnya, itu jawaban akhirku.

Kamu tidak bisa menarik kembali kekecewaan pada dirimu, kamu juga tidak bisa menghilangkan stigma yang dicap pada dirimu.

Yukinoshita memincingkan matanya dan melototiku sejenak. "...Kamu selalu membuat alasan untuk hal-hal yang tidak penting tapi tidak pernah membuat alasan ketika ada hal penting yang terjadi. Aku rasa kamu itu agak pengecut. Kalau kamu menjelaskannya, tidak ada orang yang bisa membantahmu."

“Tidak ada gunanya membuat alasan. Semakin penting suatu hal baginya, akan semakin egois orang tersebut.”

“…Ya. Mungkin itu benar. Hal seperti alasan itu tidak ada artinya," kata Yukinoshita, seakan sedang merenungkannya.

Kamu tidak bisa menarik kembali jawaban yang telah kamu berikan. Tidak ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah. Telur yang kamu pecahkan tidak akan kembali. Semua kuda dan tentara seorang raja yang gugur tidak akan kembali ke sisinya lagi.

Tidak peduli apapun yang dikatakan. Kamu tidak akan pernah bisa menghilangkan kesan yang buruk.

Meskipun jika dibandingkan, kebalikannya itu sangat mudah. Hanya satu kata saja bisa membuat seseorang terlihat buruk. Hanya satu tindakan saja bisa membuatmu terkesan buruk.

Itulah kenapa alasan itu tidak ada artinya. Karena bahkan semua alasan itu akan membuatmu terkesan buruk.

Yukinoshita melipat lengannya dan berdiri dalam diam. Namun, dia tidak bersandar pada dinding. Seperti biasa, dia melurukan postur tubuhnya dan mengangkat wajahnya.

“…Kalau begitu, berarti aku harus bertanya lagi."

Itu adalah suatu niat yang membara dan intens yang bahkan bisa menutupi kebencian. Mata indahnya terlihat seperti bintang-bintang yang berkelip terang.

Seakan mata tersebut sedang memberitahukuː "Aku tidak akan membuat alasan. Jadi, lihat aku."

Tatapannya yang sungguh-sungguh lalu berubah menjadi sesuatu yang sedikit hangat.

“Jadi, ada apa dengan itu tadi?"

“Apa?”

“Slogan menyedihkan yang kamu katakan itu. Itu ampas sekali."

“Itu jauh lebih baik dari sloganmu... Apa kamu sejenis tesaurus?" kataku.

Yukinoshita menghela dengan disengaja. "Kamu tidak pernah berubah, mengecewakan sekali..."

“Manusia tidak semudah itu berubah."

“Kamu itu memang sudah aneh dari awal."

“Hei, tidak perlu bilang begitu."

Yukinoshita tertawa kecil. “Ketika aku melihatmu, aku mulai berpikir akan terlihat bodoh untuk memaksamu berubah." Dia memalingkan punggungnya sebelum dia selesai berbicara. Dia bergegas ke arah mejanya untuk mengambil tasnya dan kemudian menunjuk ke luar tanpa bersuara. "Keluar" itu apa yang dia maksudkan.

Kami berdua meninggalkan ruangan konferensi itu dan dia mengunci pintunya.

“Oke, aku akan mengembalikan kuncinya dulu."

“Ya, sampai jumpa."

“Ya, selamat tinggal." Dia berpamitan, tapi kemudian meletakkan tangannya pada dagu dan terlihat ragu-ragu sejenak. Lalu, dia menambahkan, "...Sampai jumpa besok." Tangannya bergerak dari dagu menuju ke dekat dadanya. Telapak tangannya yang terlihat ragu antara mau terbuka atau tergenggam diayunkan sedikit ke kiri dan ke kanan.

“…Ya, sampai jumpa besok.”

Kami berdua berpaling ke belakang dan mulai berjalan.

Aku memiliki niatan untuk berpaling ke belakang setelah melangkah beberapa langkah, tapi tidak ada tanda-tanda langkah kaki dia berhenti. Kalau begitu, aku juga tidak akan berhenti.

Bisakah kita tetap seperti ini tanpa berpaling ke belakang?

Bisakah aku menanyakannnya sekali lagi?

Di dunia ini, kamu tidak akan pernah bisa menarik kembali sesuatu.

Jawabanmu yang salah akan terus tetap seperti itu.

Jika kamu ingin memperbaikinya, maka kamu harus menemukan jawaban yang baru.

Maka dari itu, aku akan bertanya lagi.

Demi mengetahui apa jawaban yang benar.

6-4

Slogan Festival Budaya diputuskan pada rapat komite keesokan harinya.

Rapat yang kembali bersemangat itu mengelar satu per satu diskusi yang berapi-api. Hasil dari debat yang berkepanjangan sampai kepala semua orang berhenti bekerja dan semakin melantur itu membentuk suatu ide. Slogan festival budaya tahun ini adalah sebagai berikutː

[Khas Chiba, Menari dan Festivalǃ Kalau Kita Semua Sama-sama Bodoh, Ayo Kita Menariǃ Sing a Songǃǃ]

Apa itu tidak masalah?

Ide itu membuatku sedikit tidak nyaman, tapi ini kesimpulan dari rapat komite. Lagipula aku tidak bilang aku tidak menyukainya. Lagu tarian Chiba memang terkenal.

Rapat berapi-api itu masih belum padam melihat anggota komite masih terus berdebat dengan satu sama lain.

Untuk mengalihkan motivasi mereka ke pekerjaan yang ada, Yukinoshita berbisik pelan pada terlinga Sagami. “Sagami-san. Untuk selanjutnya, kita sebaiknya mengganti slogannya."

“Ah, oke… Kalau begitu, semuanya, tolong ubah slogannya dengan slogan yang kita putuskan."

Untuk sekarang, panitia komite festival budaya mulai kembali bekerja atas arahan Sagami.

Memilih slogan pastilah sejenis tradisi yang memperdalam persatuan di antara semua orang karena mereka terlihat penuh termotivasi.

“Oke, kalianǃ Ayo buat kembali poster ituǃ" bagian publikasi meraung.

“Tunggu sebentarǃ Kita masih belum selesai menghitung anggarannya!” bagian keuangan menghardik balik.

“Tololǃ Nanti saja kalian main-main dengan sempoaǃ Aku harus bertindak sekarangǃ”

“Terserahlahǃ Tapi pastikan kalian bawa kembali paku payungnya setelah posternya diperbaikiǃ Itu juga akan dihitungǃ”

Dan begitulah seterusnya. Bahkan orang-orang bagian perlengkapan juga mulai ikut-ikutan.

Setiap bagian secara aktif bertukar ide dengan satu sama lain. Sulit dipercaya mereka ini orang-orang yang sama dengan sebelumnya.

Kalau aku, orang-orang menghina diriku di belakang sembari mengucilkan dan mengabaikan aku. Tapi ini bukan perundungan. Perundungan tidak ada di sekolah kami.

Bahkan ketika mereka memberiku lebih banyak tugas, mereka tidak mengucapkan sepatah kata-pun padaku dan cuma meletakkannya di depanku saja. Hebat juga membuat orang bekerja lebih keras bahkan dalam situasi seperti ini. Bos-bos itu, maksudku.

Aku segera mengetik notulensi hari ini ke dalam dokumen Word dan ada suara yang amat bersemangat melayang padaku dari atas.

“Hei hei, sedang bekerja keras kah?”

Sekarang setelah komite ini bekerja dengan serius, Haruno-san memiliki beberapa waktu luang dan hadir disini saat dia beristirahat dari latihannya. Dia khusus datang ke tempatku dan menepuk kepalaku.

“…Seperti yang bisa anda lihat sendiri.”

Haruno-san mengintip ke arah layar komputer dari belakangku. Err, kamu agak sedikit dekat. Apa ini, parfum? Aromamu benar-benar mempesona, jadi tolong menyingkir dariku...

“Ahh… Kamu tidak bekerja keras."

Kenapa? aku bekerja keras sekali…

Aku melototinya dengan mata busukku yang penuh dengan umpatan dan Haruno-san pura-pura kaget.

“Oh, tidak senang ya...? Maksudku, aku sama sekali tidak melihat adanya pencapaian Hikigaya-kun di notulensi itu."

“……” Aku terdiam.

Haruno-san melihat ke arahku dan tersenyum angkuh. "Hikigaya-kun? Waktunya kuisǃ Apa hal yang paling mampu menyatukan suatu kelompok~?”

“Seorang pemimpin berhati dingin?”

“Jangan malu-malu. Kamu tahu jawabannya. Yah, tapi aku juga tidak bisa bilang aku tidak suka jawabanmu itu," matanya terlihat semakin dingin, tapi dia mempertahankan senyumannya. "Jawaban yang benar adalah... adanya musuh bersama."

Niat sesungguhnya terpampang dari senyuman dingin itu.

Seseorang dulu pernah berkataː "Pemimpin terhebat yang mampu menyatukan semua orang adalah sang musuh."

Yah, dengan adanya seseorang untuk menjadi target dari semua kebencian tidak akan mengubah perilaku semua orang dalam sekejap. Itu tidak mungkin terjadi.

Tapi tambah jumlah orangnya jadi empat, bahkan lima, dan mereka akan terus bertambah seperti kelinci. Semakin besar jumlahnya, semakin cepat pemikiran tersebar.

Mereka bilang manusia adalah makhluk yang "berempati". Sama seperti kamu akan ikut menguap ketika kamu melihat orang lain menguap.

Terutama amarah, fanatisme, dan kebencian mudah sekali menyebar.

Skema multi-level marketing (MLM) dan pengaruh agama juga serupa.

Semua orang akan merasa lebih baik bersama dengan orang lain.

Doktrin dan wejangan juga mengikuti logika yang sama. Selama hal tersebut dapat membuatmu berpikir "berusaha keras akan membuatmu terlihat baik", pekerjaan mereka sudah selesai.

Sosialisasi tergantung pada jumlah.

Suara massa tergantung pada jumlah.

Peperangan tergantung pada jumlah.

Kamu akan otomatis membuat orang ikut bergabung setelah meningkatkan jumlah orangnya. Intinya kamu menang. Dan dunia ini sekarang berjalan dengan situasi seperti itu. Orang yang dapat menggerakkan dunia itu bukan seorang pemimpin dengan karisma yang luar biasa. Orang yang menggerakkan dunia itu adalah hasil dari mayoritas absolutnya, atau dari janji-janji yang berasal dari mayoritas tersebut.

Jadi sisanya sederhana.

Jika ada suatu sosok pecundang absolut seperti [Hikitani@tidak bekerja keras], maka pendapat publik-suara massa-akan cenderung menghindar dari hal tersebut.

Orang yang berusaha itu keren. Orang yang tidak itu Hikitani.

Selama label tersebut terus menempel, orang-orang akan terus berusaha, tidak peduli apa pendapat mereka sendiri.

Haruno-san tertawa kecil dan melirik ke bawah padaku. "Yah, meski kurasa musuh kita disini itu kelas teri."

Pergi sana kamu.

“Tapi sekarang melihat semuanya bersemangat dan termotivasi, kurasa itu hal yang bagus."

“Ya, karena itu aku sekarang punya lebih banyak kerjaan."

Jadi itulah kenapa kamu sebaiknya berhenti mengangguku. Aku ingin hal itu tersampaikan padanya, tapi dia dengan santai mengabaikannya.

“Tidak masalah. Kalau brandalan sepertimu ternyata bekerja dengan rajin, maka itu pasti akan terus memancing mereka. Toh, mereka tidak akan tumbuh kalau musuhnya tidak hebat. Perselisihan merupakan kunci dari kemajuan teknologi~.” Haruno-san mulai menerangkan, matanya terpejam sembari mengayun-ayunkan jarinya. Wow, dia menjengkelkan juga.

Tapi sambil melakukan sikap melucunya, matanya yang terbuka melirik ke arah Yukinoshita.

Tatapan tersebut membuat suatu pemikiran tak berdasar melintas ke dalam kepalaku.

“Um, apa mungkin…”

Bibirku yang bergerak dihentikan oleh jari jemarinya yang lembut.

“Aku tidak suka anak yang peka, oke?”

Anggap saja keberadaan seorang musuh merupakan cara paling sederhana untuk memancing perkembangan manusia.

Apa mungkin orang ini sedang ber-akting sehingga dia terlihat sebagai sang musuh? Aku mendapati diriku berpikir demikian meski tanpa bukti apapun.

Haruno-san tersenyum dan berujar "cuma bercanda", sembari masih menahan bibirku.

Itu senyuman tanpa cela, begitu sempurna sampai-sampai nyaris mengecoh diriku.

Aku terpatung dan tidak mampu mengatakan apa-apa. Kemudian, ada suara tajam yang menusuk dari belakang.

“Anggota, kerjakan tugasmu.”

Pom pom pom. Dia menumpuk sejumlah dokumen di hadapanku.

Ketika aku mendongak ke atas, Yukinoshita melototiku dengan mata yang amat dingin sekali.

“Singkirkan dokumen untuk perubahan slogan ini. Dan juga, notulennya...adalah apa yang sedang kamu kerjakan sekarang..." Yukinoshita menggerakkan tangannya pada bibirnya dan kemudian berujar "ah" selagi dia mengangkat wajahnya. "...Kalau begitu, kirimkan pemberitahuan kepada semua kelompok mengenai perubahan slogan ini."

“Hei, jelas sekali kamu baru mengarang tugas itu, ya kan?”

Dia baru saja bilang "kalau begitu" kan tadi? Setiap kali kata itu dipakai, itu akan membuatmu terlihat kamu belum ada terpikirkan sesuatu.

“Ada masanya ketika aku mendadak mendapatkan suatu inspirasi. Kebijaksanaan itu adalah ketika kamu mampu mengolah inspirasi tersebut. Oh, satu lagi, sembari kamu mengerjakannya, kumpulkan permohonan tertulis pertunjukkannya semua dan unggah ke dalam server."

Dia baru saja menyebutkan sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal. Dia sungguh payah dalam membuat alasan. Lalu, apa dia baru saja menambahkan pekerjaan padaku? Bukankah kamu seharusnya menggunakan kata "sembari kamu mengerjakannya" untuk pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan yang sedang dilakukan saat ini? Apa aku salah?

Aku melihat ke arahnya dengan penuh keraguan, tapi ditekan oleh tatapan tajam Yukinoshita.

“Jadi, selesaikan hari ini.”

“Mustahil…”

Berurusan dengan Yukinoshita sekarang membuatku sadar bahwa lingkungan pekerjaanku sebelumnya itu jauh lebih santai. Ini sudah sampai di titik dimana kalau ini adalah pekerjaan paruh waktu, kamu tidak akan ingin pergi bekerja, lalu mencongkel baterai ponselmu, dan kemudian berteriak pada ibumu, "jangan angkat telepon rumah untuk sementara waktuǃ"

Tapi karena aku ada di sekolah, aku tidak bisa berhenti...

Selagi aku terjerumus ke dalam keputus-asaan, Haruno-san mengangkat lengannya dan melambaikannya agar Yukinoshita dapat melihatnya. “Apa aku sebaiknya mengerjakannya juga?”

“Nee-san, kamu menganggu, jadi pulang saja." ucap Yukinoshita ketus.

Mata Haruno-san kemudian penuh dengan air mata. "Jahatǃ Yukino-chan, kamu jahat sekali...ǃ Yah, aku tidak ada kerjaan lain, jadi aku juga akan ikut membantu. Hikigaya-kun, beri aku setengahnya."

Ketika Haruno-san meraih tumpukkan kertas tersebut, Yukinoshita meletakkan tangannya pada sisi kepalanya. "...Astaga. Aku akan meninjau anggarannya, jadi kalau kamu ingin melakukan sesuatu, ayo kita pergi lakukan itu."

“Hm? Fufu… Okeeeee♪!” Haruno-san tersenyum dengan mencurigakan untuk sekilas, tapi dia segera kembali ke sikap penuh semangatnya yang biasa. Dia mendorong Yukinoshita dari belakang dan bergerak. Kelihatannya mereka akan membahas anggarannya.

Setelah semua itu, Haruno-san sedang melakukan pekerjaanya.

Aku tidak benar-benar yakin seseorang yang sibuk seperti Haruno-san bisa muncul begitu sering hanya demi kelompok voluntirnya. Tidak mungkin dia se-santai itu. Jadi untuk alasan apa dia datang kemari? Tapi itu mungkin bukan sesuatu yang perlu kupikirkan.

Akan lebih produktif untuk berpikir bagaimana cara menyingkirkan pekerjaan di hadapanku ini.

Fufu. Budak korporat disebut demikian karena tidak ada yang bisa mereka perbuat...

6-5

Seiring mendekati hari festival budaya, SMA Sobu mulai memanas meski suhu udara semakin menurun.

Ruang kelas 2-F begitu riuh semenjak pagi.

Hari ini kami melakukan persiapan sepanjang hari sebelum acara dimulai besok.

Meja-meja disusun dan disatukan untuk mendirikan panggung.

Di bawah arahan ketua kelas, Oda atau Tahara, atau siapalah itu mengangkat papan dan hiasan latar belakang yang terbuat dari karton dan tripleks.

Tobe, Yamato, dan si perjaka Oooka berseru satu-dua-tiga dan mengangkat suatu tiruan pesawat yang dibuat dengan sepenuh hati.

Kawasaki sedang menyesuaikan kostum sembari mendengarkan musik dari headphone-nya. Miura dan Yuigahama sedang berbicang selagi mereka mendekorasi dengan bunga merah palsu.

Karena kelihatannya bunganya tidak cukup, gadis-gadis itu mulai membuat lebih banyak bunga lagi. Pasti salah satu bunga itu. Bunga yang kamu buat dengan menumpukkan lima lembar kertas tisu berwarna, lalu dilipat sesuai dengan tahapannya, ikat bagian tengahnya dengan karet, dan kemudian kupas lembarannya satu per satu.[6] Ya yang itu. Sering muncul di festival budaya.

Totsuka dan Hayama berlatih peran mereka bersama.

Kalau aku sendiri, aku sedang duduk manis di sudut panggung karena tidak ada pekerjaan apapun.

“Malam ini... Kamu jangan datang kemari."

“Kita akan tetap bersama selamanya.”

Sang "narator" secara langsung menyampaikan perasaannya seakan untuk menyemangati suara pangeran kecil yang rapuh.

Aku tahu itu cuma bagian dari pertunjukkannya, tapi aku tetap menggertakkan gigiku... Sial, kalau aku tahu aku akan bisa membuat kenangan semacam itu, aku harusnya ikut bergabung saja.

Ugh, aku tidak sanggup lagi melihat mereka... Aku menghempaskan kepalaku ke arah lain dan muncul sang produser Ebina-san di sana. Dia memasang senyuman yang lumayan menjijikan.

“KAMU, naik ke atas sana!”

Apa kamu orang dari Sesuatu & Associates?[7] Kumohon. Tolong jangan mendirikan Ebina & Associates.

“Maaf, aku sudah ada komite panitia..." sahutku.

Ebina-san menepuk bahunya dengan naskah yang digulung. "Oh. Sayang sekali. Kalian berdua juga bisa jadi pasangan yang serasi; Hikitani-kun sebagai "narator" dan Hayato-kun sebagai pangeran. Tadi kamu menonton mereka berdua berlatih di panggung dan baru saja akan dikobari oleh api kecemburu- Oh! Apakah ini yang dinamakan NTR!? Bufu!”

Hidungnya meneteskan darah seakan dia sedang memuncratkannya. Dia menakutkan sekali, sungguh...

“Ya Tuhan, dia mulai lagi. Ebina. Ayo, hembuskan." Miura menghampirinya setelah menyadari betapa ricuhnya dia dan menyeka hidung Ebina dengan kertas yang diperuntukkan untuk bunga palsu. Aku dengar sebenarnya kamu tidak boleh menghembuskan lewat hidung ketika kamu sedang mimisan.

Setelah mengamati kelas untuk beberapa saat, aku berdiri dan meninggalkan kelas.

Setiap kelas yang kupapasi terlihat penuh dengan energi.

Bagi para penyendiri, ini mungkin suatu lingkungan yang sulit untuk mereka tempati. Jika sekarang ini sekolah sudah selesai, mereka bisa langsung hilang dengan diam-diam dan tidak akan ada yang menyadarinya. Atau setidaknya pura-pura tidak menyadarinya, tapi kalau masih pagi hari, mereka tidak akan bisa kabur begitu saja.

Singkatnya ini antara "ayo tunggu arahan" dan "ayo melamun saja”.

Normally I’d be doing that, but this year, I was in the Cultural Festival planning committee.

I walked down the stairs, turned the hallway, and continued down the route that I had already gotten used to.

The conference room I arrived at saw a rush of traffic in and out. The door of the room which was typically closed looked like it had stayed open the entire day.

Yukinoshita was inside swiftly clearing work. Sitting next to her like a doll was Sagami. Haruno-san was spinning around in her chair discussing something with Meguri-senpai. I don’t really care, but Haruno-san has way too much time, doesn’t she?

I went inside the conference room and checked over the assistant historian shifts for tomorrow and the day after. People were continuously flowing into the room.

“Vice-chairwoman. The test updates to the homepage have been completed.”

“Understood… Sagami-san, please confirm.” Despite asking her, Yukinoshita checked it herself as well.

“Sure. It looks good.”

“Right. Please deploy the production environment to the website.”

She cleared one job after the other.

“Yukinoshita-san, the volunteers don’t have enough equipment!”

“The volunteer management section should discuss this with the representative of the volunteers. Please rent out the equipment according to what the item management group decides. Send a report to us afterwards.” It was only after she instantly handed out those instructions that Yukinoshita noticed the person sitting next to her. “Sagami-san, there aren’t any problems so we should be in the clear to move forward.”

“Ah, okay. I think that sounds good.”

When things went well, an urgent problem arose. Regardless, the problems were promptly resolved one after the other and the Cultural Festival planning committee was operating smoothly.

Amongst them all, Yukinoshita’s role was huge.

“The volunteer rehearsal is running behind schedule so we’ll move them to the end of the opening ceremony rehearsal. So keep that in mind.” Once she finished giving out instructions, she breathed out.

Haruno-san snuck up behind Yukinoshita and embraced her. “That’s my Yukino-chan!”

“Get away from me, don’t get close to me, go home.” Yukinoshita faced the PC while giving her the cold treatment.

Haruno-san let go of Yukinoshita and gently placed her hands on Yukinoshita’s shoulders. “Yukino-chan, you’re doing really good work. It’s like when I was doing it back then.”

“Uh huh, that’s true. It’s all thanks to you, Yukinoshita-san.” Meguri-senpai praised her as well.

“Not at all. It’s not that amazing…” As if trying to cover her embarrassment,

Yukinoshita’s key presses on the keyboard grew louder.

“That’s not true. Your contributions here are extremely helpful, Yukinoshita-san,” said Meguri-senpai.

The other executives nodded their heads in agreement. The ones who went through thick and thin were them. So of course they’d feel much stronger about it.

The only exception was one individual who maintained a stiff smile. Sagami continued to smile without saying anything.

“This is how a planning committee should be! Ahh, I feel so gratified right now.”

Everyone nodded to Haruno-san’s words. Everyone was satisfied. They were aware that they fulfilled their obligation as the Cultural Festival planning committee.

That’s why no one saw what lied behind her words.

It was something that rejected the earlier planning committee. But it was also something that criticized the one who led it, Sagami.

Only those obligated to the people with warped personalities would be able to notice.

Sagami crumpled the paper in her hands under the desk.

Haruno-san expressed a smile in that instant. “Tomorrow’s going to be so fun… right?” Her gaze was directed at me for only a moment. Just what kind of future those dark eyes gazed at, I still wasn’t sure.

It was only a little longer until the opening of the festival full of barbaric fervor, youth, deception, and fabrication.

At long last, tomorrow was the Cultural Festival.

Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7

Catatan Translasi

  1. Ishikawa Takuboku adalah seorang penyair Jepang dan kalimat di atas adalah plesetan dari apa yang dia tulis di puisinya, "Segengam Pasir".
  2. Apartemen dengan 3 kamar, ruang tamu (Living̞ room), ruang makan (Dining room), dan dapur (Kitchen)
  3. Slogan manjuu aslinya berbunyi “Enakǃ Terlalu Enakǃ"
  4. Hakkō ichiu, slogan politik Jepang yang berarti membuat seluruh dunia ini menjadi satu keluarga. Dipakai sebagai propaganda Jepang di Perang Dunia Kedua. Di anime diganti jadi Ichii senshin, yang berarti berkonsentrasi penuh terhadap sesuatu atau berdedikasi penuh.
  5. Hanabatake Farm di Hokkaido dengan taman bunga, peternakan dan suasana yang asri nan indah. Di sana juga ada kafe dan teh, juga ada toko yang menjual suvenir seperti keju yang dibuat di peternakan itu dan potongan karamel.
  6. Jika tertarik, boleh coba liat video youtube ini. [https:// /rRrCjavX6zI?si=tDp9aDJY9O-dVLEH Bunga palsu dari tissue]
  7. Johnny & Associates. Agensi talenta Jepang yang mengelola grup idola pria.