Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 7"
m |
m |
||
Line 201: | Line 201: | ||
Ini adalah pembukaan yang penuh dengan prospek buruk. |
Ini adalah pembukaan yang penuh dengan prospek buruk. |
||
+ | |||
+ | ===7-2=== |
||
+ | |||
+ | Akhirnya festival budaya dimulai setelah acara pembukaan. |
||
+ | |||
+ | Festival budaya ini akan diselenggarakan selama dua hari, tapi hanya dibuka untuk umum pada hari kedua. Hari pertama hanya untuk kalangan internal. |
||
+ | |||
+ | Ini akan menjadi festival budaya keduaku di sekolah ini, tapi tidak ada sesuatu yang spesial yang bisa diceritakan. Ini cuma festival budaya biasa. |
||
+ | |||
+ | Setiap kelas menggelar acara mereka, klub budaya menggelar pameran dan pertunjukkan, dan para voluntir memainkan pertunjukkan band. |
||
+ | |||
+ | Mungkin karena pengaruh zaman, hanya makanan dan minuman yang siap saji yang dijual, tidak boleh dimasak di sini. Tidur di sekolah untuk mempersiapkan festival juga sudah tidak diizinkan. |
||
+ | |||
+ | Tapi orang-orang masih tetap antusias, jadi festival budaya itu sendiri cukup menabjubkan. Orang-orang menikmati "Festival Budaya" sebagai suatu simbol; dengan kata lain, mereka menikmatinya karena abnormalitasnya dari keseharian mereka, bukan karena kemegahannya ataupun kualitasnya. |
||
+ | |||
+ | Itu apa yang bisa kamu harapkan dari suatu festival. |
||
+ | |||
+ | Tentu saja, antusiasme yang berapi-api itu juga sampai ke kelasku, 2-F. |
||
+ | |||
+ | Pertempuran promosi segera memenuhi lorong dan untuk melintasinya cukup memakan banyak tenaga. Brosur dibagi-baikan, kelompok dengan papan plang terus berkeliling, dan orang-orang dengan kostum-kostum untuk pesta yang dibeli dari sejenis toko Don Quijote<ref>Toko retail di Jepang yang sering memberikan diskon.</ref> juga berkeliaran. ''Wow, menjengkelkan sekali.'' |
||
+ | |||
+ | Aku pergi kembali ke dalam kelasku setelah selesai bersih-bersih usai acara pembukaan. Ketika aku kembali, ruangan kelas itu dalam kondisi kacau. Semua orang sedang tengah menyelesaikan sentuhan terakhir untuk pertunjukkan pertama mereka. |
||
+ | |||
+ | “Ini kenapa dengan riasan wajahnyaǃ̃? Apa yang sedang kamu lakukanǃ? Cat wajahnya terlalu tipisǃ" |
||
+ | |||
+ | “Kenapa, apa kamu gugup? Kamu lucuu sekali, sungguh. Semua orang datang juga cuma untuk melihat Hayato saja. Jadi sebaiknya, kamu tenang saja, oke?" |
||
+ | |||
+ | Ebina-san berteriak dengan geram sembari Miura memberikan semangat untuk satu per satu orang. Kata-katanya cukup jahat, tapi kelihatannya semua orang mulai terlihat rileks. |
||
+ | |||
+ | Aku mengamati teman-teman sekelasku dan mereka semua terlihat rajin mengerjakan pekerjaan mereka. Apa mereka semua jadi lebih akrab dengan satu sama lain dalam satu setengah bulan ini? |
||
+ | |||
+ | Mereka akan tertawa, mereka akan menangis... Mungkin mereka bahkan akan berteriak pada satu sama lain... Mereka nyaris akan saling berkelahi, tapi meskipun demikian, mereka akan saling menyadari isi hati mereka yang sesungguhnya dan akhirnya akan bersatu... mungkin... Yah, aku juga tidak tahu karena aku tidak ada disana. |
||
+ | |||
+ | Tidak ada yang bisa kulakukan, jadi aku bertengger di dekat pintu masuk kelas, berpura-pura amat sibuk sambil bergumam "oh ya, hmm..." |
||
+ | |||
+ | “Wudah cukup lama kamu pura-pura bekerja, apa kamu tidak ada kerjaan ya?" Itu adalah kata-kata yang akan kamu dengar langsung dari mulut bosmu. Aku berpaling ke belakang dan disana berdirilah dia, ''sang'' bos, yah, bos festival budaya kami, Ebina-san. "Kalau kamu tidak ada kerjaan, apa kamu bisa mengurus penyambutan tamu? Atau ''KAMU'' mau ikut jadi bagian pertunjukkannya?" |
||
+ | |||
+ | ''Tidak, tidak.'' Aku menjawab dengan menggelengkan kepalaku. |
||
+ | |||
+ | “Oke, kalau begitu terima tamu. Beritahu mereka jam berapa saja pertunjukkannya. Yang perlu kamu lakukan cuma menjawab setiap kali kamu ditanya." |
||
+ | |||
+ | “Tunggu, aku bahkan tidak tahu jam pertunjukkannya atau hal-hal lainnya." |
||
+ | |||
+ | “Tidak masalah. Informasinya ditempel di pintu masuk. Tapi agak mengecewakan kalau tidak ada orang yang duduk di depan. Jadi, tidak masalah kalau kamu cuma duduk saja disana." |
||
+ | |||
+ | Seriusan, ''cuma'' duduk? Pekerjaan impian macam apa ini? Aku ingin memanfaatkan pengalaman ini sebaik mungkin dan menggunakannya sebagai pengalaman kerjaku saat mencari kerja nanti. |
||
+ | |||
+ | Aku pergi dan meninggalkan ruang kelas seperti yang dia minta dan memang benar, ada meja lipat panjang beserta kursi lipat dua kaki dan tiga kaki di lantai. Hmph, ''ayo kita susun meja kursi ini.'' |
||
+ | |||
+ | Aku membuka lipatan meja panjang itu dan mendirikannya, kemudian aku membuka lipatan kursinya juga; pekerjaan selesai. Tugas ampas yang keren sekaliǃ Mungkin itu naluriku sebagai lelaki, tapi aku suka sekali melihat tipe-tipe transformasi seperti ini. Aku juga suka membongkar-bongkar sesuatu. Terkadang di kelas, aku akan membongkar pensil mekanikku lalu memasangnya balik. |
||
+ | |||
+ | Ada sebuah poster di dinding yang mendeskripsikan waktu jadwal pertunjukkannya dengan huruf-huruf yang besar. Kalau poster ini ada persis di sampingku, kurasa tidak akan ada orang yang akan menanyakanku apapun. |
||
+ | |||
+ | Tinggal lima menit lagi sebelum pertunjukkan dimulai. Selagi aku duduk manis, ruangan kelas 2-F menjadi setingkat lebih ribut. Aku mengintip ke dalam untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. |
||
+ | |||
+ | “Owww yahhh! Ayo kita buat lingkaranǃ” kata Tobe. |
||
+ | |||
+ | Semua orang mengeluh "tidak" dan "seriusan?" tapi tetap membentuk lingkaran rangkulan tersebut. Kalau ini Everyone grumbled “no way” and “seriously?” but still began forming the circle. Had this been recreation time, then it would’ve looked like they were going to start playing “Whatever Basket”[^3]. |
||
+ | |||
+ | “Ya know what, we ain’t getting’ anywhere unless Ebina-san gets this goin’. C’mon, over here. Straight to the center!” |
||
+ | |||
+ | ''There’s no concept of a center in a huddle'', I thought, but Tobe was actually indicating the spot next to him. It was a position where he could be justified in linking shoulders with Ebina-san. You’ve got some spunk, Tobe. You’re a formidable strategist. |
||
+ | |||
+ | Then, Miura pulled Ebina-san’s arm inwards as if supporting that strategist. “C’mon, Ebina. Get your butt in there.” |
||
+ | |||
+ | She was pushed inside of the huddle and she was exactly in the middle. The heart of the huddle. Everyone encircled Ebina-san. Tobe, ''sniff''. |
||
+ | |||
+ | Ebina-san spun around and looked at everyone. Her eyes then stopped at a single point. |
||
+ | |||
+ | “C’mon Kawasaki-san, you too.” |
||
+ | |||
+ | “M-Me? I’m fine here…” |
||
+ | |||
+ | “Gosh, there you go again. You need to take responsibility since you’re the one who made the outfits, okay?” |
||
+ | |||
+ | “Huh…? Weren’t you the one that said you would do that?” Kawasaki complained as she walked towards the huddle. |
||
+ | |||
+ | Once everyone, except for me, had gathered, Yuigahama looked over her shoulder at me. I smiled and shook my head at her. Her face then turned into an upset pout. |
||
+ | |||
+ | ''I’m fine here, jeez.'' I was better off not joining. It would be more awkward letting me in there when I didn’t even do anything for the class than just leaving me out of it entirely. |
||
+ | |||
+ | If I couldn’t be confident about standing along them, then it would be better for me to stay out of it. I mean, look at Sagami. She looked a little ashamed too, you know? |
||
+ | |||
+ | Sagami didn’t have a very cheerful expression in that huddle. She was probably still hung up on her earlier blunder, but it might also be because she was concerned about her own lack of participation. |
||
+ | |||
+ | People accustomed to assigning ranks to people do so for all manners of things. Sagami at this very moment was reflecting on her own rank. And I think the manifestation of that rank lied with the person who was far from Miura, Hayama, and the others, and wasn’t within her direct line of slight, offset to the side. |
||
+ | |||
+ | Mental distance is something that manifests itself in reality. |
||
+ | |||
+ | In which case, Ebina-san, currently the center of everyone, was without a doubt the very heart of the Cultural Festival. |
||
+ | |||
+ | After Ebina-san shouted out, everyone followed. |
||
+ | |||
+ | Surprisingly, it wasn’t all that bad of a feeling watching the completed huddle from outside. |
||
Revision as of 12:00, 20 October 2024
Inilah Saatnya SMA Sobu Berfestival dengan Keras
7-1
Sekeliling kegelapan tersebut terisi dengan kericuhan para siswa. Masing-masing suara tersebut memiliki suatu maksud, tapi dengan begitu banyak suara yang saling tumpang tindih, membuatnya terdengar seperti tiada arti.
Tirai hitam digantung dengan cermat di sepanjang panggung, menutupi semua celah yang ada. Cahaya lemah dari ponsel orang-orang dan tanda pintu darurat paling banyak cuma bisa menerangi telapak tangan seseorang.
Di dalam kegelapan ini, tidak ada yang istimewa.
Dan persis di saat inilah semua orang menjadi satu di dalam kegelapan.
Di bawah sinar matahari, perbedaan kita sejelas cahaya siang, membuat kita sadar betapa uniknya masing-masing diri kita. Tapi di kegelapan ini sekarang, sosok ambigu mengaburkan hal-hal yang membedakan satu orang dari orang yang lain.
Aku paham, sekarang masuk akal kenapa semua cahaya dimatikan sebelum acara dimulai.
Itu maksudnya orang yang disorot cahaya yang memotong kegelapan akan menunjukkan apa yang membuat dirinya berbeda dari keramaian.
Maka dari itu, orang yang berdiri di tengah panggung pastilah seseorang yang spesial.
Suara para siswa mulai menghilang satu per satu.
Waktu pada arlojiku menunjukkan 9ː57.
Sudah hampir waktunya mulai.
Aku menekan tombol interkomku untuk terhubung. Mikrofonnya memiliki sedikit waktu jeda dari saat ditekan, jadi aku menunggu dua detik sebelum berbicara.
[——Tiga menit lagi mulai. Tiga menit lagi mulai.]
Dalam sekejap, ada suara statis di dalam earphoneku.
[——Ini Yukinoshita. Semua personel, laporkan kondisi. Kita akan mulai sesuai jadwal. Segera lapor jika ada masalah.]
Setelah dia selesai berbicara dengan suara kalemnya, transmisi tersebut ditutup dengan suara buzz.
Lalu satu per satu suara statis mengikutinya.
[——Cahaya latar, semua aman.]
[——Ini sistem PA. Tidak ada masalah disini.]
[——Ini belakang panggung. Persiapan para pemeran agak sedikit terlambat. Tapi mereka seharusnya akan bisa selesai tepat waktu saat giliran mereka.]
Berbagai bagian memberikan laporan mereka. Jujur, aku tidak bisa menangkap semua laporan tersebut.
Maksudku, aku saja sudah ragu apa peranku disini. Asisten dokumentasi diberikan cukup banyak tugas pada hari-H acara. Itu termasuk beraneka ragam tugas yang berkaitan dengan acara pembukaan dan penutupan di panggung. Tugasku hari ini adalah menjadi penjaga waktu untuk acara ini. Tugasnya sederhana, hanya mengumumkan "sudah hampir waktunyaǃ" atau "masih ada sedikit waktu lagi." Yah, aku tidak bisa menolak perintah dari atas.
Semua laporan terpusat pada menara kendali, yakni Yukinoshita.
[——Mengerti. Semua orang bersiap-siap sampai diberikan aba-aba.]
Aku berada di sayap panggung dan menatapi arlojiku.
Untuk setiap detikan jam, keheningan semakin meluas.
Di balik jendela kecil ini seharusnya terdapat sebuah aula yang diisi kerumunan siswa. Hanya saja mereka terlihat seperti suatu makhluk hidup raksasa yang menggeliat di dalam kegelapan. Misalnya, seperti Nyarlathotep[1]. Dewa dari dunia lain dengan ribuan wajah... Huh? Tunggu dulu, bukan. Mil Mascaras[2] yang punya ribuan wajah. Ya sudahlah.
Tinggal satu menit sebelum acara dimulai dan aula tersebut berubah menjadi lautan keheningan.
Semua orang terfokus pada suatu momen yang sama, lupa untuk berbisik maupun bergumam.
Aku menekan tombol interkomku.
[——Sepuluh detik]
Jariku terus menekan tombol tersebut.
[Sembilan]
Mataku tertempel pada arlojiku.
[Delapan]
Aku berhenti menarik nafas.
[Tujuh]
Aku menghembuskan nafas di setiap hitungan.
[Enam]
Kemudian, ketika aku menarik nafas.
[Lima detik]
Dalam sekejap seseorang mengambil alih hitung mundurnya.
[Empat]
Suara tersebut teramat kalem, bahkan bisa dibilang dingin.
[Tiga]
Dan kemudian, suara hitungannya menghilang.
Namun, pasti ada seseorang yang menghitung mundur [Dua] dengan jarinya.
Yukinoshita melihat ke bawah pada panggung dari jendela ruangan sistem PA di lantai dua yang menonjol keluar, aku melihat ke atas dari sayap panggung.
Lalu, hitungan terakhir, [Satu], berakhir di dalam benak kami pada ruangan tanpa suara ini.
Dalam sekejap, panggung tersebut dipenuhi dengan cahaya yang menyilaukan mata.
“Hai, semuanyaǃ Kalian semua mulai membudaya kahǃ?"
“Yaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Meguri-senpai mendadak tampil di atas panggung dan disambut dengan sorakan pada hadirin.
“Khas Chiba, Menari dan—!?”
“Festivaaaaaaaaaaaaaaaaal!”
Slogan itu beneran tersebar...?
“Kalau kita semua sama-sama bodoh, ayo kita menari dan———!?”
“Sing a soooooooooooooong!!”
Menyahut seruan dan sahutan Meguri-senpai yang membagongkan, siswa-siswi tersebut mulai menggila.
Dan tanpa menunggu lama, musik tarian mulai menggelegar.
Ini adalah awal dari acara pertama. "Ini adalah penampilan kolaborasi antara perkumpulan dansa dan tim pemandu sorak," Meguri-senpai melanjutkan dari mikrofon aksi semangatnya sembari siswa-siswi mulai menari, para penonton bercanda dengan satu sama lain, dan melambai-lambaikan lengan mereka, menggobarkan semangat kegembiraan.
…Wow, tolol sekali. Sekolah kami benar-benar tolol.
Apa-apaan itu "membudaya"? Yang benar saja.
Ups. Aku tidak bisa terus menonton mereka selamanya.
Kerja, kerja…
[——Ini PA. Lagunya akan segera usai.]
Laporan datang dari sistem PA.
[——Mengerti. Ketua Sagami, bersiap.]
Yukinoshita yang mendengarkan laporan tersebut segera memberikan arahannya. Aba-aba tersebut seharusnya juga tersampaikan pada Meguri-senpai, sang pembawa acara.
Tim dansa beranjak pergi dari kiri panggung dan Meguri-senpai di kanan panggung berseru, "Selanjutnya, kita akan memberikan kata sambutan dari ketua panitia komite festival budaya."
Ekspresi Sagami terlihat kaku selagi dia berjalan ke tengah panggung. Tatapan yang berjumlah lebih dari seribu semuanya langsung terarah padanya.
Sebelum dia bisa sampai ke penanda tengah panggung, kakinya berhenti di tempat. Tangannya yang memegangi mikrofon nirkabel terlihat gemetar.
Setelah dia berhasil mengangkat lengannya yang kaku, dia berbicara lewat mikrofon.
Dan kemudian, suara EEEEEEEEEEEEEEEENG yang memekik menusuk telinga kami.
Momen tersebut begitu pas sampai-sampai para penonton tertawa terbahak-bahak.
Aku langsung tahu bahwa mereka tidak bermaksud jahat dengan tertawaan itu. Karena aku sudah sering ditertawakan sepanjang hidupku. Dengan pengalamanku itu, aku dapat membedakan jenis-jenis tawaan tersebut dengan mudah.
Tapi bagi Sagami yang berdiri terpatung di atas panggung sambil berusaha untuk menahan kegugupan dan keterkucilan, aku ragu pemikiran itu bisa terlintas di benaknya.
Meskipun setelah gelak tawa sudah reda, dia masih belum mengatakan apapun.
Meguri-senpai memegangi mikrofonnya dengan cemas dan mencoba membantunya. "...Oke, sekali lagi. Ketua panitia komite, silahkan kata sambutannyaǃ"
Suaranya membuat Sagami mulai sadar kembali dan dia membuka kartu-kartu rangkumannya yang dia cengkram sepanjang waktu. Ujung jari jemarinya silap dan menjatuhkan kartunya. Kartu tersebut jatuh berserakkan, memancing lebih banyak tawa dari para kerumunan.
Dengan ekspresi yang merah merona, Sagami memungut kembali kartu-kartu tersebut dari lantai. Kata-kata tak bertanggung-jawab seperti, "Kamu pasti bisaǃ" diteriakkan dari para kerumunan. Mereka tidak bermaksud jahat. Tapi aku rasa itu tidak juga tidak akan menyemangati dirinya. Bagi mereka yang merasakan penderitaan, tidak ada kata-kata yang bisa kamu sampaikan padanya. Apa yang mereka inginkan cuma bagi semuanya untuk diam seperti benda mati. Mereka hanya ingin dibiarkan sendiri seperti batu kerikil di pinggir jalan.
Meskipun kata sambutan Sagami tertulis pada kartu-kartu rangkuman tersebut, dia tetap mengacaukan kata-katanya, terus berbicara dengan tergagap-gagap.
Sebagai penjaga waktu, aku mengisyaratkan padanya untuk menyelesaikan pidatonya dengan memutar-mutar lenganku karena dia sudah melebihi waktu yang diberikan. Namun, Sagami tidak menyadari isyaratkan dan terlihat nyaris akan menangis.
[——Hikigaya-kun. Isyaratkan untuk segera selesaikan sambutan.]
Suara Yukinoshita yang tercampur dengan statis berbicara padaku. Aku melirik ke arah ruangan sistem PA di lantai dua dan Yukinoshita sedang melihatiku dengan tangan terlipat.
[——Aku sudah terus mengisyaratkannya. Tapi kelihatannya dia tidak bisa melihatku.]
[——Begitu ya… Aku mungkin salah memberimu tugas.]
[——Apa kamu sedang menyindir aku sulit mendapat perhatian?]
[——Oh, aku sama sekali tidak bilang begitu. Tapi kamu ada di mana? Di dalam kerumunan?]
[sungguh sedang menyindirku. Kamu kan sedang melihatku sekarang iniǃ]
Aku membalasnya secara refleks. Mungkin awal kata-kataku terpotong karena tidak tertangkap oleh interkom.
[——Um, wakil ketua? Semua orang sedang mendengar...]
Aku dapat mendengar suara yang sangat berbeda dari interkom tersebut.
…Oh ya. Interkom ini terbuka untuk semua orang, kan? Aku baru saja membuat ingatan yang amat sangat memalukan.
Beberapa detik setelah seorang anggota panitia komite menegur kami, suatu suara memenuhi earphoneku.
[——……Kita akan melanjutkan acara sesuai dengan jadwal. Tolong ingat semuanya.]
Setelah jeda yang cukup panjang, dia berujar dan setelahnya menutup semua komunikasi.
Acara pembukaan tersebut akhirnya selesai dengan kata sambutan ketua dan kami melanjutkan ke acara selanjutnya.
Ini adalah pembukaan yang penuh dengan prospek buruk.
7-2
Akhirnya festival budaya dimulai setelah acara pembukaan.
Festival budaya ini akan diselenggarakan selama dua hari, tapi hanya dibuka untuk umum pada hari kedua. Hari pertama hanya untuk kalangan internal.
Ini akan menjadi festival budaya keduaku di sekolah ini, tapi tidak ada sesuatu yang spesial yang bisa diceritakan. Ini cuma festival budaya biasa.
Setiap kelas menggelar acara mereka, klub budaya menggelar pameran dan pertunjukkan, dan para voluntir memainkan pertunjukkan band.
Mungkin karena pengaruh zaman, hanya makanan dan minuman yang siap saji yang dijual, tidak boleh dimasak di sini. Tidur di sekolah untuk mempersiapkan festival juga sudah tidak diizinkan.
Tapi orang-orang masih tetap antusias, jadi festival budaya itu sendiri cukup menabjubkan. Orang-orang menikmati "Festival Budaya" sebagai suatu simbol; dengan kata lain, mereka menikmatinya karena abnormalitasnya dari keseharian mereka, bukan karena kemegahannya ataupun kualitasnya.
Itu apa yang bisa kamu harapkan dari suatu festival.
Tentu saja, antusiasme yang berapi-api itu juga sampai ke kelasku, 2-F.
Pertempuran promosi segera memenuhi lorong dan untuk melintasinya cukup memakan banyak tenaga. Brosur dibagi-baikan, kelompok dengan papan plang terus berkeliling, dan orang-orang dengan kostum-kostum untuk pesta yang dibeli dari sejenis toko Don Quijote[3] juga berkeliaran. Wow, menjengkelkan sekali.
Aku pergi kembali ke dalam kelasku setelah selesai bersih-bersih usai acara pembukaan. Ketika aku kembali, ruangan kelas itu dalam kondisi kacau. Semua orang sedang tengah menyelesaikan sentuhan terakhir untuk pertunjukkan pertama mereka.
“Ini kenapa dengan riasan wajahnyaǃ̃? Apa yang sedang kamu lakukanǃ? Cat wajahnya terlalu tipisǃ"
“Kenapa, apa kamu gugup? Kamu lucuu sekali, sungguh. Semua orang datang juga cuma untuk melihat Hayato saja. Jadi sebaiknya, kamu tenang saja, oke?"
Ebina-san berteriak dengan geram sembari Miura memberikan semangat untuk satu per satu orang. Kata-katanya cukup jahat, tapi kelihatannya semua orang mulai terlihat rileks.
Aku mengamati teman-teman sekelasku dan mereka semua terlihat rajin mengerjakan pekerjaan mereka. Apa mereka semua jadi lebih akrab dengan satu sama lain dalam satu setengah bulan ini?
Mereka akan tertawa, mereka akan menangis... Mungkin mereka bahkan akan berteriak pada satu sama lain... Mereka nyaris akan saling berkelahi, tapi meskipun demikian, mereka akan saling menyadari isi hati mereka yang sesungguhnya dan akhirnya akan bersatu... mungkin... Yah, aku juga tidak tahu karena aku tidak ada disana.
Tidak ada yang bisa kulakukan, jadi aku bertengger di dekat pintu masuk kelas, berpura-pura amat sibuk sambil bergumam "oh ya, hmm..."
“Wudah cukup lama kamu pura-pura bekerja, apa kamu tidak ada kerjaan ya?" Itu adalah kata-kata yang akan kamu dengar langsung dari mulut bosmu. Aku berpaling ke belakang dan disana berdirilah dia, sang bos, yah, bos festival budaya kami, Ebina-san. "Kalau kamu tidak ada kerjaan, apa kamu bisa mengurus penyambutan tamu? Atau KAMU mau ikut jadi bagian pertunjukkannya?"
Tidak, tidak. Aku menjawab dengan menggelengkan kepalaku.
“Oke, kalau begitu terima tamu. Beritahu mereka jam berapa saja pertunjukkannya. Yang perlu kamu lakukan cuma menjawab setiap kali kamu ditanya."
“Tunggu, aku bahkan tidak tahu jam pertunjukkannya atau hal-hal lainnya."
“Tidak masalah. Informasinya ditempel di pintu masuk. Tapi agak mengecewakan kalau tidak ada orang yang duduk di depan. Jadi, tidak masalah kalau kamu cuma duduk saja disana."
Seriusan, cuma duduk? Pekerjaan impian macam apa ini? Aku ingin memanfaatkan pengalaman ini sebaik mungkin dan menggunakannya sebagai pengalaman kerjaku saat mencari kerja nanti.
Aku pergi dan meninggalkan ruang kelas seperti yang dia minta dan memang benar, ada meja lipat panjang beserta kursi lipat dua kaki dan tiga kaki di lantai. Hmph, ayo kita susun meja kursi ini.
Aku membuka lipatan meja panjang itu dan mendirikannya, kemudian aku membuka lipatan kursinya juga; pekerjaan selesai. Tugas ampas yang keren sekaliǃ Mungkin itu naluriku sebagai lelaki, tapi aku suka sekali melihat tipe-tipe transformasi seperti ini. Aku juga suka membongkar-bongkar sesuatu. Terkadang di kelas, aku akan membongkar pensil mekanikku lalu memasangnya balik.
Ada sebuah poster di dinding yang mendeskripsikan waktu jadwal pertunjukkannya dengan huruf-huruf yang besar. Kalau poster ini ada persis di sampingku, kurasa tidak akan ada orang yang akan menanyakanku apapun.
Tinggal lima menit lagi sebelum pertunjukkan dimulai. Selagi aku duduk manis, ruangan kelas 2-F menjadi setingkat lebih ribut. Aku mengintip ke dalam untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Owww yahhh! Ayo kita buat lingkaranǃ” kata Tobe.
Semua orang mengeluh "tidak" dan "seriusan?" tapi tetap membentuk lingkaran rangkulan tersebut. Kalau ini Everyone grumbled “no way” and “seriously?” but still began forming the circle. Had this been recreation time, then it would’ve looked like they were going to start playing “Whatever Basket”[^3].
“Ya know what, we ain’t getting’ anywhere unless Ebina-san gets this goin’. C’mon, over here. Straight to the center!”
There’s no concept of a center in a huddle, I thought, but Tobe was actually indicating the spot next to him. It was a position where he could be justified in linking shoulders with Ebina-san. You’ve got some spunk, Tobe. You’re a formidable strategist.
Then, Miura pulled Ebina-san’s arm inwards as if supporting that strategist. “C’mon, Ebina. Get your butt in there.”
She was pushed inside of the huddle and she was exactly in the middle. The heart of the huddle. Everyone encircled Ebina-san. Tobe, sniff.
Ebina-san spun around and looked at everyone. Her eyes then stopped at a single point.
“C’mon Kawasaki-san, you too.”
“M-Me? I’m fine here…”
“Gosh, there you go again. You need to take responsibility since you’re the one who made the outfits, okay?”
“Huh…? Weren’t you the one that said you would do that?” Kawasaki complained as she walked towards the huddle.
Once everyone, except for me, had gathered, Yuigahama looked over her shoulder at me. I smiled and shook my head at her. Her face then turned into an upset pout.
I’m fine here, jeez. I was better off not joining. It would be more awkward letting me in there when I didn’t even do anything for the class than just leaving me out of it entirely.
If I couldn’t be confident about standing along them, then it would be better for me to stay out of it. I mean, look at Sagami. She looked a little ashamed too, you know?
Sagami didn’t have a very cheerful expression in that huddle. She was probably still hung up on her earlier blunder, but it might also be because she was concerned about her own lack of participation.
People accustomed to assigning ranks to people do so for all manners of things. Sagami at this very moment was reflecting on her own rank. And I think the manifestation of that rank lied with the person who was far from Miura, Hayama, and the others, and wasn’t within her direct line of slight, offset to the side.
Mental distance is something that manifests itself in reality.
In which case, Ebina-san, currently the center of everyone, was without a doubt the very heart of the Cultural Festival.
After Ebina-san shouted out, everyone followed.
Surprisingly, it wasn’t all that bad of a feeling watching the completed huddle from outside.
Mundur ke Bab 6 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 8 |