Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab1
Bab 1: Pulang
‘Berpergian sungguh membuatku bersemangat!”
Teriak Siesta sambil menekan dada raksasanya pada lengan Saito.
Daripada “bersemangat”, rasanya lebih tepat kalau dibilang “menyentuh.”
Dengan wajah yang terbata-bata, Saito mengangguk pendek.
Didalam kereta, ada Saito dan Siesta yang duduk saling bersebelahan.
Siesta memakai baju terusan berwarna hijau gelap dengan boot tinggi. Dia juga mengenakan topi jerami kecil, yang mana kesemuanya membuat penampilannya manis.
Saat Siesta yang berambut hitam, manis dan tanpa dosa berpenampilan seperti itu, dia tampak terlalu manis secara keseluruhan. Lebih dari jadi lucu, jadi sulit untuk menahan diri.
Sial kau, menempatkanku dalam situasi ini.
Dan bagain terburuknya adalah, Sambil membuat gerak yang sangat mencurigakan, Siesta yang manis tetap memancarkan aura manis nan suci.
Begitu dia duduk di sebelah Saito, dia memelk salah satu lengannya dan meremas dadanya pada lengan itu.
“S-S-S-Siesta, saat kau mendekat padaku...dadamu menyentuh lenganku dan...dan...” kata Saito, setengah menangis dan menjadi terbata-bata.
“Ah, aku memang sengaja melakukannya!”
kata Siesta dengan wajah penuh senyum dan abai.
“Se-seperti ini, sengaja, itu...Di tempat seperti ini, ada orang, hei, kau...”
Saito, yang tak bisa berhenti ngomong, untuk menahan pikirannya tetap sadar, memprotes.
“Kau tak harus mengkhawatirkan si supir, dia sebuah golem.”
Pemuda yang duduk di kursi supir memang sebuah golem, boneka yang entah bagaimana bergerak dengan kekuatan sihir.
Pas saat kau mengatakannya, matanya memang seperti bijih gelas pemancar cahaya.
Akibatnya, ini membuat Siesta semakin berani. Dia menempatkan pipinya di bahu Saito dan mulutnya dekat telinga Saito, sambil mencampur desah dalam suaranya.
“...Melakukan hal seperti ini, hanya kita berdua..sudah lama sekali, ya?”
“Y...Yah...”
“Kupikir aku mendengarnya suatu saat, tapi selama libur musim panas, apa sih yang kau lakukan bersama nona Vallière?”?”
Aku tak bisa menceritakan ini padanya.
Aku tak bisa mengatakan bahwa Henrietta meminta kami melaksanakan tugas rahasia.
Meski sebagian besar habis untuk mencuci piring dlll. ia sebuah rahasia.
“Uh, umm, itu...aku bekerja di bar, Louise bekerja di benteng jadi...aku tak tahu apa yang dilakukannya,” Saito berbohong soal Louise. Mengatakan yang sebenarnya soal dirinya kemungkinan tak apa-apa, putusnya.
“Oh! Sebuah bar! saito melakukan itu? Mengapa?”
“ Eh, Uh, itu...Aku tak punya uang sepeserpun.”
“Kalau itu sih, bilang saja padaku dan aku dengan senang hati akan menolong!”
“Kau akan membantu?”
“Ya, memang tak banyak, tapi aku telah menabung sedikit dari gajiku!”
Memang ini yang diharapkan dari seorang gadis desa yang dapat dipercaya. Tidak menghamburkan uang, di orang yang hemat.
Penawaran baik Siesta membuat Saito senang.
“Tak apa-apa. Entah bagaimana, aku selamat!”
“Benarkah? Tapi, pada waktunya kau benar-benar butuh, mohon kau tak segan-segan bilang padaku.”
Tak mungkin aku meminjam sepeserpun uang dari gadis mengagumkan yang telah menyisihkan dan menabung seperti ini.
“Aku tak bisa meminjam uang dari Siesta-san!”
“Mengapa? Bila ini untuk Saito-san, uang tiada artinya bagiku!” setelah dia selesai berbicara, gadis itu menurunkan bahunya.
“Ah, baiklah, maksudmu kau benar-benar tak tertarik untuk menggunakan uangku, kan?”
“Bukan itu alasannya!”
“Kau pasti membenciku!”
“Tidak, bukan seperti itu!”
“Benarkah? Tapi Saito selalu dingin padaku...”
“AKu? Bagaimana mungkin?”
“Aku duduk di sebelahmu, dan kau tak melakukan apa-apa.”
Saat Saito dengan segan bergerak menjauh, Siesta bersenandung sedikit dan menggerakkan bibirnya ke leher Saito. Suatu rasa yang dapat melelehkan orang mengejutkan Saito hingga tak berhingga.
Siesta menggerakkan bibirnya ke atas, dan akhirnya mempermainkan telinga Saito.
Saat merasakan pikirannya hampir meleleh, udara tampaknya menjadi dingin dan sebuah rasa menggigil bergerak menuruni punggung. Saito mencicit dengan nada bergetar, “Si-Si-Siesta-san...”
Pas sata dia mengatakan itu, sesuatu menerbangkan bagian atas kereta kauh-jauh.
Yah, terbang bukan kata yang tepat. Lebih tepat bahwa suatu peledak tersembunyi membuat semuanya terbang, Saat itulah kereta Saito dan Siesta tiba-tiba berubah dari tertutup menjadi kereta beratapkan cahaya langit.
Gemetaran karena ngeri, Saito perlahan berbalik dan melihat sebuah kereta yang hampir dua kali ukurannya dan jauh lebih megah, dan ditarik dua kuda.
Merasakan aura membunuh memancar dari kereta, Saito tak hanya takut, melainkan sangat takut. Sepertinya aku akan tewas sebelum sampai ke tujuan.
Kereta megah tersebut melepaskan aura kematian yang menelan.
“Wa...Wa...atap keretanya!” Siesta menjerit sambil menempeli Saito.
“Si-Siesta-san!”
“Apa. Apa yang tengah berlangsung?”
“Jika kau tak ingin mati, kupikir kita harus duduk berjauhan.”
Tapi itu hanya membuat Siesta bergelantungan semakin ketat pada Saito.
“AKu tak tahu apa yang terjadi, tapi hatiku suci!”
Dia menjerit dan mendorong Saito jatuh, Di satu sisi, Saito snagat bahagia dan melambung karena perasaan Siesta, pada saat bersamaa pesan lainnya lewat sekilas di pikirannya , “ Haha, ini akhir hidupku. Benar-benar pendek, kuharap setidaknya aku kembali ke tanah Jepang.”
Dari kereta yang berjalan di belakang Saito, dari jendela dari kereta megah tersebut, Louise menyembulkan kepalanya keluar sambil memegang sebuah tongkat sihir coklat muda di tangan, gemetaran karena marah dan bernapas dalam-dalam.
Atap kereta Saito dan SIesta diterbangkan Louise dengan sihir Voidnya, “Ledakan.”
Karena ada jendela di belakanjg kereta, Louise dapat melihat semua yang terjadi di dalam.
Louise bergemetaran saat menonton mereka saling memeluk di kursi mereka dan Siesta mencium leher Saito.
Akhirnya, saat bibir si pelayan mendekati telinga familiarnya, kemarahan Louise meledak. Dia takkan membiarkan familiarnya dicium. Namun, begitu atap diterbangkan, dia menyadari Siesta memeluk Saito lebih erat lagi.
Alis Louise langsung naik dan tepat ketikda dia hendak membacakan kemusnahan pasangan yang bahagia tersebut, seseorang menarik kakinya.
“Kya!”
Pipinya ditarik bersamaan dnegan jeritan itu.
“Ii sa’it! Yan! Au! Funya! Ahh! Ii sa’it!”
Wajah Louise yang sering membanggakan diri dan congkak ini ditarik sebegitunya, dan tak bisa mengeluarkan keluhan satupun. Jika Saito mampu melihat adegan ini, matanya kemungkinan besar meloncat keluar saking terkejutnya.
Yang menarik pipi Louise seperti itu adalah....seorang wanita blonde nan cantik. Dia sekitar 25 tahun. Wajahnya agak mirip Louise. Jika dia menenangkan darah panasnya dan tumbuh sedikit, akankah dia terlihat seperti itu juga? Singkatnya, dia seorang wanita cantik.
“Louise kecil. pembicaraanku belum selesai, kan?”
“Auu...,nmaap. Abe-saba, Nmaap...”
Dengan pipinya ditarik, Louise berteriak dengan suara basah. Ada sekitar 4 sosok mutlak dalam hidup Louise. Henrietta, orang tuanya, dan kakak perempuan yang berlagak bos ini, Eléonore. dia 11 tahun lebih tua dari Louise, putri tertua keluarga La Vallière dan dikenal sebagai peneliti terbaik di Institut Penelitian Sihir Kerajaan, "Academia."
“Meski ini merupakan percakapan yang ditunggu-tunggu denganku, mengapa kau terus-menerus melihat ke tempat lain? Terlebih lagi, kau menerbangkan atap kendaraan pengiring.”
“Itu, Um...aku ingin, um, memisahkan familiarku dengan si pelayan, itulah kenapa...”
Hanya dengan itu, Louise terbata-bata memberitahu kakak perempuannya.
Eleonore memutar-mutar rambutnya, dan menatap tajam Louise. Seperti seekor katak yang diburu seekor ular, Louise menegakkan badan.
“Biarkan para pengiring melakukan apa yang mereka mau! Seperti biasa, kau seorang anak yang tak bisa diam, kan?! Kau adalah putri keluarga La Vallière, paham?! Bersikaplah lebih sadar diri!”
“O-OK...”
Louise menurunkan bahunya dalam diam.
“T-tapi...Apapun yang kau katakan, diambil seorang pelayan akademi itu...”
“Hai udang, apa kau mendengarkan? Keluarga La Vallière bukan hanya suatu keluarga ningrat Tristain, ia adalah keluarga ningrat kita. Bahkan kau seharusnya mengerti itu, kan?
“Ya, Onee-sama.”
“kau tak bisa hanya menggunakan familiarmu sebagai pengiring, kan? Louise, sebagai seorang Wanita, kau harus setidaknya selalu memiliki satu pengiring wanita untuk mengurus dirimu saat bepergian.”
Eléonore yang mengabdi di Academia Tristain, pagi ini datang ke Akademi Sihir untuk mengambil Louise pulang dengannya.
Dia merenggut Siesta, yang berpapasan di dekatnya dengan keranjang cucian di tangan, dan berakta “Gadis ini cukup baik sebagai pengiring perempuan selama perjalanan,” dan setelah mendapatkan izin guru aristokrat yang berada di sekitar, dia membawa Siesta bersamanya untuk mengurus Louise.
Siesta dan Saito menaiki kendaraan untuk pengiring, yang terpaksa disiapkan para karyawan akademi. Louise dan Eléonore menaiki kendaraan mereka sendiri yang sudah biasa datag ke akademi.
Di perjalanan praktis tiada perhentian, jadi sebeanrnya tak ada kebutuhan yang harus dibantu selama perjalanan. Siesta hanyalah sebuah hiasan. Namun, bagi para ningrat, hiasan itu sangat penting.
Dan untuk pikiran sanubari Louise, mereka sama sekali tak tenang.
Ini karena pulang sama sekali bukan bagian dari rencana.
Operasi militer untuk menyerbu Albion diumumkan di sekolah setelah liburan musim panas berakhir, kira-kira pada waktu kedua bulan saling berpapasan... Sudah beberapa dekade berlalu setelah terakhir kali pasukan sang raja kekurangan petugas untuk mengorganisasikan tentara ekspedisi. Telah diputuskan bahwa untuk melakukan itu, para siswa aristokrat akan ditempatkan sebagai petugas. Salah seorang guru dan kepsek OSman menolak, tapi Henrietta, Sang Kardinal, dan para Jenderal Tentara Ratu mengabaikan penolakan tersebut. Akademi akan ditutup hingga akhir perang.
Sang pemegang “Void”, Sang wanita dewan di bawah supervisi langsung Henrietta, Louise, demi kesuksesan strategi penyerbuan, akan diberikan misi-misi khusus.
Namun...setelah Louise melapor pada ortunya bahwa “Demi Tanah-air, aku akan bergabung dengan tentara ratu untuk mengambil bagian dalam penyerbuan Albion, “, laporan itu akihirnya menyebabkan kekacauan besar.
Bergabung dengan penyerangan tak diperbolehkan dan, meski selembar surat datang, dengan mengabaikannya, Eléonore datang.
Tentu saja Louise sangat marah. Bagaimana dengan pergi ke garis depan? Bahkan sekarang saja, di seluruh negeri, di tanah parade dan barak-barak, ada banyak siswa yang berlatih untuk menjadi petugas sementara. Kebanyakan mereka adalah siswa lelaki yang memilih untuk memasuki kancah peperangan.
Aku seorang gadis, tapi aku harus melindungi kehormatan Yang Mulia sebagai wanita dewan. Terlebih lagi, dalam rencana penyerbuan ini, pesawat terbang familiarku akan memainkan sebuah peranan kunci.
Juga Ada banyak harapan yang ditumpahkan pada Voidku. Henrietta dan Sang Kardinal mengakuiku sebagai kartu As Tentara Ratu. Sebagai Ningrat Tristain, tiada kehormatan yang lebih dari itu.
Yah, aku pastilah tak menyukai perang.Tapi demi ratu dan tanah air, aku ingin mempersembahkan kemampuanku yang kurang ini. Karena Void diberikan padaku, aku punya tugas agar menjadi teguh pada kesetiaanku pada tanah air. Bukankah kesetiaan pada tanah air adalah salah satu hal yang dibanggakan keluarga ningrat La Vallière? Namun ternyata keluarga sendiri menentang resolusiku yang teguh ini untuk bergabung ke garis depan.
“Benar-benar…kau melakukan hal yang egois! Perang? Apa yang akan kau lakukan disana?! Hal-hal baik? Bersiaplah untuk dimarahi Mama dan Papa saat kita sampai!”
“T-Tapi….”
Tepat ketika dia hendak menjawab balikm pipinya dicubit. Eléonore terus-menerus memperlakukan Louise sebagai anak kecil, tepat seperti di masa lalu. Tepat seperti ketika dia menjawab balik selama belajar, dia memanggilnya udang berulang kali.
“”Tapi’?’Ya’. maksudmu, udang?! Louise Kecil!”
Sebagaimana yang diharapkan dari saudara perempuan. Eléonore punya ekspresi sama dengan Louise ketika dia melatih familiarnya. Louise tak bisa melakukan apapun untuk melawannya.
“Fue, Au, Duh, Ane-sama, pipiku au au…”
Kata dia dengan suara yang patut dikasihani.
Karena Lantunan tak pernah terbang ke sini tak peduli seberapa lama dia menunggu, Saito mendesah lega. Sepertinya, karena alsan tertentu, Louise tak bisa menyelesaikan lantunannya.
Sepertinya selama dia menempel pada Saito, Siesta menjadi senang, jadi mungkin dia telah lupa bahwa sudah tidak ada atap.
“Hei, Hei, Saito-san.”
“Hm? A-Apa?”
“Bepergian sungguh menyenangkan!”
“Y-Ya…”
Dia mengangguk, Saito belum menjadi begitu optimis.
Saat dia memikirkan tentang hal-hal yang akan datang, dia menyadari bahwa masalah-masalah tengah menggunung.
Henrietta dan yang lainnya tengah membuat rencana-rencana perang. Apa yang akan terjadi mulai sekarang adalah perang penyerbuan. Tentu saja Louise akan ikut berpartisipasi. Dengan keadaan sekarang, aku tak punya pilihan lain selain ikut dan ambil bagian juga tak peduli bagaimanapun jua. Kemungkinan besar bagi pemeang kekuatan Zero, ini semacam Tugas perang. Kemungkinan besar kami harus melakukan sesuatu yang berbahaya.
Aku tak bisa merasa ceria.
Sial, begitu perang ini berakhir, kali ini aku akan mencari sebuah jalan untuk kembali ke dunia asalku, ke Jepang, putus Saito. Hingga saat itu tiba, tak peduli apapun yang terjadi, aku tak bisa membiarkan diriku mati.
Melihat Saito berwajah orang yang memikirkan banyak hal, Wajah Siesta langsungmendung.
“AKu tak ingin itu.”
“Hm?”
“Saito-san akan ke Albion juga, kan?”
“Y-Ya…”
Sepertinya sikap ceria Siesta hingga sekarang hanya pertunjukan demi menceriakan Saito.
“Aku benci para ningrat.”
“Siesta…”
“Taka pa-apa bila mereka hanya saling membunuh sesame mereka…tapi mereka melibatkan kita para jelata juga….Bahkan meski itu demi mengakhiri perang…mereka hanya berkata-ata saja.”
Mengingat-ingat kata-kata Henrietta, Saito bergumam
“Tak peduli apakah itu demi mengakhiri atau memulai yang baru, perang, adalah perang.”
Saito terdiam.
Sebelumnya, selama pertempuran di Tarbes, ada sebaris alas an untuk bertarung. “Membantu Siesta dan penduduk desa,” semacam sebab yang dibenarkan. Tapi, kali ini, selama penyerbuan ke Albion, alas an macam apa yang ada?
Aku tak ingin bertarung, apa ada ya sebaris alas an di belakang pertarungan ini?
Louise sangat bersemangat…tapi aku tak tertarik sama sekali dengan hal ini.
Tapi ketika aku menyentuh Henrietta, aku mendapatkan semacam perasaan “Aku ingin membantu ‘tangan’ putri menyedihkan ini, Saito agak kembali ceria.
“Tapi mengapa Saito-san harus pergi? Kau tak punya hubungan apa-apa, kan?”
“Ya, mungkin itu benar, tapi…” sikutnya ditahan.
Siesta mengubur wajah Saito ke dadanya.
“Jangan mati…Jangan mati bagaimanapun jua…”
Saito merasa Siesta yang begini sangat manis.
Ditangisi sedemikian rupa oleh pelayan semanis ini…itu sendiri sudah merupakan alas an yang cukup bagi Saito untuk terus hidup…Seperti yang kuduga, aku seorang tolol, kan. Tapi keluarga Louise ini…
Kakak perempuan Louise yang kutemui tadi seorang wanita cantik, tapi dia memiliki wajah nan keras, kan…, pikirnya. Luar biasanya, Saito hanya melihat sekilas. Dia sudah menyadarinya sewaktu mereka bertemu meski matanya berbeda dari mata Louise, namundia memiliki sikap tinggi hati yang sama.
Akankah Louise memiliki rasa yang sama saat dia semakin dewasa? Itu pasti menyakitkan.
Ada juga perasaan curiga di sekitar. Sepertinya Louise dan semua anggota keluarga memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Kali ini, kita akan menuju rumah Louise yang itu.
Saito menerawang ke langit, mendesah, dan berpikir dengan sikap kurang bersemangat…apa yang akan berlangsung mulai saat ini?
Di bagian selatan Londinium, Ibukota Albion, berdiri Istana Howland.
Aula Putih didalam memang pantas sebagai titik vital dari Albion “Sang Negeri Putih”.
Tempat itu dicat putih seluruhnya, dan sangat mengesankan. Ada 16 pilar yang menyangga langit-langit aula.
Bagaikan seberkas luka di dinding, sebentuk wajah yang diterangi oleh cahaya tersingkap.
Di tengah-tengah aula berdiri sebuah “Meja Bundar” raksasa dari batu, dimana disekitarnya berkumpul para menteri dan jenderal-jenderal Republik Albion nan Suci, menunggu dimulainya pertemuan dewan.
Inilah tempat dimana, hingga sekitar 20 tahun lalu, para menteri berkumpul disekitar raja untuk mengendalikan negara. Tapi penguasa telah berganti sejak itu.
Orang-orang yang ikut dalam revolusi dan mengambila alih negara dari monarki memberikan diri mereka kedudukan-kedudukan penting di negara sebagaimana yang diduga.
Dan untuk orang yang hingga 20 tahun lalu hanya merupakan seorang bisop lokal...
Seseorang yang dulunya berstatus sosial lebih rendah dari semua yang berkumpul disini...bahkan anggota skuad penjaga yang berdiri di sisi pintu....
Kedua anggota skuad penjaga membuka pintu aula.
“Ketua kongres penguasa ningrat Republik Albion nan Suci. berdiri, Oliver...”
Cromwell mengangkat tangannya, menyela suara itu...
“T-Tahan?”
Bukankah seharusnya kita hilangkan tradisi tiada guna ini? Karena diantara orang-orang yang berkumpul disini, tiada yang berdiri diatas yang lain!”
Seperti biasa, sekretaris pribadi Cromwell, Sheffield, berjalan dibelakangnya dan disampingnya, sosok Viscount Wardes yang sudah sembuh dan Fouquet si Tanah Ambruk dapat terlihat.
Saat Cromwell menuju kursi ketua, Sheffield mengikutinya bagaikan sebuah bayangan. Wardes dan Fouquet duduk di dua kursi yang masih kosong.
Setelah ketua dan kaisar pertama duduk, pertemuan dimulai. seseorang mengangkat tangan. Dia Jenderal Hawkins. Dengan rambut abu-abu, kumis putih dan pengabdian militer yang lama, sang jenderal berdiri dengan mata bernyala pada kaisar yang dulu adalah seorang bishop.
Setelah Cromwell menyilahkannya, dia bangkit.
“Paduka, aku ingin menanyai anda sesuatu.”
“Tanyakanlah apa yang kau mau.”
“Setelah kalah di pertempuran Tarbes dan tentara kita tetap disana, mereorganisasi armada udara kita menjadi sangat mendasar. Ini dikarenakan apabila kita tak memiliki armada, maka kita tak bisa memindahkan tentara maupun mempertahankan wilayah kita sendiri.”
Cromwell mengangguk setuju.
“Operasi rahasi Penculikan Ratu demi mengulur-ulur waktu juga gagal.”
“Itu benar.”
“Apa hasilnya telah mencapai telinga Paduka?”
Tentu saja. bagaimanapun juga, adalah penting untuk mengetahui segalanya tentang perkara itu.”