Hakomari (Indonesia):Jilid 2 5 Mei
05 Mei (Selasa) 02:10
Aku bermimpi.
Ini mimpi yang sama lagi.
Aku bermain dengan boneka kelinci itu, yang kehilangan sebelah telinganya, di depan para mayat. Aku memasukkan jari telunjukku ke lubang jahitannya dan memperlebar lubang itu.
Aku memasukkan jari-jariku ke dalam kepalanya dan menggerak-gerakkannya. Bentuk kepala kelinci itu berubah. Sentuhan kapasnya terasa nyaman. Maju mundur, naik turun. Bola matanya hampir lepas. Kapas jatuh dari wajahnya yang terkoyak.
Aku melihat kedua tanganku. Selain berlumuran dengan darah yang mulai mengering, mereka seharusnya tidak berubah. Tetapi, tangan-tangan itu bagiku terlihat seperti membusuk dan berwarna hitam kelam.
Tubuhku dipenuhi sesuatu yang seperti lumpur, yang hanya tersusun dari kebencian. Aku ingin memotong tubuhku dan mengeruk lumpur ini keluar dari sana.
"Oh begitu. Ini lumayan menarik."
"Hii!"
Suara itu mengejutkanku sampai-sampai rasanya jantungku hampir terlonjak ke tenggorokan.
"Ini kekacauan yang hebat untuk insiden yang terjadi di sekitar anak laki-laki ini. Aku benar-benar tertarik. Caramu terlibat dalam insiden ini mengesankan dan perasaanmu pada anak ini juga kelihatannya menarik."
Aku menoleh dan melihat pemilik suara ini.
Dia tampak... Aah, benar, karena ini mimpi, ya. Dia tampak tidak jelas seperti diselimuti oleh kabut. Aku sampai tidak bisa mengenali jenis kelaminnya.
"S-Siapa kau? S-Sejak kapan kau ada di sini?"
Bukannya menjawab, ia malah hanya tersenyum.
Aku menoleh ke arah Nii-san. Tampaknya ia belum menyadari keberadaan orang ini dan masih menangis tanpa suara dalam keputusasaannya.
Ngomong-ngomong, di mana aku? Ini seharusnya rumahku, tapi ada sesuatu yang ganjil. Tempat ini tidak terasa nyata, rasanya aku nyaris seperti masuk ke dalam foto.
"Kau juga seorang makhluk yang sangat menarik, meski tidak semenarik anak laki-laki ini. Aku sudah tahu kalau hati manusia akan menjadi kosong saat mereka membenci diri mereka sendiri, tapi mengamati hal ini dengan mata kepalaku sendiri sungguh menyenangkan. Aku tidak melihat suatu alasan untuk tidak memberimu sebuah 'box'."
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah mengatakan hal-hal yang aneh.
Tetapi ada sesuatu yang aku mengerti.
Dia mempesona. Luar biasa.
"Apa kau punya permintaan?"
Tentu saja punya. Lagipula, aku selalu memohon.
"Ini adalah sebuah 'box' yang mengabulkan permintaan apa pun!"
Dia berkata demikian dengan suaranya yang mempesona dan mengulurkan sejenis wadah padaku. Seperti yang ia katakan, benda ini terlihat seperti sebuah kotak. Namun entah mengapa, aku tidak dapat memandangnya dengan jelas meskipun nyatanya benda itu ada tepat di hadapanku.
Aku mencoba menyentuhnya.
Hanya dengan itu aku sadar bahwa benda ini «nyata». Bukan karena sesuatu seperti logika, melainkan karena aku merasakan dengan seluruh tubuhku bahwa ia «nyata».
Aku menerimanya.
"Bagaimana aku bisa menggunakannya...?"
"Gambarkan permintaanmu dengan jelas pada dirimu sendiri. Itu saja! Manusia punya kemampuan untuk mengabulkan permintaan. Karena itu, sebenarnya 'box' ini tidak terlalu istimewa. Ia hanya menyederhanakan permintaanmu dan membuatnya lebih mudah untuk terkabul."
'Permohonanku' adalah untuk berhenti menjadi Riko Asami. Untuk menjadi orang selain Riko Asami yang kubenci.
Lalu aku harus menjadi siapa?
Yang pertama kali terlintas di pikiranku adalah Maria Otonashi yang kupuja. Tetapi ini tidak mungkin. Lagipula dia bukan manusia. Orang sepertiku tidak bisa menjadi seperti dirinya.
Tapi kemudian inilah yang terjadi.
"Aku harap,"
Dia adalah anak laki-laki yang bisa menyebut kehidupan sehari-hari itu penting seakan-akan itu adalah hal yang sudah jelas. Dia adalah anak laki-laki yang entah bagaimana telah mendapatkan Maria Otonashi.
‘Kehidupan sehari-hari itu penting'? Jangan bercanda. Coba katakan lagi setelah merasakan kehidupan sehari-hariku! Aku tidak bisa memaafkannya karena menikmati kebahagiaan tanpa alasan.
Jadi, berikan semuanya padaku!
"Aku ingin menggantikan Kazuki Hoshino."
Saat aku mengatakannya, 'box' mulai terlipat-lipat. Setelah 'box' itu mengecil dan memadat, ia melayang ke arahku seperti peluru dan menembus tubuhku lewat mataku. Tanpa memberikanku waktu untuk merasakan rasa sakit, ia masuk ke dalam jantungku dan mulai menguasai seluruh tubuhku melalui pembuluh darah. Aku, aku, aku, aku terpotong-potong, remuk, terbelah, berhamburan, dikuasai oleh 'box,' dikuasai dan—aku menghilang.
"Menggantikan dia, ya? Huhu... kau benar-benar tidak beruntung."
Dia mengatakan itu dengan senyum yang mempesona.
"Betapa sialnya dirimu untuk terwujud hanya menjadi pengganti."
Kenapa? Aku senang diriku bisa menghilang.
"Seorang manusia yang kosong hanya dapat membayangkan sebuah 'permintaan' yang kosong. Maaf, tapi kau tahu? Aku benar-benar sadar akan hal itu."
Dia berkata dengan senyum yang sangat lembut, dan mempesona.
"Aah, manisnya! Berpikir kau bisa lari dari perbuatanmu sendiri hanya dengan melakukan ini; Aku merasa sisi kekanak-kanakanmu ini manis sekali!"
Dan selanjutnya, dalam mimpiku aku terlempar ke dalam lumpur.
Menelan lumpur, tidak bisa bernafas maupun berbicara.
05 Mei (Selasa) 06:15
Aku sudah lama bangun.
Namun, aku hanya berbaring di atas tempat tidur Maria Otonashi seperti sebuah boneka, tak memiliki kemauan untuk bergerak. Aku harus menghubungi Riko Asami. Meski aku telah mengetahui itu pun, aku tetap tidak bisa bergerak.
Maria Otonashi sudah duduk di kursi dan terus memandangiku sejak tadi.
Meski demikian, aku tak bergerak. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan mataku dari hujaman tatapannya.
Setelah beberapa lama saling bertukar pandang, akhirnya dialah yang kehabisan kesabaran dan mengalihkan pandangannya. Ia berdiri dan pergi entah ke mana.
Ia kembali setelah beberapa saat dan menyodorkan secangkir kopi padaku. Aku hanya memandangi uap di depan mataku. Aku tidak menerima cangkir itu untuk beberapa lama, yang membuatnya kehabisan kesabarannya lagi; ia mulai meminum kopi itu sendiri dan mengatakan sesuatu seperti "Pahit...".
"......Mhh, benar, karena aku juga tidak ada kerjaan, aku akan bicara pada diriku sendiri sebentar."
Dia berkata sambil mengernyit melihat cangkir.
"Aku adalah sebuah 'box.' Aku benar-benar bisa mengabulkan 'permohonan' sama seperti yang 'box' lakukan."
Seakan-akan kata-kata itu keluar tanpa sengaja selagi ia meminum kopi.
"Tapi aku gagal sebagai sebuah 'box.' Kebahagiaan yang bisa kuberikan hanyalah palsu dan dibuat-buat."
Ia tampak bicara dengan cuek, tapi aku bisa melihat dengan jelas kegetiran dalam raut mukanya.
"Aku berpikir, apa itu kebahagiaan? Apakah itu adalah hal yang bisa kau dapatkan tergantung suasana hatimu? Kalau begitu, apakah seseorang yang dengan enggan menghapus seluruh keluarganya bisa mendapatkan kebahagiaan hanya dengan mengubah suasana hatinya?"
Tadinya aku mengira dia sedang berbicara tentang diriku. Tapi mungkin itu tidak benar.
"...Aku pikir itu tidak mungkin. Aku ada di sini karena aku berpikir demikian."
Dia pasti sedang membicarakan dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu bagaimana tepatnya keadaaanmu. Tapi dalam situasimu, aku tidak berpikir kau bisa mendapatkan kebahagiaan hanya dengan mengubah suasana hati. Bukankah kau juga berpikir begitu?"
Benar. Ke manapun aku pergi, neraka sudah menungguku.
"Kau ingin aku «menyelamatkanmu», kan?"
Katanya setelah menghabiskan kopinya.
"Kalau kau tidak keberatan dengan kecacatannya, aku akan mengabulkan 'permintaanmu'."
Wajarnya, orang akan mengira perkataannya jelas-jelas bohong. Tapi saat ini, dia sangat bersungguh-sungguh.
Jadi, ini sudah lebih dari cukup, mengesampingkan percaya atau tidak.
"......benarkah?"
Lebih dari cukup untuk membuatku membuka mulut.
"Ya. Jika semua jalan mengantarkanmu ke neraka, akan kuberikan kau jalan yang lain. Mungkin ini hanya sebuah ilusi, tapi pada kasusmu, kau tidak punya pilihan lain, kan?"
Jika dia ingin mengangkat harapanku hanya untuk membuatku bergerak, dia tidak akan bicara seperti ini.
"Tapi apa kau tidak apa-apa menggunakan kekuatan setidakrealistis itu, Maria-san...? Apakah kau tidak harus membayar semacam akibat karena menggunakan kekuatanmu, seperti dalam manga?"
Maria Otonashi membisu.
"Jadi ada kelemahannya, kan?"
"...Bukan sesuatu yang perlu kau pedulikan."
"Kalau kau berkata begitu, aku malah semakin peduli!"
Dia menghela nafas saat mendengar kata-kataku dan berkata:
"Aku akan kehilangan sebagian ingatanku."
"Eh...?"
"Dengan menggunakan 'Flawed Bliss,' [1] aku melupakan tentang sasaran permintaan dan orang-orang yang bersangkutan dengannya hingga titik tertentu. Sebenarnya, aku nyaris tidak punya ingatan. Baik tentang keluarga maupun teman-temanku. Aku hanya memiliki memori yang sengaja kumohon untuk tetap ada."
"Apa...?"
Ini terlalu kejam.
"...Tapi bukankah itu artinya kau akan melupakan tentang Kazuki Hoshino saat menggunakan 'box' padaku...?"
Dia tidak menjawab pertanyaan ini.
Tentu saja karena aku benar.
"...Aku tidak mengerti! Kenapa hanya untuk diriku kau bertindak sejauh ini? Kau bahkan meninggalkan ingatan tentang orang yang berharga bagimu. Kenapa...?"
"Itu urusanku. Sudah kubilang, ini bukan hal yang perlu kau pedulikan."
"Tidak mung—"
"Kau itu sama denganku."
Dia memotong kata-kataku.
"Aku tidak ingin melihatmu celaka. Aku tidak akan sanggup menanggungnya. Lagipula, apa kau pikir aku akan berubah menjadi 'box' jika aku luput akan hal seperti ini?"
Dan untuk itu dia siap kehilangan ingatan-ingatannya yang berharga?
Itu aneh sekali. Aneh, tapi—
Tentunya karena itulah dia sanggup menjadi sebuah ciptaan yang sempurna.
Jika dengan ini aku bisa lari dari neraka , dan jika memang itu yang dia inginkan, maka aku harus menerima tawarannya.
"Tolong pinjami aku telepon."
Maria Otonashi mengangguk dan menyerahkan ponsel milik Kazuki Hoshino padaku.
Nomor teleponku tercatat dalam riwayat panggilannya. Mungkin mereka berusaha menghubungiku lewat teleponku.
Tapi itu tidak cukup untuk bertemu dengannya.
Aku juga sudah mencoba mengontaknya dengan nomor itu, tetapi tidak tersambung. Dia tidak meneleponku dari nomor itu.
Nomor telepon Yuuhei Ishihara.
Aku meneleponnya. Setelah beberapa saat,
"Halo?"
Riko Asami menjawab telepon.
- ↑ Flawed Bliss = Anugerah yang Cacat