Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 4

From Baka-Tsuki
Revision as of 18:27, 27 December 2014 by Irant Silvstar (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Karena Berbagai Alasan, Kawasaki Saki Tidak Jujur

Ujian semester sudah mendekat tepat di depan mata kami.

Ada banyak kasus dimana waktu belajar itu kurang lebih diartikan sebagai waktu restoran keluarga atau waktu perpustakaan, tapi tidak ada cara untuk mengawasi murid SMA yang pergi berjalan-jalan jam sebelas malam. Aku diberitahu bahwa kamu akan diusir dari restoran keluarga setelah melewati jam sepuluh malam. Karena alasan itu, belajar di malam hari itu merupakan sesuatu yang dilakukan seluruhnya di rumah. Omong-omong, belajar di malam hari itu tidak sama dengan menonton tinju di malam hari.

Jarum jam menunjukkan hampir ke angka dua belas. Aku mengerang dan meregangkan diri. Aku merasa aku masih akan belajar selama satu atau dua jam lagi. Haruskah aku minum sedikit kopi? Aku berpikir pada diriku sendiri. Dengan langkah berat, aku menyeret diriku menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Kopinya berada pas di tempat dimana aku mengingatnya.

Mengisi kembali kandungan gula diri seseorang itu sepenuhnya diperlukan ketika kamu memakai otakmu terlampau berlebihan. Yang kumaksud adalah sudah saatnya bagi Kopi MAX yang begitu manis untuk tampil.

(Pemikiran tiba-tiba: Kopi MAX itu erotis ketika kamu memasukkan kafein dan sejumlah susu yang pas ke dalamnya. Pertama sekali, itu akan terlihat luar biasanya mirip dengan sepasang buah dada yang besar. Kopi itu berkedip padamu dan mengatakan, “Aku tidak akan membiarkanmu tidur hari ini ☆” – atau sesuatu semacam itu. Seseorang harus menggambarkan Kopi MAX-tan atau Pixiv untukku[1] …)

Saat aku berjalan ke ruang tamu, memikirkan berbagai kumpulan hal tidak berguna tentang Kopi MAX, aku menyadari adik kecilku Komachi sedang tertidur di sofa. Ujian Semester gadis ini juga segera datang sepertiku, tapi seperti biasa dia tidak khawatir sama sekali.

Saat aku mencari-cari Kopi MAX yang kubeli, aku ingat bahwa bejananya sudah terbuka dan jadi aku mulai mendidihkan air saja. Aku menuangkan air ke dalam ceret Tefal, menekan tombol daya yang membuat suara klik selagi aku melakukannya. Merasa bosan dan selagi menunggu airnya mendidih, aku duduk di ujung sofa dimana adik kecilku sedang tertidur.

Komachi sedang tertidur dengan perutnya tidak tertutupi.

Kulit polos nan putihnya naik dan turun pada saat yang sama dengan dengkurannya. Pada saat yang sama, pusar imutnya berkedut. Saat dia bergerak dengan erangan lembut, aku bisa melihat dia sedang berbaring memakai kaus dan jaketku, keduanya diambilnya tanpa izin. Aku tidak menyadari hal ini dari awal karena dia melengkung seperti bola, tapi mengapa gadis ini hanya memakai pakaian dalam? Dia akan terjangkit flu jika begini terus.

Untuk sekarang aku menyelimutinya dengan handuk mandi terdekat. Sebagai reaksinya, Komachi bergugam sesuatu dalam tidurnya. Selagi ini terus terjadi, air yang kudidihkan mulai berdesis dan membuat suara klik yang mengumumkan bahwa airnya sudah siap. Aku memasukkan kopi instan itu ke dalam sebuah cangkir dan menuangkan air panas ke atasnya.

Suatu bau sedap melayang dari kopiku. Aku menambahkan susu dan gula dalam jumlah yang cukup banyak dan mengaduknya empat kali dengan sendok teh. Ketika aku selesai, kopi manis tercintaku sudah siap disajikan. Aroma megah susuku dan keharuman yang berbau manis dari kopiku bercampur dengan satu sama lain. Aku tahu persis ini akan begitu enak.

Seakan dia menangkap hembusan bau itu, Komachi mendadak bangun.

Hal pertama sekali yang dia lakukan adalah berdiri terpatung-patung, menatapku tanpa suara selama dua detik penuh. Kemudian, tanpa mengatakan sepatah katapun dia memakan tiga detik penuh untuk membuka jaket dan tirainya tanpa suara. Kemudian dia membuka matanya lebar-lebar dan menatap ke arah jamnya selama lima detik penuh tanpa suara. Dia membutuhkan total sepuluh detik untuk memahami situasinya sekarang ini.

YahariLoveCom v2-129.png

Kemudian dia menghirup nafas dalam-dalam. “Lontong! Aku ketiduran!” dia mulai berteriak dengan suara yang menjengkelkannya keras. “Aku hanya berencana untuk tidur selama satu jam, tapi kemudian aku tertidur selama lima jam!”

“Oh, aku mengerti sekarang. Kamu ketiduran, katamu? Kamu langsung pergi tidur segera sesaat kamu sampai ke rumah.”

“Kamu parah! Aku ada mandi dulu sebelum aku tertidur!”

“Astaga, aku benar-benar tidak mengerti mengapa kamu begitu tersinggung.”

“Oh ya, mengapa kamu tidak membangunkanku?!”

Komachi benar-benar begitu jengkel padaku karena beberapa alasan. Aku pikir mungkin “Aku ketiduran” artinya kurang lebih sama dengan “Aku seekor babi ☆”.

“Ak benar-benar tidak peduli, tapi demi Tuhan tolong pakai celanamu. Dan siapa yang memberimu izin untuk memakai bajuku?”

“Hm? Oh, ini. Ini gaun tidur yang sempurna. Bukankah ini seperti pakaian one piece[2]?” katanya sambil menarik bagian depan kausnya.

Jangan tarik itu, jangan tarik itu. Aku bisa melihat bramu, kamu tahu. Dan jangan berputar-putar – Aku bisa melihat celana dalammu.

“…oke, aku akan berhenti memakainya, perengek,” katanya.

“Oh, terima kasih. Kalau begitu aku akan memberimu beberapa pakaian dalam, Komachi.”

“Ohhh, sangat kuhargai!”

Aku menyesap kopiku, setelah bersumpah jauh di dalam lubuk hatiku bahwa aku akan memberikannya kain lap saja. Selagi Komachi menyinsingkan lengan baju kausku seperti piyama one piece lagi, dia berjalan ke dapur dan mulai memanaskan susu di dalam mikrowave.

“Omong-omong, apa yang kamu lakukan pada jam segini?”

“Belajar untuk ujian. Aku turun ke bawah karna aku barusan beristirahat sejenak,” jawabku.

Komachi membuat suara terkejut. “Aku juga masih belum beristirahat sekarang setelah kamu mengatakannya.” Kemudian dia berhenti sejenak. “Onii-chan, sumpah, kamu akan menjadi pria yang 'suka berbisnis' ketika kamu mulai bekerja.”

“Hei, 'suka bisnis' tidak berarti aku 'suka' bekerja. Inggrismu hancur.”

“Tidak mungkin, onii-chan. Aku itu benar-benar jago Inggris. Aku itu jenius yo. I AM SMARTICLES,” katanya dengan kemampuan Inggris yang tidak mirip jenius sama sekali. Smarticles itu bahkan bukan sebuah kata, tolol.

Mikrowavenya berdering. Komachi memegang cangkirnya dengan kedua tangan, dan selagi dia meniupnya untuk mendinginkannya, dia mulai berjalan ke arahku. “Kurasa aku juga akan belajar.”

“Silahkan. Aku akan kembali belajar, kalau begitu. Kamu juga lebih baik terus bertahan belajarnya.”

Aku menegakkan seluruh kopiku dalam sekali teguk dan berdiri. Tapi pada saat itu, Komachi menarik punggung kausku dan membuat suara kroak seperti kodok kintel. Ketika aku berpaling, Komachi sedang tersenyum lebar.

“Kamu bilang ‘kamu juga,’ benar? Tidakkah biasanya itu berarti ‘ayo kita melakukannya bersama’? Onii-chan, apa bahasa Jepangmu sudah hancur?”

Kamu yang bahasa Jepangnya hancur…”

Yah, itu tidak masalah untuk membodohkan diriku sementara dengan melihat hasil PR adik kecil idiotku, pikirku.

Dan begitulah, sesi belajar malam hari dengan adik kecilku dimulai.

Kami membawa semua alat-alat belajar kami dari ruangan kami dan menyebarkannya di atas meja di ruang tamu. Aku memutuskan untuk berfokus terutama pada sejarah Jepang hari ini, jadi aku pergi membahas kumpulan soal Yamakawa dan juga manualnya, dan setelah itu aku masuk pada catatanku.

Pada sisi Komachi, ada buku “Inggris SMP: Target 1800”, seakan itu akan membantu Bahasa Inggrisnya yang menyedihkan.

Bersama, kami belajar dengan diam dan rajin. Aku menjawab soal dan menuliskan penjelasan panjang lebar ke dalam catatan ketika ada yang salah. Kami mengulang proses itu berulang kali. Pada saat aku selesai membahas isi ujian semesterku. Aku menyadari bahwa Komachi sedang menatapku dengan pandangan melamun di matanya.

“…apa?” tuntutku.

“Hm? Oh, Aku hanya berpikir kamu itu begitu kaku, onii-chan.”

“Kamu merendahk'n ku? Kamu mau berkelahi, anak kecil? Aku akan menjambak rambutmu!”

Tapi Komachi hanya tertawa akan ancaman lemahku. “Begitulah yang kamu bilang, onii-chan, tapi kamu pasti tidak akan memukulku.”

“Huh? Itu hanya apa yang kamu pikir. Alasan mengapa aku tidak memukulmu adalah karena orangtua kita akan meninjuku jika aku begitu. Itu saja. Jangan salam paham.”

“Teehee. Kamu merona, kamu merona,” nyanyinya selagi dia membuat tanda peace.

“D… diam…”

Untuk sekarang, aku memuaskan diriku hanya dengan menyodok dahinya. Tepatnya, aku menjentikkan sebuah penghapus ke kepalanya, menyebabkannya menghancurkan diri. Singkatnya, aku melancarkan semua simpanan tenagaku dalam satu serangan penuh dan tidak menahan apapun.

“Oof!” Komachi mengerang. Penghapus itu menghantam dahinya, menyisakan jejak. Selagi dia mengurut dahinya, Komachi menatap marah padaku dengan mata berlinang-linang. “Hmph… dan aku sedang memujimu sebagai murid yang begitu baik…”

“Itu karena kamu mengatakan sesuatu yang bodoh. Sekarang cepat belajar sana, astaga.”

“Hal seperti itu yang membuatmu begitu kaku. Men, ada begitu banyak tipe abang dan adik di luar sana. Aku memiliki seorang teman yang pergi ke les yang sama denganku yang kakaknya itu preman. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah di malam hari dan semacamnya.”

“Uh huh.” Kelihatannya Komachi sudah kehilangan semua motivasi untuk belajar. Entah kapan, dia menutup buku Target: 1800. Sekarang ini, kami sudah sudah masuk ke dalam waktu berbincang-bincang yang tidak ada gunanya.

Selagi aku dengan bijaknya mengabaikan ocehan Komachi, aku terus mempelajari sejarah Jepang. 645, Tahun terjadinya Reformasi Taika adalah pada tahun 645.

“Tapi ente tahu, kakaknya itu adalah murid yang super serius sampai dia masuk ke SMA Soubu. Aku heran apa ada sesuatu yang terjadi padanya.”

“Oh, begitu ya.”

Kata-kata Komachi masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga lain. 694, Tahun dimana Fujiwara-kyo menjadi ibu kota adalah pada tahun 694. Oh tunggu, apa itu tahun 794? Tidak, itu Heian-kyo.

Namun, itu sudah cukup untuk membuatku terlelap. Manusia memiliki tekad yang kuat untuk tidak dikalahkan oleh obat-obatan. Dengan kata lain, tidak peduli berapapun kafein yang kukonsumi, keinginanku untuk tidur tetap mungkin bisa menang.

“Tapi yah, itu keluarganya jadi aku tidak bisa benar-benar mengatakan apapun. Kami sudah semakin dekat akhir-akhir ini, jadi dia mengungkapkan isi hatinya padaku, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan. Oh, namanya Kawasaki Taishi-kun dan dia mulai memasuki tempat lesku bulan April ini.”

“Komachi.”

Pensil mekanikku jatuh dari tanganku dan membuat suara dentuman. Kantukku hilang dalam sekejap.

“Apa hubunganmu dengan Taishi-kun ini? Apa maksudmu dengan semakin dekat?”

“Whoa, kamu memiliki tampang menakutkan di matamu, onii-chan…”

Kelihatannya aku sedang melihatnya dengan agak serius. Komachi agak sedikit terkejut. Tapi disini adalah adik idiotku. Sesuatu mungkin terjadi padanya jika dia tidak menjaga dirinya sendiri. Itu alamiah bahwa aku khawatir dengannya sebagai seorang keluarga. Jika dia terlibat dengan lelaki, itu tidak akan bagus baginya.

Onii-chan benar-benar tidak mentoleransi hal-hal seperti itu.

“Meh. Beritahu aku jika ada sesuatu yang menganggumu. Aku sudah memberitahumu ini sebelumnya, tapi hal-hal yang kulakukan dengan Klub Servis – yang masih belum kumengerti, omong-omong – mungkin bisa membantumu, kurasa.”

Komachi menggembungkan pipinya dan tersenyum ketika aku mengatakan itu.

“Onii-chan, kamu benar-benar seorang pria yang kaku!”


× × ×


Sudah pagi hari. Burung pipit sedang bercicit. Jadi ini yang namanya “fast-forward sampai keesokan harinya” yang terjadi dalam cerita-cerita.

Aku membuka mataku, berkedip terkejut. Aku disapa, bukan oleh pemandangan yang biasa kujumpai, tapi oleh langit-langit yang tidak kukenali. Yang kumaksud dengan itu, aku sedang berada di ruang tamu. Kelihatannya kami entah bagaimana tertidur ketika kami sedang belajar. Hal terakhir yang kuingat adalah aku sedang menginterogasi Komachi tentang status hubungannya.

“Hei, Komachi. Sudah pagi,” panggilku.

Saat itulah ketika aku sadar aku tidak melihat adik kecilku dimanapun. Aku melihat-lihat sekelilingku mencari Komachi selama dua detik. Kemudian, aku menatap ke luar jendela. Matahari sudah terbit cukup tinggi. Itu memakan waktu tiga detik untuk memastikan ini. Kemudian aku merasakan perasaan ada sesuatu yang salah dan aku melihat ke arah jam sambil berkeringat dingin. Sudah jam sembilan pagi. Aku melihatnya ke atas dan ke bawah, tapi masih jam sembilan pagi. Itu memakan lima detik penuh untuk memproses hal ini.

Dampak situasinya menghantamku dalam waktu sepuluh detik ini.

“Aku akan super telat…” Aku menundukkan kepalaku, merasa depresi.

Sarapan berisikan roti panggang, daging ham dan telur terjajar di atas meja, beserta secarik surat yang ditinggalkan Komachi sebelum dia berangkat.

Kepada onii-chan, Aku akan berangkat duluan karena aku tidak mau terlambat. Tenang saja!

S.P. Pastikan kamu memakan sarapanmu!!

“Tolol… kamu pikir kamu itu Security Police?”

Cara menulisnya yang benar adalah P.S.[3], seperti Playstation.

Yah, karena tidak ada gunanya gempar akan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan, aku mengunyah sarapan yang disiapkannya untukku dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sambil bersungut-sungut. Keliatannya orangtuaku sudah pergi bekerja. Karena kedua orangtuaku bekerja, pagi hari dalam keluarga Hikigaya mulai pagi sekali. Ibuku membuat sarapannya tapi Komachi biasanya bertugas menyiapkan makan malam.

Dan namun tidak ada satu orangpun yang membangunkanku meskipun mereka bangun pagi. Sementara aku khawatir apakah aku dicintai dan semacamnya, aku ingin percaya dalam kebaikan untuk membiarkan seseorang tetap tertidur.

Darahku sedang terpompa-pompa saat aku mengganti bajuku. Setelah memastikan pintunya sudah terkunci, aku meninggalkan rumah.

Selagi aku bersepeda dengan santai melintasi pinggiran sungai, aku melihat ke atas dan menjumpai gumpalan-gumpalan awan raksasa yang melintasi langit dengan cepat. Hari ini, jalur ke sekolah begitu indahnya sepi. Itu membuatku merasa tentram. Biasanya, rute menuju SMA Soubu adalah sebuah jalur lomba pacu bersepeda dimana murid dari sekolah lain berlomba-lomba melawan satu sama lain. Menyalip orang lain dan berteriak “Maju! Magnum!” adalah perasaan yang paling menyenangkan. Ketika kamu melawan para pria, kamu akan menjadi berapi-api dan mengatakan sesuatu seperti, “Aku tidak akan kalah! Sonic!” [4]

Hari ini, dalam perjalanan pulang baliknya kurang lebih antara para nyonya yang lebih tua berusaha sebaik mungkin untuk menurunkan berat badan mereka dan pria yang lebih tua berjalan-jalan dengan anjing mereka, dan suasananya seintens seperti menonton orang memancing. Pergi ke sekolah seperti ini tidaklah buruk sekali-sekali. Sebenarnya, setelah aku memikirkannya, bersepeda di bawah langit biru terasa cukup bagus. Itulah hal-hal yang kamu beritahu seseorang untuk membujuk mereka untuk ikut membolos bersamamu, dan itu berhasil sekitar lima puluh persen kasus.

Dan namun, mengapa sewaktu aku hampir tiba ke sekolah, suatu perasaan melankolis yang tiba-tiba menerjangku…?

Meski begitu, aku tidak bergerak dengan diam-diam. Malah, aku memasuki sekolah dengan cara biasa. Pada saat ini para guru sedang berada di kelas, kamu tahu, jadi tidak mungkin mereka akan menyadari aku terlambat. Menjadi takut itu tidak ada gunanya. Aku mempelajari hal itu dari tujuh puluh dua kali keterlambatanku ke sekolah tahun lalu. Ini sudah ke delapan kalinya terlambat tahun ini, yang mungkin akan mmpengaruhi catatan sekolahku jika begini terus. Aku ingin mencapai angka dua ratus kali pada kelas tiga SMAku.

Masuk ke dalam gerbang sekolah itu gampang. Masalahnya adalah kelas. Aku menghentikan sepedaku di area parkir dan berpaling dengan cepat menuju pintu masuk. Segera sesaat aku memasuki lapangan sekolah, aku merasa seakan kekuatan gravitasinya bertambah dalam sekali hantam. Aku sedang berada di Planet Vegeta, kamu tahu? Aku menyeret diriku menaiki tangganya dan melintasi loronng dimana tidak ada satu orangpun, sampai akhirnya aku tiba pada kelasku di lantai dua.

Aku menarik nafas dalam-dalam di depan pintu. Kemudian aku meletakkan tanganku di gagang pintunya. Pada saat itu, aku merasa sangat gugup.

Pintunya terdorong terbuka.

Dan kemudian semua mata sekaligus melihatku, tidak ada seorangpun yang mengatakan apapun. Keheningan sudah menyeliputi seluruh kelas. Bisik-bisikan dan suara ajaran guruku sudah menghilang ke kehampaan.

Aku tidak benci terlambat. Apa yang kubenci adalah suasana ini.

Contohnya, jika itu Hayama yang melakukannya, aku cukup yakin mereka semua akan, “Hei, Hayama! Datang lebih telat lagi lain kali!” “Hayama, kamu begitu lamban, men!” “Hahaha, Hayama kamu lamban!”

Tapi dalam kasusku, tidak ada yang mengatakan apapun, dan selama sesaat aku mendapat pandangan dari semua orang yang bertanya, “Siapa pria ini?” Aku menjawab dengan hening selagi aku memasuki kelas dengan langkah berat. Sesaat setelah aku sampai ke tempat dudukku, sebuah perasaan letih tiba-tiba melandaku.

Tanpa kusadari aku menghela. Untuk guruku, itu yang terakhir.

“Hikigaya. Datang jumpai aku setelah kelas berakhir,” kta Hiratsuka-sensei selagi dia menghantam meja guru dengan tinjunya.

“Oke…”

…Gawat aku. Aku menundukkan kepalaku sebagai responnya, membuat Hiratsuka-sensei menganggukkan kepala dengan puas saat dia berpaling dan melanjutkan menulis di papan tulis, jas putihnya berlambai di belakangnya.

Tunggu dulu, hanya tinggal lima belas menit lagi sampai akhir kelas!

Dan yang kejamnya adalah lima belas menit itu berjalan begitu cepat. Sementara aku sedang mengabaikan pelajaran dan sedang berpikir ratusan alasan keterlambatanku, loncengnya berbunyi.

“Sekian untuk pelajaran ini. Hikigaya, datang kemari,” kata Hiratsuka-sensei sambil mengisyaratkanku datang dengan tak sabar.

Aku melihat wajahnya dengan perasaan ingin kabur yang luar biasa.

Hiratsuka-sensei memberungut dengan terang-terangan padaku. “Kalau begitu sekarang, sebelum aku meninjumu, aku akan bertanya padamu mengapa kamu terlambat, hanya untuk bersikap baik saja.”

Dia sudah memutuskan untuk meninjuku!

“Tunggu, anda salah. Tunggu sejenak. Tidakkah anda tahu kata ‘terlambat supaya keren’[5]..? Singkatnya, ini hanya latihan untuk nanti ketika aku menjadi seorang eksekutif yang hebat dan elit.”

“Aku pikir kamu ingin menjadi seorang bapak rumah tangga.”

“Urk!” aku menyernyit, tapi aku segera mendapat tumpuanku lagi. “Y-yah! Itu suatu kesalahan untuk berpikir bahwa terlambat itu sudah pasti hal yang buruk. Anda mengerti? Para polisi mulai bergerak setelah insidennya terjadi. Itu sudah dikenal luas bahwa sang pahlawan akan datang pada menit-menit terakhir. Dengan kata lain, mereka selalu terlambat. Tapi siapa yang menyalahkan mereka?! Tidak ada! Ironinya disini adalah bahwa keterlambatan itu merupakan keadilan!” aku berteriak dari lubuk jiwaku.

Ketika aku selesai, Hiratsuka-sensei memiliki tampang dingin di matanya untuk beberapa alasan.

“…Hikigaya. Mari kuberitahu kamu satu hal. Keadilan yang lemah itu tidak ada bedanya dengan kejahatan.”

“…keadilan lemah itu bahkan lebih baik dari kejaha- tunggu! Jangan pukul aku! Tidak!”

Aku Soku Zan [6].. Tinju Hiratsuka-sensei mendarat ke dalam liverku dengan keakuratan yang pas. Tubuhku mengerang akan luka yang dihasilkan. Selagi aku terjungkir dan jatuh ke lantai, aku terbatuk-batuk.

Hiratsuka-sensei menghela takjub sementara aku menggeliat kesakitan. “Astaga… tidak ada habisnya murid bermasalah di dalam kelas ini.” Tapi dia tidak mengatakannya dengan jijik – malah, dia terlihat senang daripada apapun. “Aku sedang membicarakan tentang satu orang lain ketika aku mengatakan itu.”

Sepenuhnya mengabaikan bahwa aku sudah terjatuh ke lantai, Hiratsuka-sensei mengetakkan sepatu hak tingginya ke lantai dan menghadap ke pintu belakang kelas. Aku melihat ke arah yang sama dari posisiku di atas lantai dan menyadari keberadaan seorang murid perempuan sedang memegang tas sekolahnya.

“Kawasaki Saki. Apa kamu juga terlambat supaya keren?” Hiratsuka-sensei memanggilnya dengan senyum masam di wajahnya.

Tapi gadis yang bernama Kawasaki Saki ini hanya menjawab dengan anggukan kepala tanpa suaranya. Kemudian dia berjalan persis melewati tubuh terjuntaiku di lantai dan menuju tempat duduknya.

Rambut panjang hitamnya tumbuh sampai punggungnya; bagian yang tidak diperlukan dari lengan baju kemejanya dilonggarkan; kaki panjang dan tajamnya terlihat dibuat untuk menendang. Tapi yang memberikan kesan padaku adalah mata tanpa ambisinya, yang menatap kosong ke kejauhan. Tanpa disebutkan black lacenya yang kelihatan seakan dibordir oleh seorang penjahit.

YahariLoveCom v2-141.png

Sumpah aku pernah melihat gadis itu entah dimana sebelumnya… tunggu sebentar, jika dia ada di dalam kelasku, kalau begitu tentu saja aku pernah melihatnya sebelumnya.

Karena aku dapat melihat ke dalam roknya dari posisi terjuntaiku di lantai, aku langsung berdiri. Aku tidak mau siapapun curiga denganku.

Dan pada saat itu, tiba-tiba aku menyadari sesuatu dalam pikiranku.

“…kamu si gadis black lace itu, bukan?”

Dengan itu, semua keraguanku langsung sirna.

Tanpa sadar, aku mengingat kembali pada satu peristiwa yang telah terbakar ke dalam mataku. Aku mengingat si gadis yang tiba-tiba menertawaiku ketika dia melihatku di atap.

Oh, jadi dia berada dalam kelasku, huh? Sudah waktunya untuk sekali lagi memastikan bahwa ini adalah gadis yang sekarang sudah kuketahui bernama Kawasaki Saki. Daripada pergi ke tempat duduknya, Kawasaki berdiri di tempat dia berada dan melihat ke belakang padaku dengan santai dari bahunya.

“…apa kamu bodoh?” tanya Kawasaki Saki. Dia tidak menendang atau meninjuku. Dia tidak merona karena malu dan wajahnya tidak merah karena amarah – itu seakan dia sama sekali tidak tertarik. Dia hanya sedikit jengkel.

Jika Yukinoshita Yukino itu kaku, Kawasaki Saki hanya dingin. Itu seperti perbedaan antara es kering dengan es biasa. Yukinoshita melepuhkan siapapun yang menyentuhnya.

Dengan tampang jijik di wajahnya, Kawasaki menyisir seuntai rambut yang lepas sebelum menghadap ke tempat duduknya. Setelah dia menarik kursinya dan duduk di atasnya, dia melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong seakan dia merasa bosan. Itu seakan dia sedang melihat ke luar sehingga dia tidak perlu melihat ke dalam.

Tidak ada orang di dunia yang tidak menyadari aura “jangan bicara padaku”nya. Tapi aura “jangan bicara padaku”nya masih lemah. Tidak ada orang yang mau berbicara padaku di dalam kelas meskipun aku mengaktifkan aura “tolong bicara denganku”.

“Kawasaki Saki, huh…?”

“Hikigaya, berhenti mengutarakan nama gadis yang bagian dalam roknya kamu lihat dengan emosi mendalam.” Hiratsuka-sensei meletakkan tangannya di bahuku. Tangannya begitu dingin. “Kita akan berbincang-bincang tentang hal ini nanti. Datang jumpai aku di ruang staf setelah sekolah.”


× × ×


Setelah satu jam singkat diceramahi oleh Hiratsuka-sensei, aku mampir ke toko buku di pusat perbelanjaan Marinepia daripada langsung menuju ke rumah.

Aku mengamati rak bukunya dan membeli sebuah buku. Pergilah uang kertas seribu-yenku, bersama dengan uang receh yang bergemerincing dalam dompetku.

Setelah itu, aku pergi ke kafé, berpikir aku mungkin akan sekalian belajar. Tapi kelihatannya semua orang yang lain juga memikirkan hal yang sama, karena tempat itu dipadati oleh murid-murid dari segala tempat. Baru saja ketika aku sedang berpikir apakah aku sebaiknya pulang ke rumah saja, aku melihat beberapa wajah yang kukenali.

Totsuka Saika yang berpakaian baju olahraga sedang menatap kue di pajangan kaca. (Pada sekolah kami, kamu bisa memakai seragam atau baju olahraga – tidak masalah yang mana dipakai.) Kesan dari suasana itu bahkan lebih manis dari krim segar, dan aku tertarik padanya seperti semut tertarik pada gula. Aku adalah salah satu jenis orang “itu harus benar-benar pas☆”. Hei, aku kurang lebih mirip Goldilocks.

“Oke, sekarang giliranmu selanjutnya untuk menanyakan pertanyaan, Yukinon,” kata wajah familier nomor dua.

Yuigahama dan Yukinoshita tidak membuang-buang waktu mereka selagi mereka menunggu giliran mereka untuk dilayani dan terserap ke dalam kegiatan belajar mereka.

“Baik, kalau begitu sebuah pertanyaan bahasa Jepang,” ucap Yukinoshita. “Lengkapi ungkapan berikut ini: ‘Ketika perjalanan menjadi sulit-’”

“…jalur Tokyo-Chiba ditutup?”

Perbaikan: ternyata hanya Kuis Ultra Seputar Chiba [7]. Dan jawaban Yuigahama juga salah. Jawaban yang benar adalah “Akhir-akhir ini, lebih banyak kereta api yang melambat tanpa berhenti.”

Mendengar kesalahan ini, wajah Yukinoshita juga menjadi muram, persis seperti yang bisa kamu duga darinya. “Tidak benar… kalau begitu, pertanyaan selanjutnya. Yang ini lebih mengenai geografi. Sebutkan dua makanan khas lokal Chiba.”

Tik tok, tik tok. Jarum jam berdetak pergi. Yuigahama menelan ludah. “Kacang Miso… dan kacang rebus?” Dia memasang tampang begitu serius di wajahnya.

“Hei. Kamu pikir semua yang kami lakukan hanya menanam kacang di Chiba?” tanyaku.

“Whoa!” Yuigahama melompat. Kemudian dia berkata, “Oh, cuma Hikki. Selama sejenak, kupikir kamu itu seorang pria aneh yang mau merayuku…”

Lontong. Aku bermaksud untuk datang nanti, tapi sekarang aku berdiri pada antrian yang tololnya panjang ini karena aku memperbaiki kesalahan Yuigahama. Sialan! Alangkah menderitanya diriku karena cintaku akan Chiba!

Mendengar reaksi berlebihan Yuigahama. Totsuka berpaling dan menghadapku. Kemudian sebuah senyuman cerah terpampang di wajahnya. “Hachiman! Jadi kamu juga diundang mengikuti kelompok belajar ini!”

Totsuka berjalan dengan malu-malu ke arahku, sambil menyeringai. Tapi tentu saja tidak mungkin aku diundang, dan Yuigahama memasang tampang muram “Sungguh menjengkelkan. Orang ini bukan salah satu dari kami,” di wajahnya. Oi, hentikan itu, kamu sedang membangkitkan ingatanku tentang pesta ulang tahun teman sekelasku saat SD. Walaupun aku membawa sebuah hadiah dan segalanya, mereka semua mengabaikanku dan aku hampir mau menangis.

“Hikigaya-kun tidak pernah diundang,” kata Yukinoshita. “Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”

“Yukinoshita, berhenti menegaskan fakta-faktanya demi membuat seseorang merasa tidak enak.”

Astaga, jika aku tidak memiliki tekad yang kuat, kamu akan mendapat apa yang pantas kau dapat, bajingan.

Sebenarnya, aku mungkin sudah akan meneriakkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti dan menghantamnya dengan sebuah kursi. AKu ingin dia meminta maaf pada ego yang luar biasa kerasku ini.

“Aah, aku bermaksud mau memanggilmu, Hikki, tapi ada makanan dalam mulutku…” kata Yuigahama.

“Nah, Aku benar-benar tidak tersinggung.” Aku sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini.

“Apakah kamu juga datang kemari untuk belajar menghadapi ujian juga, Hikigaya-kun?” tanya Yukinoshita.

“Uh, kurasa. Kalian juga?”

“Tentu saja. Ujian hanya tinggal dua minggu lagi,” ujar Yuigahama.

“Men, sebelum kamu belajar untuk ujianmu, kamu lebih baik melatih trivia Chibamu. Pertanyaan terakhir itu sudah semacam bonus.”

“Aku tidak merasa itu semacam pertanyaan bonus… lebih condong pada pertanyaan geografi: ‘Sebuatkan dua makanan khas lokal Chiba.’” Yukinoshita mengutarakan pertanyaan yang sama seperti tadi dengan datar, seakan sedang mengujiku.

“Jawaban yang benar adalah ‘Budaya terkenal Chiba: festival dan menari.’”

“Aku bilang ‘makanan khas lokal’. Aku cukup yakin tidak ada orang yang tahu lirik lagu daerah Chiba.” Yukinoshita tercengang. Tidak, aku cukup yakin dia mengetahuinya. Dia hanya tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. (Omong-omong, lagu daerah Chiba dinyanyikan pada Bon-Odori[8], dan sebagian besarnya ditampilkan dengan cara mirip latihan senam modern. Penduduk Chiba bisa menyanyi dan menari sampai kedua-duanya. Ya, kamu bisa entah bagaimana menyanyi mengiringi latihan senam meskipun tidak ada lirik yang bisa dinyanyikan.)

Selagi semua ini sedang terjadi, orang di depan kita telah dilayani, dan sesaat kemudian sudah giliran kami. Pada saat itu, Yuigahama tiba-tiba menyeringai. “Hikki, Aku akan membayar punyamu,” kicaunya.

“Huh? Aku bilang aku tidak tersinggung… apa kamu akan menyamar menjadi nenekku selanjutnya? Nenek, sungguh besar gigimu.”

“Aku bukan si serigala besar jahat! Aku hanya berusaha bersikap baik meskipun aku tidak mau membayar punyamu!”

Apa dia baru saja menggali kuburannya? Dari awal pun tidak ada alasan kenapa Yuigahama harus mentraktirku.

Yukinoshita, yang sedang menonton perbincangan kami, membuat helaan jengkel. “Kamu sedang membuat malu dirimu, jadi hentikan itu. Aku tidak suka hal semacam itu. Aku membenci orang bermuka dua.”

Untuk sekali ini, aku setuju dengan Yukinoshita. “Ya. Aku juga benci tipe orang seperti itu.”

“Huh?! K-Kalau begitu aku tidak akan mengatakannya, jika begitu!” tegas Yuigahama.

“Nah, tidak apa-apa kalau itu lelucon dengan orang-orang yang dekat denganmu,” kataku. “Aku sarankan kamu cukup mengatakannya dengan orang yang kamu sukai pada lingkaran dalam pertemananmu?”

“Ya, memang,” kata Yukinoshita. “Kamu tidak termasuk dalam lingkaran dalam pertemananku, jadi aku tidak keberatan.”

“Aku agak terkejut kamu tidak menganggapku bagian lingkaran dalam pertemananmu!” Yuigahama melihat pada Yukinoshita dengan mata berlinang.

Pada saat yang sama, sudah giliranku dilayani. Ketika aku memesan kopi blend, asisten toko yang bisa membuatnya segera mengocokkan kopinya. “Harganya 390 yen.”

Itu terjadi ketika aku memasukkan tanganku ke dalam kantongku. Ingatanku tentang apa yang barusan terjadi muncul dalam benak pikiranku. Aku sudah membeli sebuah novel ringan di toko buku, dan lalu apa? Aku membayar 1000 yen, persis jumlah uang yang kumiliki, dan aku juga sudah memakai semua uang recehku… yang berarti aku tidak memiliki uang sekarang. Tapi kopinya sudah dibuat jadi sudah terlambat untuk menolaknya.

Aku mulai berbisik dengan diam-diam pada dua gadis di belakangku. “Maaf. Aku tidak ada uang sekarang, teehee. Sori, tapi bisakah kalian membayarkannya untukku?”

“…memuakkan.” Yukinoshita langsung mengecapku sebagai sampah.

Yuigahama menghela, dengan tampang terkejut di wajahnya. “Huh, kurasa tidak ada yang bisa dilakukan.”

…Y-Yuigahama-san! Kamu datang untukku, dewiku! Betapa aku memuja engkau!

“Aku akan mengambil kopi itu, jadi bagaimana kalau kamu minum air saja, Hikki?”

…setan ini. Apa dia Lilith atau semacamnya?

“Hachiman, A-Aku akan membayarkannya untukmu! Jadi tak usah khawatir akannya, oke?” Totsuka tersenyum padaku dengan baik hati.

Totsuka benar-benar seorang malaikat.

Ketika aku baru saja mau memeluknya, suara dingin Yukinoshita datang sebagai penghalang di antara kami. “Itu tidak akan baik baginya jika kamu memanjakannya.”

“Katakan itu setelah kamu melakukan sesuatu yang baik untukku sekali-sekali.”

Totsuka akhirnya membayarkannya untukku, jadi aku mencari-cari tempat duduk selagi aku mengucapkan terima kasih padanya. Paling tidak itu yang bisa kulakukan selagi mereka bertiga menunggu pesanan mereka.

Pada saat yang sama, satu kelompok berempat beranjak dari tempat duduk mereka, jadi aku menyelip ke dalam tempat mereka dengan segera. Aku meletakkan nampan di meja dan dengan buru-buru melemparkan tasku ke bawah. Karena terlalu bersemangat, tasku jatuh ke bawah tempat duduk dengan bantalan itu.

Seorang gadis sekolah berparas-cantik yang duduk di tempat duduk sebelah mengambilkannya kepadaku. Aku membungkuk dengan sopan sebagai respon pada sikap tak mengeluh dan anggunnya.

“Oh, itu onii-chan.”

Si gadis berparas-cantik itu adalah adikku, Hikigaya Komachi. Berpakaian dalam seragam SMPnya, dia melambai padaku dengan senyuman ceria yang muncul di wajahnya.

Itu memakan waktu yang lama untukku untuk merespon. “Apa yang kamu lakukan disini?” tuntutku.

“Lihat, aku hanya mendengarkan masalah Taishi-kun,” kata Komachi sambil memalingkan pandangannya kembali ke tempat duduk di depannya. Yang duduk disana adalah seorang anak laki-laki berseragam SMP.

Dia segera menundukkan kepalanya dan membungkuk ke arahku. Aku tanpa sadar mengamatinya dengan waswas. Persisnya mengapa laki-laki ini bersama Komachi…?

“Ini Kawasaki Taishi-kun. Aku memberitahumu tentangnya semalam, kamu tahu? Dia yang kakaknya menjadi preman.”

Sekarang setelah dia mengatakannya, aku ada perasaan kami berbincang-bincang seputaran itu. Hampir seluruhnya masuk ke dalam satu telinga dan keluar dari telinga yang lain karena aku begitu bertekad menghapal tanggal sejarah saat itu. Apa itu lagi yang terjadi pada tahun 694…?

“Jadi ya, dia barusan menanyakanku bagaimana dia bisa membuat kakaknya kembali seperti sebelumnya. Oh, iya. Kamu juga menanyakannya, onii-chan. Kamu bilang aku boleh memberitahumu jika aku ada masalah apapun.”

Oh, Aku entah bagaimana mendapat perasaan aku mungkin menceplos tanpa berpikir dan menyatakan sesuatu seperti itu semalam. “Serahkan itu padaku dan katakan saja!” atau entah apa. Ya, aku mungkin berniat melakukan sesuatu seperti itu jika itu demi adikku, tapi kalau aku benar-benar jujur, aku tidak ada niat seperti itu kalau mengenai temannya, terlebih untuk seorang laki-laki…

“Ya, aku mengerti. Tapi kamu tahu, aku rasa dia seharusnya membicarakannya lagi dengan keluarganya segera. Yap, malah, jangan buang-buang waktu lagi.”

Aku pikir aku bisa menyelesaikannya dengan tipu daya jika aku menyambungkan beberapa kata yang terdengar-keren. Kemudian aku bisa menyingkirkan Komachi dan pulang ke rumah. Selagi pemikiran itu melintasi otakku, si Taichi itu mulai bergembar-gembor seakan aku itu senpainya atau semacamnya.

“Kamu benar mengenai itu, tapi… akhir-akhir ini, nee-chan telat pulang ke rumah dan dia sama sekali tidak mendengarkan apa yang dibilang orangtua kami. Dia marah padaku dan berkata padaku itu bukan urusanku ketika aku mengatakan sesuatu padanya…”

Taishi menundukkan kepalanya selagi dia berbicara. Kelihatannya dia sedang merenungkannya dengan cara khususnya sendiri.

“…sekarang kamu satu-satunya yang bisa kuandalkan, onii-san.”

“Kamu tidak berhak memanggilku onii-san!”

“Kenapa kamu meneriakkan hal-hal seperti seorang ayah yang keras kepala?” ujar suatu suara dingin di belakangku.

Aku berpaling untuk melihat Yukinoshita dan yang lain sudah mendekat. Menilai mereka sebagai kenalanku dari bagaimana mereka memakai seragam yang sama sepertiku, Komachi tidak buang-buang waktu dalam menampilkan senyuman lugas.

“Halo semua! Aku Hikigaya Komachi. Terima kasih untuk berada disana untuk abangku,” Komachi menyapa mereka dengan senyum penuh arti. Salah satu kepribadian khususnya semenjak dia masih kecil adalah kemampuannya untuk bisa menyesuaikan diri kemanapun dia pergi, seringkali sampai ke tingkat mencengangkan.

Sementara itu, Taishi-kun, pelanggan yang lain, lebih suka untuk tetap diam. Dia merendahkan kepalanya setengah jalan dalam bungkukan yang patuh dan hanya memperkenalkan dirinya dengan menyebut namanya saja.

“Kamu adik kecil Hachiman?” kata Totsuka dengan sopan. “Senang bertemu denganmu. Aku teman sekelasnya. Namaku Totsuka Saika.”

“Oh, kamu begitu sopan, sungguh mempesona. Dan astaga, kamu sungguh imut. Benarkan, benarkan, onii-chan?”

Aku menggerutu. “Dia laki-laki.”

“Haha! Lelucon yang lucu! Hahaha, apa yang kamu katakan, abangku yang idiot?”

“Er, um. Aku laki-laki…” kata Totsuka dengan malu-malu sambil memalingkan wajahnya, terlihat merona.

…lontong sate! Apa orang ini benar-benar laki-laki?

“Uh… benarkah?” tanya Komachi, menyenggolku dengan sikunya.

“Maaf, aku tidak yakin untuk sesaat tadi, tapi dia mungkin seorang laki-laki. Walau dia itu imut.”

“Y-ya…” Komachi menatap lurus ke wajah Totsuka, hanya setengah-yakin. Selagi dia bergugam hal-hal seperti, “Bulu matamu sungguh panjang. Kulitmu benar-benar cantik,” Totsuka sambil merona berpaling dari pandangannya, bertingkah gelisah dan tidak nyaman.

Aku ingin menatap wujud manis Totsuka selamanya, tapi ketika dia membuat kontak mata denganku seakan sedang berkata, “Tolong akuuuuuu…” Aku memisahkan Komachi darinya.


Catatan Translasi

<references>

  1. Pixiv adalah situs yang banyak dipakai pelukis Jepang untuk mengupload gambar-gambar anime. '-tan' bahasa Kansai yang sama dengan '-chan' dan digunakan sebagai istilah cinta hal-hal imut.
  2. Pakaian yang sekaligus menyatukan baju dengan rok, apa ada Indonya?
  3. Post Script = Setelah Isi
  4. Referensi pada Bakusō Kyōdai Let’s & Go!!, sebuah manga tua tentang lomba pacu.
  5. Fashionably late = Seni hanya terlambat sedikit (5 menit kira-kira) untuk memberikan kesan kamu itu orang yang populer dan sibuk yang terlambat karena ada urusan lain
  6. Secara harfiah berarti, “Bunuh Langsung Kejahatan.” Sebuah referensi pada moto Shinsengumi, kelompok pasukan revolusi. Juga banyak dikaitkan dengan kemampuan pedang Saitou Hajime dalam Rurouni Kensin, manga shonen klasik
  7. Referensi pada acara game show Trans America Ultra Quiz, yang menguji kontestan pengetahuan geografi mereka.
  8. Bon Festival adalah festival Jepang tahunan untuk menghormati sanak keluarga yang telah meninggal dunia, dan tarian tradisionil yang dilaksanakan sewaktu festivalnya dinamakan Bon-Odori.