Oregairu (Indonesia):Jilid 3 Bab 3
Bab 3: Yukinoshita Yukino Memang Benar-Benar Mencintai Kucing
3-1
Dari semua hari yang ada dalam seminggu, Sabtu pastilah yang terhebat. Apakah kalian tidak gentar di depan superioritasnya yang mencengangkan? Itu adalah hari libur dan begitu pula hari berikutnya. Itu kurang lebih seperti jual murah level Super Saiyan.
Aku juga mencintai hari Sabtu dengan segenap hati dan jiwaku, dan aku ingin menjalani hari-hari seakan setiap hari adalah hari Sabtu ketika aku sudah dewasa. Hari minggu itu mendepresikan karena sepanjang hari kamu akan berpikir pada dirimu sendiri, “Mulai besok aku sudah mau bekerja lagi…”
Hal pertama yang kulakukan di pagi hari adalah membaca-baca koran dengan malas. Seperti biasa, Kobo the Li’l Rascal adalah bagian terbaik koran tersebut. [1]Atau malah, kamu bisa bilang hanya bagian itu yang benar-benar kubaca.
Setelah aku selesai membaca koran tersebut – dan dengan itu aku maksud Kobo the Li’l Rascal - Aku mengecek selebaran-selebaran diskon. Setiapkali aku melihat sesuatu yang murah, aku membuat lingkaran merah di sekelilingnya dan menyerahkannya pada Komachi, yang kemudian mencatatnya ke dalam daftar belanjanya. Dalam keluarga kami, Komachi atau ibu yang berbelanja.
Kemudian aku menyadari tulisan yang terang mencolok di tengah-tengah selebaran. Tulisan itu begitu terang sampai kamu bisa juga mengatakannya sebuah foton saja. Aku sedang membicarakan tentang partikel cahaya, bukan nama orang.[2]
“K-Komachi! Lihat ini!” Tanpa berpikir, aku menyentak lengannya dengan antusiasme yaang tak terbendung. “Mereka juga menggelar acara Pameran Anjing dan Kucing Tokyo tahun ini!”
Itu seperti salah satu adegan dari The Lion King. Aku mungkin juga akan berakhir meneriakkan seruan perang tanpa berpikir. U-Ra-Ra!! Bukankah itu slogannya Geronimo[3]?
“Astaganaga! Kamu benar! Ini menabjubkan! Kamu memiliki mata yang tajam, onii-chan!”
“Hahaha! Pujalah aku, anak kampungan!”
“Wow, kamu begitu menabjubkan! Onii-chanku menabjubkan!”
“…diam, kalian berdua. Kalian begitu menjengkelkan.” Ibu kami merangkak keluar dari tempat tidurnya, mengutuk dan terlihat begitu mirip dengan sebuah golem. Dia memiliki rambut tidur, kacamata yang dipakainya miring dan dia memiliki lingkaran hitam di bawah matanya yang tidak mau menghilang.
“M-Maaf…” Aku meminta maaf, yang kemudian ibuku mengangguk singkat dan merangkak mundur ke tempat tidurnya. Kelihatannya dia berencana untuk tidur panjang.
…tentu sulit menjadi seorang wanita karir. Aku kasihan dengan wanita yang menikahiku. Aku akan lebih dari pria yang bergantung pada bayaran gaji seorang wanita – Aku akan benar-benar menyia-nyiakan sumber daya masyarakat saja.
Selagi dia menaruh tangannya di pintu tempat tidur, ibuku melihat ke balik bahunya. “Kamu,” katanya. “Kamu bebas untuk meninggalkan rumah, tapi hati-hati dengan mobil. Karena cuacanya lembab dan mobil mulai akan bermasalah di bawah cuaca seperti ini, jadi mudah untuk terjadi kecelakaan. Jangan lakukan sesuatu yang bodoh seperti membiarkan Komachi naik sepeda denganmu.”
“Ya, ya. Macam benar saja aku akan membuat Komachi melewati sesuatu yang begitu berbahaya.”
Kasih sayang yang dirasakan orangtuaku pada adikku begitu dalam. Ya, itu karena dia seorang gadis, tapi dia melakukan semua pekerjaan rumah sepanjang waktu dan dia begitu hebat dalam segala hal yang dicobanya, belum disebut dia hanyalah begiiiiiitu menggemaskan. Tidak heran orangtuaku memperlakukannya seperti seorang tuan putri.
Di sisi lain, sebagai abang yang lebih tua, aku ragu mereka merasakan hal yang sama.
Persis pada saat tersebut, ibuku menghela dengan dalam saat dia melihat pada wajahku. “Aku khawatir tentangmu, tolol.”
“…huh?”
Aku menjadi ingin menangis meski dengan kepribadianku ini. Tidak kuduga ibuku terus mengkhawatirkanku selama ini… dan di sini kupikir aku tidak dicintai karena ibuku tidak pernah membangunkanku di pagi hari, lebih suka memberi koin 500 yen belaka dibanding masakan rumah untuk makan siang dan kadang-kadang membelikanku kaus-kaus yang terlihat jelek sekali dari toko di sekitar sini. Yang benar saja, ada apa dengan selera pakaian orangtuaku yang mengerikan? Selera orangtuaku begitu buruk sampai-sampai itu memalukan. Aku sumpah mereka membenciku.
Namun… hubungan antara orangtua dengan anak adalah hubungan yang indah. Mataku mulai berlinang-linang.
“I-Ibu…”
“Aku benar-benar khawatir. Kalau kamu membuat adikmu terluka, ayahmu akan membunuhmu.”
“A-Ayah…”
Aku menjadi ingin menangis meski dengan kepribadianku ini.
Ayah yang sedang dibicarakan sekarang ini sedang dalam alam mimpi, bersenang-senang dalam tidurnya.
Jujur, keadaan tidak pernah bagus ketika ayahku sedang ada di sini. Dia terlalu menyayangi Komachi dan memandangku dengan mata setengah-curiga, aku tahu. Tapi dia hanya memberitahuku hal-hal yang tidak relevan padaku, seperti hati-hati dengan pemeras yang datang untuk menghancurkan reputasimu, atau wanita yang merayumu di jalan hanya tertarik dengan isi dompetmu, atau bahwa investasi dana masa depan itu kurang lebih sebuah penipuan, atau bekerja itu adalah untuk menerima kekalahan. Dan apa yang benar-benar membuatnya begitu mengerikan adalah hampir semua yang di atas datang dari pengalaman ayahku sendiri, jadi aku tidak bisa mengabaikannya.
Setiap kali dia meninggalkan rumah, dia menghempaskan pintunya sekuat mungkin, mengangguku ketika aku sedang tidur.
“Tidak perlu khawatir karena kami akan pergi naik bus!” Komachi berpaling pada ibu kami, tertawa malu-malu. “Oh, kami akan memerlukan biaya busnya!”
“Baiklah kalau begitu,” kata ibuku, “berapa banyak lagi tiket pergi-pulangnya?”
“Uhh…” Komachi mulai menghitung dengan jarinya. Um, jika satu tiket perjalanan itu 150 yen, maka tiket perjalanan pergi-pulang itu 300 yen. Aku tidak bisa mengerti bagaimana dia perlu memakai jarinya untuk memikirkan itu.
“Harganya 300 yen,” jawabku pada akhirnya, sebelum Komachi bisa menyelesaikan perhitungannya.
Mendengar itu, ibuku menjawab dengan sebuah kata “oke” selagi dia mengeluarkan sebuah koin kecil dari dompetnya. “Mari, 300 yen.”
“Terima kasih!” kata Komachi.
“Permisi, ibu. Aku juga pergi, ibu tahu…” Ada semacam perasaan kaku pada kata-kataku, seperti aku itu Masuo-san yang sedang berbicara dengan Fune. [4]
“Oh, kamu juga perlu biayamu?” Ibuku menaruh tangannya ke dalam dompetnya lagi seakan dia baru saja menyadari eksistensiku.
“Dan aku akan makan di luar hari ini jadi aku juuuuuuuga perlu sedikit uang makan siang!” lantun Komachi.
“Huh? Aku rasa tidak ada yang bisa dilakukan…”
Pada permintaan Komachi (yang hanya mengalir dengan opportunisme) ibu kami menyerahkan pada kami dua lembar uang kertas.
Wow, Komachi tentu menabjubkan. Dipikir lagi, uang makan siangku adalah 500 yen seperti biasa, jadi mengapa itu diterjemahkan menjadi 1000 yen ketika adikku yang meminta itu di luar pemahamanku. Tolong, berikan aku penerangan, ibu.
“Terima kasih! ‘ke, ayo kita pergi, onii-chan.”
“Mm.”
“Baiklah, bersenang-senanglah di luar.” Ibuku melambai pada kami dengan lesu sebelum menghilang ke dalam tempat tidurnya sekali lagi. Tidur yang nyenyak, ibu.
Kemudian, selagi aku meninggalkan rumah, aku mencengkram pintunya dengan setiap serat ragaku dan mengempaskannya.
Suara itu khusus untukmu. Bangkit dan bersinarlah, ayah!
3-2
Itu memakan waktu total lima belas menit penuh bagi busnya untuk sampai ke tempat acara Pameran Kucing dan Anjing Tokyo, aula Makuhari Expo. Meskipun namanya acara Pameran Kucing dan Anjing Tokyo, aku terkejut acara itu digelar di Chiba. Aku tidak memiliki cukup uang untuk pergi jika aku salah mengiranya sebagai Tokyo Big Sight atau semacamnya.
Tempat itu wajar dipenuhi oleh sejumlah besar orang. Ada juga sejumlah orang yang membawa hewan peliharaan mereka ke dalam.
Komachi dan aku dengan ragu-ragu berpegangan tangan karena itulah apa yang seharusnya kami lakukan. Itu tidak seperti kami sobat yang sedang berkencan atau apa, tapi kami sudah melakukan hal ini begitu sering ketika kami pergi keluar sewaktu kecil sampai itu sudah menjadi sebuah tindakan kebiasaan sekarang. Komachi menyiulkan sebuah lagu selagi dia mengayunkan tanganku maju mundur. Aku hampir mendapat dislokasi tulang karena itu.
Aku bisa melihat bahwa Komachi menjadi lebih riang dan lebih ceria dari biasanya, mungkin karena apa yang sedang dia pakai: sepotong baju border tank top yang dipadu dengan sepotong cutsew merah jambu yang tipis bergaris leher lebar, diiringi oleh celana pendek yang memanjang sampai ke pahanya, agak mirip dengan rok low-rise. Ditambah lagi, dia membuat seringaian jutaan dolar nan riang yang mengancam untuk membelah wajahnya menjadi dua. Setiap kali adik kecilku itu tersenyum seperti itu, dia terlihat begitu tidak tahu malunya bangga akan dirinya. Tidak seperti dia tersenyum seperti itu dimana-mana.
Omong-omong, acara itu mungkin saja disebut Pameran Kucing dan Anjing Tokyo, tapi acara itu kurang lebih sebuah tempat penjualan hewan peliharaan dengan hewan-hewan dagangan yang dipajang (e.g. kucing dan anjing). Di sisi lain, aku cukup terhibur untuk melihat bagaimana beberapa jenis hewan langka juga dipajang. Juga tidak ada biaya masuk atau apapun – itu adalah sebuah acara yang patut ditakuti. Chiba benar-benar yang terhebat.
Segera setelah kami masuk ke dalam, Komachi mulai menunjuk-nunjuk pada hewan-hewan dengan begitu gembira. “Lihat, onii-chan! Penguin! Begitu banyak penguin sedang berjalan berkeliling! Sungguh menggemaskan!”
“Oh, itu mengingatkanku. Aku dengar kata penguin diturunkan dari kata latin untuk ‘gemuk’. Ketika kamu memikirkannya, mereka terlihat seperti pekerja kantoran yang obesitas sedang berjalan tertatih-tatih di luar kantor.”
“Oh, wow. Tiba-tiba, aku tidak bisa berpikir mereka itu imut lagi…” Komachi menurunkan lengannya, terlihat patah semangat. Dia berpaling padaku dan menatapku dengan penuh kekesalan. “Berkat trivia tak bergunamu itu, aku akan terpikir kata ‘gemuk’ setiap kali aku melihat seekor penguin, onii-chan…” gugamnya dengan keluh kesah, tidak seperti itu akan ada manfaatnya mengatakan itu padaku. Salahkan itu pada orang yang pertama menamainya penguin itu. “Kamu tahu, onii-chan, kamu tidak sepatutnya mengatakan hal semacam itu dalam suatu kencan, kamu tahu? Jika seorang gadis berkata, ‘Sungguh menggemaskan!’ kamu seharusnya berkata, ‘Ya, tapi kamu lebih menggemaskan lagi.’”
“…Sungguh bodoh.”
Bahkan penguin yang tinggal di Kutub Selatan akan mengidap flu jika mereka dihadapkan pada percakapan mengigilkan itu, menurutku.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Tidak seperti aku sedang memberitahumu untuk benar-benar mengatakan itu padaku, kamu tahu. Aku sudah tahu aku itu menggemaskan.”
“Mengatakannya itu sendiri menghancurkan efeknya…”
Sungguh percakapan yang berkilau selagi kucing dan anjing serta penguin sedang berkeliaran di belakang.
“Terima kasih atas komentar tidak berarti itu! Omong-omong, lihat, lihat! Ayo kita lihat kesana sebentar,” kata Komachi selagi dia mulai berlari, sambil merenggut tanganku.
“Oi, tunggu dulu, jangan buru-buru. Kamu akan menabrak sesuatu.”
Entah bagaimana, kami berakhir pada apa yang terlihat seperti zona burung, dipenuhi oleh burung beo dengan segala bentuk dan ukuran. Sebuah dunia yang menyilaukannya kaya akan warna terbuka di depan mata kami. Kuning, merah, hijau… semua warna utama dijipratkan kesana-kemari dengan begitu cerahnya sampai itu menyakitkan mataku untuk melihatnya. Setiap kali burung-burung itu membentangkan sayap mereka dan melayang tinggi, cahaya bersinar pada bulu-bulu mereka, memamerkan kecemerlangannya.
Tapi di antara banjiran warna-warna cemerlang tersebut, apa yang benar-benar menonjol adalah sebuah kepala berambut hitam yang berkilau.
Setiap kali pemilik rambut hitam berkilau itu membenamkan hidungnya ke brosur Pameran Kucing dan Anjing Tokyo yang dipegangnya dengan satu tangan, rambut twintailnya berdesir maju mundur.
“Bukankah itu… Yukino-san?” Kelihatannya Komachi juga mengenalinya.
Serius, tidak ada orang yang menonjol dengan begitu jelasnya seperti dia itu. Dia sedang menarik cukup banyak perhatian pada dirinya. Dibalut oleh sepotong cardigan berukuran seperempat dengan warna krim dan sepotong gaun one-piece yang rapi serta halus dengan sebuah pita terikat persis sedikit di bawah dadanya, dia menghasilkan kesan yang lebih lembut dari biasanya. Setiap kali dia berjalan, sandal tali yang dipakaikan pada kaki polosnya membuat suara yang ringan dan tipis. Tapi si gadis yang sedang dibicarakan itu sepertinya tidak memperdulikan tatapan-tatapan di sekelilingnya, melihat-lihat dengan berwajah-tak-berekspresi persis seperti yang dilakukannya di ruangan klub.
Yukinoshita mengecek nomor aulanya dan melihat ke bawah pada brosurnya. Kemudian dia melihat ke sekeliling dirinya dan melihat ke bawah pada brosurnya sekali lagi. Dan kemudian dia membuat helaan menyerah.
Ada apa dengannya? Apa dia tersesat?
Catatan Translasi
<references>
- ↑ Komik populer yang diterbitkan di koran Yomiuri Shinbun. Seperti Garfield
- ↑ Kata Jepang untuk foton itu 光子, yang juga bisa dibaca menjadi seorang nama gadis..
- ↑ Geronimo karakter dalam Kinnikuman, komik shonen terkenal.
- ↑ Masuo karakter dalam Sazae-san. Fune itu mertuanya. Mereka memiliki hubungan yang canggung dan renggang.