Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 6

From Baka-Tsuki
Revision as of 05:26, 31 August 2024 by Irant Silvstar (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Tidak Seperti Biasanya, Yuigahama Yui Geram

6-1

Oregairu 6 chapter 6.png

Apa itu sesuatu yang tidak pernah menjadi semakin enteng, meskipun kamu terus bekerja dan bekerja?

Hidupku.

Bahkan Ishikawa Takuboku[1] akan setuju dengan pernyataan itu. Malah kujamin itu lebih parah bagi rakyat jelata sepertiku. Tanganku berhenti dari pekerjaannya, dan aku mendapati diriku melototi tanganku dengan tatapan keji. Dan hal itu membuat tanganku berhenti total dan semakin lama semakin sulit untuk lanjut bekerja. Ada apa dengan spiral kemunduran ini?

Kenapa dan bagaimana bisa kita begitu sibuk? Untuk memecahkan misteri tersebut, aku melihat ke sekelilingku. Pertama, kita kekurangan orang.

Anggota OSIS diburu oleh masalah dari segala arah, dan penolong mereka Haruno tidak datang hari ini. Hayama sedang bekerja bersama kami, sendirian menangani masalah-masalah terkait para voluntir. Tapi kelihatannya dia juga bisa lelah, senyuman yang biasanya tampak sedikit kaku.

Belum lama ini, kami masih sanggup menangani semuanya, meskipun dengan jumlah segini. Tapi perbedaannya hari ini Yukinoshita tidak ada disini.

Yukinoshita, yang biasanya akan datang bekerja ke ruangan konferensi paling awal dan pulang paling akhir. Hari ini, sosoknya tidak tampak disini.

“Ada masalah apa dengan Yukinoshita hari ini?"

"Tidak tahu..." Aku tidak bisa memberikan jawaban pada pertanyaan Meguri-senpai. Tapi bukan cuma aku saja; tidak ada orang di komite ini yang dapat menjawabnya.

Suara derit terdengar saat pintu ruangan konferensi dibuka. Masuk ke dalam ruangan tanpa mengetok pintu terlebih dulu adalah kebiasaan buruk Hiratsuka-sensei.

“Hikigaya.”

“Ya?” sahutku.

Hiratsuka-sensei berjalan ke arahku. Mimik wajahnya terlihat tidak biasanya lembut. "Ini tentang Yukinoshita. Dia tidak enak badan hari ini jadi dia tidak masuk sekolah. Dia menghubungi sekolah, tapi aku rasa dia belum memberitahu komite budaya...”

Dia tepat sasaran.

Karena, tidak ada orang disini yang bisa menghubunginya.

Namun, tidak enak badan, huh? Aku tahu dia bukanlah seseorang yang aktif secara fisik, tapi aku pikir dia tipe orang yang memperhatikan kesehatannya. Yah, dia memang sibuk sekali belakangan ini dan dia juga membuat kesalahan kecil itu semalam. Dia pasti merasa kelelahan.

...Apa dia baik-baik saja? Dia tinggal sendirian pula, pikirku.

Hayama mengangkat kepalanya, seakan dia baru saja menyadari sesuatu. "Yukinoshita-san tinggal sendirian, jadi kupikir sebaiknya ada seseorang yang menjenguknya."

“Oh, begitu… Oke. bolehkah kalian pergi menjenguk dan melihat keadaannya? Aku dan OSIS bisa menangani komitenya dulu," kata Meguri-senpai selagi dia melihat ke arah Hayama dan diriku.

“Apa kalian semua masih sanggup tanpa bantuan?" tanya Hayama.

Meguri-senpai mengernyit. Tapi kemudian dia menunjukkan senyuman riangnya yang biasa. "Hmm... Tidak apa-apa. Selama itu sesuatu yang masih bisa kupahami, seharusnya kami bisa menanganinya.” Dia mungkin tidak terdengar meyakinkan, tapi senyumannya terlihat dapat diandalkan.

Kalau dia bilang begitu, maka lebih baik kalau kami pergi menjenguk Yukinoshita dan menyerahkan pekerjaan disini pada anggota OSIS. Akan jauh lebih produktif untuk ketua OSIS tetap disini dibandingkan Hayama dan aku, perwakilan voluntir dan anggota dokumentasi.

Meguri-senpai adalah satu-satunya disini yang punya gambaran semuanya. Meguri-senpai mengakhirinya dengan "sekali lagi makasih" dan mulai kembali bekerja.

“Ketua!”

Bam! Pintu ruangan konferensi itu dibuka keras dan seorang anggota OSIS segera masuk ke dalam.

“Ada apa!?”

“Itu, kelihatannya ada sedikit komplain mengenai slogannya..."

“Ugh! Kenapa sekarang?!” Kelihatannya ada suatu masalah besar yang mendadak muncul karena Meguri-senpai segera berlari keluar dari ruangan konferensi untuk menanganinya.

Tanpa ada kesempatan untuk menanyakan situasi tersebut, kami sudah ditinggal dia.

“...Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Hayama. "Aku tidak keberatan kalau aku yang pergi."

Kata-kata yang anehnya terdengar provokatif itu membebani pikiranku.

Kalau aku, tidak, kalaupun aku pergi, aku juga tidak ada sesuatu untuk dibicarakan dengannya.

Kalau Hayama memutuskan untuk pergi, maka aku akan tetap disini. Begitu pula sebaliknya, kalau dia bilang dia tidak akan pergi, maka aku yang akan pergi ke sana.

“Yah... lebih baik kamu yang menjenguknya. Pada situasi ini, lebih baik dia mendapat seseorang yang berempati dan berguna,” kataku.

Hayama mengedipkan matanya. "...Mengejutkan. Aku tidak menyangka mendengar kamu mengatakan sesuatu seperti itu."

“Toh, kamu yang akan pergi. Setidaknya aku memujimu sedikit."

Hayama tersenyum masam dan berpaling padaku. "Ahh begitu. Tapi kalau alasanmu itu, bukankah lebih baik orang yang berempati dan berguna itu tetap disini?"

Itu benar. Melihat kami kekurangan orang, taktik yang tepat adalah meninggalkan individu yang cekatan dan mampu mengerjakan berbagai hal. Kalau suatu tim kekurangan pemain, akan lebih efisien untuk meminta bantuan pahlawan berlevel tinggi.

“Ahh, kalau kamu mengatakannya seperti itu, kamu benar juga," sahutku sambil menggaruk kepalaku.

Tatapan Hayama tertuju ke arahku. "Aku akan mengatakannya selagi aku bisa, tapi aku tidak pernah berpikir kamu itu tidak kompeten. Kamu menangani semua pekerjaan di bagian dokumentasi, jadi tidak akan ada orang yang bisa menyebutmu tidak berguna."

...Sekarang aku yang terkejut. Aku tidak menyangka aku akan mendengar sesuatu seperti itu darimu.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?" Hayama memastikannya lagi.

Hikigaya Hachiman tidak bisa menang melawan Hayama Hayato. Itu adalah sesuatu yang ada di benak semua orang. Aku sungguh berpikir itulah kebenarannya. Kenyataannya, aku tidak akan bisa menang melawannya dari segi manapun.

Tapi itu lucu. Semakin handal dan baik seseorang, semakin sulit dia dapat menjalani kehidupan sesuai dengan yang dia inginkan. Selalu diandalkan oleh orang lain berarti mereka harus memenuhi ekspektasi mereka. Pada akhirnya, hal tersebut melekat ke dalam jati dirinya. Orang-orang seperti dirinya bahkan rela menjulurkan bantuan mereka pada orang sepertiku yang berada di pinggiran.

“…Kalau begitu aku akan menjenguknya. Semua orang juga akan berpikir lebih baik ada dirimu disini. Kamu handal dan semua orang membutuhkanmu."

“Aku tidak merasa begitu buruk mendengar kata-katamu itu-kalau memang kamu benar berpikir begitu," Hayama menunjukkan suatu senyuman yang agak terlihat kesepian. Hayama itu lelaki yang baik, tapi justru karena kebaikan itulah dia tidak mampu memilih siapapun atau apapun. Bagi dirinya, semuanya itu penting. Aku baru sadar betapa kejamnya hal tersebut.

“...Baiklah. Jadi, aku akan pergi dulu sebentar,” sahutku, dan berpaling ke Hiratsuka-sensei.

Dia kemudian tersenyum. "Ya... Oke, pergilah kalau begitu. Tapi, aku tidak bisa memberitahumu alamat murid lain..."

“Ahh, tidak masalah.”

Aku mungkin tidak tahu, tapi pasti ada orang lain yang tahu. Ada seorang gadis yang akan segera melesat pergi kalau aku memberitahu hal ini padanya.

Aku segera membereskan barang-barangku dan berdiri. Mataku bertemu dengan mata Hayama yang memincing dan tajam.

“Oke, makasih. Aku juga akan memberitahu Haruno-san."

"...Ya, itu akan membantu. Makasih." Aku mengungkapkan terima kasihku dengan singkat, menyesuaikan tas di punggungku, dan beranjak meninggalkan ruangan konferensi.

Aku mengeluarkan ponselku selagi aku berjalan ke pintu gerbang. Aku menelepon sembari berjalan. Satu deringan, dua deringan, tiga deringan... Tujuh deringan dan baru saja aku mau menutup panggilannya, dia menjawabnya.

[“A-ada apa? Tumben sekali meneleponku...”]

“Apa kamu tahu Yukinoshita hari ini absen?"

[“...Eh, Aku...tidak tahu itu.”]

“Aku dengar dia sakit."

Aku dapat mendengar dia menelan dari lawan bicaraku. Sakit sedikit bukanlah sesuatu yang serius. Tapi mengingat sikap Yukinoshita belakangan ini dan fakta bahwa dirinya tinggal sendirian, Yuigahama pasti akan merasa cemas.

Dia menghirup nafas dengan suatu keputusan. ["Aku akan pergi menjenguknya sebentar."]

Persis seperti yang kurasa akan dia katakan.

"Aku juga akan pergi. Bisa kita bertemu di depan pintu gerbang sekolah?"

[“Oke.”]

Kami segera menyelesaikan panggilannya dan aku memasukkan ponsel ke dalam sakuku.

Di luar masih terlihat cerah, tapi matahari sudah mulai terbenam. Pada saat kami sampai ke tempatnya, mungkin matahari sudah akan selesai terbenam.

6-2

Baik aku maupun Yuigahama tidak banyak berbicara saat berjalan ke sana.

Pada saat dia bertemu denganku, Yuigahama langsung membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai keadaan Yukinoshita, tapi aku tidak punya banyak jawaban untuknya.

Apartemen tempat Yukinoshita tinggal merupakan menara apartemen yang terkenal, bahkan dianggap mewah di lingkungan ini.

Karena mewah, keamanannya juga ketat. Masuk ke dalam sana tidak semudah itu. Kami memanggil ruangan Yukinoshita dari pintu masuk. Yuigahama menekan tombol belnya.

Sebeluimnya Yuigahama sudah memanggilnya dan mengirimkan pesan teks padanya, tapi dia tidak mendapat balasan. Jadi aku merasa dia tidak akan bertemu kami meskipun kami pergi ke tempatnya.

Meskipun begitu, dia membunyikan belnya dua kali, tiga kali bahkan.

Tidak muncul juga, huh..? “Pura-pura sedang keluar?” kataku.

“Tidak masalah kalau cuma itu. Tapi kalau dia terlalu sakit sampai tidak sanggup untuk berdiri...”

Pemikiranmu sedikit terlalu ekstrim, pikirku, tapi aku tidak merasa ingin menertawainya.

Dia berhenti sejenak dan kemudian membunyikan beli itu sekali lagi.

Kemudian terdengar suatu suara statis.

[“…Ya?”] Suara yang terdengar lemah muncul dari kotak bel tersebut.

Yuigahama melesat ke depan dan menyahut, "Yukinonǃ? Ini aku, Yui. Apa kamu baik-baik saja?"

“…Ya, aku baik-baik saja, jadi…”

“Jadi”. Apa maksudnya dengan "jadi"? "Jadi, pulang saja"? Itu apa yang ingin dia katakan?

“Cepat buka pintunya.”

[“...Kenapa, kamu ada disini?”] Dia pasti mengira cuma Yuigahama yang datang. Mendengar suaraku sedikit mengejutkannya.

“Kita perlu bicara.”

[“...Bisakah, kalian menunggu sepuluh menit?”]

“Oke.”

Kami duduk di sofa pintu masuk dan menunggu seperti yang diminta selama sepuluh menit. Aku rasa hanya apartemen bagus yang memiliki sofa di pintu masuk, huh...

Yuigahama melototi ponselnya sepanjang waktu. Karena jari-jarinya tidak bergerak, aku rasa dia sedang terus menatapi jamnya.

Selagi aku duduk termenung, Yuigahama berdiri dari sampingku.

Dia membunyikan belnya dan memanggil Yukinoshita.

[“Ya…”]

“Sudah sepuluh menit.”

[“...Silahkan masuk.”] sahut Yukinoshita, lalu pintu otomatis tersebut terbuka.

Yuigahama melangkah maju tanpa ragu. Aku mengikuti persis di belakangnya ke dalam lift dan dia menekan tombol ke lantai 15.

Lift tersebut naik dengan kecepatan yang lebih tinggi dari yang kuduga. Angka yang ditunjukkan di layar lift tersebut terus silih berganti dan tidak lama kami sudah sampai ke lantai 15.

Di luar lift, kami disambut dengan berbagai pintu, tapi pintu yang kami hadapi di depan kami tidak memiliki plat nama.

Yuigahama mengepalkan tangannya dengan kuat untuk sejenak seakan sedang menguatkan dirinya dan kemudian meraih interkom dengan jarinya.

Aku tidak tahu mengenai kualitas belnya, tapi suara yang dihasilkannya bukanlah suara bel mekanik, tapi lebih menyerupai suara dari suatu instrumen musik. Bel tersebut dibunyikan sekali dan kami menunggu sejenak. Kami tidak bisa mendengar apa-apa dari dalam sana, mungkin karena dindingnya memiliki fitur kedap suara. Beberapa detik kemudian kami dapat mendengar suara gemeretak kunci pintu yang sedang terbuka. Perlu beberapa detik lagi sampai semuanya terbuka.

Kami menunggu di depan pintu tersebut sampai pintunya terbuka dengan perlahan tanpa ada suara.

Wajah Yukinoshita mencuat sedikit dari celah pintu tersebut.

“Silahkan masuk.”

Setelah masuk, tercium wangi lambaian sabun yang samar.

Sosok Yukinoshita juga terlihat berbeda dibanding biasanya. Sweater tenunnya yang bertekstur lembut dan berwarna putih terlihat terlalu besar untuk tubuh ramping Yukinoshita sehingga lengan sweater tersebut terbentang sampai ke telapak tangannya. Leher dan tulang selangkanya terlihat jelas dan rambut hitamnya yang diikat menjadi satu terjuntai sampai ke dadanya seakan untuk menyembunyikan lehernya tersebut. Rok maxi-nya yang panjang terbentang sampai ke pergelangan kakinya.

YahariLoveCom v6-193.jpg

Dari pintu masuk, aku dapat melihat beberapa pintu. Pintu yang terlihat jelas seperti kamar tidur setidaknya ada tiga. Sisanya terlihat seperti pintu kamar mandi dan toilet. Di ujung lorong masuk terdapat ruang tamu yang diterangi pencahayaan alami serta ruang makan. Jadi ini yang dinamakan apartemen 3LDK[2].

Di dalam apartemen yang luas ini, Yukinoshita tinggal disini sendiri.

Dipandu oleh Yukinoshita, kami bergerak melalui lorong menuju ruang tamu.

Tampak balkon mencuat di luar ruang tamu. Dari jendela, dapat terlihat langit senja yang telah seluruhnya gelap serta pemandangan malam pusat kota yang baru. Di arah barat, cahaya senja yang tersisa tampak amat kesepian.

Laptop yang tertutup terletak di atas suatu meja gelas miniatur. Di sampingnya tertumpuk berkas-berkas yang berada di dalam map. Kelihatannya dia terus bekerja dari kemarin malam.

Desain ruang tamu itu minimalis, seakan dia tidak mengharapkan kedatangan tamu sama sekali. Tempat itu lebih menyerupai interior hotel bisnis, dengan sedikit furnitur yang sederhana tapi efektif. Di antara furnitur tersebut, terdapat sofa yang terasa hangat, ditutupi dengan kain berwarna krem.

Di depan sofa tersebut terdapat suatu meja tv. Agak mengejutkan melihat dia mempunyai televisi yang besar, tapi setelah dilihat lebih dekat, bagian bawah meja tersebut diisi dengan barang-barang Destinyland termasuk "Pan-san si Panda". Dia tidak membeli televisi besar itu hanya untuk bisa mengisinya dengan itu, kan...?

“Silahkan duduk disana." Dipersilahkan olehnya, Yuigahama dan aku duduk tanpa banyak bersuara.

Aku heran apa yang akan dilakukan Yukinoshita, tapi dia hanya bersandar pada dinding. Ketika Yuigahama berkata padanya, "ayo duduk." Yukinoshita menggelengkan kepalanya dengan lembut.

“Jadi, apa yang perlu kita bicarakan?" Meskipun wajahnya menghadap ke arah kami, pandangannya melihat lebih jauh ke bawah. Bahkan kilauan di dalam matanya yang biasanya berkobar sekarang amat jinak seperti permukaan air yang surut.

Aku terus duduk tanpa menjawab pertanyaannya selagi Yuigahama mencari kata-kata yang tepat. "Ah, um... Aku dengar kamu tidak masuk sekolah hari ini, Yukinon. Jadi aku ingin tahu apa kamu baik-baik saja."

“Ya. Baru cuma sehari, kalian terlalu berlebihan. Aku juga sudah memberitahu sekolah.”

“Kamu tinggal sendirian, tentu saja orang akan khawatir." kataku.

“Dan kamu juga kelelahan sekali, kan? Kamu masih terlihat agak sakit," kata Yuigahama.

Yukinoshita menunduk dengan pelan, seakan sedang mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. "Aku hanya sedikit capek, itu saja. Tidak masalah."

“...Bukankah itu masalahnya?" kata Yuigahama.

Yukinoshita terdiam. Ya, dia menyerangnya di tempat yang tepat. Dia tidak akan beristirahat di rumah kalau semuanya berjalan dengan baik-baik saja.

Yukinoshita terlihat semakin rapuh dibanding sebelumnya sembari masih menundukkan kepalanya.

“Yukinon, kamu tidak perlu melakukan semuanya sendiri. Ada orang lain yang bersamamu juga.”

“Aku paham itu. Itulah kenapa aku membagi kembali beban kerjanya agar bebannya berkurang-”

“Tapi bebannya tidak berkurangǃ” dia memotong kata-kata Yukinoshita.

Suara Yuigahama pelan dan kalem, namun juga berapi-api dan cemas. Suaranya menutupi suara lain di sekelilingnya, sehingga hanya suaranya yang tersisa.

“Aku sedikit marah denganmu, ya" kata Yuigahama, dan bahu Yukinoshita tersentak.

Wajar bagi Yuigahama untuk merasa geram. Yukinoshita bahkan sampai menolak segala bantuan serta melakukan semuanya sendirian dan malah membuat dirinya sakit.

Aku menghela sedikit dan Yuigahama melotot ke arahku. "Aku juga marah padamu, Hikki. Aku bahkan memberitahumu untuk membantunya jika dia ada masalah..."

Jadi itu alasannya kenapa dia terus terdiam sepanjang waktu saat kami berjalan kemari. Tapi memang, aku tidak punya alasan. Memang benar aku sama sekali tidak berguna. Aku akhirnya menundukkan bahuku karena malu.

“...Aku tidak mengharapkan anggota Dokumentasi untuk bekerja di luar apa yang diminta pada mereka. Itu sudah cukup kalau dia sanggup menyelesaikan tugasnya."

“Tapi—“

“Tidak apa-apa. Waktunya masih cukup. Aku juga bekerja di rumah, jadi kita tidak ketinggalan begitu jauh. Ini bukan sesuatu yang perlu kamu cemaskan, Yuigahama-san.”

“Tapi itu aneh.”

“Aneh...kah...?” tatapan Yukinoshita belum beranjak dari atas lantai. "...Apa pandanganmu?"

Perlu sedikit waktu bagiku untuk menyadari bahwa pertanyaannya tertuju padaku. Dinding yang disandari oleh Yukinoshita membentang sampai ke dapur dan di dalam ruangan yang samar-samar tersebut, ekspresi wajahnya tidak dapat terbaca.

Aku perlu memberitahunya bahwa pendekatannya ini salah.

Ini bukan seperti argumen logis Hayama. Itu bukan sesuatu yang bisa kuucapkan.

Ini bukan seperti kebaikan hati Yuigahama. Hatiku tidak sebaik itu.

Tapi aku tahu dimana salahnya.

“‘Meminta bantuan orang', 'semua orang seharusnya saling membantu satu sama lain'. Tentu saja itu hal yang benar untuk dilakukan. Itu semua adalah solusi yang baik."

“Begitukah...” sahutnya dengan datar dan apatis, namun lengannya yang terlipat terkulai lemah.

“Tapi semua itu idealistik. Dunia ini tidak akan berputar seperti itu. Akan selalu ada orang yang mendapatkan tugas yang tidak mengenakkan dan tetap akan ada orang yang mendorong hal itu terjadi. Seseorang selalu harus memikul bebannya. Itu kenyataannya. Jadi aku tidak berencana untuk memintamu meminta bantuan atau bekerja sama dengan orang lain."

Aku dapat mendengar suara helaan pelan Yukinoshita. Aku masih belum pasti maksud dari helaan tersebut.

“Tapi cara pendekatanmu terhadap masalah ini salah."

“...Jadi...apa kamu tahu cara yang benar?" suaranya bergetar.

“Tidak. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang tidaklah sama dengan apa yang biasa kamu lakukan sebelumnya."”

“……”

Sampai hari ini, gaya Yukinoshita itu konsisten. Dia tidak akan dengan gegabah langsung terjun untuk menyelamatkan orang lain hanya karena mereka meminta bantuan dirinya. Dia akan tetap akan mengulurkan tangannya, tapi selalu menyerahkan keputusan akhirnya pada keinginan orang itu sendiri.

Tapi kali ini berbeda. Yukinoshita mengerjakan semuanya dari A sampai Z, mungkin karena orang itu memintanya melakukan hal tersebut, dan dia entah bagaimana akan menanganinya semua sampai akhir. Ini akan menghasilkan suatu Festival Budaya yang lumayan absah; meskipun kita tidak tahu apakah semuanya akan senang melihatnya atau tidak.

Tapi hal tersebut bertentangan dengan ideologi yang Yukinoshita ucapkan.

Yukinoshita tidak menjawab.

Dari sana, keheningan mengisi ruangan tersebut.

“……”

“……”

Ruangan tersebut membeku. Suhu yang kami rasakan mungkin lebih rendah dari suhu yang sesungguhnya.

Achooǃ Yuigahama bersin. Dia terdengar seakan sedang menangis ketika dia mengisakkan hidungnya.

Menyadari bahwa ruangan tersebut perlahan semakin dingin, Yukinoshita berhenti bersandar pada dinding.

“Maaf. Aku bahkan tidak menuangkan teh untuk kalian...”

“Ti-tidak apa, kamu tidak perlu melakukannya... A-aku bisa melakukannya."

“Kamu tidak perlu kuatir dengan kesehatanku. Aku merasa jauh lebih baik setelah istirahat sehari."

“Kesehatanmu, huh?” tuturku.

Kali ini kata-kata yang diucapkannya dengan enteng menarik perhatianku.

Yuigahama terbata-bata, merasa sulit untuk membuka mulutnya. Dia menarik nafas, tapi kata-katanya masih tidak mau keluar. Dia berhenti sejenak dan kemudian perlahan mulai berbicara. "Kamu tahu.. Um, aku pikir, Yukinon. Kamu sebaiknya lebih mengandalkan aku dan Hikki. Bukan siapa saja atau semua orang... tapi andalkan kami berdua, ya? Aku, um... memang tidak banyak yang bisa kulakukan, tapi Hikki-"

“...Kalau teh hitam oke?” Yukinoshita memalingkan punggungnya tanpa mendengar sampai akhir dan menghilang ke dalam dapur. Suara Yuigahama tidak bisa langi menggapai sisi yang remang-remang tersebut.

Kata-kata mereka selalu tidak sampai.

Apartemen yang tinggi, tinggi sekali ini menyerupai Menara Babel dimana kata-kata mereka tidak sampai ke tujuan mereka masing-masing.

Yukinoshita membawa datang seperangkat cangkir dan teko teh hitam.

Waktu teh tanpa adanya percakapan.

Yuigahama memegangi cangkirnya dengan kedua tangan dan menghembus-hembus untuk mendinginkan tehnya.

Yukinoshita, masih berdiri, memegangi cangkir dengan tangannya dan melihat ke luar.

Tak bisa berkata-kata, aku menaruh cangkir pada mulutku dan segera menegaknya sampai habis.

Tidak ada lagi yang perlu didiskusikan.

Aku meletakkan cangkirnya dan berdiri. "Oke, aku pulang dulu."

“Eh, a-aku juga…”

Yuigahama segera ikut berdiri dan kami berjalan menuju pintu masuk. Yukinoshita tidak menghentikan kepulangannya.

Meski begitu, dia mengikuti kami ke pintu masuk dengan langkah goyah untuk mengantar kami pergi.

Selagi Yuigahama mengenakan sepatunya, Yukinoshita dengan lembut menyentuh tengkuk Yuigahama dengan tangannya. "Yuigahama-san.”

“Y-Ya!?” Yuigahama memekik kaget ketika tengkuknya disentuh. Dia mencoba untuk berpaling ke belakang, namun dicegah dengan lembut.

“Um... Itu sulit kulakukan sekarang ini. Tapi aku pasti akan mengandalkanmu suatu saat nanti. Jadi, terima kasih..."

“Yukinon...”

Senyuman Yukinoshita pada Yuigahama terlihat rapuh. Namun, pipinya sedikit merona merah.

“Tapi, aku ingin lebih banyak waktu untuk berpikir lagi, jadi..."

“Oke...” Tanpa berpaling ke belakang, Yuigahama meletakkan tangannya di atas tangan yang memegangi tengkuknya.

“Aku akan serahkan ini padamu, Yuigahama.”

“Eh, tung—“

Aku memotong kata-katanya dan menutup pintunya dengan perlahan.

Maaf, tapi tolong urus ini.

Yuigahama telah melakukan apa yang perlu dia lakukan; dengan cara yang hanya bisa dia lakukan.

Tapi itu tidak akan menyelesaikan masalahnya.

Kalau begitu serahkan masalahnya padaku.

Mereka bilang waktu itu adalah obat untuk segalanya. Itu suatu kebohongan. Yang waktu lakukan adalah menghempaskan semuanya ke dalam memori masa lalu. Waktu membuat semuanya tidak berguna dan tidak berarti, waktu hanya menutupi masalah yang sesungguhnya.

Mereka bilang dunia akan berubah jika kamu berubah. Itu juga suatu kebohongan. Itu penipuan. Dunia akan selalu mencoba untuk menyeretmu, mengesampingkanmu, mencabut semua komponen yang menyolok. Pada akhirnya, kamu akan berhenti berpikir. Dunia ini-sekelilingmu ini-hanya akan mencuci otakmu sampai kamu percaya bahwa "Aku berubah dan maka dunia ini juga berubah".

Dunia ini, sekelilingmu ini, masyarakat ini tidak akan berubah dengan pandangan sentimental, emosional dan idealistik tersebut.

Aku akan mengajarimu bagaimana cara mengubah dunia ini.

Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7

Catatan Translasi

  1. Ishikawa Takuboku adalah seorang penyair Jepang dan kalimat di atas adalah plesetan dari apa yang dia tulis di puisinya, "Segengam Pasir".
  2. Apartemen dengan 3 kamar, ruang tamu (Living̞ room), ruang makan (Dining room), dan dapur (Kitchen)