Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab3

From Baka-Tsuki
Revision as of 01:49, 18 March 2012 by Altux (talk | contribs) (Created page with "Bab 3 : Adipati de La Vallière Di kala surya menjelang dalam taman istana, ada kandang raksasa dengan naga di tiap empat sudutnya.ang Para pelayan telah berkumpul di sekelili...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 3 : Adipati de La Vallière

Di kala surya menjelang dalam taman istana, ada kandang raksasa dengan naga di tiap empat sudutnya.ang

Para pelayan telah berkumpul di sekelilingnya langsung melepas roda-roda dari kereta yang mirip kurungan itu. Para infantri menangkap para naga dan, setelah diberi kesempatan, paara pelayan membukakan pintu kereta. Selembar karpet merah dibentangkan seluas-luasnya hingga pintu masuk kurungan demi menerima ningrat berumur pertengahan ini.

Dia adalah Adipati de La Vallière. Dia lebih dari 50 tahun. Dia memiliki rambut blonde dan janggut yang keduanya memutih, dan dia berpakaian megah sebagaimana para raja. Dia mata kirinya terletak sebiji monokel, dan matanya memiliki pandangan nan tajam.

Para butler berjalan cepat menuju snag adipati, melepas topinya, menyisir rambutnya, dan meyakinkan bahwa jubahnya terlipat dengan baik.

Sang Adipati mengatakan dengan suara bariton nan pahit, “Apakah Louise telah kembali?”

Jerome, seorang butler yang telah melayani keluarga La Vallière selama bertahun-tahun, menunduk hormat.

“Dia kembali tadi malam,” Jawabnya.

“Panggil dia untuk sarapan!”

“Pasti!”

Suasana di keluarga La Vallière saat sarapan di balkon yang disinari matahri sama dengan biasanya. Meja dibawa keluar agar sarapan dibawah sinar matahari, semuanya duduk. Adipati de La Vallière duduk di kursi kehormatan dan disebelahnya ada istrinya. Dan ketiga kakak-beradik yang secara tak biasa fokus duduk berbaris berdasarkan umur. Badan Louise agak labil, karena dia menangis begitu keras kemarin malam. Meski seharusnya dia mendapatkan izin ayahnya untuk ikut perang...

Sepertinya sang adipati tengah tak enak hati.

“Sialan si otak burung tolol itu!”

Di awal pembicaraan, sang Adipati mencerca Sang kardinal.

“Ada Apa?”

Sambil mengubah ekspresi wajah, istri sang adipati menanyai suaminya. Setelah kata-kata pertama ayahnya, Louise tahu ini bukan saatnya meminta.

“Setelah memanggilku jauh-jauh ke Tristania, aku berpikir-pikir tentang apa yang akan dikatakannya padaku...’ Atur satu korps tentara,’ kayanya! Jangan bercanda denganku!”

“Apa kau setuju?”

“Mana mungkin! Aku sudah pensiun dari militer! Mengapa dia tak memerintahkan tentara yang menggantikanku dan membiarkanku tinggal bersama keluargaku! Terlebih lagi, aku tak setuju perang ini!”

“itu benar. Tapi, bukankah tak apa-apa? Bukankah para bawahan kardinal memberitahukan keadaan terkini dimana daratan telah beadalah rsatu untuk mengalahkan musuh kuat kita? Isu yang mengatakan keluarga La Vallière  pengkhianat akan tersebar, dan juga akan  mempengaruhi kehidupan sosial kita.”

Selama mengatakan hal tersebut, Istri sang adipati berwajah sangat dingin.

“Seharusnya kau tak memanggil seorang tolol berotak burung sepertinya sebagai “Kardinal’. Tolol lebih dari cukup. Terlebih lagi, mengambil kesempatan dari ratu yang begitu muda...”

Louise mendehem dan menyemburkan roti yang tengah dimakan. Eléonore menatap tajam Louise.

“Oh, ngerinya. Maaf membuat kalian mendengarkan kenyataan soal Burung layang dewan.”

“Mohon, merasa bebaslah untuk membuat kami mendengarkan apa yang kalian pikirkan.”

Louise yang diam hingga saat itu membuka bibirnya sambil gemetaran. “Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, Ayah.”

Sang adipati menatap Louise lekat-lekat.

“Tentu saja tak apa-apa, tapi sebelumnya, apa kau takkan memberikan kecupan kecil pada pada ayahmu ini, yang sudah lama tak kau lihat, Louise?”

Louise berdiri dan menghampiri ayahnya, dan setelahnya mengcup pipinya. Setelahnya, dia menatap langsung ayahnya dan bertanya:

“Mengapa ayah tak menyetujui keputusanku bergabung dalam perang?”

“Karena perang ini adalah kesalahan besar.”

“Ini adalah perang melawan Albion, yang menyerbu kita terlebih dulu. Apa yang salah bila kita menyerang mereka?”

“Menyerang mereka dari samping bukanlah sesuatu yang akan kusebut “Penyerbuan’. Lihat!”

Sang adipati mengutak-atik piring dan makanan dan mulai menjelaskan pada Louise.

“Hal yang kau sebut ‘penyerbuan’ adalah memiliki kekuatan militer yang jauh melampaui sehingga bisa sukses dari kali pertama. Tentara musuh sekitar 50 ribu. Tentara kita, dengan Germania, adalah 60 ribu.”

Sambil menggerakkan pisau dan garpu, dengan dibantu potongan-potongan daging, sang adipati menciptakan simulasi perang.

“Bukankah tentara kita memiliki kelebihan 10.000 orang?”

“Jika pasukan penyerang 3x lebih besar dari musuh yang bertahan, maka ia akan jadi kemenangan yang pasti. Tapi karena kekuatan udara mereka teratur dan posisi mereka bagus, dengan jumlah ini, pertempurannya akan sulit.”

“Tapi...”

Sang Adipati menatap wajah Louise.

“Persiapan kita bagus. Kita akan memblokir benua pengganggu itu dari udara dan tunggu saja hingga ia kehabisan sumber daya. Jika kita melakukan itu, pada akhirnya mereka akan datang meminta perdamaian. Kesimpulan perang akan datang seperti itu, tepat seperti mencampur hitam dan putih. Namun, apa yang akan kau lakukan bila penyerbuan gagal? Kemungkinannya tak kecil.”

Louise terdiam. Apapun yang dikatakan ayahnya merupakan alasan yang bagus.

“Karena kemenangan di Tarbes, kita menjadi takabur. Takabur mengarah pad apengabaian. Untuk memperburuk itu, mereka mengambil murid Akademi Sihir sebagai petugas. Aku hanya bisa bilang itu bodoh. Apa yang bisa dilakukan anak-anak? Dalam perang, kau tak bisa mengatakan kau cukup kuat hanya karena kau berjumlah lebih banyak. Menyerbu adalah tindakan dimana kau percaya diri mutlak bisa meraih kemenangan dari kali pertama. Tak mungkin aku mengizinkan putriku ikut perang semacam itu.”

‘Ayah...”

Setelah adipati selesai mengatakan itu, dia bangkit.

“Sekarang, sarapan selesai.”

Louise menggigit bibir dan terpaku di tempatnya berdiri selama sesaat.

“Louise. Mulai sekarang kau ditahan di rumah. Kau takkan diizinkan meninggalkan istana ini hingga perang berakhir.”

“Tunggu!” jerit Louise.”

“Louise...kau...”

Eleonore menarik ujung rok Louise. Cattleya memandang khawatir Louise.

“Untuk tuan Putri...tidak, untuk Paduka, aku diperlukan.”

“Apa maksudmu saat mengatakan dia membutuhkanmu? Kemampuan sihirmu...”

Louise tak bisa menceritakan bahwa dia adalah pemegang Void pada keluarganya.

“Kini. Kini, aku tak bisa bilang, tapi...aku...”

Louise enggan, tapi dia lalu memunculkan mimik wajah bersemangat.

“Aku bukan lagi diriku yang dulu!”

“Louise! Apa yang kau katakan pada Ayah?!”

Kata Eléonore dengan suara tinggi.

“Kakak, diamlah! Kini, aku yang berbicara!”

Seluruh anggota keluarga terkejut dengan sikap Louise. Louise yang dulu takkan pernah melawan kakaknya dengan sikap begini.

“Aku selalu diperlakukan sebagai seorang tolol. Aku selalu merasakan kecewa ketika dibandingkan dengan kakak-kakakku dan dibilang bahwa aku tak punya bakat sihir. Tapi kini, semuanya berbeda. Aku jelas-jelas dikatakan Diperlukan oleh Yang Mulia.”

Dengan kata-kata itu, warna mata sang adipati berubah. Dia berbalik pada Louise, berlutut lalu meamandang kedalam mata putrinya.

“...Kau akhirnya menyadari apa elemen utamamu?”

Louise mengangguk penuh percaya diri.

“Yang mana diantara yang empat?”

Louise berpikir sebentar. Tentu saja dia takkan berbicara soal Void. Tapi apakah OK untuk berbohong pada ayahnya sendiri? Untuk sesaat, Louise bimbang. Dan...sambil membuka bibirnya, dia mengucapkan sebuah kebohongan.

“...Api.”

“Api?”

Untuk sesaat adipati de La Vallière menerawangi wajah Louise, lalu dia perlahan mengagguk.

“Kau berelemen sama dengan kakekmu. Begitu ya, api, hmm...Kalau begitu, adalah alami bila kau tertarik pada perang. Ia merupakan elemen penuh dosa. Benar-benar sebuah elemen yang terbungkus dosa.

“Ayah...”

Sang Adipati menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Jika aku ingat dengan benar, kau mengatakan Yang Mulai membutuhkan kekuatanmu, kan?”

“Ya.”

“Dengarkan, Louise. Ini adalah hal yang penting. Tak ada yang salah dengan itu. Saat tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, Yang Mulia mengatakan padamu bahwa kekuatanmu diperlukan olehnya, kan?”

Louise mengumumkan dengan jelas.