Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab8
Bab Delapan: Penebusan Dosa Api
Dini hari, pukul empat. Matahari belum terbit, langit masih gelap. Di langit di atas Akademi Sihir sebuah fregat perang nan kecil tiba. Menvil berdiri di geladak sambil menatap langit di depan. Wardes, dengan langkah yang tak terdengar, mendekati Menvil dari belakang. Alun-alun angin menunjukkan dengan sendirinya bahwa itu adalah langit yang sama. Wardes mendekat untuk menguji Menvil.
Dapatkah orang ini berhasil memimpin rencana sulit semacam ini? Dia ragu. Namun, keraguan Wardes tampaknya tidak berdasar. Tanpa mengalihkan pandangannya, Menvil memanggil Wardes dari kejauhan, "Jadi ujiannya apa sekarang, Viscount?" Wardes terkejut. Menvil bahkan tidak berbalik. Bahkan jika pun dia berbalik - sekarang terlalu gelap. Seseorang bahkan tidak bisa melihat bayangan yang mendekat.
Namun ... apa kemampuan apa yang dia gunakan untuk menyadari pendekatan Wardes dari jarak yang begitu jauh? "Sekarang kita hampir sampai." Menvil bergumam tanpa menoleh. Wardes, sambil merasa kagum, dengan hati-hati mendekati Menvil. "Kita beruntung. Ya ampun, sebagai penyerang, kita harus membuat mereka tak tahu dari sisi mana mereka akan diserang. " Mereka berhasil menghindari familiar penyihir yang berjaga-jaga di angkasa ... adalah keberuntungan bahwa mereka berhasil sampai sejauh ini tanpa disadari. "Untuk mengungkapkan rasa terima kasih kami, ketika Anda kembali ke Albion, Mohon persilahkan saya untuk mentraktir anda sesuatu, Viscount."
"Jangan berpikir macam-macam, pikirkan bertahan hidup dulu," kata Wardes. Menvil tiba-tiba menarik keluar tongkat dan mengarahkannya ke tengkuk Wardes. "Jaga mulutmu, anak muda. Atau Kau ingin berubah menjadi abu di sini sekarang juga? " Wardes menatap Menvil tanpa ekspresi. "Saya bercanda, Viscount. Jangan menatap seperti itu. " Sambil tertawa, Menvil melompat dari dek ke udara.
Satu demi satu, seluruh anggota lainnya, yang terbungkus dalam kain hitam, mengikuti Menvil. Banyak orang yang menghilang dari dek dengan kegesitan yang mengejutkan. Fouquet, yang naik ke atas sana, bergumam dengan nada tak senang. "Pria menjijikkan. Dan menakutkan. " "Tapi dia memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Tak bisa berharap lebih. " "Apakah dia lebih jago dari Anda?" Fouquet tertawa, menanyakan Wardes sebuah pertanyaan nakal. "Mungkin."
Korps Musketeers menugaskan 2 anggota musketeer ke menara artileri untuk mengawasi meriam. Itu adalah jumlah terbesar pasukan militer yang dapat diizinkan tentara untuk bertugas sebagai penjaga. Sesuatu bergerak di bawah sinar bulan. Anggota yang lebih tua dari keduanya, berjongkok dalam keheningan, dan membuka selubung serbuk mesiu dan peluru dari kantong kertas kecil.
Musketeer lainnya, mengikuti gerakan pasangannya, juga mengisi senapannya dengan mesiu. Dan ketika dia melihat baik-baik ... dia melihat sesuatu yang bergerak dalam kegelapan. Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya, tenggorokan kedua penjaga itu dipotong oleh sihir angin. Dua mayat ditangkap sebelum menyentuh tanah. Tanpa suara, Menvil meletakkan para musketeer di tanah. "Wanita. Masih muda. Menyedihkan. "Salah satu pembunuh memberitahu Menvil sambil tersenyum. "Tidak ada tempat untuk kesopanan masa lalu, pria maupun wanita harus diperlakukan sama." Kata Menvil sambil tersenyum menyeringai.
"Sama ketika kematian tiba." "Hanya Anak-anak bangsawan saja 'yang tidak boleh dibunuh. Mereka harus diambil sebagai sandera. " "Selain mereka, apakah saya dapat membunuh yang lain?" Menvil, sambil mengutak-atik tongkatnya, bergumam dengan suara bahagia.
Salah satu anggota mengeluarkan peta. Itu adalah peta sekolah yang digambar Fouquet. Peta itu ditutupi kain khusus yang tidak membocorkan cahaya, tapi sedikit menerangi peta itu sendiri. Sambil memandangi mayat para penjaga, seorang anggota bergumam. "Pengawal hanya berbekal pistol."
"Berapa banyak penyihir yang ada? Tak termasuk para musketeer. " Anggota yang sedang mempelajari peta memberitahu Menvil. "Komandan, ada tiga target. Menara ini, menara asrama dan menara di sisi dekat.." Menvil menurunkan perintah dengan cepat. "Aku akan mengambil menara asrama. Jean, Ludwig, Germain, Atta - kalian berempat bersama dengan Giovanni mengambil menara ini. Celestin dan sisanya mengambil yang terakhir. " Para penyihir mengangguk.
Tabitha terbangun. Ada suara-suara aneh dari halaman. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan Kirche. Dia keluar dari kamarnya dan menuju ke lantai bawah dimana kamar Kirche berada. Setelah mengetuk pintu, Kirche, yang hanya mengenakan baju tidur tipis pada kulitnya yang telanjang dan masih menggosok matanya, muncul.
"Kau tahu ... ini terlalu dini ... bahkan matahari belum mulai terbit." "Bunyi aneh," hanya itu saja katanya. Kirche menutup matanya. "Uwaaa." Kirche merasakan salamandernya, Flame, menyeruduk jendela. "Kau juga?"
Begitu Kirche membuka matanya lagi, kantuknya hilang. Kirche buru-buru mengenakan pakaian. Begitu dia mengambil tongkatnya, suara pintu yang didobrak bergema. Kirche dan Tabitha saling memandang. "Mundur," gumam Tabitha. "Setuju."
Kalau tidak tahu jumlah atau lokasi musuh, kau harus mundur untuk memeulihkan diri. Ini adalah dasar-dasar perang. Kirche dan Tabitha melompat dari jendela dan menyembunyikan diri di semak-semak dan dari sana melihat apa yang terjadi di sekitar. Hari mulai terang - matahari mulai terbit.
Saat itu, Agnes terbangun di kamarnya dan menyambar pedang yang berada di samping tempat tidur. Sambil menariknya keluar dari sarungnya, dia menunggu di pintu. Ini lantai dua menara artileri. Ruangan itu selalu digunakan sebagai gudang dan hanya baru-baru ini diubah menjadi kamar tidur.
Secara keseluruhan, dua belas anggota korps Musketeer tinggal di sini. Mereka semua tinggal di ruangan sebelah. Agnes melihat cermin yang diletakkan di tengah ruangan. Ia adalah "Cermin Pendusta". Yang jelek menjadi indah, indah menjadi jelek - semuanya dibalikkan oleh cermin. Agnes berusaha untuk tidak melihat cermin ketika mengatur perangkap.
Empat orang yang dipimpin oleh Celestin si penyihir-pembunuh bayaran menaiki tangga spiral ke lantai dua menara artileri. Mereka berbaris di kedua pintu.
Dua orang diposisikan pada setiap pintu sementara satu lagi menunggu di lorong. Pintu ditendang terbuka. Di tengah ruangan seorang penyihir tampan mengatur tongkatnya. Terjaga, para penyihir mulai melantunkan mantra mereka. "Bam ..." Namun, mereka juga terkena sihir. Dengan jantung tertusuk oleh tombak es, Celestin jatuh ke lantai.
Agnes yang menyembunyikan dirinya di balik pintu, melihat keberhasilan rencananya. Celestin mengira bayangannya sendiri di Cermin pembohong, yang ditempatkan di sini oleh Agnes, adalah musuh dan melepas sebuah mantra yang terpantul dari cermin dan menusuk jantungnya. Agnes berterima kasih kepada Celestin yang cukup bodoh untuk menembak dirinya sendiri dengan mantranya yang terpantul dari cermin.
Seorang Pembunuh bayaran lainnya, buru-buru masuk ruangan. Tapi tenggorokannya dipotong dalam-dalam dari samping dengan pedang Agnes, dan dia jatuh. Kemudian musketeer lainnya melompat masuk ruangan.
"Komandan Agnes! Kau baik-baik saja? " Dia mengangguk menjawab pertanyaan mereka. "Aku baik-baik saja." "Dua orang menyelinap ke kamar kami. Namun, kami menghabisi mereka ... "
Dua orang di kamar ini. Dua orang di sebelah. total Empat orang... Ternyata pencuri ini merayap masuk menara artileri untuk membunuh mereka ... "Anjing Albion."
Gumam Agnes, yang dengan cepat memahami dari mana mereka berasal. Skuad ini hanya terdiri dari penyihir. Mustahil untuk salah menerka mereka sebagai pencuri biasa. Mereka pasti adalah pembunuh bayaran yang disewa Albion ...
Agnes lalu mengkhawatirkan situasi di luar.
Saat ini, Hanya siswi yang tersisa di akademi. "Dalam dua menit saya ingin kalian sepenuhnya siap tempur dan mengikuti saya," perintah Agnes pada bawahannya.
Menvil mengambil alih asrama perempuan tanpa kesulitan. Para bangsawan putri begitu takut oleh penyerbuannya sehingga mereka tidak memberikan perlawanan yang nyata. Dia mengambil seluruh tongkat siswi dan mengumpulkan mereka, yang masih mengenakan baju tidur mereka, di ruang makan di mana dia menahan mereka. Ada sekitar sembilan puluh orang. Selama dia melakukan itu, rekannya dari menara lainnya bergabung.
Melihat kepala sekolah akademi Osman tua diantara salah satu tawanannya membuat senyum tersungging di wajah Menvil. Kini, Menvil mengumpulkan semua tawanan di ruang makan dan mengikat tangan mereka di belakang punggung. Berkat mantra sihir yang dibacakan seseorang, tali bergerak dan mengitari pergelangan tangan mereka dengan sendirinya.
Semua guru dan siswa adalah perempuan dan mereka gemetaran. Menvil bergumam manis kepada semuanya, "Ada apa ini?, tenang, jika tiada dari kalian yang mencoba untuk menonjolkan diri atau ribut dan jika kalian melakukan apa yang disuruh, tidak ada yang akan terluka." Seseorang mulai menangis. "Diam!" Namun, siswi tersebut tidak berhenti menangis. Menvil mendekat dan menghunus tongkat ke arahnya. "Apakah Kau suka abu?"
Kata-kata itu bukan ancaman langsung, tetapi dapat segeraha dipahami. Siswi itu berhenti menangis. Osman membuka mulutnya. "Hei kau." "Apa?" "Jangan gunakan kekerasan terhadap perempuan. Albion menginginkan kita sebagai sandera, bukan? Untuk digunakansebagai kartu tambahan dalam negosiasi, bukan? " "Bagaimana Anda tahu?"