Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 5
Bab 5: Masa Depan itu Yang Diharapkan Hiratsuka Shizuka
5-1
Selepas sekolah. Setelah aku meninggalkan klub, aku melihat ke luar dari lorong bangunan spesial.
Rintik hujan dengan mulus menitik-nitik ke kaca. Hujan yang sejak tadi pagi terus bertahan bahkan sampai sekarang dengan muram terus mengguyur dan mengguyur.
Hari itu, setelah memberitahu Yukinoshita mengenai ujian Komachi dan bahwa aku akan pergi lebih awal, dia tidak terlihat begitu meragukanku dan aku bisa meninggalkan klubnya.
Apa ada jendela yang terbuka di suatu tempat? Lantainya basah dan sepatu dalam ruangku berciut-ciut selagi aku berjalan di lorong yang kosong itu.
Hanya tinggal satu minggu lagi sampai hari Natal.
Chiba di bulan Desember jarang sekali melihat salju. Aku tidak perlu khawatir akan Natal Putih. Tapi apa yang harus kukhawatirkan adalah tempat kerja menyuramkan yang akan kutuju itu.
Aku meninggalkan bangunan sekolah dan langsung menuju ke pusat komunitas.
Karena sedang hujan ketika aku akan meninggalkan rumah, aku datang ke sekolah dengan menaiki kereta api dan bus. Jika cuacanya lebih hangat, maka aku akan datang menaiki sepedaku dan menjadi hampir basah kuyup semua, tapi selama musim dingin, aku benar-benar ingin menghindarinya.
Karena dedaunan-dedaunan yang berguguran dari pohon, jalan yang kulintasi tersebut terasa lebih muram dari biasanya.
Biasanya, matahari tidak akan terbenam untuk beberapa jam lagi, tapi karena cuacanya hari ini, hari sudah gelap.
Di dalam lapangan pandang berkabutku, payung yang bergerak di depanku itu sangat mempesona. Yang mendekorasi payung vinyl itu pada satu titik adalah cetakan suatu tangkai bunga yang terlihat manis.
Pemiliknya itu memutar-mutar payungnya selagi dia kelihatan sedang mengurangi kebosanannya. Terkadang-kadang, rambut coklat kekuningannya akan terlihat.
Menilai dari gaya rambut dan tingginya, dia yang berada di depanku itu kelihatannya Isshiki.
Isshiki sedang berjalan dengan laju yang lambat sehingga aku berakhir dapat mengejarnya dengan cepat. Ketika aku berjalan di samping dirinya, dia juga menyadari diriku dan memiringkan payungnya untuk melihat wajahku.
“Ah, senpai.”
“Hei.”
Aku balik menjawab dengan menaikkan payungku sedikit juga.
“Apa kamu hari ini juga akan membeli makanan ringan?”
“Tidak, kelihatannya tidak ada konferensi hari ini.”
“Aah, itu benar.”
Seperti yang dikatakan Isshiki, konferensi tidak akan digelar hari ini. Semalam, waktunya dipakai untuk mengupasi pendapat yang diajukan dan memikirkan keuntungan dan kerugian masing-masing pendapatnya serta mencari suatu ajuan yang menyatukan untuk mengimplementasikan itu semua di lapangan. Jadi tidak akan ada katering apapun hari ini. Kelihatannya pekerjaanku untuk mengangkat kantong-kantong plastik makanan ringannya juga tidak diperlukan.
Selagi aku memikirkan itu, Isshiki mengintip dari bawah payungku dan membuat senyuman nakal.
“…Fufufu, sungguh kasihan. Tidak bisa membuatku suka padamu dan semacamnya.”
“Macam ada sesuatu sesederhana itu yang bisa membuatmu suka padaku.”
Sementara kami membuat percakapan tidak masuk akal itu selagi kami berjalan, suatu payung vinyl yang bisa dideskripsikan sebagai biasa-biasa saja atau bahkan kasar lekas bergerak ke arah kami. Di bawah payung itu terdapat lambaian keliman rok SMA Kaihin Sogo yang tidak tahu malu.
“Oooh, apa ini? Isshiki-chan dan Hikigaya.”
Mengangkat payungnya tinggi-tinggi, orang yang memanggil ke arah kami adalah Orimoto.
“Halooo.”
“Heeya. Kamu taaaahu, aku tadi berbicara sama temanku jadi aku agak telat sekarang.”
Seperti biasa, pandangan Orimoto mengenai jarak antar orang itu dekat. Dari sana, dia berjalan di samping Isshiki dan mulai berbincang dengan ramah. Tentu saja, Isshiki tidak menunjukkan satupun tanda ketidak-senangan di wajahnya bahkan saat menghadapi tingkah tersebut. Dia membuat senyuman yang cemerlang nan ramah dan ikut berbincang.
Kami terus berjalan di bawah hujan selagi aku mendengarkan pada percakapan mereka dari samping.
Baru saja ketika percakapan antara mereka berdua sudah akan berhenti, Isshiki tiba-tiba tersadar dan berkata.
“Omong-omong, bukankah kamu kenalannya senpai?”
“Yap, yap, kami memasuki SMP yang sama.”
Ketika Orimoto menjawab, Isshiki memandang ke arahku.
“Jadi bahkan senpai memiliki seseorang yang dekat dengannya, huh?”
Reaksinya itu membuatku merasa sulit. Tapi sama denganku juga, kata-kata Orimoto yang dipakai untuk menjawabnya terdengar sedikit risau.
“Daripada dekat, umm… Yah, cuma sedikit.”
Seakan kata-kata ambigunya terasa janggal, mata Isshiki dan dia menerkamnya.
“Oh, apa ini, apa ini? Kata-kata samarmu itu?”
Orimoto membuat tampang “oops” dan melemparkan pandangannya padaku.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Itu tidak seperti Orimoto dan aku itu dekat, jadi baginya untuk mengatakan kata-kata ambigu seperti itu merupakan pertanda dari kebenarannya.
Tapi Isshiki tidak mau membiarkan celah tersebut lewat. Dia membuat suatu seringai dan menarik lengan bajuku.
“Senpaaai, apa yang teeerjadi?”
Hentikan itu, berhenti menarik-narik. Tangan kita sudah agak bersentuhan juga, kamu tahu, itu terasa agak halus dan itu akan membuatku benar-benar sadar akan itu, jadi hentikan itu!
Aku dilemahkan oleh serangan mendesak bertubi-tubinya yang mungkin merupakan strateginya untuk membuatku gugup dan selagi aku mengelak tangannya, aku akhirnya menyelipkan sesuatu keluar.
“Yah, banyak yang terjadi waktu itu…”
“Banyak…”
Isshiki mengulangnya setelahku dan dia kemudian melihat ke arah Orimoto. Orimoto yang bingung bagaimana menjawabnya menjadi tergagap, tapi menutupinya dengan suatu tawa.
“Yah, itu hanya suatu cerita dari masa lalu, tahu.”
Jawaban itu sedikit mengejutkan. Aku menyangka dia akan mengubah pernyataan cinta di masa laluku itu menjadi bahan lelucon lagi, tapi dia memalingkan wajahnya dari Isshiki dan hanya mengucapkan kata-kata tersebut dengan samar.
Aku tidak akan bilang aku tidak keberatan jika mereka membicarakan tentang masa lalu tersebut, tapi aku hanya berpikir hal itu tidak akan terelakkan jika mereka memang membicarakan tentang masa lalu yang membuatku tertarik akan perubahan Orimoto.
Isshiki terlihat seperti dia ingin menanyakan lebih banyak lagi dan menyadari hal tersebut, Orimoto menghadapku dan segera mengganti topiknya.
“Mengesampingkan itu, Hayama-kun tidak muncul untuk urusan-urusan seperti ini, huh?”
Kata “Hayama” menyebabkan Isshiki tersentak sebagai respon akan itu. Seringai lebar dan mengenakkan yang dipasang Isshiki pada wajahnya dari tadi sekarang mengeras.
“…Apa kamu kenalannya Hayama-senpai juuuuuga?”
Suara Isshiki sedikit dalam. Seram. Wajahnya mungkin sedang tersenyum sambil tertawa “ufufu”, tapi wajah ini pastilah karena itu; matanya terlalu serius sampai dia tersenyum dalam upaya untuk tidak menampilkannya…
“Kami pergi jalan-jalan sedikit sebelumnya, kamu tahu.”
“Hoh, jalan-jalan…”
Isshiki memilih sepatah kata dari apa yang dia katakan dan menilai diri Orimoto. Sial. Ini akan berakhir pada sesuatu yang menyusahkan.
“Dia sibuk dengan klub, jadi aku ragu dia bisa muncul.”
Ketika aku tiba-tiba masuk ke dalam percakapan mereka, Orimoto memiringkan payungnya dan bertanya.
“Hikigaya, kamu terlihat seperti kamu akrab dengannya jadi kupikir dia akan mampir di tengah konferensi atau semacamnya.”
“Kami tidak akrab sama sekali dan memanggilnya pada saat-saat seperti ini hanya akan menganggu kita.”
“Sungguh? Maksudku, bukankah situasinya terlihat buruk? Ketua OSIS kami baru mulai dari musim gugur jadi dia tidak terbiasa dengan ini. Itulah kenapa kupikir kalian akan memanggilnya sama seperti kami akan memanggil para penolong atau semacamnya.”
Begitu ya. Jadi bahkan pihak Kaihin Sogo, setidaknya, Orimoto mengakui bahwa situasinya buruk. Dia mungkin terlihat tanpa keberatan apapun setuju dengan segalanya, tapi dia mungkin sadar akan itu di dalam hatinya.
“Benar, itu mungkin buruk, tapi aku tidak akan memanggil Hayama.”
“Hmmm… Yah, jika kami bertemu, itu akan agak canggung juga.”
Kata-kata yang ditambahkannya dengan suara kecil itu masuk akal. Mempertimbangkan bagaimana kami berpisah saat itu ketika aku pergi ke Chiba bersama Hayama dan yang lain, itu mungkin sulit untuk menghadapinya. Bahkan aku juga benar-benar tidak ingin terus bertemu Hayama secara empat mata.
Alasan kenapa Orimoto mengangkat soal Hayama itu antara karena itu akan sulit baginya untuk bertemu dia atau kemungkinan bahwa dia hanya ingin memastikannya. Aku bisa memahami itu.
Tapi selagi Isshiki sedang memikirkan tentang sesuatu, dia mengalihkan pandangannya antara aku dan Orimoto. Yah, jika dia tidak ingat Orimoto, maka tidak perlu memberitahunya. Aku jamin dia bahkan tidak tertarik sedikitpun pada gadis lain juga, huh…
Ketika kami berhenti membicarakan tentang Hayama yang bertindak sebagai titik penghubung dalam percakapan kami, kami berjalan untuk beberapa lama tanpa berkata apa-apa.
Kami baru hampir akan mendekati pintu masuk pusat komunitas itu sampai Orimoto berbicara dengan seruan “aah” dengan suara yang terlihat seperti dia ingin mengatakan sesuatu. Aku yang ingin tahu apa itu, memandang ke arahnya dan Orimoto sedang menatapi wajahku.
“…Juga, kupikir mungkin gadis yang dekat dengan Hikigaya mungkin akan datang juga atau semacamnya.”
“Tidak… Mungkin tidak.”
Tidak mungkin aku akan memanggil mereka. Tidak mungkin aku akan memanggil mereka.
“Huuuh…”
Orimoto mengatakan itu dengan rasa tidak tertarik dan menendang suatu genangan air. Dia kemudian memiringkan payungnya dan mendongak ke atas langit. Mengikuti dirinya, aku juga mendongak ke atas langit. Di arah barat terdapat seberkas cahaya matahari terbenam yang muncul. Jika cahayanya sebanyak itu, hujannya mungkin akan segera berhenti.
Meski begitu, langitnya masih segelap seperti biasanya.
5-2
Beberapa saat setelah memasuki pusat komunitas itu. Aku menaikkan mataku ke arah jam.
Juga hanya waktu yang berlalu hari ini.
Aku menutup laptop yang kupinjam dan menekan sudut mataku dengan jariku.
Tugas memeriksa kembali pendapat-pendapat dari konferensi semalam itu jauh lebih sulit dari yang kukira.
Selagi waktu berlalu, hal-hal yang bisa kulakukan juga menurun sedikit demi sedikit.
Tidak ada cukup waktu, tidak ada cukup tenaga, tidak ada anggaran. Jika kamu memiliki tiga dalih ini, maka kamu akan memiliki suatu alasan yang sah. Selama kamu memiliki alasan ini, kamu bisa pasrah akan segalanya dan kamu seharusnya bisa berkompromi.
Tentu saja, itu tidak hanya terbatas pada cuma memundurkan jadwalnya atau membekukan proyeknya, tapi kami sudah berada pada titik dimana kami tidak bisa membatalkannya.
Bagian penting dari acaranya masih belum diputuskan dan satu-satunya hal yang bertambah adalah orang yang terlibat. Jika kamu mengibaratkannya dengan anime, maka itu adalah sesuatu seperti komite produksinya memutuskan sesuatu sementara anime utamanya itu tidak diputuskan apa-apa. Tidak mungkin anime itu akan dibuat dengan bagus, huh…
Dan selagi kami seperti ini, jamnya berdetak maju dan kalender berjalan hari demi hari. Kami bisa menyebutnya waktu dan upaya yang dibutuhkan, tapi sejujurnya, itu hanyalah jam-jam kerja paksa. Jika kamu mengibaratannya dengan anime, konferensi perencanaannya akan memakan semua waktuya meninggalkan segala jenis hal-hal pentingnya kacau balau… atau semacamnya.
Apa yang penting adalah keseimbangan dan tekadnya. Pada saat sekarang ini, keduanya itu benar-benar kurang.
Setelah satu helaan lagi, aku berpaling ke arah laptopnya lagi.
Aku menghitung anggarannya, memastikan jadwalnya, dan memikirkan biaya-manfaat dari biaya mengenai bagian realistis dari rencananya. Hanya untuk berjaga-jaga, aku mencari alamat dan nomor telepon gereja dan band jazznya dan seterusnya.
Namun, lebih lama aku melakukan pekerjaan ini, lebih aku merasa betapa tidak memungkinkannya semua acara ini. Aaaaaastaga, apa-apaan ini, apa mereka, itu, benar-benar tolol atau apa? Aku bergugam dengan suara kecil “tidak mungkin kita bisa melakukan ini!” dan anggota SMA Sobu lain kelihatannya merasakan hal yang sama ketika si wakil ketuanya membuat suatu helaan.
Setelah itu, dia menunjukkanku dokumen-dokumennya.
“Tentang ini, tidak peduli bagaimana aku menghitungnya, anggarannya tetap tidak cukup. Apa yang harus kita lakukan?”
“Antara kita mengurangi acara yang kita lakukan atau menggalang dana. Aku rasa kita harus membuat voting pada konferensi selanjutnya.”
Jujur saja, waktu untuk itu begitu berharga. Tapi untuk membuat pihak mereka menyerah, kami perlu data-data yang masuk akal; kalau tidak kami akan mengalami kebuntuan. Jika kami memiliki argumen yang beralasan bersama dengan data-data itu, kami mungkin bisa mengambil posisi yang menentang mereka.
Aku menggaruk kepalaku dan meraih kopiku. Rasa kopi hitam yang pahit dan membuat merinding dalam cangkir plastik itu menyebar dan aku sama sekali tidak bisa merasa itu enak.
Apa ada sesuatu yang manis di sekitar sini…? Aku melihat ke atas meja. Dan di depan tempat yang kulihat terdapat Isshiki yang berjalan ke arahku.
“Senpai. Dekorasinya sudah akan segera selesai. Apa yang sebaiknya kita laaakukan selanjutnya?”
Aah, itu benar. Pekerjaan kami itu juga untuk menangani murid SDnya, huh… Aku menghentikan tangan yang bekerjaku untuk sementara dan menyilangkan lenganku dan berpikir sedikit.
Hal yang akan diperlukan, tapi juga dapat dilakukan murid SD itu tidak peduli perkembangan di masa depan, huh? Hiasan untuk tempat acaranya sudah hampir selesai. Jadi hal lain yang tersisa itu…
Setelah memikirkan sejauh itu, sesuatu terlintas dalam pikiranku.
“Apa pohonnya sudah didirikan?”
Ketika aku mengatakannya, Isshiki membuat wajah sulit.
“Kami sudah ada pohonnya… Tapi bukankah itu hanya akan menganggu jika kita mendirikannya sekaraaang?”
Yah, jawaban itu dapat diduga. Benar, itu benar-benar akan menganggu jika kita cukup mendirikannya di sini. Pohonnya terutama yang kali ini juga lumayan besar, jadi ada suasana yang terasa agak aneh pada pohon itu. Kalau begitu, kami bisa mempergunakan suasana tersebut.
“Kita bisa membicarakannya dengan orang-orang pusat komunitasnya dan meminta mereka memindahkannya ke pintu masuk. Seharusnya itu akan sempurna karena hanya ada seminggu sampai acaranya. Pada hari acaranya, nanti kita bisa memindahkannya kembali ke lorong.”
“Oh, begitu… Aku mengerti.”
Setelah beberapa anggukan, Isshiki berjalan kembali ke para murid SD itu. Aku melihatnya pergi dan memandang laptopnya lagi. Pada akhirnya aku tidak menemukan makanan ringan apapun, tapi berbicara dengan Isshiki barusan tadi itu istirahat yang bagus. Namun, untuk dapat istirahat dari pekerjaan untuk melakukan pekerjaan merupakan tanda gejala-gejala stadium akhir, bukan? Kedamaian budak perusahaan? Anggapan yang palsu? Berikan aku kebebasan sebelum aku mati karena terlalu banyak bekerja…[1]
Tapi aku tidak bisa bercanda-canda seperti ini. Walaupun aku hanya membantu Isshiki supaya memenuhi tanggung jawabku untuk memaksanya menjadi ketua, aku sekarang sadar bahwa akulah yang memberikan arahan. Dan tidak ada satu orangpun yang terlihat ada masalah tentang itu.. Semua orang secara alamiah mulai memastikan sesuatu denganku.
Caranya ini dilakukan itu begitu buruk. Itu adalah suatu keadaan tanpa harapan yang pernah kulihat entah dimana sebelumnya.
Jika kami tidak mengubah situasinya, akhirnya itu akan gagal. Itu adalah sesuatu yang terlampau familier denganku. Di atas semua itu, situasinya adalah situasi yang pasti tidak akan membuat si ketua OSIS, Isshiki Iroha, merasa sangat girang mengenainya.
Untuk dengan cepat mengubah situasinya, aku harus menyerahkan sisanya pada Isshiki dan mendapatkan suatu konsensus.
Aku membawa dokumen-dokumen yang terorganisir itu di tanganku dan menuju ke tempat Tamanawa berada. Gaya konferensi yang biasa kita lakukan itu tidak bagus. Jika wakil-wakilnya tidak memutuskan masalah-masalahnya di dalam suatu rapat bersama, maka mereka hanya akan mengelak satu sama lain.
“Hei, ada waktu sebentar?”
“Ada apa?”
Tamanawa kelihatannya sedang mengerjakan semacam pekerjaan. Terpampang di layar Macbook Airnya adalah kata-kata “Garis Besar Rencana”. Ketika aku mengintipnya, hal-hal yang diketikkan adalah bagaimana untuk mendapatkan suatu hasil sinergis dari gabungan banyak pendapat.
Jadi kelihatannya dia sudah bertekad bulat untuk mencoba membuat pendapat semua orang menjadi kenyataan.
Telah melihat konsep rencananya, itu membuatku sedikit enggan untuk berbicara, tapi meski begitu, aku memberikan dokumen-dokumen di tanganku padanya.
“Aku memeriksa banyak ide-ide di sini. Hal-hal yang mungkin bisa kita lakukan dan yang tidak bisa kita lakukan… Yah, kita bahkan tidak mampu melakukan sebagian besar ide-ide itu, tapi…”
“Oooh! Terima kasih!”
Tamanawa mengambil dokumen-dokumennya dan membalik-balik dokumennya.
“Dengan ini, kita akan mendapat pandangan jelas akan masalahnya, bukan?”
“Ya.”
Tak usah dikatakan lagi, tidak ada cukup waktu dan uang.
“Oke, jadi mari kita berpikir tentang bagaimana memecahkan masalah ini.”
“Tidak, tunggu sebentar. Sungguh, itu tidak mungkin. Cuma ada sisa satu minggu.”
“Ya, itulah kenapa aku rasa kita bisa memakai sumber luar untuk memesan suatu BAND dan semacamnya. Kamu tahu, aku melakukan suatu pencarian, tapi mereka ada banyak LAYANAN pembuatan KONSER PRIBADI. Jika kita bisa meninjaunya dan membuat suatu keputusan, aku rasa kita bisa membuat suatu ACARA bagus yang pantas dengan kita.”
Dari anggaran mana biaya untuk itu akan datang…? Pemikiran itu tetap tersendat dalam tenggorokanku, tapi bagi seseorang yang pikirannya membeku di dalam otaknya, maka mungkin itu tidak akan tersampaikan padanya.
Itu tidak seperti Tamanawa tidak mendengarkan kata orang karena dia memang mendengarnya. Malahan, dia mendengar semuanya.
Itu persisnya kenapa dia ingin mencoba memperoleh kesimpulan yang memasukkan semua pendapat yang ada ke dalam pertimbangannya.
“Pertama-tama, kita akan membicarakannya bersama dengan semua orang dan memutuskannya pada konferensi selanjutnya.”
Niat Tamanawa terlihat kuat. Kelihatannya entah kenapa dia sedang bersikap keras kepala. Dalam banyak kesempatan aku berbicara dengan Tamanawa, pendiriannya masih belum hancur. Daripada keras kepala, itu seharusnya disebut kegigihan, tidak, penuh angan-angan, mungkin? Itu masih suatu misteri tentang kenapa dia mau bertindak sejauh sampai ingin mencoba membuat setiap pendapat yang ada menjadi kenyataan.
Tapi saat itulah ketika aku menyadarinya.
Belum begitu lama semenjak Tamanawa menjadi ketua OSIS. Dia memiliki penampilan yang lumayan mengesankan yang kusalah-pahami, tapi dia persis seperti Isshiki dalam hal bahwa hanya baru-baru ini dia menjadi ketua OSIS.
Itulah kenapa dia ingin pendapat-pendapat orang dan akan mendengarkan itu sema. Hanya setelah mendapatkan persetujuan barulah dia mengambil tindakan. Untuk menghindari masalah agar tidak bermunculan, dia akan mengaturnya setelah semuanya diputuskan tanpa mengubahnya menjadi suatu perselisihan.
Bagi Isshiki yang mencari diriku untuk arahan, mentalitas itu mungkin serupa. Aku bahkan tidak bisa bertindak sebagai penyokong yang baik bagi Isshiki yang baru kukenal tidak begitu lama jadi tidak mungkin aku bisa menyokong Tamanawa yang baru hanya kutemui hari itu, terlebih juga mengubah pikirannya yang bahkan lebih tidak memungkinkan lagi.
Tidak ada lagi yang mau diminta. Lain kali, benar-benar putuskan itu; Aku mendesaknya pada satu hal tersebut.
“…Jika kamu tidak benar-benar memutuskannya pada konferensi selanjutnya, kita tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya. Aku akan bergantung padamu untuk itu.”
“Tentu saja.”
Tamanawa menjawab dan seperti yang bisa kalian duga, dia masih memiliki tampang yang menyegarkan. Tapi sekarang ini, entah di mana, tampang itu terlihat mencurigakan.
Aku menyerah mencoba meyakinkan Tamanawa dan kembali ke tempatku semula.
Ini tidak bagus… Aku baru saja kehilangan semua opsiku.
Pada akhirnya, apa yang akan kami lakukan mungkin diputuskan pada konferensi selanjutnya, tapi akankah sungguh begitu? Menilai dari bagaimana konferensinya berjalan sampai sekarang ini, aku tidak bisa mengatakannya dengan begitu yakin.
Tidak peduli apapun itu, pada tahap ini, aku kehilangan semua hal yang bisa kulakukan. Satu-satunya hal yang tersisa hanya untuk melihat acara ini runtuh dengan memalukannya.
Selagi aku memikirkan itu sambil menuju ke tempat dudukku, di tengah jalan ke sana aku melihat Rumi sedang melakukan pekerjaannya sendirian.
Aku melihat ke sekeliling, tapi tidak ada murid SD lain di sekitar sini. Mereka seharusnya sedang sibuk membuat dekorasi untuk pohon itu. Aku ingin tahu apa yang sedang dia lakukan sendirian dan aku mendekatinya.
“…Apa kamu sedang membuat dekorasinya?”
Rumi menaruh kertas yang sudah dilipat itu di antara belah gunting dan memotong di sepanjang garis lipatan. Kelihatannya dia sedang membuat dekorasi yang menyerupai butiran salju.
Menilai dari situasinya, kelihatannya dekorasi itu sebenarnya belum selesai semua dan bahwa Rumi sedang menyelesaikannya. Yah, jika kamu memikirkannya dari sisi para anak-anak, mereka akan lebih suka mengerjakan sesuatu yang baru seperti mendirikan pohonnya daripada tugas sama yang berulang-ulang untuk membuat sesuatu.
Namun, untuk tidak adanya pengawas bersama seorang murid SD yang memakai sebuah alat tajam itu aneh. Aku rasa aku akan memanggilnya. Lagipula, karena tidak ada yang melihat, Rumi seharusnya tidak akan mendapat tatapan aneh meskipun aku berbicara padanya.
“Apa kamu melakukan ini sendirian?”
Aku hanya merundukkan badanku sedikit dan berbicara dengan niat untuk berbincang dengannya, tapi Rumi tidak menjawab. Dia hanya terus meletakkan kertas origami di antara belah gunting.
…Yah, tidak banyak yang bisa kulakukan jika dia mengabaikanku.
Aku menyerah dan baru saja aku akan pergi dengan berdiri. Rumi memandang ke arahku. Dia kemudian mengambil satu lembar kertas lagi dan mengalihkan pandangannya dariku.
“…Kamu tidak bisa tahu dengan melihatnya saja?”
Dia menjawab dengan nada kurang ajar yang terdengar seakan dia sedang membuatku terlihat tolol. Ada apa dengan jeda waktu itu? Siaran parabola akhir-akhir ini sudah sedikit lebih cepat, kamu tahu.
Selagi aku berpikir dia itu sungguh bocah yang tidak imut, caranya melakukan pekerjaannya sendirian juga meninggalkan kesan yang bagus. pada saat yang sama, alasan situasinya menjadi seperti itu terlintas dalam pikiranku.
Lagi, situasi Tsurumi Rumi juga merupakan efek samping dari tindakanku. Kalau demikian, maka tanggung jawab yang harus kupikul juga ada di sana.
Aku menghempaskan diriku di samping Rumi dan aku mengambil selembar kertas origami dari tumpukannya. Aku mengambil gunting yang sedang tergeletak di atas lantai.
Uhhh… Haa, karena ada garis berbentuk kristal pada kertas itu, aku seharusnya memotong di sepanjang garisnya… Tidak, itu salah. Salju itu dibuat dengan melipat mengikuti garisnya lalu sesuatu seperti semacam memotong garisnya… Mengejutkannya, proses pembuatannya ini lumayan rumit dan aku mulai melipat dan memotong kertasnya meniru apa yang kulihat.
Ketika aku melakukannya, suara memotong di sampingku berhenti. Ketika aku melihatnya, Rumi telah berhenti bekerja dan sedang melihat ke arahku dengan kaget.
“…Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Kamu tidak bisa tahu dengan melihatnya saja?”
Aku menjawabnya dengan cara yang sama seperti yang dilakukannya tadi. Rumi memahami hal itu dan menatapiku dengan pelan sambil cemberut.
“…Kamu tidak ada hal lain untuk dilakukan?”
“Itulah masalahnya, aku benar-benar tidak ada yang bisa dilakukan.”
Kalau yang lain, ada banyak hal yang perlu dilakukan, tapi yang kusayangkannya, tidak ada sisa satu halpun yang bisa kulakukan. Sisanya tergantung pada apapun yang terjadi pada konferensi selanjutnya.
Ketika aku mengatakannya, Rumi melihat ke arahku dengan mata apatis.
“…Orang senggang.”
“Jangan ejek aku.”
Setelah itu, hanya kami berdua membuat hiasan yang tersisa dengan hening.
Aku tidak tahu siapa itu yang menyarankan ini, tapi membuat hiasan-hiasan ini dengan kertas origami itu lebih sukar dari yang kubayangkan dan pekerjaan memotong kertasnya memerlukan konsentrasi yang sedikit lumayan.
Aku mendapati diriku sedang asyik dengan tugas itu dan itu terasa seperti suara-suara dari Ruang Latihan sudah menghilang entah kemana.
Tapi di sana, suatu suara langkah kaki yang berlari kecil yang makin mengeras ke arahku.
Melihat sekilas, Isshiki sedang berlari kecil ke arah sini.
“Ah, Aku akan meminjam pisau cutternya, okaaay?”
Dia menambahkan alasan kecil dan mengambil beberapa pisau cutter yang tergeletak di atas meja. Kelihatannya itu semua adalah alat yang diperlukan untuk dekorasi pohonnya.
Di sana, Isshiki melihat Rumi. Rumi sedang terfokus pada pekerjaannya sehingga dia tidak memperhatikan Isshiki sedikitpun. Tapi Isshiki entah kenapa terlihat tertarik.
Isshiki mengisyaratkan padaku untuk datang dengan tangannya. Ada apa…? Aku menekukkan tubuhku ke sana dan Isshiki berbisik ke dalam telingaku.
“…Senpai, jangan beritahu aku kamu suka yang lebih muda?”
“Yah, aku tidak begitu buruk dengan mereka.”
Itu mungkin karena adik kecilku, tapi aku tidak begitu terlalu gelisah dengan gadis semuda ini. Malah, aku akan lebih gugup dengan orang yang kira-kira seusiaku. Tentu saja, jika mereka semuda seperti adik kecil Kawasaki, aku pasti tidak akan tahu bagaimana menangani mereka, tapi hanya itu saja. Ah, namun aku sepenuhnya buruk dengan anak laki-laki yang lebih muda. Bocah-bocah itu, mereka terlampau mirip sekali dengan binatang jadi kata-kata tidak akan tersampaikan pada mereka sama sekali…
Aku menjawab, tapi Isshiki tidak. Aku heran, apa dia hanya suatu mayat[2]…? Aku melihat ke arahnya dan Isshiki membuat wajah kebingungan.
“…Mungkinkah kamu baru saja mencoba untuk memikatku, Maafkan aku, aku memang suka yang lebih tua, tapi itu benar-benar tidak akan berhasil.”
“Tunggu, namun aku jelas-jelas tidak sedang mengatakan itu?”
Astaganaga, aku merasa seperti orang tolol untuk menjawab pertanyaannya dengan begitu seriusnya…
Ketika aku menggoyangkan tanganku padanya untuk pergi karena dia sedang menganggu, Isshiki menyeru “ada apa dengan perlakukan itu…?” sebagai suatu komplain dan dia berjalan kembali ke Ruang Latihan.
Setelah Isshiki sudah pergi, waktu-waktu hening itu berlanjut lagi.
Suara gesekan kertas dan gunting. Tidak ada seorangpun dari kami yang mengatakan satu patah katapun selagi kami terus menumpukkan butiran salju yang dibuat dari kertas origami.
Pada akhirnya, kami menyelesaikan yang terakhir lalu Rumi dan aku melihat ke satu sama lain.
“Kurasa kita sudah selesai sekarang…”
“…Uh huh.”
Setelah dia menjawab, dia membuat helaan puas bersama-sama dengan suatu senyuman kecil. Tapi ketika matanya bertemu dengan mataku, dia segera berpaling tampaknya karena malu.
Aku membuat helaan kecil dan berdiri.
“…Sekarang kalau begitu, mari kita kembali?”
“U-Um…”
Masih duduk, Rumi melihat ke arahku ingin mengatakan sesuatu. Namun, aku balik menjawab tanpa menunggunya.
“Mereka mungkin masih mengerjakan pohonnya, jadi kenapa tidak kamu coba pergi ke sebelah sana?”
“…Ah, oke.”
Ketika dia menjawab, Rumi berdiri dan menuju ke luar Ruang Latihan. Kalau soal diriku, aku berjalan kembali ke tempat duduk semulaku.
Apa yang ingin Rumi katakan, aku tidak mendengarnya. Itu karena hatiku sakit karena senyumannya.
Ketika aku melihat itu, itu membuatku sadar akan bagaimana aku akan mencoba untuk membuat diriku lega dengan sesuatu sesepele ini. Meskipun senyuman Tsurumi Rumi bukanlah sesuatu untuk mendukung tindakanku sendiri.
Pasti ada hal-hal yang terselamatkan dari caraku melakukan sesuatu yang dulu.
Tapi hanya itu saja pasti tidak cukup.
Tanggung jawabku. Di sinilah aku, masih belum mengetahui jawabannya.
5-3
Para murid SD itu sudah disuruh pulang. Setelah pekerjaan singkat yang tersisa, sesudah dokumen yang tersisa dikumpulkan bersama, tidak ada lagi hal lain untuk dikerjakan.
Para anggota OSIS SMA Sobu dengan lesu mengerjakan tugas-tugas seperti memeriksa pekerjaan mereka serta menghitung kembali anggaran untuk menghabiskan waktu. Kalau mengenai SMA Kaihin Sogo, mereka kelihatannya sedang sepenuhnya asyik berdiskusi.
Aku rasa ini kurang lebih semua pekerjaanku untuk hari ini, huh?
“Isshiki, kelihatannya tidak ada hal lain lagi untuk dikerjakan, jadi apa kamu keberatan jika aku pulang?”
Ketika aku menanyakan Isshiki di sampingku yang sedang membalik-balik setumpuk kertas, dia melihat ke arah jam, berpikir sejenak, dan berbicara.
“Aku rasa boleh… Kalau begitu mari kita mengakhirinya di sini untuk hari ini?”
“Ya. Kalau begitu aku akan pulang lebih dulu.”
Punggungku menerima ucapan “terima kasih untuk kerja keeerasnya” Isshiki selagi aku meninggalkan Ruang Latihan.
Ketika aku sampai di luar pusat komunitas, hujannya sudah berhenti. Terpantul dalam genangan-genangan air adalah cahaya dari kota dan tetesan hujan di bawah atap yang menyerap cahayanya. Namun, seindah-indahnya itu, pemandangan ini entah kenapa terlihat menyuramkan.
Aku mengatur kerah mantelku dan terus berjalan. Tidak sampai aku tiba ke area parkir sepeda baru aku tiba-tiba sadar aku tidak datang menaiki sepeda hari ini. Karena cuacanya terus hujan dari pagi, aku pergi menaiki kereta api dan bus.
Jengkel akan realisasi ini, aku mengubah arah jalanku menuju ke stasiun. Di tengah jalanku ke sana, MariPin masuk ke dalam pandangan. Papan tandanya diterangi dengan terang benderang dan kehangatan bagian dalam toko ini mengalir ke luar setelah pintu otomatis itu terbuka.
Oh iya, ada KFC di MariPin bukan…? Aku sama sekali lupa mengenai pesanan itu.
Aku pulang jauh lebih awal dari biasa jadi aku rasa aku akan pergi membuat pesanan untuk party barrel yang disuruh ibu padaku untuk memesannya. Rumahku agak sedikit jauh dari sini, tapi kami mungkin hanya akan menghangatkannya lagi dalam oven pemanggangnya, dan belum dibilang aku juga yang akan mengambilnya, jadi membelinya di sini seharusnya cukup bagus. Namun, untuk pergi mengambil ayamnya, aku rasa untuk diri ayamku ini[3], itu adalah tugas yang sempurna!
Ketika aku memasuki MARINPIA, pemandangan orang-orang membawa kantong-kantong plastik besar seakan mereka sedang menggelar belanja Natal. Aku melihat .
Aku menyelesaikan apa yang perlu kulakukan. Semua yang tersisa adalah untuk pulang ke rumah.
Aku mulai berjalan ke pintu keluar terdekat dari KFC. Karena lalu lalang orang masuk dan keluar yang terus menerus, pintu otomatisnya tetap terbuka terus. Selain orang-orang di lantai satu, ada orang-orang yang menuju ke tangga eskalator terdekat serta ada orang yang turun darinya yang berbaur bersama membentuk suatu kerumunan besar.
Seperti yang bisa kalian duga dari hari Natal, hari di akhir tahun. Suasana yang lumayan darurat, huh… Dan kemudian, aku melihat ke arah tangga eskalator.
Ketika aku melakukannya, di dalam gelombang orang-orang yang menuruni tangga eskalator, aku melihat Yukinoshita Yukino. Meskipun aku seharusnya cukup pergi secepat mungkin, aku menghentikan langkahku karena kaget.
Yukinoshita benar-benar menonjol bahkan di dalam kerumunan ini. Aku bahkan tidak sedang mencari-cari dirinya, namun sosoknya segera muncul ke dalam pandanganku.
Yukinoshita kelihatannya pergi berbelanja di sebuah toko buku sebab dia sedang memegang sebuah kantong plastik toko buku di tangannya.
Aku berada di jalan yang sedang ditujunya. Tentu saja, dia menyadari keberadaanku juga dan menunjukkan ekspresi terkejut. Mata kami bertemu dan kami berdua mengenali keberadaan satu sama lain. Mencoba untuk bertingkah seakan kami tidak pernah melihat satu sama lain di sini akan sulit.
Aku dengan pelan menggerakkan kepalaku untuk menyapanya dan Yukinoshita yang baru saja turun dari tangga eskalator dan menuju ke pintu keluar ikut mengangguk balik.
“Yo.”
“…Selamat sore.”
Lajuku yang masih tetap dari yang sebelumnya dan laju Yukinoshita, yang berjalan dengan cepat dari tangga eskalatornya, bertemu sebab kami berdua pergi ke luar hampir pada waktu yang sama.
Orang-orang yang menuju ke rumah di jalan raya dan pelanggan berbelanja yang datang serta pergi mengerumuni area itu.
Setelah meninggalkan pintu masuk di sisi KFC, apa yang segera masuk ke dalam pandangan di depan kami adalah suatu plaza kecil. Aku tidak yakin kalau sore hari sewaktu liburan atau pada musim yang hangat, tapi pada malam dingin dimana hujan baru berhenti, tidak ada orang yang berhenti di sana.
Tapi di sanalah tempat kami malah berhenti untuk suatu alasan tertentu.
Yukinoshita mengatur ulang mantelnya dan merapikan syalnya untuk memeriksa kondisinya. Aku mengatur syalku dengan gaya bangsawan dengan cara yang sama sepertinya.
Apa ini adalah suatu kebiasaan karena berada di klub akhir-akhir ini? Aku bisa saja menghentikan diriku, tapi selagi aku mencari kata-kata, aku secara refleks berbicara.
“Aah, apa kamu sedang berbelanja?”
“Ya… Aku bisa menanyakanmu hal yang sama, apa yang sedang kamu lakukan di sini pada jam segini?”
Ketika aku menanyakannya, Yukinoshita berbicara dengan ekspresi tidak berubah-ubah yang sama dan dengan nada yang dingin.
Hari ini, aku juga meninggalkan klubnya lebih awal. Maka dari itu, untuk berada disini pada jam segini itu tidak wajar. Itu jelas untuk ditanyakan hal itu di sini. Suatu pertemuan yang kebetulan di sini adalah sesuatu yang ingin kuhindari. Namun, sekarang setelah kita telah bertemu, tidak ada cara untuk menghindarinya.
Selagi aku menggaruk-garuk pipiku, aku mengalihkan mataku dari Yukinoshita.
“…Aku, yah, hanya ada beberapa hal yang perlu kulakukan.”
Aku tidak bisa mengatakan apa itu sebenarnya. Itulah kenapa aku menyuarakan kata-kata samar, tidak berarti serta umum. Tapi tidak ada kebohongan di dalamnya.
Yukinoshita menunduk dan menjawabnya dengan suara pelan.
“Aku paham…”
Dia kemudian mengangkat wajahnya. Bibirnya yang digigitnya terlihat gelisah akan apakah mau mengatakan sesuatu atau tidak itu bergetar dengan begitu pelan dan matanya yang menghadapku bergetar pelan.
“…Aku paham bahwa kamu sedang membantu permintaan Isshiki.”
Itu adalah suara pelan yang kurang berambisi. Kata-kata itu yang terdengar seakan itu akan hancur jikalau kamu menyentuhnya itu seperti tetesan embun beku di malam hari. Itulah kenapa ini terasa teramat dingin.
Kemungkinan besar Yuigahama tidak memberitahunya. Aku rasa Yukinoshita mungkin menebaknya sendiri. Dia mungkin sudah menoleransi hal tersebut sampai sekarang, tapi sekarang setelah dia melihat tindakan mencurigakanku dengan mata kepala sendiri, dia mungkin tidak bisa menahan dirinya untuk menanyakan tentang hal tersebut.
“Aah, yah, ada keadaan tertentu dan semacamnya…”
Tidak peduli seambigu apapun aku dengan kata-kataku, kebenarannya tidak akan berubah, tapi aku tidak bisa mengatakannya dengan cara lain. Menyangkalnya pada titik ini tidak ada artinya.
“Kamu tidak perlu bersusah payah mengatakan suatu kebohongan seperti itu.”
Pandangan Yukinoshita terarah pada tanah kosong dimana hanya ada angin dingin yang menghembusinya. Dia mungkin sedang menyebut alasanku mengenai Komachi itu suatu kebohongan.
“Itu tidak seperti aku berbohong. Itu salah satu alasannya.”
“…Aku rasa begitu. Itu benar, kamu tidak mengatakan suatu kebohongan.”
Ketika aku mengatakannya dengan begitu merendahkan diriku, Yukinoshita menyisiri rambutnya yang ditiup oleh angin dingin itu dengan tangannya.
Melihat gerakan tersebut, percakapan itu pada suatu waktu dulu terlintas dalam pikiranku.
Yukinoshita Yukino tidak berbohong. Aku dengan keras kepalanya mempercayai hal itu dan karena itu, aku merasa kecewa oleh fakta bahwa dia tidak mengatakan kebenarannya.
Tapi ini bukan perihal Yukinoshita. Orang yang mengecewakanku adalah diri masa laluku yang memaksakan ideal tersebut pada dirinya.
Di sisi lain, bagaimana aku yang sekarang? Aku lebih parah dari diriku yang waktu itu. Tidak mengatakan kebenaran bukan merupakan suatu kebohongan. Aku menelan penipuan tersebut dan aku bahkan menggunakannya.
Bagiku untuk menggunakan penipuan semacam itu yang seharusnya sudah sangat kutolak sekali membuatku berpikir betapa memuakkannya diriku. Itulah kenapa kata-kata yang kuucapkan terdengar penuh rasa penyesalan.
“…Maaf karena melakukannya sendirian.”
Yukinoshita memejamkan matanya dan kemudian dengan hening menggelengkan kepalanya.
“Itu tidak seperti aku keberatan. Aku tidak memiliki hak untuk apa yang kamu lakukan secara personal, jangankan itu sesuatu yang bisa kuputuskan. Kecuali…”
Yukinoshita menghentikan kata-katanya di sana. Tangan yang memegangi kantong plastik di bahunya memeganginya dengan lebih kuat lagi.
“Kamu perlu izinku?”
Yukinoshita memiringkan kepalanya sedikit dan mata beningnya menanyaiku. Suara lembutnya tidak sedang mengkritikku. Itulah kenapa hal tersebut terasa begitu tidak perlunya menyakitkan. Suatu perasaan menekan merangkak menuju ke hatiku.
“…Tidak, hanya memberitahu.”
Aku mengucapkan kata-kata itu. Aku tidak tahu jawaban seperti apa yang benar. Dari awalpun suatu jawaban yang benar mungkin tidak pernah dipersiapkan.
Aku hanya menggerakkan mataku dan melihat ke arah Yukinoshita. Dia sedang memakai senyuman yang sama seperti yang dipakainya di ruang klub yang terlihat seperti dia merindukan hari-hari yang telah lama pergi itu.
“…Begitu ya. Jika demikian, kamu tidak perlu meminta maaf. Lagipula, bekerja denganmu akan membuat Isshiki-san merasa lebih santai.”
Yukinoshita berbicara dengan mulus dengan suara yang lambat, namun tidak mendesakku. Aku tetap terdiam dan mendengarnya. Jika aku tidak diizinkan untuk meminta maaf, apa ada hal lain lagi yang bisa kukatakan?
Yukinoshita meneruskan. Dia melakukannya tanpa melihat ke arahku, tapi hanya melihat pada awan-awan mirip kabut yang dicemari cahaya oranye dari area industri yang jauh di pesisir pada langit yang berawan dan tak berbintang.?
“Jika itu dirimu, aku rasa kamu akan bisa menyelesaikannya. Toh, begitulah keadaannya sampai sekarang ini.”
Aku pikir itu tidaklah benar. Aku tidak menyelesaikan apapun sampai sekarang ini. Entahkah itu Isshiki ataupun Rumi, pada akhirnya, aku hanya membuat masalahnya kabur yang akhirnya berubah menjadi kacau balau. Kalau soal menyelamatkan mereka, sama sekali tidak ada yang seperti itu.
“Itu tidak seperti aku menyelesaikan apapun… Lagipula, itu karena aku sendirian sehingga aku melakukannya sendiri, itu saja.”
Aku akan melakukan sesuatu mengenai diriku sendiri. Itu bukan apa-apa selain suatu hal yang sangat wajar untuk dilakukan. Entahpun aku dilemparkan ke dalamnya atau kebetulan masalahnya jatuh ke dalam tanganku, sekali aku ikut terlibat, maka itu akan akhirnya berubah menjadi masalahku. Itulah kenapa aku hanya melakukannya untuk diriku sendiri.
Itu adalah sesuatu yang terukir di dalam diriku dan dengan bergantung pada seseorang dengan begitu mudahnya meski tidak mengetahui cara lain untuk melakukan sesuatu hanya akan mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak berguna. Dari awalpun, meskipun seseorang yang salah itu mengambil langkah yang semestinya, itu jelas bahwa mereka tidak akan mendapatkan hasil yang benar.
Itulah kenapa aku akan melakukannya sendiri. Hanya itu saja.
Itu seharusnya sama bagi Yukinoshita yang sudah bekerja sama denganku di dalam klub itu selama lebih dari setengah tahun.
“Hal yang sama juga bisa dikatakan padamu.”
Dengan percaya diri, tidak, dengan ekspektasi, aku mengatakannya. Tapi kata-kata Yukinoshita mengeras.
“Itu… tidak benar.”
Dia menundukkan kepalanya, menutup mulutnya, dan meremas lengan baju mantelnya. Yang terlihat dari syal yang dilonggarkannya adalah gerakan tenggorokan putihnya. Itu terlihat seakan dia sedang berjuang di dalam terpaan angin ini. Ini mungkin merupakan yang pertama kalinya aku pernah melihat Yukinoshita seperti ini.
Yukinoshita terus melihat ke bawah dan dia memaksa kata-katanya keluar.
“Aku hanya selalu bertingkah seakan aku bisa melakukannya… bahwa aku memahami itu semua.”
Persisnya siapa yang sedang dibicarakannya? Apa itu dirinya atau mungkinkah itu diriku? Tidak peduli yang mana, mungkin sama saja yang manapun itu. Persisnya siapa dia yang berpikir bahwa dia mengerti segalanya?
Itulah kenapa, aku harus mengatakan sesuatu dan meskipun aku tidak bisa menyusun pemikiranku, aku tetap harus berbicara.
“Hei, Yukinoshita…”
Aku mencoba untuk mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa meneruskan kata-kataku lebih jauh lagi. Yukinoshita segera mengangkat wajahnya dan menyelaku dengan suara kalem biasanya.
“Kenapa tidak kamu berhenti dari klub untuk sementara? Jika kamu sedang bersikap pengertian dengan kami, maka itu adalah kekuatiran yang tidak perlu.”
Ekspresinya yang berbicara terus menerus memiliki senyuman tembus pandang lagi. Senyuman itu memiliki kekaleman yang mirip dengan boneka porselen bisque halus yang terpajang di dalam sebuah peti kaca.
“Itu sama sekali tidak seperti aku sedang bersikap pengertian.”
Aku tahu kata-kata itu bukanlah kata-kata yang seharusnya kukatakan. Meskipun begitu, jika aku terdiam di sini, maka aku mengerti bahwa bahkan ruangan kosong itu akan hilang.
Namun, suatu kesalahan tetaplah sebuah kesalahan. Tidak peduli bagaimana kamu mencoba membuatnya menjadi tidak begitu serius, hal itu tidak akan terperbaiki.
Yukinoshita dengan hening menggelengkan kepalanya. Dia membiarkan kantong plastik yang ditaruhnya di bahunya mengendur dan menjadi menurun.
“Kamu telah bersikap pengertian sepanjang waktu… Semenjak saat itu, selalu… Itulah kenapa…”
Selagi aku dengan saksama mendengarkan suara yang menghilangnya, aku menunggu kata-kata yang menyambungnya. Tapi kata-kata tersebut tidak akan keluar sebab Yukinoshita mengatakan sesuatu yang berbeda.
“Tapi kamu tidak perlu memaksakan dirimu lagi. Baginya untuk dihancurkan hanya dengan itu saja cuma bisa berarti bahwa pada akhirnya hal tersebut hanya sebesar itu saja… bukan?”
Di hadapan pertanyaan itu, aku terdiam.
Itu adalah sesuatu yang kupercayai, tapi tidak lagi.
Namun, Yukinoshita mempercayainya. Hal yang berhenti kupercayai selama karya wisata itu.
Aku membuat suatu kebohongan pada waktu itu. Keinginan untuk tidak mau berubah dan mereka tidak ingin berubah diputar balikkan oleh kebohongan tersebut.
Ebina-san, Miura dan akhirnya, Hayama.
Mereka menginginkan suatu kehidupan sehari-hari yang tidak berubah nan penuh kebahagian. Itulah kenapa mereka berbohong sedikit demi sedikit, memperdaya satu sama lain, dan dengan bertindak sejauh itu, hubungan tersebut merupakan hubungan yang ingin mereka lindungi. Untuk dapat memahami sebanyak itu, tidak mungkin aku bisa memungkiri hal tersebut dengan begitu mudahnya.
Kesimpulan yang mereka tarik, pilihan untuk mencoba melindungi apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang tidak dapat kurasa salah.
Aku menggabungkan itu semua ke dalam diriku sendiri dan berakhir memberikan persetujuanku padanya. Aku senang dengan hari-hari tersebut dalam caraku sendiri dan bahkan aku mulai merasa kecewa untuk kehilangan itu semua.
Meskipun aku sepenuhnya sadar bahwa itu semua pada akhirnya akan menghilang.
Itulah kenapa kepercayaanku menjadi terputar-balik dan aku berbohong pada diriku sendiri. Tidak ada sesuatu untuk menggantikan hal yang penting. Sekali kamu kehilangan hal-hal tak tergantikan itu, kamu tidak akan bisa meletakkan tanganmu padanya untuk yang kedua kalinya. maka dari itu, kamu harus melindunginya; itulah bagaimana aku berbohong.
Itu bukan bahwa aku sudah melindungi sesuatu. Aku hanya bergantung kepada perasaan telah melindungi sesuatu.
Barusan tadi, pertanyaan yang Yukinoshita ajukan padaku itu sudah pasti suatu ultimatum.
Tidak ada arti di dalam hal-hal yang hanya dangkal saja. Itu adalah kepercayaan tunggal yang pernah dipegang baik aku maupun dia bersama.
───Apa aku masih memiliki kepercayaan itu?
Aku tidak bisa menjawab. Sebab aku yang sekarang ini, aku sudah sadar akan fakta bahwa mencoba untuk memperbaiki tampilan hubungan di luar itu tidaklah sepenuhnya tak berarti. Sebagai satu dari cara-cara untuk melakukan sesuatu, aku mengerti bahwa itu ada. Itulah kenapa aku tidak bisa memungkirinya.
Tidak mampu untuk mengatakan apapun, Yukinoshita melihat ke arahku dengan mata kesepian. Yukinoshita diam dan kelihatannya sedang menunggui jawabanku. Namun, ketika dia mengerti bahwa itu adalah suatu jawaban tanpa suara, dia membuat helaan keil dan membuat senyuman sekejap.
“Kamu tidak perlu memaksa dirimu untuk datang lagi…”
Suara ucapannya itu teramat baik hati.
Suara sepatu loafer menggema di tangga bata itu. Bahkan di dalam kerumunan ini, aku merasa seperti aku dapat mendengar suara langkah kaki yang semakin menjauh dan menjauh tanpa akhir.
Yukinoshita menghilang ke dalam kerumunan orang-orang. Dia tidak pergi sejauh itu, namun itu terasa bukan main jauhnya.
Selagi aku melihatnya pergi selagi tidak mampu mengatakan apapun, aku duduk di tangga plaza kecil itu.
Ketika aku menyadarinya, ada lagu Natal yang dimainkan di sebuah toko di dekat sini. Di dalam plaza itu terdapat suatu pohon yang diterangi dan didekorasi oleh suatu hiasan berbentuk kado.
Isi kotak kado itu mungkin kosong.
Seakan itu mirip dengan ruang klub tersebut. Meski begitu, aku masih mencoba untuk meraih kotak kosong itu.
Meskipun itu bukanlah sesuatu yang seharusnya kuharapkan.
5-4
Aku sedang linglung. Aku tidak sedang memikirkan hal khusus apapun.
Aku duduk di undakan plaza kecil itu dan melihat sorotan berulang-ulang dari cahaya di pohon itu untuk sejenak.
Selagi aku melakukan itu, tubuhku dibekukan oleh cuaca dingin dan aku akhirnya membuat keputusanku. Aku membuat hembusan nafas putih dan berdiri.
Ketika aku melihat arlojiku, belum banyak waktu berlalu sejak Yukinoshita pergi.
Bagian depan stasiun itu diriuhkan oleh banyak orang yang pulang ke rumah, dan dari orang-orang yang belanja serta murid-murid yang sedang dalam perjalanan pulang mereka dari klub.
Meski begitu, itu terasa anehnya senyap bagiku.
Bahkan setelah bergabung dengan kerumunan dari plaza kecil itu, suara-suara di sekitarku dan lagu-lagu Natal tidak memasuki telingaku. Hanya helaan yang kubuat yang bisa kudengar dengan jelas.
Aku dengan pelan melintasi trotoar. Kakiku tidak mau maju secepat yang kuinginkan yang mungkin karena menghantam pada gelombang orang-orang yang meninggalkan stasiun itu.
Tidak hanya ada orang-orang karena ada juga mobil-mobil melintas yang berhenti di jalan terdekat. Itu semua mungkin mobil-mobil yang sedang menunggu untuk menjemput seseorang dari stasiun atau mobil yang datang dan pergi dari tempat parkiran.
Suatu mobil di dalam kelompok itu membunyikan klaksonnya. Jangan menglakson di tengah-tengah kota seperti itu… aku mengarahkan pandangan jengkel ke arahnya. Ada juga orang-orang lain termasuk diriku yang melihat ke arah itu kelihatannya.
Dan apa yang kulihat adalah suatu mobil sport hitam dengan bamper berbentuk oval yang akan jarang kamu lihat di tempat ini. Mobil itu perlahan melintas ke sampingku dan jendela di sisi kirinya terbuka.
“Hikigaya, apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Wajah di balik jendela itu adalah wajah Hiratsuka-sensei.
“Haa, yah, aku baru saja akan pulang ke rumah sekarang… Sensei juga, apa yang sedang anda lakukan di sini?”
Aku bertemu orang yang tak terduga di tempat yang tak terduga. Ketika aku bertanya, Hiratsuka-sensei tiba-tiba menampilkan suatu senyuman.
“Yah, hanya tinggal kira-kira seminggu lagi sampai acaranya, bukan? Aku pikir aku akan datang melihat kalian, tapi itu sudah selesai pada saat aku sampai ke sana. Aku baru saja berpikir untuk juga pulang ke rumah sampai aku menemukanmu.”
“Anda memiliki mata yang bagus, huh?”
“Ketika kamu terus melakukan konseling murid, murid-murid yang mengenakan seragam mereka di tengah-tengah kota cenderung menarik matamu.”
Hiratsuka-sensei tersenyum dengan suatu aspek mengejek diri sendiri di dalamnya dan dia menunjuk ke arah tempat duduk depan.
“Pas sekali, aku akan mengantarmu pulang.”
“Tidak, tidak perlu.”
“Jangan berlagak. Naiklah. Ada satu mobil yang datang dari belakang.”
Hiratsuka-sensei terus mendesakku. Ketika aku melihatnya, ada satu mobil yang telah mendekat di belakangnya. Tapi sekarang setelah dia mengatakan itu, tidak mungkin aku tidak bisa masuk ke dalam mobilnya.
Aku dengan enggan mencoba untuk masuk ke dalam mobil, tapi hanya ada satu pintu di sisi kiri. Mobil ini pastilah salah satu mobil bertempat duduk dua itu, huh? Aku tidak ada pilihan, selain berjalan mengelilinginya ke sisi kanan. Sebenarnya, mobil ini memiliki setirnya di sebelah kiri, bukan…?
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di tempat duduknya. Aku memasangkan sabuk pengamannya dan ketika aku melihat ke dalam, tempat duduk dan dasborya terbuat dari kulit bagus dan spedometer serta sentuhan akhir di sekelilingnya itu terbuat dari aluminium dengan suatu kilauan metalik di sana. Apa-apaan ini, begitu keren.
“Sensei, apa anda punya mobil seperti ini? Ini kelihatannya berbeda dari mobil yang sewaktu liburan musim panas…”
Ketika dia mengantar kami ke Desa Chiba pada waktu itu, aku ingat itu adalah salah satu mobil minivan biasa…
“Aah, itu mobil sewaan. Mobil tercintaku itu anak ini.”
Selagi dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei dengan gembira menepuk roda setir mobilnya dengan tinjunya. Tampang kemenangannya itu sangat menyerupai seorang pria ganteng. Namun, bagi seorang wanita single untuk memiliki mobil sport bertempat duduk dua yang begitu terlihat mahal, huh…? Bagaimana sebaiknya aku mengatakannya? Baginya untuk menikmati hobi semacam ini membuatku berpikir ini adalah salah satu alasan kenapa dia tidak bisa menikah…
Mobil tercinta Hiratsuka-sensei membuat suara mesin pelan dan mulai melaju.
Ketika aku memberitahunya gambaran kasar dimana rumahku berada, Hiratsuka-sensei mengangguk dan memutar setirnya. Jika dari sini, rute tercepat pastilah dari jalan tol nasional.
Tapi ketika aku melihat ke depan di tempat lampunya menyorot, kami tidak sedang menuju jalan tol itu.
Aku memalingkan pandanganku ke arah tempat duduk pengemudinya berpikir bahwa itu aneh dan Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokok dalam mulutnya selagi dia melihat ke depan dan berkata.
“Apa kamu keberatan jika kita mampir ke suatu tempat?”
“Haa.”
Untuk diberikan tumpangan berarti aku tidak bisa benar-benar mengomplain. Aku tidak tahu ke mana kita akan mampir, tapi selama aku tiba pulang ke rumah pada akhirnya, aku tidak keberatan.
Aku bersandar kembali ke tempat dudukku dan mengistirahatkan daguku pada tanganku di bingkai kacanya. Cahaya jalan raya terlihat dari mobil itu dinodai oleh warna oranye, mungkin karena permulaan sedikit kabut itu.
Pada kakiku terdapat udara hangat yang dengan lembuat meniup keluar. Itu terasa enak pada tubuh dinginku yang menyebabkanku menguap beberapa kali.
Hiratsuka-sensei tidak berkata-kata selagi dia memegangi roda setir di sampingku, tapi daripada itu dia sedang bersenandung dengan suara kecil. Nafas samar dan melodi lembut itu terdengar seperti suatu lagu nina bobo dan aku secara alamiah mulai memejamkan mataku. Karena penyetiran handal mobilnya meski modelnya itu, getaran dari mobilnya terasa seperti sebuah ayunan.
Ini adalah perjalanan malam ke tempat yang tak diketahui.
Selagi aku sudah hampir akan jatuh tertidur, mobilnya perlahan-lahan berhenti.
Ketika aku memandang sekilas, di sana hanya ada suatu jalan yang kosong di malam hari dan apa yang menonjol selain lampu jalan yang memiliki jarak yang sama adalah sorotan cahaya dari mobil yang melintas di jalan seberang.
“Kita sudah di sini.”
Hiratsuka-sensei berkata begitu dan keluar dari mobil. Di mana tepatnya “di sini” itu…? Selagi aku memikirkan itu, aku juga ikut keluar.
Tiba-tiba hidungku diterjang oleh bau lautan. Dan kemudian, setelah melihat cahaya kota baru jauh di depanku, aku menebak-nebak lokasi ini. Di dekat sini ada Teluk Tokyo dan kami sekarang ini sedang berada di atas jembatan yang melayang sampai ke mulut Teluk tersebut. Bagi kami para murid SMA Sobu, ini adalah tempat di mana kami akan menggelar lari maraton pada bulan Februari yang ditandai sebagai suatu checkpoint. Pada pegangan tangan jembatan itu terdapat coret-coretan para pasangan dan aku ingat sekali mencemooh itu.
Ketika kami berjalan keluar ke trotoar, Hiratsuka-sensei melemparkanku sekaleng kopi. Aku hampir menjatuhkannya karena betapa gelapnya itu, tapi aku entah bagaimana berhasil menangkapnya. Kaleng yang kupegang masih hangat.
Hiratsuka-sensei bersandar pada mobilnya dan selagi dia menghembuskan asap rokoknya, dia membuka kaleng kopi itu dengan satu tangan. Penampilannya itu anehnya sesuai dengannya.
“Anda terlihat agak keren.”
“Toh, aku sedang mencoba untuk terlihat keren.”
Aku berkata begitu dengan niat untuk mengejek dia, tapi Hiratsuka-sensei balas menjawab dengan suatu senyuman skeptis. Oh tolonglah, jika kamu membuat tampang semacam itu, aku benar-benar akan berakhir berpikir kamu itu keren.
Terus melihat pada Hiratsuka-sensei itu sedikit memalukan jadi aku berpaling untuk melihat ke arah laut.
Lautan malam itu ditutupi warna hitam. Aku dapat melihat goyangan permukaan airnya berkat lautnya sedikit diterangi. Lautan itu terlihat begitu lembut sampai membuatku berpikir bahwa itu tidak akan terjadi untuk yang kedua kalinya setelah lautan itu telah tenang kembali.
Selagi aku berdiri melihat permukaan airnya terus menerus, Hiratsuka-sensei memanggilku.
“Jadi bagaimana situasinya?”
Apa yang sedang dimaksudkannya? Tidak ada subjek dalam konteks kalimatnya, tapi jika aku berpikir tentang saat sekarang di musim ini, maka aku pikir itu mengenai acara Natalnya.
“Situasinya terlihat lumayan buruk.”
“…Fumu.”
Hiratsuka-sensei berpaling dan menghembuskan asap rokoknya. Dia kemudian memalingkan wajahnya ke arahku.
“Apa yang buruk?”
“Aku benar-benar tidak yakin apa yang mau dikatakan soal itu…”
“Yah, coba bicarakan saja.”
“Haa, kalau begitu…”
Selagi aku berpikir tentang dari mana sebaiknya kumulai, aku membuka mulutnya.
Pertama, titik permasalahan terpenting yang perlu kubicarakan adalah waktunya. Hanya tinggal satu minggu lagi jadi tidak ada cara untuk membalikkan situasinya.
Masalah selanjutnya yang mengikuti yang juga merupakan penyebab utama untuk semua waktu yang terhabiskan itu. Dan itu adalah masalah bagaimana kami menjalankannya. Pada satu sisi, kami ada Tamanawa yang tanpa keberatan apa-apa mendengarkan pendapat orang lain. Di sisi lain, kami ada Isshiki yang mencari pendapat orang. Karena dua orang ini ada di pusatnya, kami memakan banyak sekali waktu.
Untuk memperbaiki situasinya, kami bisa antara melemparkan tugas mereka berdua pada orang lain atau mungkin mengubah pola pikir mereka, tapi itu berdua terlihat lumayan tidak memungkinkan.
Untuk yang pertama, dari awalpun tidak ada orang yang terbiasa dengan posisi tersebut. Mereka yang hanya membantu bersikap segan berpikir mereka sebaiknya tidak pergi memimpin dan mengabaikan sang ketua OSIS. Bahkan anggota OSIS itu sendiri mungkin berpikir mereka sebaiknya tetap di bawah ketua.
Kalau mengenai mengubah pola pikir Isshiki dan Tamanawa, hal tersebut juga sulit.
Jangka waktu mereka berdua menjadi ketua OSIS itu masih cetek. Itulah kenapa kurangnya pengalaman mereka itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Masalahnya adalah sebagai pemimpin, mereka tidak memiliki sebuah visi. Mereka tidak bisa melihat sebuah visi untuk meraih kesuksesan. Tapi, malah, mereka bisa melihat visi dimana mereka gagal. Mereka menjadi ketua dan sekali mereka gagal dengan beban tugas besar untuk bekerja sama dengan sekolah lain dan untuk wilayah itu, habis sudah semuanya. Mereka mungkin takut akan itu.
Ada banyak kejadian dimana kamu akan tersandung di panggung besar. Hanya mereka yang mengatakan bahwa kegagalan merupakan bagian dari pengalaman itu orang luar, karena kegagalan itu tidak mengenakkan bagi orang itu sendiri.
Orang-orang dari zona aman akan mengatakan hal-hal seperti “coba lebih keras lain kali” dan “setiap orang pasti gagal pada suatu saat tertentu”. Mereka akan mengatakan hal-hal seperti itu. Tapi ada saat-saat dimana itu tidak akan ada lain kali karena kegagalan pertama akan terus berlanjut pada kesempatan selanjutnya, mengubahnya juga menjadi suatu kegagalan. Kata-kata “tidak apa-apa untuk gagal” itu benar-benar kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dari kegagalan itu selalu merupakan sesuatu yang tidak berharga bagi orang yang gagal.
Bagi mereka yang memiliki imajinasi yang lumayan besar, mereka akan dengan mudah mengerti bahwa ada hal-hal yang mereka tidak boleh gagal. Kemungkinan bahwa baik Tamanawa dan Isshiki mampu membayangkan itu.
Itulah kenapa mereka mencari pendapat orang serta menggabungkan pendapat itu semua. Semua demi membagi-bagi tanggung jawabnya ketika mereka gagal.
Itu diragukan ada orang yang akan mengatakan “itu salahmu” langsung pada seseorang. Tapi lebih mungkin mereka akan melakukannya di dalam hati mereka untuk menghibur diri mereka sendiri.
Tindakan melaporkan, menghubungi, berunding, berkompromi dan memastikan sesuatu adalah untuk menambah jumlah pihak-pihak yang terlibat, semua itu hanya untuk membagi tanggung jawab milik seseorang. Jika mereka bisa mengubah seluruh kegagalan itu menjadi tanggung jawab semua orang, mereka bisa mengurangi beban di dalam hari mereka satu per satu.
Mereka tidak mampu memikul tanggung jawabnya sendiri yang merupakan sebab kenapa mereka mencoba untuk mendapatkan pendapat orang lain.
Dan itulah alasan kenapa acara ini sedang tersendat sekarang ini. Siapa yang di atas atau siapa yang di bawah yang akan memikul bebannya? Dari awalpun, untuk hal itu tidak diputuskan merupakan suatu kesalahan.
“Yah, sesuatu seperti itu kurasa…”
Aku tidak terlalu percaya diri bahwa aku bisa meletakkan semuanya dengan semestinya ke dalam kata-kata. Tapi aku mengucapkan isi pikiranku dengan panjang lebar.
Hiratsuka-sensei mendengarkan dari awal sampai akhir dengan hening, tapi segera setelah aku selesai, dia membuat ekspresi mendadak yang rumit dan mengangguk.
“…Kamu dapat memahaminya dengan cukup bagus. Kamu itu mengesankan jika mengenai membaca mentalitas seseorang.”
Sama sekali bukan seperti itu. Jika aku berada pada posisi yang sama dengan mereka, begitulah aku akan memikirkannya. Itu hanya asumsi egoisku sendiri. Ketika aku mencoba untuk mengatakan hal tersebut, Hiratsuka-sensei mengacungkan jari telunjuknya dan mengambil kendali. Dia kemudian melihat ke arah mataku dan dengan perlahan berbicara.
“Namun, kamu tidak memahami perasaan mereka.”
Nafasku berhenti. Suaraku, kata-kataku, dan bahkan satu helaanpun tidak mau keluar. itu terasa seakan dia mengenai jantung masalahnya. Aku kemudian menyadari identitas sebenarnya dibalik hal yang aku, hal yang Hikigaya Hachiman coba untuk memahaminya, tapi tidak mampu.
Itu seharusnya adalah sesuatu yang dikatakan padaku dulu sekali. “Kamu perlu lebih memikirkan bagaimana perasaan orang lain. Walaupun kamu memahami semua yang lain, kenapa kamu tidak bisa memahami itu?” Itu terasa seperti aku diberitahu hal itu.
Tidak mampu menjawab, Hiratsuka-sensei berbicara selagi dia menghancurkan rokoknya di asbaknya.
“Mentalitas dan perasaan seseorang itu tidak selalu serupa. Ada kadang kalanya kesimpulan yang kamu tarik itu sepenuhnya tidak rasional dan alasannya itu karena hal tersebut… Itulah kenapa, Yukinoshita, Yuigahama, dan juga kamu, muncul dengan jawaban-jawaban yang salah.”
“…Tidak, mereka berdua tidak ada hubungannya sekarang ini, bukan?”
Aku tercengang oleh dua nama yang tiba-tiba diangkatnya. Sekarang ini, aku benar-benar tidak ingin membicarakan atau memikirkan mereka. Ketika aku berkata begitu, Hiratsuka-sensei melemparkanku tatapan geramnya.
“Dari awal-awal, aku sedang menanyakan tentang mereka berdua.”
Dia berkata begitu dengan nada tidak senang dan menyalakan satu rokok lagi. Memang benar, dia tidak mengatakan sesuatu yang spesifik. Semua yang kulakukan adalah sesukaku mulai mengoceh tentang acara Natal itu.
“Tapi, yah, hal sebenarnya dari keduanya itu pada dasarnya satu hal yang sama. Akar dari masalahnya itu satu… Yaitu hati.”
Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokok. Asap itu berubah menjadi bentuk yang samar dan segera menghilang.
Hati. Perasaan. Pikiran.
Mataku mengejar asap yang menghilang ke dalam udara. Aku merasa aku masih bisa melihat sesuatu jika aku melakukannya.
Namun, itu hanya aku bersikap angkuh. Pada akhirnya, aku sama sekali tidak bisa melihat apa-apa. Aku pikir aku sedang memikirkan perasaan orang lain, tapi aku hanya melihat permukaannya saja. Aku bertindak dengan asumsi dari sebuah kebenaran yang hanya kutebak-tebak. Bagaimana itu bisa ada bedanya dari kepuasan diri sendiri?
Kalau begitu, aku mungkin tidak akan pernah bisa mengerti.
“Tapi… itu benar-benar bukan sesuatu yang bisa kamu mengerti dengan hanya memikirkan mengenainya, bukan?”
Keuntungan, kerugian, resiko, imbalan; jika itu semua adalah hal-hal ini maka aku paham. Aku bisa memahaminya.
Hasrat dan melindungi-diri-sendiri, kebencian dari kecemburuan. Aku bisa menganalisa mentalitas dari tindakan-tindakan yang didasarkan pada perasaan yang berlimpah dan memuakkan itu. Itu karena aku memiliki banyak perasaan jelek itu di dalam diriku. Itulah kenapa hal tersebut sederhana untuk dibayangkan. Jika itu semua hal-hal yang serupa, maka masih ada tempat untuk memahaminya. Aku bisa menjelaskannya menggunakan logika.
Namun, jika tidak ada, maka itu sulit.
Tanpa konsep untung dan rugi, itu sulit untuk membayangkan perasaan manusia yang berjalan di luar ranah logika dan teori. Aku memiliki terlalu sedikit kemampuan untuk meneruskannya dan di atas itu semua, aku telah melakukan terlalu banyak kesalahan sampai sekarang.
Niat baik, pertemanan, atau bahkan cinta; itu semua adalah hal-hal yang sudah kusalah-pahami. Aku yakin bahwa aku masih salah memahami itu semua sekarang selagi aku memikirkan mengenainya.
Suatu pesan akan datang, tubuh kita akan bersentuhan secara tidak sengaja, kami akan tersenyum pada satu sama lain ketika mata kami bertemu di kelas, suatu rumor bahwa seseorang menyukaiku menyebar liar, kami akan banyak berbicara walaupun tempat duduk kami yang di samping satu sama lain hanya merupakan suatu kebetulan, kami akan selalu pulang ke rumah pada waktu yang sama; selama itu, aku keliru.
Bahkan… Bahkan dalam sedikit peluang bahwa aku benar mengenai itu semua.
Aku tidak memiliki kepercayaan diri bahwa aku bisa terus mempercayai itu. Aku bisa mengesampingkan semua faktor-faktor penilaian yang sesuai dan mengajukan setiap rintangan yang mungkin ada, tapi meskipun begitu, pemikiran semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa kusebut asli.
Jika itu adalah sesuatu yang terus menerus berubah-ubah, maka jawaban yang benar tidak ada di sana. Aku pikir kamu pasti tidak akan mampu mengemukakan suatu jawaban.
Hiratsuka-sensei mendengarkan kata-kataku dan membuat senyuman samar lalu setelah itu, dia berfokus pada diriku dengan tampang keras.
“Tidak paham? Kalau begitu pikir lagi. Jika kamu hanya bisa berpikir dengan memperhitungkannya, maka terus lakukan itu sampai kamu tidak bisa lagi. Pikirkan semua jawaban yang kamu dapat dan hancurkan mereka satu per satu dengan proses eliminasi. Apapun yang tersisa adalah jawabanmu.”
Tampangnya dipenuhi dengan emosi. Tapi apa yang sedang dikatakannya itu tidak rasional. Tidak, itu bahkan tidak ada logika di dalamnya.
Bagi seseorang yang hanya bisa membuat dugaan lewat akal pikiran dan perhitungan, maka dia hanya harus memahami semua itu sampai dia tidak bisa melakukannya lagi. Dia sedang mengatakan untuk menyingkirkan semua kemungkinan yang ada satu per satu melalui proses eliminasi.
Persisnya sebetapa tidak efisien dan tidak bergunanya itu? Ditambah lagi, tidak ada bukti bahwa akan ada jawaban. Aku merasa baik syok dan kaget sampai aku tidak bisa memunculkan kata-kata apapun.
“…Meski begitu, akan ada hal yang hanya tidak bisa kamu pahami, bukan?”
“Kalau begitu itu berarti perhitunganmu salah atau kamu melewatkan sesuatu. Aku rasa itu berarti kamu harus mengubah caramu memperhitungkan sesuatu.”
Hiratsuka-sensei melempar suatu lelucon ke dalamnya dan berbicara dengan acuh tak acuh. Karena dia mengatakan sesuattu yang begitu jelas sekali sampai aku secara refleks membuat tawa kering.
“Anda begitu konyol…”
“Tolol. Jika kamu bisa menghitung perasaan, maka kita sudah akan berada dalam era digital sekarang… Jawaban yang tersisa yang tidak dapat kamu hitung adalah apa yang mereka sebut perasaan manusia.”
Nada yang dipakainya untuk mengucapkan kata-kata itu kasar, tapi baik hati.
Seperti yang dikatakan Hiratsuka-sensei, aku rasa ada hal yang tidak bisa dihitung. Bahkan jika kamu mencobanya, ada hal seperti angka pi atau desimal berulang tak terhingga yang muncul.
Namun, itu bukanlah sesuatu yang kamu pakai untuk membung pemikiranmu. Persis karena kamu tidak memiliki jawabanlah sehingga kamu terus berpikir. Itu jauh dari ketenangan, sebab itu lebih mirip dengan penyiksaan.
Hanya membayangkannya membuat hawa dingin menjalari sumsumku. Tanpa kusadari, aku sedang merapikan kerah mantelku. Ketika aku melakukannya, Hiratsuka-sensei tergelak selagi dia melihat ke arahku.
“Yah, aku juga cukup keliru sedikit dengan perhitunganku, jadi mungkin itulah kenapa aku tidak bisa menikah, huh… Baru saja kemarin, temanku mengadakan upacara pernikahan…”
Selagi dia mengatakan itu, Hiratsuka sensei membuat suatu senyuman menyiksa-diri di suatu tempat. Jika itu seperti biasanya, maka inilah saatnya aku akan mengejeknya dengan mengatakan sesuatu yang asal.
Tapi aku tidak merasa ingin melakukan itu hari ini.
“Tidak, hanya pasanganmu itu tidak punya mata yang bagus.”
“Heh…? A-Ada apa denganmu tiba-tiba?”
Hiratsuka-sensei terlihat kaget dan selagi dia bergugam dengan malu-malu, dia berpaling.
Tapi itu tidak seperti aku sedang memujinya. Jika aku terlahir sepuluh tahun lebih awal dan bertemu dengannya sepuluh tahun lebih awal, maka aku rasa aku akan jatuh cinta padanya dari lubuk hatiku. Walaupun benar-benar tidak ada artinya di dalam pengandaian semacam itu.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum karena pikiranku sudah menggila. Hiratsuka-sensei juga tertawa geli. Setelah sejangka waktu tertawa, dia menggosongkan tenggorokannya.
“Y-yah, baiklah. Kamu bisa bilang ini rasa terima kasihku, tapii… Aku akan memberimu petunjuk khusus.”
Setelah mengatakan itu, dia berpaling padaku dengan ekspresi tulus tidak seperti ekspresi tersenyumnya tadi. Sebagai respon terhadap nada meyakinkannya itu, aku meluruskan punggungku dan menghadap Hiratsuka-sensei. ketika aku melemparkan pandangan padanya menandakan aku sudah siap untuk mendengarnya, Hiratsuka-sensei dengan perlahan-lahan berkata.
“Itu adalah untuk tidak salah memahami poin-poin yang seharusnya kamu pikirkan.”
“Haa…”
Begitulah yang dikatakannya, tapi itu tidak terlihat ada hubungannya. Itu terlalu abstrak sampai itu lebih terasa seperti tidak ada petunjuk. Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya sambil merenung ketika dia melihat ke wajahku yang kelihatannya tidak mengerti.
“Aku rasa… Contohnya, mari kita pikir tentang alasan kenapa kamu membantu Isshiki, tidak sebagai Klub Servis, tapi sebagai dirimu sendiri. Apa ini untuk Klub Servis, atau apa itu untuk Yukinoshita?”
Di dalam contoh mendadak itu, nama mendadak yang diangkatnya mengagetkanku. Secara refleks, aku menghadap Hiratsuka-sensei dan dia membuat senyuman getir.
“Kamu akan paham kalau kamu melihatnya saja. Setelah kasus dengan Isshiki, suatu laporan datang dari Yukinoshita… Dia tidak mengatakan apapun mengenai dirinya, tapi menilai dari bagaimana keadaanya, aku hanya merasa itu suatu kemungkinannya. Apa itu sama juga bagimu?”
“Aah, tidak, Aku heran akan itu…”
Aku melemparkan beberapa kata selagi aku mencari-cari kata yang seharusnya kukatakan, tapi Hiratsuka-sensei tidak menunggu dan meneruskan.
“Kalau kamu memegang pemikiran yang sama, maka kamu akan sampai pada suatu jawaban untuk menjaga jarakmu dari mereka supaya tidak melukai mereka… mungkin. Namun, itu hanya suatu contoh.”
“…Yah, aku rasa begitu. Itu hanya suatu contoh.”
Itu hanya suatu contoh. Aku diberitahu itu dan aku menjawab dengan itu. Itu hanyalah suatu studi kasus dan hal-hal yang dikatakan Hiratsuka-sensei bukan kebenarannya untuk bagaimana keadaanku sekarang ini.
Hiratsuka-sensei kemudian mengangguk padaku untuk membenarkannya.
“Tapi bukan itu apa yang seharusnya kamu pikirkan. Dalam kasus ini, apa yang seharusnya kamu pikirkan adalah tentang kenapa kamu tidak ingin melukai siapapun. Dan jawabannya seharusnya segera sampai padamu. ───Itu karena mereka berharga bagimu sehingga kamu tidak ingin melukai mereka.”
Selagi dia melihat ke arah mataku, hiratsuka-sensei menambahkan kata-kata terakhir itu. Itu seakan dia tidak akan mengizinkanku membuat suatu bantahan, jangankan memalingkan mataku.
Wajah Hiratsuka-sensei yang diterangi oleh cahaya oranye dari lampu jalan dan sorotan lampu mobil itu terlihat kesepian entah di mana. Kemudian, dia berbisik dengan suara yang halus dan berhati hangat.
“Tapi kamu harus paham, Hikigaya. Mencoba untuk tidak melukai orang lain itu adalah sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan. Manusia adalah makhluk yang hanya dengan hidup saja bisa melukai orang lain bahkan jika mereka tidak sadar akan itu. Entahkah kamu hidup ataupun mati, kamu akan selalu melukai seseorang. Sekali kamu terlibat, kamu akan melukai seseorang, dan bahkan dengan tidak terlibat dengannya, kamu juga akan melukai orang lain…”
Setelah mengatakan itu, Hiratsuka-sensei mengeluarkan satu rokok lagi. Dia menatap pada rokok itu dan dia meneruskan lebih jauh lagi.
“Namun, jika dia seseorang yang tidak kamu peduli, maka itu tidak akan menganggumu. Apa yang diperlukan adalah kesadaran. Itu karena kamu peduli sehingga kamu akan merasa seakan kamu telah melukai seseorang.”
Setelah dia selesai, dia akhirnya meletakkan rokok itu ke dalam mulutnya. Suara snap dari batu korek yang menggesek satu sama lain datang dari pemantik itu dan pemantik itu dengan samar menerangi wajah Hiratsuka-sensei. Matanya terpejam seakan dia sedang tertidur dan itu adalah ekspresi yang sangat lembut. Dia kemudian membuat hembusan besar bersama degan asap rokoknya dan menambahkan.
“Untuk menyayangi seseorang berarti memiliki ketetapan hati untuk melukai mereka.”
Apa yang sedang dilihatnya adalah langit.
Aku melihat ke arah yang sama dengannya, ingin tahu apa yang sedang dipikirkannya pada saat ini. Apa yang ada di sana adalah sekilas sedikit cahaya bulan yang bersinar menembus celah dari awan yang mulai menghilang pada suatu waktu tertentu.
“Sejauh itu saja yang akan kuberi padamu sebagai petunjuk.”
Mengatakan itu, Hiratsuka-sensei berpindah dari mobil yang sedang disandarinya dan menunjukkanku senyuman menyeringai. Dia kemudian merenggangkan diri.
“Itu karena kedua belah pihak memikirkan satu sama lain sehingga ada hal yang tidak bisa mereka dapatkan. Namun, itu bukanlah sesuatu yang perlu disedihkan. Itu bahkan mungkin sesuatu yang patut dibanggakan.”
Itu sangat indah. Tapi hanya itu saja yang ada dari hal tersebut. Untuk memikirkan tentangnya namun tidak dapat memperolehnya, baginya untuk berada di depan dirimu tapi tanganmu tidak bisa meraihnya, itu sudah pasti menyakitkan. Kalau begitu kamu mungin bisa saja cukup berhenti memikirkannya dan berhenti melihatnya.
Selagi aku memikirkan itu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“…Bukankah itu benar-benar sulit?”
“Uh huh. Itu sulit.”
Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei berjalan selangkah lebih dekat dan bersandar pada mobilnya lagi.
“…Tapi itu mungkin. Toh, begitulah itu bagiku.”
Hiratsuka-sensei berkata begitu dengan sebuah seringai, sebuah senyuman yang terlihat entah kenapa penuh tekad. Itu tidak seperti dia mau membicarakannya, tapi kelihatannya banyak yang terjadi di masa lalu. Aku tidak yakin apa itu tidak asalah untuk menanyainya tentang itu. Apakah dia akan membicarakannya suatu hari jika aku menjadi sedikit lebih mirip orang dewasa? Menyadari betapa aku mengharapkan itu, aku secara refleks memalingkan wajahku diiringi oleh beberapa kata-kata yang kasar.
“Anda sedikit angkuh untuk berpikir orang lain bisa melakukannya hanya karena anda bisa melakukannya, anda tahu.”
“…Sungguh anak yang tidak imut.”
Ketika dia berkata begitu dengan jengkel, dia menggosok kepalaku dengan gaya cakar besi. Aku bisa merasakan rasa sakit pada tengkorakku dan selagi aku melawan, kekuatan itu tiba-tiba menghilang. Namun, tangannya masih di atas kepalaku.
“…Aku rasa aku akan jujur denganmu.”
Nada suaranya lebih dalam dari nada yang dipakainya tadi untuk berbicara. Karena kepalaku ditahan di tempat, aku hanya bisa menggerakkan mataku untuk melihat pada Hiratsuka-sensei dan dia membuat senyuman yang sedikit sedih.
“Sebenarnya, mungkin itu tidak harus kamu. Pada suatu waktu di masa depan, Yukinoshita mungkin berubah. Suatu hari, seseorang yang bisa memahaminya mungkin akan muncul. Di sana mungkin ada seseorang yang mau berjalan ke sisinya. Hal yang sama juga bisa dikatakan untuk Yuigahama.”
Persisnya kapan itu akan terjadi? Karena itu kelihatannya begitu jauh di masa depan sampai itu tidak terasa nyata, tapi itu juga terasa nyata pada waktu yang sama karena itu terlihat begitu baru-baru ini saja.
“Aku yakin bagi kalian, kalian merasa bahwa waktu kalian sekarang itu adalah segalanya. Tapi itu sudah pasti bukan begitu adanya. Pada akhirnya, itu semua akan masuk akal entah di mana. Persisnya begitu dunia ini dibuat.
Kata-kata itu mungkin benar. Suatu hari, entah di mana, seseorang pasti akan melangkahi garis tersebut. Ketika aku berpikir tentang kebenaran yang goyah itu, aku mengingat kembali sedikit kepedihan di dalam diriku dan aku menggerakkan tubuhku untuk menghilangkannya.
Pada suatu waktu, tangan di kepalaku sudah meghilang dan sekarang berada pada bahuku. Suara Hiratsuka sensei terdengar lebih dekat dari yang sebelumnya.
“…Hanya saja aku rasa bahwa itu akan bagus jika orang itu adalah kamu. Aku mengharapkan kamu dan Yuigahama untuk melangkahi batas tersebut untuk Yukinoshita.”
“…Tidak, bahkan jika anda mengatakan sesuatu seperti itu, itu.”
Persis saat aku mencoba untuk menjawab, Hiratsuka-sensei dengan lembut merangkul bahuku. Kehangatan samar dari jarak kami yang mendekat membuatku kehilangan kata-kataku. Mematung kaku karena gerakan tiba-tiba tersebut, Hiratsuka-sensei melihat pada wajahku selagi dia berkata.
“Jangka waktu ini sekarang bukanlah segalanya… Tapi ada hal-hal yang hanya bisa kamu lakukan sekarang, hal-hal yang hanya ada di sini. Sekaranglah saatnya, Hikigaya… sekaranglah saatnya.”
Aku tidak bisa memalingkan mataku dari mata berair-airnya. Sekarang ini, aku tidak memiliki jawaban yang bisa menjawab hanya pada tatapan tulus itu. Itulah kenapa aku berdiri di sana, tidak mampu menjawab.
Tangan Hiratsuka-sensei yang memegangi bahuku memiliki lebih banyak tenaga di dalamnya.
“Memikirkannya, Memperjuangkannya, Tersandung karenanya, dan Menguatirkannya. ───Tanpa itu semua, hal tersebut tidaklah asli.”
Ketika dia berkata begitu, Hiratsuka-sensei segera melepaskanku. Dan kemudian dia membuat senyuman keren dan menyegarkan biasanya itu menandakan bahwa ceramahnya sudah usai. Dengan itu, kekakuan itu akhirnya hilang dari dalam tubuhku.
Hujanan kata-kata itu menghantamku dan yang tersarang di dalam dadaku ada banyak, banyak suara. Namun, aku tidak mau mengeluarakan itu semua. Ini mungkin sesuatu yang harus kupikirkan sendiri, memilahnya, dan kemudian menelannya.
Itulah kenapa aku akan mengatakan sesuatu yang berbeda dan yang menggantikan kata-kata terima kasih, adalah kata-kata yang kasar.
“…Tapi karena kamu menderita karenanya, kamu tidak bisa benar-benar menyebutnya asli.”
“Kamu benar-benar tidak imut sama sekali.”
Hiratsuka-sensei tertawa geli dan memukul kepalaku dari belakang.
“…Sekarang kalau begitu, mari kita pulang. Naiklah.”
Setelah mengatakan itu, Hiratsuka-sensei duduk di tempat duduk pengemudi. Aku menjawab dengan sepatah “roger” dan kemudian berjalan mengelilinginya ke tempat duduk depan.
Di tengah perjalananku, aku segera melihat ke atas langit.
Bulan yang seharusnya sudah muncul keluar pada awan yang pergi sudah tersembunyi lagi. Lautan malam itu tidak melihat satu penerangan pun dan angin membekukan yang menusuk pipiku itu dingin
Meski begitu, mengejutkannya, itu tidak terasa sedingin yang seharusnya sebab suatu perasaan kehangatan masih tertinggal di dalam tubuhku.
Mundur ke Bab 4 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 6 |
Catatan Translasi
<references>