Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab3
Bab 3 Hari libur Tristania
Bagian 1
Lonceng Kuil Saint Rémy berdentang menandakan jam 11 tiba.
Saito tengah berlari menuju plaza pusat di jalan De Chicton.
Alasa dia lari adalah...,itu karena dia terlambat untuk sebuah kencan. Dia menyikut menyibak melalui massa untuk berjalan, dan hampir saja tak sampai tepat waktu di plaza pusat, dimana disana dia melihat orang yang menungguinya tengah merajuk.
"H-hei."
Melihat Saito, Louise, yang tengah duduk di pancuran, menggembungkan pipinya.
"Ada apa denganmu?! Kau telat!"
"Tidak...aku dicegat scarron saat hendak berangkat."
"Abaikan saja dia."
"Tak bisa, dia majikanku saat ini..."
Sambil menekan, Louise menarik Saito. aah, seharusnya aku menyelamatkan diri dan tak datang ke kencan ini bila dia marah-marah seperti ini.
Louise berdandan untuk kesempatan ini. dia malu-malu, karena meski dia terlihat cantik, pakaiannya tetap tak pantas bagi seorang ningrat...Dia berpakaian dalam trend terkini, yang terkenal diantara gadis-gadis kota __beret hitam dan baju hitam dengan garis leher yang tegas. Kalung yang diberikan Saito tergantung di lehernya. Dia nemar-benar terlihat seperti gadis kota dalam pakaian ini. Sebagaimana kita duga dari gadis dalam masa puber, sulit bagi Louise untuk mendapatkan baju yang cocok di kota.
Aaah, dia benar-benar memikat bila diam. Dengan lengan terlipat dan dagu terangkat, sang gadis memandangi jalan penuh fokus. Rambur pink blondenya berkilau lemah dibawah cahaya sang surya. Mata hazel besarnya merupakan tanda nyata bahwa dia dari dunia lain. Aah, Tuan tercintanya terlihat sangat manis sekarang, tengah menggerak-gerakkan kakinya tanda tak sabar.
"Hai, ayo pergi! Biar sampai sebelum acara dimulai." kata Louise yang tetap terdengar sedikit malu-malu.
Saito mengangguk dan terus berjalan namun Louise tetap berdiri di tempatnya.
"Ada apa sih?"
"Muu! Dampingi aku dengan benar dong!"
"Mendampingi?"
"Benar. Hei!"
Louise langsung menarik lengan Saito.
"Kuh?" Dia terlihat kaget dengan terangkainya lengan.
Berpegangan Tangan! Hal ini membuat Saito bertingkah aneh. Walau Louise biasa menggunakan tangannya sebagai bantalan tidur akhir-akhir ini, dia tetap tak terbiasa berjalan sambil berpegangan tangan di tengah-tengah kota. Saito merasa tegang. Lalu Louise menginjak kakinya.
"A-Apa?!"
"Kau harus memimpin jalan selama Hari Void kita. Mengapa kau tak mengatakan sesuatupun? Uuuuh!" Louise mengamuk.
"Ka-karena ini hari Void kita, bagaimana kalau kita ke te-teater?"
Louise menggelengkan kepala sambil mendesah lalu menarik lengan saito dan menyeretnya.
"Muu! Pendamping payah! Lewat sini!"
Dan begitulah yang terjadi, berjalan dengan cara dimana tak jelas siapa memimpin siapa, pasangan ini menyusuri jalan-jalan Tristain, di bawah terik sinar matahari musim panas.
Lalu, mengapa mereka ingin menonton pertunjukan?
Hari ini adalah Hari Rag dan penginapan Tutup. Louise mengatakan dia ingin pergi menonton pertunjukan pagi-pagi sekali saat tengah sarapan (meski sebenarnya ini makan malam, karena mereka tidur telat malam kemarin) dengan Saito di loteng.
"Pertunjukan?"
"Ya benar." gumam Louise yang entah kenapa mali.
"Kau suka hal-hal semacam pertunjukan?"
"Aku tak suka, tapi aku ingin melihat salah satu."
"Menontonnya?."
"Louise mengangguk. Bila dipikir baik-baik, Louise tumbuh di lingkungan yang berbeda. Louise dididik keras di rumah sehinggadia mungkin tak pernah ke teater kota.
Saito tiba-tiba merasa kasihan pada Louise saat memikirkan ini.
"Baiklah, tapi mengapa sekarang?"
"Jessica bilang hari ini ada pertunjukan yang sangat terkenal dipentaskan."
Louise tetap seorang gadis, yang tertarik hal-hal yang tengah ngetrend, sama seperti yang lain
Dan.
Louise bersikeras hal itu harus dilakukan dengan kencan untuk alasan tertentu.
"Rasanya tak benar hanya pergi kesana. Rasa itu penting! Karenanya ayo ketemuan!"
"Ketemuan?"
"Mau kan? Ketemuannya di air mancur di plaza pusat."
"Repot."
"Tentu tidak. makanya, ayo ke Teater Tanaijiiru Royal."
“Fuu~n.”
Jadilah mereka ketemuan.
Teater Royal Tanaijiiru benar-benar megah, sebuah teater agung dari pahatan nan indah. Kolom-kolom yang berbaris membuatnya bagaikan kuil.
Para lelaki dan wanita yang berpakaian indah berkumpul di sana.
Saito juga mengikuti mereka.
Setelah membeli tiket yang ternyata murah (mengejutkan!!!) dari loket, saito menuju kursi penonton. Sebuah tirai tebal diturunkan di panggung, membuat keadaan sekitar merinding...Saito memang bergairah oleh suasana yang misterius ini.
Kursi-kursi ditandai angka-angka yang juga tertulis pada tiket, menunjukkan dimana orang seharusnya duduk, namun karena saking bersemangatnya, Saito duduk di kursi yang berbeda tanpa menyadarinya.
saat dia dan Louise menunggu pertunjukan dimulai, seorang ningrat tampan berusia pertengahan dengan rambut perak nan indah menepuk pundaknya.
“Hai kawan.”
“Y-ya?”
“Ini kursi yang kupesan sejak lama. Bukankah kursimu beda?”
Dengan itu, nomor kursi dicocokkan. Memang sebagaimana yang dikatakan orang tadi. Dengan agak enggan, Saito, sambil dibujuk Louise, berdiri.
“Muu! Kau memalukan!” keluh Louise sambil menggelengkan kepala. Sambil mencari kursinya, saito menanyai Louise.
“Eh, pertunjukannya apa ya tadi?”
“ ...hari libur Tristania.”
“Gimana alurnya?”
“Putri sebuah negri dan pangeran negeri lain datang ke Tristania secara diam-diam. Psangan ini saling bertemu sambil menyembunyikan identitas mereka, namun begitu mereka jatuh cinta...mereka menyingkap identitas masing-masing dan berpisah. Sebuah kisah sedih.”
Cerita semacam itu sangat terkenal bagi gadis-gadis remaja. Dan memang teater disesaki gadis-gadis remaja.
Setelah dia bersusah payah menemukan kursinya, tirai terangkat. Pertunjukan dimulai. Musik dimainkan dan...terdengar indah dalam teater.
“Luar biasa.”
Louise menonton panggung dengan perhatian penuh.
Saito, yang menonton pertunjukan Helkeginia untuk pertamakalinya, awalnya memperhatikan penuh perhatian juga, Namun...dia segera bosan.
Skenarionya tak buruk – pikirnya. Tapi para pemainnya tak ahli. Meski Saito tak terlalu tertarik pada pertunjukan, dia pernah menonton berbagai movie di bumi dan beberapa pertunjukan sekolah.
Dibandingkan dengan itu...orang-orang ini pemain kelas teri. Terkadang suara mereka fals dan adegan menyanyi dilakukan dengan tak bernada. Apa ini benar-benar opera raya?
Namun Louise tetap tersentuh secara mendalam olehnya, sampai tertawa ‘ha!’ dan mendesah lemah. waa, seharusnya aku menikmati pertunjukan seperti mereka, pikir Saito.
Namun...pertunjukan tak menunjukkan kemajuan. Dia menerawangi, memperhatikan para penonton sekelilingnya dan menguap. Tampaknya ada beberapa wajah terkenal disana. Akan tetapi, hanya gadis-gadis remaja menonton para pemain dengan penuh fokus. Sepertinya ada hal-hal yang tak berubah meski dunianya berbeda.
Saito mulai mengantuk saat pertunjukan
Karena tak mampu lagi menahannya, dia mulai mendengkur perlahan.
Louise melemparkan pandangan marah pada Saito yang tertidur,
A-Apa?! Dia ini...meski ini pertunjukan istimewa! Sia-sia Aku mengundangnya!
Ini adalah sebuah kencan bagi Louise. Seharusnya ini kencan pertama yang akan terus terkenang. Makanya dia begitu ribut soal-hal-hal kecil seperti cara bertemu dsb, tapi si familiar ini tak menyadarinya.
Terlebih lagi, dia tak membimbingku!
Dia tak tahu diaman teaternya!
Aku yang harusmembeli tiket!
Lebih jauh lagi, dia salah kursi, itu sangat memalukan!
Lalu...dia tertidur!
Meski dia memilih Saito sebagai teman kencan pertamanya yang telah begitu lama dinanti, familiar ini malas-malasan saat menjadi teman kencan tuannya!
Dan Saito memilih untuk acuh tak acuh! Tak Ter-Am-Pu-Ni! Louise menahan perasaan yang ingin ditumpahkannya dan menatap tajam Saito, yang telah memulai perjalanannya ke alam mimpi.
tapi..pertunjukannya sangat lama...dan Louise juga makin lelah seiring waktu. Lalu kantuk menguasanya dan dia perlahan menutup matanya.
Memang tak mungkin menahannya...dan dia menyenderkan kepalanya pada bahu saito...dia mulai menonton pertunjukan lain di alam mimpi...Louise mulai mendayung sebuah perahu.
Ada pengunjung lain yang juga tak menonton. Dia adalah bangsawan umur pertengahan yang kursinya diambil Saito secara salah tadi. Dia duduk di sebelahs eorang pedagang dan tengah mengadakan pembicaraan rahasia dengannya.
Isi pembicaran ini...adalah hal-hal yang mereka dengar dari Jenderal-jenderal Tristain. Rahasia militer Tristain yang sangat tertutup adalah objek gosip ini.
“Pembangunan armada?” tanya sang pedagang.
“Paling tidak makan waktu setengah tahun.” jawab sang bangsawan.
Ada lebih banyak bisikan selama pembicaraan...sebagai imbalan informasi rahasia terkait kerajaan. si pedagang memberikan sebuah kantong kecil pada si bangsawan.
Si pedagang berbisik, “Tapi...mengapa kita bertemu di teater?”
“Apa? Untuk mengadakan pembicaraan rahasia di keramaian. Sudah biasa bila kita membisikkan sebuah cerita disini. Karenanya- sebuah teater. Jika kau melakukannya di sebuah ruangan sempit, orang-orang akan curiga kau merencanakan suatu makar.”
“Haha. Saya yakin Yang Mulia akan sangat tertarik pada informasi Tuah. Dia bahkan mungkin memberimu sebuah medali jika kau datang ke atas awan.”
“Orang Albion ini berhati dingin.”
“Apa? Seluruh daratan ini akan dipanggil dengan nama itu, cepat atau lambat. Terima kasih untuk kerjasamanya.”
Setelah mengatakan ini, si pedagang mencoba berdiri. Sang Bangsawan menghentikannya.
“Apa lagi?”
“Mengapa kau tak berlaku lebih tenang? Tunggu hingga menit terakhir pertunjukan.”
Lantai batu Istana Kerajaan Tristain menggemakan suara derap sepatu begitu seorang ksatria wanita muda berjalan. Rambutnya blonde pendek dan matanya biru cerah. Sebuah baju rantai pelindung dengan bagian lapisan logam melingkari tubuhnya, sebagai tambahan dari jubah dengan mantel lili bersenjata yang dilukis pada jubah tersebut.
Namun tiada tongkat di pinggangnya...yang ada malah sebuah pedang yang panjang dan tipis. datang dan pergi, para penjaga yang merupakan bangsawan dan penyihir terhenti dan menatapnya heran, karena tak biasa melihat pedang di Istana Kerajaan.
Para penyihir yang melihat pedang di pinggangnya dan mal rantai yang dia pakai mulai berbisik sesama mereka.
“Hah! Wanita jelata!”
“Dia pasti mendapatkan izin luar biasa untuk berjalan di Istana dengan pakaian seperti itu, oh...zaman sudah berubah!”
“Apalagi wanita ini Protestan! Memberikan gelar Chevalier pada serangga yang sangat berbahaya...aku malu sekali pada paduka muda kita!”
Meski tatapan dan suara-suara tak enak menggema, wanita muda itu terus berjalan lurus, tanpa memandang mereka sedikitpun. Di akhir lorong...dia menuju kantor Henrietta. Dia diberhentikan oleh seorang anggota penyihir penjaga di pintu yang menyandang sabit kerajaan di dadanya, yang tak memperbolehkannya mengunjungi Paduka.
“Paduka tengah berada dalam sebuah konferensi saat ini. Datang lagi nanti.”
Penyihir penjaga mengatakannya dengan dingin, sama sekali tak berusaha menyembunyikan ketaksukaannya pada ksatria wanita tersebut.
“Mohon bilang padanya bahwa Agnes datang. Aku diizinkan mengunjungi Paduka setiap saat.”
Sang Penjaga menatapnya tajam lalu membuka pintu dan menghilang kedalam ruangan. Setelah itu, dia datang kembali dan mengizinkan Agnes masuk ruangan.
Begitu Agnes memasuki ruangan, Henrietta tengah berdiskusi dengan Richmon dari Pengadilan Tinggi. Apa itu Pengadilan Tinggi? Pengadilan tinggi merupakan Badan yang mengatur administrasi keadilan kerajaan. Kapanpun kelas yang diistimewakan tak setuju...Keputusan menyela masuk. Mereka memeriksa sastra, opera atau pertunjukan dalam teater, atau membimbing pasar rakyat jelata dan seringkali menangani konflik didalam administrasi pemerintahan monarki provinsi.
Henrietta yang menyadari kehadiran Agnes, tersenyum sampai ke ujung bibir, dan mengatakan pada Richmon agar diskusi ditunda.
“Tapi Paduka...Menaikkan pajak lagi akan membuat ketidakpuasan diantara rakyat jelata membesar. Ini akan menciptakan kekacauan, Negara lain mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk menekan kita.”
“Ini darurat. Meski rakyat kita kekurangan...” “Pembangunan 50 kapal perang! 20.000 tentara bayaran! Mempersenjatai 15.000 tentara ningrat! Ransum untuk petugas, orang dan kekuatan sekutu! darimana kau bisa dapat uang sebegitu banyak? Membangun sebuah tentara penyerbu dst...Mohon dilupakan saja.”
“Kini, Prioritas nasional Tristain adalah Penggulingan Albion.”
“Tapi Paduka, meski mantan raja-mantan raja dari Halkeginia bersatu dan menyerang Albion berulang kali...mereka selalu dikalahkan. Pergi berperang menyebrangi langit memiliki lebih banyak kesulitan daripada yang terbayangkan.” ucap Richmon, dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan “tak mungkin”.
“Aku tahu. namun, aku juga tahu bahwa Menteri keuangan melaporkan bahwa “Pengadaan biaya perang ini tak mustahil.”. Apa kau tak puas kau takkan bisa menikmati kemewahanmu yang sekarang? Aku ingin tahu, seberapa banyak sih yang kau tabung sejak kau mulai bekerja?” kata Henrietta secara sarkastik, sambil memandang pakaian indah yang dikenakan Richmon.
“Aku sendiri melarang ksatria penjaga kerajaan untuk mengenakan rantai perak yang menghiasi cane sebagai contoh bagi yang lain. Kita sekarang bersatu Richmon. Tiada lagi ningrat, jelata atau anggota keluarga kerajaan.”
Henrietta menatap tegas pada Richmon. Richmon menundukkan kepalanya.
“Kau dapat aku dengan ini. Aku tahu Paduka. Namun, Dewan Pengadilan Tinggi terdiri dari banyak orang dan tak mungkin mereka serempak setuju dengan perang ini. Aku ingin kau menyadarinya sebagai sebuah kenyataan.”
“Kita akan mencapai kesepakatan, dengan usaha dari kardinal dan saya sendiri. Saya percaya kita dapat membujuk dewan.”
Richmon memandangi Henrietta yang mengucapkan ini dengan mata nan tajam.
“..Ada yang salah?”
“Tidak..Aku hanya mengagumi.”
“Mengagumi?”
“Itu benar. Richmon ini telah melayani Philip si hebat selama 10 tahun, 30 tahun lalu. Saat kau lahir, aku tahu lebih banyak mengenai Yang Mulaia dibandingkan Yang Mulia sendiri.”
“Oh, itu.”