Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab1

From Baka-Tsuki
Revision as of 13:07, 29 December 2011 by Altux (talk | contribs) (Created page with "Bab 1: Pulang ‘Berpergian sungguh membuatku bersemangat!” Teriak Siesta sambil menekan dada raksasanya pada lengan Saito. Daripada “bersemangat”, rasanya lebih tepat k...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 1: Pulang

‘Berpergian sungguh membuatku bersemangat!”

Teriak Siesta sambil menekan dada raksasanya pada lengan Saito.

Daripada “bersemangat”, rasanya lebih tepat kalau dibilang “menyentuh.”

Dengan wajah yang terbata-bata, Saito mengangguk pendek.

Didalam kereta, ada Saito dan Siesta yang duduk saling bersebelahan.

Siesta memakai baju terusan berwarna hijau gelap dengan boot tinggi. Dia juga mengenakan topi jerami kecil, yang mana kesemuanya membuat penampilannya manis.

Saat Siesta yang berambut hitam, manis dan tanpa dosa berpenampilan seperti itu, dia tampak terlalu manis secara keseluruhan. Lebih dari jadi lucu, jadi sulit untuk menahan diri.

Sial kau, menempatkanku dalam situasi ini.

Dan bagain terburuknya adalah, Sambil membuat gerak yang sangat mencurigakan, Siesta yang manis tetap memancarkan aura manis nan suci.


Begitu dia duduk di sebelah Saito, dia memelk salah satu lengannya dan meremas dadanya pada lengan itu.

“S-S-S-Siesta, saat kau mendekat padaku...dadamu menyentuh lenganku dan...dan...” kata Saito, setengah menangis dan menjadi terbata-bata.

“Ah, aku memang sengaja melakukannya!”

kata Siesta dengan wajah penuh senyum dan abai.

“Se-seperti ini, sengaja, itu...Di tempat seperti ini, ada orang, hei, kau...”

Saito, yang tak bisa berhenti ngomong, untuk menahan pikirannya tetap sadar, memprotes.

“Kau tak harus mengkhawatirkan si supir, dia sebuah golem.”

Pemuda yang duduk di kursi supir memang sebuah golem, boneka yang entah bagaimana bergerak dengan kekuatan sihir.

Pas saat kau mengatakannya, matanya memang seperti bijih gelas pemancar cahaya.

Akibatnya, ini membuat Siesta semakin berani. Dia menempatkan pipinya di bahu Saito dan mulutnya dekat telinga Saito, sambil mencampur desah dalam suaranya.

“...Melakukan hal seperti ini, hanya kita berdua..sudah lama sekali, ya?”

“Y...Yah...”

“Kupikir aku mendengarnya suatu saat, tapi selama libur musim panas, apa sih yang kau lakukan bersama nona Vallière?”?”

Aku tak bisa menceritakan ini padanya.

Aku tak bisa mengatakan bahwa Henrietta meminta kami melaksanakan tugas rahasia.

Meski sebagian besar habis untuk mencuci piring dlll. ia sebuah rahasia.

“Uh, umm, itu...aku bekerja di bar, Louise bekerja di benteng jadi...aku tak tahu apa yang dilakukannya,” Saito berbohong soal Louise. Mengatakan yang sebenarnya soal dirinya kemungkinan tak apa-apa, putusnya.

“Oh! Sebuah bar! saito melakukan itu? Mengapa?”

“ Eh, Uh, itu...Aku tak punya uang sepeserpun.”

“Kalau itu sih, bilang saja padaku dan aku dengan senang hati akan menolong!”

“Kau akan membantu?”

“Ya, memang tak banyak, tapi aku telah menabung sedikit dari gajiku!”

Memang ini yang diharapkan dari seorang gadis desa yang dapat dipercaya. Tidak menghamburkan uang, di orang yang hemat.

Penawaran baik Siesta membuat Saito senang.

“Tak apa-apa. Entah bagaimana, aku selamat!”

“Benarkah? Tapi, pada waktunya kau benar-benar butuh, mohon kau tak segan-segan bilang padaku.”

Tak mungkin aku meminjam sepeserpun uang dari gadis mengagumkan yang telah menyisihkan dan menabung seperti ini.

“Aku tak bisa meminjam uang dari Siesta-san!”

“Mengapa? Bila ini untuk Saito-san, uang tiada artinya bagiku!” setelah dia selesai berbicara, gadis itu menurunkan bahunya.

“Ah, baiklah, maksudmu kau benar-benar tak tertarik untuk menggunakan uangku, kan?”

“Bukan itu alasannya!”

“Kau pasti membenciku!”

“Tidak, bukan seperti itu!”

“Benarkah? Tapi Saito selalu dingin padaku...”

“AKu? Bagaimana mungkin?”

“Aku duduk di sebelahmu, dan kau tak melakukan apa-apa.”

Saat Saito dengan segan bergerak menjauh, Siesta bersenandung sedikit dan menggerakkan bibirnya ke leher Saito. Suatu rasa yang dapat melelehkan orang mengejutkan Saito hingga tak berhingga.

Siesta menggerakkan bibirnya ke atas, dan akhirnya mempermainkan telinga Saito.

Saat merasakan pikirannya hampir meleleh, udara tampaknya menjadi dingin dan sebuah rasa menggigil bergerak menuruni punggung. Saito mencicit dengan nada bergetar, “Si-Si-Siesta-san...”

Pas sata dia mengatakan itu, sesuatu menerbangkan bagian atas kereta kauh-jauh.

Yah, terbang bukan kata yang tepat. Lebih tepat bahwa suatu peledak tersembunyi membuat semuanya terbang, Saat itulah kereta Saito dan Siesta tiba-tiba berubah dari tertutup menjadi kereta beratapkan cahaya langit.

Gemetaran karena ngeri, Saito perlahan berbalik dan melihat sebuah kereta yang hampir dua kali ukurannya dan jauh lebih megah, dan ditarik dua kuda.

Merasakan aura membunuh memancar dari kereta, Saito tak hanya takut, melainkan sangat takut. Sepertinya aku akan tewas sebelum sampai ke tujuan.

Kereta megah tersebut melepaskan aura kematian yang menelan.

“Wa...Wa...atap keretanya!” Siesta menjerit sambil menempeli Saito.

“Si-Siesta-san!”

“Apa. Apa yang tengah berlangsung?”

“Jika kau tak ingin mati, kupikir kita harus duduk berjauhan.”

Tapi itu hanya membuat Siesta bergelantungan semakin ketat pada Saito.

“AKu tak tahu apa yang terjadi, tapi hatiku suci!”

Dia menjerit dan mendorong Saito jatuh, Di satu sisi, Saito snagat bahagia dan melambung karena perasaan Siesta, pada saat bersamaa pesan lainnya lewat sekilas di pikirannya , “ Haha, ini akhir hidupku. Benar-benar pendek, kuharap setidaknya aku kembali ke tanah Jepang.”


Dari kereta yang berjalan di belakang Saito, dari jendela dari kereta megah tersebut, Louise menyembulkan kepalanya keluar sambil memegang sebuah tongkat sihir coklat muda di tangan, gemetaran karena marah dan bernapas dalam-dalam.

Atap kereta Saito dan SIesta diterbangkan Louise dengan sihir Voidnya, “Ledakan.”

Karena ada jendela di belakanjg kereta, Louise dapat melihat semua yang terjadi di dalam.

Louise bergemetaran saat menonton mereka saling memeluk di kursi mereka dan Siesta mencium leher Saito.

Akhirnya, saat bibir si pelayan mendekati telinga familiarnya, kemarahan Louise meledak. Dia takkan membiarkan familiarnya dicium. Namun, begitu atap diterbangkan, dia menyadari Siesta memeluk Saito lebih erat lagi.

Alis Louise langsung naik dan tepat ketikda dia hendak membacakan kemusnahan pasangan yang bahagia tersebut, seseorang menarik kakinya.

“Kya!”

Pipinya ditarik bersamaan dnegan jeritan itu.

“Ii sa’it! Yan! Au! Funya! Ahh! Ii sa’it!”

Wajah Louise yang sering membanggakan diri dan congkak ini ditarik sebegitunya, dan tak bisa mengeluarkan keluhan satupun. Jika Saito mampu melihat adegan ini, matanya kemungkinan besar meloncat keluar saking terkejutnya.

Yang menarik pipi Louise seperti itu adalah....seorang wanita blonde nan cantik. Dia sekitar 25 tahun. Wajahnya agak mirip Louise. Jika dia menenangkan darah panasnya dan tumbuh sedikit, akankah dia terlihat seperti itu juga? Singkatnya, dia seorang wanita cantik.

“Louise kecil. pembicaraanku belum selesai, kan?”

“Auu...,nmaap. Abe-saba, Nmaap...”

Dengan pipinya ditarik, Louise berteriak dengan suara basah. Ada sekitar 4 sosok mutlak dalam hidup Louise. Henrietta, orang tuanya, dan kakak perempuan yang berlagak bos ini, Eléonore. dia 11 tahun lebih tua dari Louise, putri tertua keluarga La Vallière dan dikenal sebagai peneliti terbaik di Institut Penelitian Sihir Kerajaan, "Academia."

“Meski ini merupakan percakapan yang ditunggu-tunggu denganku, mengapa kau terus-menerus melihat ke tempat lain? Terlebih lagi, kau menerbangkan atap kendaraan pengiring.”

“Itu, Um...aku ingin, um, memisahkan familiarku dengan si pelayan, itulah kenapa...”

Hanya dengan itu, Louise terbata-bata memberitahu kakak perempuannya.

Eleonore memutar-mutar rambutnya, dan menatap tajam Louise. Seperti seekor katak yang diburu seekor ular, Louise menegakkan badan.

“Biarkan para pengiring melakukan apa yang mereka mau! Seperti biasa, kau seorang anak yang tak bisa diam, kan?! Kau adalah putri keluarga La Vallière, paham?! Bersikaplah lebih sadar diri!”

“O-OK...”

Louise menurunkan bahunya dalam diam.

“T-tapi...Apapun yang kau katakan, diambil seorang pelayan akademi itu...”

“Hai udang, apa kau mendengarkan? Keluarga La Vallière bukan hanya suatu keluarga ningrat Tristain, ia adalah keluarga ningrat kita. Bahkan kau seharusnya mengerti itu, kan?

“Ya, Onee-sama.”