Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 3 Bab 3

From Baka-Tsuki
Revision as of 12:06, 16 July 2012 by SATRIA (talk | contribs) (Created page with "===Bab 3=== <noinclude>__NOTOC__</noinclude> Seekor burung tengah menyanyikan lagu yang mengisi pagi hari sambil hinggap di meja putih. Tangan kanannya dengan perlahan menjulu...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 3

Seekor burung tengah menyanyikan lagu yang mengisi pagi hari sambil hinggap di meja putih.

Tangan kanannya dengan perlahan menjulur, dan jemarinya yang merentang dengan lembut menyentuh bulu seperti berlian dari burung itu, dengan sekejap membuat si burung terbang tanpa suara. Burung itu terbang membentuk busur, dan mengepak jauh ke arah cahaya matahari bersinar.

Bangkit dari kursinya, ia mengambil beberapa langkah maju seolah ingin mengikuti si burung. Namun dalam sekejap, jeruji emas yang berkilau memblokir jalannya. Burung itu terus terbang menembus celah dan akhirnya bebas. Makin tinggi dan makin tinggi, lebih jauh dan lebih jauh, ia akan pergi jauh entah kemana.

Asuna hanya berdiri terpaku dan menyaksikan si burung semakin kecil dan makin kecil sampai akhirnya bersatu dengan warna langit, dan ia perlahan kembali ke kursinya dan duduk.


Meja dan kursi, dibangun di atas pualam putih murni, terasa dingin dan keras. Disamping kursi dan meja terdapat ranjang mewah dengan warna putih yang sama. Furnitur itu adalah satu satunya benda di “kamar” ini, kalau kau bisa menyebutnya seperti itu......

Lantai tertutupi oleh keramik yang juga bersinar putih. Berjalan dari satu sisi ke sisi lain hanya perlu dua puluh langkah, namun ruangan bundar ini juga dikelilingi oleh dinding yang terbentuk oleh jeruji emas berkilau. Tiang tiang di dalam sangkarnya dibuat terpisah cukup lebar sehingga Asuna bisa masuk ke dalamnya, namun sistem membuat kabur menjadi mustahil.

Tiang tiang emas yang saling bersilangan memanjang ke atas, dan melengkung membentuk kubah. Cincin besar memanjang dari bagian atas kubah, dan cabang pohon yang gemuk menembus diantaranya untuk mendukung seluruh struktur. Cabang itu memanjang ke angkasa dan merupakan bagian sebuah pohon raksasa.

Dengan kata lain, ruangan aneh ini sebenarnya adalah sangkar. Itu adalah sangkar burung dengan skala tak terbayangkan, namun tempat dimana bahkan burung bisa bebas masuk dan keluar. Satu satunya orang yang menghadapi kesulitan seorang tahanan adalah Asuna. Sehingga, tempat ini bisa disebut penjara.

Ruangan itu nampak mewah, elegan, dan indah, namun merupakan penjara pohon yang sangat dingin.


Sekitar enam puluh hari telah berlalu sejak Asuna terbangun di tempat ini. Tapi, entah angka itu benar atau tidak. Tak ada yang bisa dipakai untuk menulis di tempat ini. Hari hari itu juga sepertinya lebih singkat dari dua puluh empat jam. Meskipun demikian, jam internalnya membuatnya terbangun tak peduli siang atau malam.

Setelah bangun, dia akan menanyai dirinya berapa hari telah berlalu, namun belakangan, dia bahkan tak bisa meyakini jumlahnya. Sejauh yang dia tahu, dia mungkin sudah mengulangi hari yang sama beberapa kali, atau beberapa tahun telah berlalu. Makin lama dia terjebak disini, makin banyak memori yang ia luangkan dengan «dia» yang memudar.

Waktu itu.........

Ketika Aincrad runtuh, dunia terselimuti dalam ledakan cahaya. Sebelum lenyap, Asuna dan Kirito saling berpegangan bersama dan menunggu sampai momen mereka kehilangan kesadaran.

Ia tak merasakan takut. Ada keyakinan kalau dia sudah melakukan apa yang harus dia lakukan dan menjalani hidup tanpa apapun untuk disesalkan. Lenyap bersama dengan «dia» adalah akhir yang ia syukuri, Pikir Asuna saat itu.

Terselimuti dalam cahaya jiwa mereka yang saling bertautan, tak masalah meski tubuh mereka lenyap.

Saat kehangatannya lenyap, Asuna dalam sekejap dikelilingi oleh kegelapan. Ia mengulurkan tangannya, berusaha keras meneriakkan namanya. Namun ia menjadi terjebak dalam arus tanpa akhir yang semakin menyeretnya ke dalam kegelapan. Kemudian terdapat kilatan cahaya bertubi tubi. Tanpa memahami kemana dia dipindahkan, Asuna berteriak keras keras. Akhirnya, cahaya berwarna pelangi muncul di hadapannya. Cahaya warna warni membentang di hadapannya, dan ia jatuh ke tempat ini.


Menggantung di dinding dan menyokong ranjang bergaya Gothic adalah cermin raksasa. Tercermin disana adalah bentuk yang sedikit berbeda dari yang ia kenal. Wajahnya, dan rambut kastanyenya, sama seperti sebelumnya. Namun dia mengenakan gaun putih sepotong yang tipis yang ia anggap sangat rapuh. Didekorasi di atas gaunnya, tepat di atas dadanya adalah pita berwarna merah darah. Rasa dingin yang menusuk kaki telanjangnya memberitahunya kalau lantai terbuat dari pualam. Ia tak memiliki senjata apapun di punggungnya, namun substansi transparan misterius membentang dari punggungnya dalam bentuk sayap. Mereka lebih mirip sayap serangga ketimbang burung.

Awalnya, dia berpikir kalau dia telah mendatangi kehidupan setelah mati. Tapi sekarang, dia paham kalau itu salah besar. Meski dia telah mencoba melambaikan tangannya, dia tak mampu membuka jendela menu. Ini bukan Aincrad namun dunia ilusi yang baru, penjara virtual buatan komputer. Asuna telah terpenjara di tempat ini karena kejahatan seseorang.

Karena ini masalahnya, ia tak bisa membiarkan dirinya dikalahkan. Pikirannya menolak untuk kalah oleh kejahatan orang itu. Dengan mengingat ini, Asuna menahan semua rasa kesepian dan kecemasan setiap berlalunya hari. Namun sekarang, keyakinannya mulai runtuh. Keputusasaan perlahan menyerbu ke dalam hatinya.

Asuna duduk di atas kursi dingin dengan tangan dilipat di atas meja, dan ia merasakan kegelisahan di hatinya seiring ia terus memikirkan «dia».

‘Lekaslah.....lekaslah datang dan selamatkan aku, Kirito-kun......’


“Itu ekspresi yang sangat indah, Titania.”

Tiba tiba sebuah suara terdengar dari dalam sangkar burung.

“Itu wajah seseorang yang hampir menangis. Aku ingin membekukan ekspresi itu, dan membuat dekorasi darinya.”

“Kalau begitu lakukanlah.”

Ujar Asuna, menolehkan kepalanya ke arah datangnya suara.

Dari sudut sangkar emas dan ke arah pohon raksasa yang dikenal dengan «World Tree» terdapat pintu. Pintu itu terbuka dan menampakkan anak tangga yang diukir dari cabang pohon lain yang menjembatani jarak diantara sangkarnya dan batang pohon.

Pintu terbuka dan menampakkan seorang lelaki jangkung.

Rambut emas bergelombangnya tergerai dari bawah mahkota perak bundar di atas kepalanya. Ia berdandan dalam mantel sutra hijau nan mewah yang didekorasi dengan sulaman perak. Seperti Asuna, dia juga memiliki sayap. Namun sayapnya tidak transparan; lebih seperti kupu kupu raksasa. Keempat bagian sayapnya beralih dari warna beludru hitam dan hijau emerald.

Wajahnya memiliki keindahan yang kemungkinan buatan. Dengan dahi lembut, hidung langsing panjang, dan mata dengan iris berwarna sama dengan pola sayapnya, ia sangat tampan. Namun, bibir tipisnya, berkerut dalam ekspresi penuh penghinaan dan terdistorsi oleh senyum yang membenci segalanya, benar benar menghancurkan keindahan wajahnya.

Saat Asuna melihat lelaki ini, dia memalingkan wajahnya seolah dia baru melihat hal menjijikkan. Ia berujar dengan nada datar:

“....Kau bisa melakukan apapun sesukamu sebagai administrator sistem. Lakukan sesukamu.”

“Mengatakan hal kejam seperti itu lagi. Sejauh ini, pernahkah aku memaksakan diriku padamu, Titania?”

“Kau masih bisa mengatakan itu setelah mengunciku di dalam sini? Hentikan nama aneh itu; aku adalah Asuna, Oberon, bukan Sugou-san.”

Asuna menatap perwujudan Sugou Nobuyuki saat ini, yakni «Raja Peri Oberon». Namun kali ini, dia tak memalingkan wajahnya dan mengembalikan pandangannya dengan tatapan kuat.

Menyudutkan bibirnya dengan ekspresi jijik, Oberon tanpa peduli berkata.

“Lekaslah bangun. Di dunia ini, aku adalah Oberon sang Raja Peri, dan kau sang Ratu Titania. Kita adalah kecemburuan para pemain, master dari Alfheim, dan kau suatu saat pasti membuka hatimu padaku......sebagai pasanganku.”

“Tak peduli berapapun lamanya kau menanti, sia sia saja. Satu satunya hal yang akan kuberikan padamu adalah kebencian dan penghinaan.”

Sword Art Online Vol 03 - 159.jpg

“Aduh aduh, keras kepala sekali.”

Oberon perlahan mengulurkan tangan kanannya ke sisi wajah Asuna, sambil tertawa.

“Ini.....aku merasa kalau hari hari ini......”

Dia mencoba membuat Asuna menghadapnya, namun Asuna membuang wajahnya.

“Kalau begitu, mungkin bagus untuk membuatmu patuh dengan paksa. Seperti itu pasti akan lebih menyenangkan.”

Wajah Asuna tercekat oleh cengkeramannya, dan jemari di tangan kirinya mendekat dengan perlahan, menyentuh pipinya sambil perlahan menggerakkan jarinya ke bibirnya. Punggung Asuna terasa bergidik oleh perasaan menjijikkan ini.

Mata Asuna terisi oleh rasa jijik, dan ia menggertakkan giginya dan mengencangkan bibirnya membentuk garis tipis. Jemari Oberon terus menerus meluncur sepanjang bibirnya sebelum perlahan turun ke lehernya. Saat akhirnya mencapai dadanya, jarinya mencengkeram pita merah. Sambil menikmati rasa takut dan malu Asuna, tangannya menarik bagian ujung pita, dan perlahan, perlahan menarik......

“Hentikan!”

Tak mampu menahan sentuhannya lebih banyak lagi, suara Asuna akhirnya meluncur dari bibirnya.

Mendengar suaranya, Oberon masih mencoba merayunya, namun dia akhirnya melepas jarinya dari pita. Ia mengayun ayunkan jarinya sebelum dia berbicara dengan tawa:

“Cuma bercanda. Bukankah sudah kusebutkan? Aku takkan memaksamu. Pokoknya, kalau waktunya telah tiba, kau pasti akan memohon padaku. Itu hanya persoalan waktu.”

“Sungguh bodoh! Apa kau pikir itu akan benar benar terjadi!?”

“Apa kau yakin kalau aku ini bodoh? Tak lama lagi kau akan menerima perasaanku, Titania.”

Oberon menempatkan kedua tangannya di meja dan bersandar ke belakang dengan santai. Menampakkan seringai berbayang bayang, ia menatap ke arah luar sangkar burung.

“Kau melihat belasan dari ribuan orang menyelam kemari dan menikmati permainan di dunia yang luas ini. Tapi sayang, mereka tak sadar apa apa. Sistem «FULLDIVE» tak dikembangkan hanya untuk industri hiburan.”

Oleh ucapan tak terduga ini, Asuna menjadi terdiam. Oberon membuka tangannya lebar lebar dalam gaya teatrikal.

“Aku tak bercanda! Game ini hanyalah produk murahan. Antar muka mesin FullDive, dengan kata lain Nerve Gear dan Amusphere, memiliki cakupan terbatas, sehingga sinyal elektronik memfokuskan peran di lapisan sensori otak untuk memberi ilusi dari sinyal lingkungan. Tapi apa yang terjadi ketika “pembatas” itu dicabut?”

Mata hijau Oberon penuh oleh kejahatan dan ambisi tersembunyi. Asuna secara insting bergidik dalam ketakutan.

“.....Itu adalah, fungsi otak diluar proses sensori termasuk pikiran, emosi, dan memori. Tanpa pembatas, itu semua bisa dikendalikan!”

Kegilaan semacam itu dari Oberon membuat Asuna membisu. Setelah bernafas beberapa kali, ia akhirnya berhasil menekan suaranya keluar.

“Hal, hal semacam itu seharusnya tak diizinkan......”

“Siapa yang ‘takkan mengizinkannya’? Tipe penelitian semacam ini sudah diselenggarakan di banyak negara. Namun, studi semacam itu memerlukan subjek manusia untuk melakukan eksperimen. Juga, yang seorang pikirkan hanya bisa dideskripsikan dengan kata kata.”

Oberon mengeluarkan tawa gila dan melompat dari meja, dan setelah memperbaiki posisinya, berjalan ke arah Asuna.

“Ada banyak proses individual dalam fungsi otak yang lebih tinggi, jadi sangat diperlukan subjek manusia dalam jumlah besar. Namun, karena ini adalah rekaman kebiasaan otak, hal itu memerlukan tes berulang ulang, dan eksperimen manusia itu dilarang. Karena itu studi ini berkembang sangat lamban. Namun pada suatu hari, saat aku menonton berita, aku menemukan cara untuk mendapatkan subjek yang kuperlukan, yakni sepuluh ribu orang!”

Rambut di leher Asuna berdiri sampai batasnya. Oberon tak harus mengatakannya; Asuna sudah bisa membayangkan apa yang dia akan ucapkan.

“Kayaba-senpai......dia memang jenius, tapi dia juga tolol. Dia jelas jelas punya kemampuan, tapi dia hanya fokus membuat dunia Game. Bahkan, server SAO buatannya sama sekali tak bisa disentuh. Namun momen ketika para pemain dibebaskan, aku mampu mengambil alih dunia menjadi milikku dengan meng-hack kedalamnya melalui router; itu sangat gampang.”

Membuat gerakan seolah ia tengah memegang obor, sang Raja Peri mengacungkan tangannya dan memutarnya, seolah dia hendak meminum wine tak kasat mata.

“Tapi, menunggu Game selesai itu memang lama. Tapi meskipun aku tak bisa mendapatkan semua orang, aku berhasil mendapat 300 subjek tes. Kenyataannya, tak ada fasilitas yang bisa menyimpan orang orang sebanyak itu, namun dunia virtual memiliki ruang yang lebih dari cukup!”

Oberon terus berkoar koar tentang ilusinya. Sejak awal, Asuna sudah membencinya karena karakternya ini.

“Berkat 300 pemain dari server SAO, penelitian kami mencapai perkembangan pesat dalam hanya dua bulan! Menyusupkan objek baru kedalam memori, teknik untuk menginduksi memori......teknologi ini telah mulai menampakkan hasil. Manipulasi jiwa – benar benar menakjubkan!”

“Studi semacam ini......apa kau pikir ayahku akan mengizinkannya?”

“Tua bangka itu tak tahu apa apa, tentu saja. Ini studi yang dilakukan tim sangat kecil dan memiliki rahasia absolut. Jika tidak akan menjadi komoditas yang hebat.”

“Komoditas.....?”

“Sebuah perusahaan Amerika saat ini sedang meneteskan air liur sambil menunggu studi ini selesai. Aku berniat menjual teknologi ini dengan harga mahal. Pokoknya, itu semua akan dimiliki oleh RECTO, dan RECTO suatu saat akan menjadi milikku.”

“...”

“Aku akan segera menjadi bagian keluarga Yuuki. Pertama, sebagai putra adopsi, aku akan layak menjadi penerus RECTO. Soal menikahimu, itu hanya sandiwara. Kupikir bukan ide yang buruk kalau kita mengadakan upacara pernikahan disini juga.”

Rasa jijik membuat rasa dingin mengalir di tengkuk Asuna, dan ia dengan perlahan namun pasti menggeleng kepalanya.

“Itu satu hal yang sama sekali takkan kubiarkan. Suatu hari aku akan kembali ke dunia nyata, dan akan kuhancurkan semua kelicikanmu.”

“Ya ampun, kau masih belum paham juga. Aku terus berbicara dengan bebas hanya karena kau akan segera melupakan itu semua! Yang tersisa adalah......”

Oberon mendadak berhenti; ia memiringkan kepalanya dan terdiam. Kemudian, mengguncang tangan kirinya untuk membuka jendela menu, ia menoleh ke arahnya dan memberi instruksi.

“Aku datang sekarang; tunggu instruksiku.”

Jendela menu menghilang, dan dia menoleh balik pada Asuna dengan seringai.

“Waspadalah. Karena hari kau jatuh cinta padaku sudah semakin mendekat. Entah kau menyerah sekarang, atau aku mengubah otakmu menjadi panggung salah satu eksperimenku. Jadi lain kali kau menemuiku, tolong lebih patuhlah, Titania.”

Setelah membelai rambut Asuna seolah dia adalah kucing, Oberon berbalik.

Dengan kepala menunduk, Asuna tak melihat kepergian Oberon. Pikirannya terus mengulangi kata kata terakhir Oberon dan horor yang ditimbulkannya.

‘Klik!’ menggema sepanjang ruangan saat pintu itu mengunci dirinya sendiri, sekali lagi hanya menyisakan kesunyian.