Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab6

From Baka-Tsuki
Revision as of 00:23, 19 September 2012 by Altux (talk | contribs) (Created page with "Bab Lima : Kota Kuno Saxe-Gotha Sekitar satu mil dari pinggir kota Saxe-Gotha, di daerah pentas pertempuran, 350 tentara batalion De Vineuil tengah menanti sinyal sangkala un...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab Lima : Kota Kuno Saxe-Gotha

Sekitar satu mil dari pinggir kota Saxe-Gotha, di daerah pentas pertempuran, 350 tentara batalion De Vineuil tengah menanti sinyal sangkala untuk memulai serangan. Hari ini, 15 hari setelah pendaratan, tentara sekutu akhirnya melancarkan serangan mereka. Memimpin skuad kedua, Guiche gemetaran dari kepala hingga ujung kaki, dan emnatap lekat-lekat kota Saxe-Gotha yang tertutup kabut.

“Pak, Komandan Skuad!” Sersan yang berjaga di sisinya, Nicola, berbicara dengan nada lembut.

“A-a-a-ada apa?” Guiche belepotan.

“kau menjatuhkan tongkatmu.” Guiche langsung melihat ke bawah kakinya dan melihat tongkat berbetuk mawar-nya terbaring di tanah. Dia dengan panik mengambilnya kembali dan memasukkannya ke kantong dadanya, sambil berusaha menjaga mimik khidmat wajahnya.” “Pak, komandan Skuad!” “A-ada apa?”

“Meski ini mungkin bukan urusanku, tapi kupikir sebaiknya kau kebelakang dulu.” ”Guiche langsung menatapnya tajam dan mengumumkan, ‘Aku sudah melakukannya!” “baguslah kalau begitu,” jawab Nicola sambil menyeringai. “Tak ada yang perlu ditakutkan. Berdasarkan laporan dari beberapa hari lalu, sluruh meriam-meriam musuh telah dihancurkan bombardir armada kita, dan mereka hanya menurunkan semi-manusia untuk menjaga jalan-jalan.”

“S-semi manusia itu sangat ganas, dan tubuh mereka sangat besar.” “Tapi mereka musuh yang sangat mudah dipancing ke jebakan,” balas Nicola sambil memandang ke depan. Guiche memperhatikan orang kecil yang membawa musket. Ini adalah pertempuran beneran pertama yang diikutinya, dan tiada orang lain yang dapat dia harapkan. Dengan pikiran semacam itu, orang didepannya tampak lebih besar dari preman manapun yang dia kenal.

“Namun...kapan kita memulai penyerbuan kita? Seluruh kota dikelilingi dinding batu raksasa itu...” Nicola menganggukkan kepala begitu mendengarkan kekhawatiran Guiche, “Sebentar lagi seseorang akan datang untuk ‘membuka jalan’ bagi kita.” Setelah beberapa saat berlalu, sebuah armada kapal perang muncul di langit di atas mereka. Kesepuluh kapal perang, lalu berbaris rapih dan terus membombardir dinding dengan menembakkan meriam. Di hadapan kekuatan tembakan kapal perang yang terbang, musuh tak bisa apa-apa.

“Boom—! Boom—! Boom—!” Diikuti oleh raungan dentuman tembakan meriam dan kabut asap nan tebal, dinding mulai runtuh dan sorakan dapat terdengar meletus dari prajurit-prajurit yang berkumpul di pentas ini. Di bawah rentetan tembakan meriam, dinding di sekeliling kota runtuh. Lalu, yang muncul tepat di depan mata mereka adalah segrup golem lumpur raksasa. “mereka pasti golem-golem yang diciptakan penyihir-penyihir kelas-Segitiga.” Pikir Guiche sendiri.

Karena dia sendiri penyihir kelas-Titik, dia tak mampu menciptakan golem sebesar itu. Dia memandang menengadah kagum – Meski mereka agak lebih kecil dari golem lumpur ciptaan Fouqet si Tanah Runtuh, yang dulu pernah mengguncang tristain, mereka masih raksasa. Para golem lupmpur, dengan tinggi sekitar 20 meter, dengan mantap melangkah maju bersama, perlahan mendekat ke dinding-dinding yang runtuh.

Di punggung para golem lumpur tertancap bendera-bendera yang tertoreh simbol-simbol keluarga dari pencipta masing-masing, dan Guiche, saat menyadari simbol yang dia kenal diantara mereka, langsung menjerit keras,

“I-Itu golem lumpur kakakku!” Itu pasti milik kakaknya, karena bendera yang berkibar di punggungnya membawa simbol keluarga Gramont, ‘Rosa dan Panther’.

Saat itu, dengan sebuah wuus, sebuah benda besar entah apa terbang lurus menuju golem lumpur yang menghampiri dinding. Wham! Salah satu golem mendapati lambungnya tertembus, berlubang menganga. Golem tersebut langsung kehilangan keseimbangan, dan runtuh menjadi onggokan di tanah. Cahaya logam ditembakkan menuju golem secara berentet, menjatuhkan mereka begitu terkena tembakannya.

“Apa-apaan itu?” Guiche terbengong-bengong. “Itu ballista raksasa,” jawab Nicola langsung. “Aku khawatir mereka dioperasikan para orc. Itu senjata sepanjang 3 meter turunan crossbow, mampu menembakkan bolt-bolt raksasa. Jika seorang manusia yang kena, mereka pasti remuk berkeping-keping. Tapi, memang itu tak dirancang untuk digunakan pada orang.”

Guiche menonton golem kakaknya dengan rasa khawatir. Sebuah bolt menonjol keluar kaki golem itu, tapi beruntung golem lumpur itu tetap berdiri. “Apa Komandan pasukan...anggota keluarga Gramont?” tanya Nicola, menyadari kegembiraan Guiche. “Aku anak bungsu.”

Mendengar jawaban Guiche, mata Nicola terbelabak kaget. “Itu berarti kau dengan Marshal adalah...! Kejutan! Apa yang membawamu ke batalyon musket rendahan seperti kami? Dengan nama Ayahmu, entah itu ksatria, atau markas regimen elit, bukankah kau bisa ikut batalyon manapun yang kau mau?”

“Jika aku menggunakan nama ayahku, bukankah itu berarti itu bukan lagi karena usahaku?” jawab Guiche sambil melihat kedepan. Nicola tak mampu berkata apa-apa, tapi setelah beberapa saat, dia menyeringai dan menggampar bahu Guiche.

‘Aku suka sikapmu, tuan muda. Karena sudah begini, kita takkan kembali pulang sebelum memenangkan usaha dan kemenangan kita!” Sesaat setelahnya, sesquad ksatria naga juga tiba. Terbang lurus menuju balista di area pertempuran, dengan gabungan sihir dan api naga, mereka dengan cepat membuat balista membisu.

Setelah akhirnya tiba di kaki dinding yang rubuh, yang sudah menjadi puing-puing karena tembakan meriam tadi, para golem lumpur mulai menyingkirkan puing-puing. “mereka membuat jalan masuk.”

Sebentar lagi Orang-orangnya akan menyerbu masuk kota melaluinya. Sekujur tubuh Guiche mulai gemetaran tak terkendali. “kau gemetaran?” “...M-meski aku akan sangat senang untuk mengatakan ini karena semangatku...ini mungkin karena takut. Ugh...”

“heh, jujur adalah hal yang bagus, kau takkan pernah sukses hanya dengan keberanian dan kesembronoan. Tapi, kau tak bisa terlalu pengecut. Apapun itu, biarkan aku menanganinya.”

Nicola mengangkat tangannya pada sekitar ratusan musketeer dibelakangnya. Sekitar 50-an orang ike bertindak sebagai garda mereka. Pasukan ini terdiri dari sekitar ratusan dan 50-an orang, merupakan prajurit-prajurit di bawah komando Guiche.

“Siapkan dan isi selongsongmu-!” Para musketeer dengan leyeh-leyeh mengisi senapan mereka denganpeluru dan bubuk mesiu. “Pak Komandan Pasukan, apa aku boleh mengganggumu dengan ini?” Nicola menyerahkan sumbu pendek pada Guiche.

Guiche mengangguk, dan melantunkan matra “nyala” di sumbu. Sebuah bau terbakar terkuak ke udara mengikuti suara berdesis sumbu yang terbakar. Nicola memanggil seorang prajurit agar mendekat, dan menyerahkan sumbu yang menyala untuk dibagi-bagi ke prajurit lainnya.

Ini obor yang diberikan komandan pasukan kita! Jangan sampai ia padam!”

Respon balasannya kekurangan antusiasme apapun.

Grek-grek---! Para golem telah menyingkirkan dinding. Pada saat itulah, Guiche mencolek Guiche di pinggang dan berkata, “Pak Komandan Pasukan, ayo pergi,”

Sambil mengangkat tongkatnya dengan masih gemetaran, Guiche berteriak lantang, “Pasukan G-G-Gramont, maju!” Para Musketeer veteran mengikuti di belakang dengan langkah yang tak beraturan. Pada sat itulah Guiche menyadari – Hanya pasukannya yang menyerbu maju! Perintah menyerbu belum diturunkan dari atas!

“Hei Sersan---“ Dia baru saja hendak menyuarakan keluhannya, tapi terhenti begitu menyadari wajah kalem penuh percaya diri Nicola. Begitu Pasukan mulai maju, mustahil menghentikan laju mereka, dan karenanya mereka hanya bisa terus maju. Beberapa detik kemudian, perintah “Serbu!” bergema dari barisan di belakang.

Bagaikan ombak tiada henti, prajurit, ksatriam dan lainnya semua menyerbu dengan tujuan masing-masing. “Kami semua vetran tua. Jika kami tak mulai sedikit lebih awal, kita takkan bisa mengejar mereka.” Mungkin karena mereka maju lebih awal, pasukan Guiche adalah yang pertama mencapai salah satu reruntuhan tembok. Tapi beberapa ksatria berlari mendahului mereka, menyerbu masuk kota.

“Tapi kami yang pertama sampai!” teriak Guiche sambil bersiap-siap menyerbu masuk, tepat sebelum Nicole mencengkramnya.

Langsung setelahnya, para ksatria yang baru saja menyerbu masuk diterbangkan balik bersama dengan bawaan mereka, mendarat di depan Guiche dalam keadaan menyedihkan. Sepertinya di balik dinding ada orc bersenjata pentungan, menunggu orang tolol berpikiran sempit seperti mereka untuk mengirimkan mereka ke kehancuran kmereka.