Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab7

From Baka-Tsuki
Revision as of 12:42, 1 October 2012 by Altux (talk | contribs) (Created page with "Bab Enam: Gencatan senjata DI Tristainia, Ibukota Tristain, didalam ruang kerja, seorang ratu berumur 17 tahun tengah memejamkan mata dalam doa sunyinya. Didalam ruangan agak...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab Enam: Gencatan senjata

DI Tristainia, Ibukota Tristain, didalam ruang kerja, seorang ratu berumur 17 tahun tengah memejamkan mata dalam doa sunyinya. Didalam ruangan agak dingin, dimana seluruh hiasan tak berguna diambil. Seperti dalam mausoleum.

Di pusat ruangan, dengan dibalut baju hitam dan ditutupi kerudung tebal, Henrietta tengah berlutut. Didepannya ada altar kecil, yang dihiasi potret kecil Brimir Sang Pendiri di dalam.

Potret Brimir sang Pendiri terlihat bagai cetakan permulaan Halkeginia. Tangannya membentang lebar seakan membuka pintu, potret yang abstrak. Tak mudah melihatnya sebagai manusia. Alasannya adalah karena menggambar ciri-ciri Sang Pendiri dengan terinci adalah kurang ajar.

Sebenarnya, tiada yang mengetahui ciri-ciri terperinci Sang Pendiri. Selama dia berdoa dalam hening, dia mendengar seseorang mengetuk pintu. “Paduka, ini aku.” Itu suara Kardinal Mazarin.

Mulanya dia hendak mengambil tongkat dan melantunkan mantra “Membuka”...tapi Henrietta lalu menggelengkan kepalanya, menempatkan tongkat di meja, bangkit dan membuka kunci pintu.

Mazarin kemudia memasuki ruang kerja Henrietta dan memohon maaf diiringi mengernyitnya alis Henrietta. “Apa anda tengah bekerja? Maafkan ketidaksopananku.” “ Tak apa-apa,” jawab Henrietta.

“Aku tak terlalu yakin soal itu. Kau berdoa dari subuh hingga petang. Bahkan saat aku pergi maupun kembali, keadaanmu tetap sama.” Mazain menatapnya dingin. Isu bahwa Henrietta berdoa sepanjang hari setelah penyerbuan Albion adalah benar adanya. Henrietta mencoba menjelaskan.

“Ratu yang tak berdaya ini tak bisa melakukan apapun selain memberikan doanya.” “Mengapa kau berpakaian hitam? Putih lebih cocok bagi Paduka.” “Kini saatnya perang. Banyak petugas dan orang yang tewas. Saya berduka.”

Mazarin, memalingkan pandangan matanya karena malu, melapor pada Henrietta. “”Kemarin, kekuatan gabungan kita telah menaklukkan Saxe-Gotha. Dengan begini, jalan kita ke Londinium telah diamankan.”

“Mohon kirimkan terima kasihku pada Jenderal de Poitiers.” “Pasti. Satu hal lagi...” “Berita buruk?” “Itu benar. Tentara gabungan meminta pengisian perbekalan ransum mereka. Kita perlu segera mengirimnya lagi.”

“Tapi, brdasarkan perhitungan, ia akan memakan 3 minggu lagi.” Mazarin berkata sambil melihat laporan di tangannya. “Perbekalan Saxe-Gotha dikosongkan. Tentara kita harus memberikan sebagian pada penduduk lokal.” “Apa musuh juga khawatir soal makanan?”

“Tidak. Tujuan mereka adalah membuat tentara kita khawatir. Mereka tahu soal kekurangan makanan kita dan merampas seluruh makanan dari penduduk.” “Itu kejam.” “Ini perang.”

Henrietta mengangguk. “Mohon diatur.” “Pasti. Namun...keadaan finansial membuat kita makin lama makin mengkhawatirkan.” “Menteri keuangan kita bagaimana?”

“Dia tengah berdiskusi dengan duta Gallia.” “Gallia?” “Permintaan utang. Perlu banyak uang untuk bertarung.” Henrietta melihat tangannya sendiri. Lalu dia berkata dengan nada tertahan.

“Kita harus menang. Jadi, kita hanya perlu menang. Nanti, Kita bisa mengembalikan uang dari dompet Albion.” “Meski hari dimana dompet itu didapat tampak sedikit menjauh.” “Apa?” Wajah Henrietta menjadi mendung. Berita buruk tampak menyenangi sebelah sini.

“Sebuah permintaan untuk gencatan senjata datang dari musuh.” “Gencata senjata? Berapa lama?” “Dari besok lusa, hingga akhir Festival Advent. Sudah tradisi bahwa selama Festival Advent, perang juga berhenti.”

Festival Advent berlangsung hingga tanggal 10, festival terbesar di Halkeginia. Karena Festival Advent dimulai sejak hari pertama tahun baru....Ia akan berlangsung hingga minggu berikutnya sedikit. “Perang akan berhenti hingga 2 minggu? Tak mungkin! Tradisi atau bukan, hal seperti itu tak bisa diterima! Terlebih lagi, mereka tanpa malu melanggat perjanjian gencatan senjata sebelumnya! Mereka mencoba menyerang Akademi sihir dan menyandera semua anak-anak itu! Dengan pasukan nan kejam...”

Akademi sihir diserang pad ahari dimana armada penyerbu pergi. Meski para siswa beruntung bisa selamat, memadamkannya masih memakan nyawa.

Meski ia tak memperkuat kepercayaan diri kita, kita tak punya banyak pilihan. Kita masih perlu mengirimkan makanan. Hingga saat itu, tentara tak bisa bergerak.”

“Kalaau begitu, serang Londinium untuk satu minggu lagi! Seluruh armada! Seluruh pasukan! Kau pikir, mengapa kita gunakan kartu as kita – Void?!” Henrietta menekan Mazarin.

Sang Perdana menteri memberi beberapa saran pada Ratu yang tengah murka, “”Paduka. Para prajurit dan Jenderal juga manusia. Berlebihan Memperkerjakan mereka takkan membimbingmu kemana-mana. Meski aku mengerti bahwa kau hendak segera mencapai putus...berhentilah di titik ini.” Henrietta menahan diri dan menjatuhkan kepalanya. “...Aku berkata terlalu banyak. Mohon lupakan itu. Kau benar sekali soal ini.”

Setelah dengan segera menandatangani perjanjian damai, Mazarin bangkit, tapi berhenti di pintu dan berbalik. “Paduka, saat perang berakhir, tanggalkan pakaian hitam itu; itu tak pantas untukmu.” Henrietta tak menjawab.

Mazarin berkata dnegan nada lembut, bagai seorang ayah. “Biarkanlah. Sudah cukup, hanya bersedih cukup untuk ibumu saja.” Setelah Kardinal pergi, Henrietta mendesah. “Aah. Apa yang kukatakan – Louise si Void?” Ucapnya dnegan nada sedih dan hening. “...Untuk tujuan ini, aku merubah orang yang penting menjadi alat.”

Di Saxe Gotha, hari ketiga setelah penandatanganan, gencatan senjata dengan Repbublik Suci Albion berlaku.

Ddidalam kamar sebuah penginapan yang diambil alih tentara gabungan, Louise duduk di depan perapian. Dalam 4 hari, tahun baru akan datang. Lalu, festival Advent Sang Pendiri akan dimulai.

Meski pernag belum berakhir, kota dilingkupi suasanan tak tenang yang aneh. Tidak, perang mungkin adalah alasan mengapa mereka ingin bersikap begitu ribut. Bagi penduduk Albion, ini bisa jadi satu-satunya kesempatan beristirahat.

Jangka waktu gencatan sejata bagaikan hadiah dari Snag Pendiri, dan penduduk Saxe Gotha, juga prahurit Tristain dan Germania, ingin bersenang-senang hingga puncaknya.

Orang-orang yang berpakaian beraneka warna berlalu lalang melalui kota. Karena Albion, si benua terapung, berlokasi 30000 mail di atas laut, musim dingin begitu tiba-0tiba dan keras. Orang kurus seperti Louise sangat peka pada dingin. Dia mengalami musim dingin Albion untuk pertama kalinya. Diselimuti selimut penuh, dia gemetaran di depan perapian yang terbakar terang. Louise memanggil Saito yang duduk sendirian jauh darinya, untuk berbuat sesuatu.

“Ini dingin, kan? Mengapa kau tak kesini ke depan perapian?” Tiada jawaban. Louise lalu teringat pertengkaran terbaru mereka setelah bertemu lagi. Louise mengeluh pada Saito.

“Hei, Saito. Apa kau mendengarkanku? Kini dingin! Apa kau masih memikirkan soal yang lalu, aku sudah memaafkanmu! Kau harus tetap sehat! Itu tanggung jawab familiar!” Lagi-lagi tiada jawaban. Saito duduk di sisi kasur, punggungnya menghadap Louise, melakukan sesuatu dengan serius. “Apa yang sedang kau lakukan?”

Sambil masih diselimuti selimut, dia menghampirinya dan melihat saito melakukans esuatu dengan tutup botol anggur. “Wha-“ Dia mencoba memanjangkan lehernya, mencoba melihatnya, tapi saito menyembunyikannya.