Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab7

From Baka-Tsuki
Revision as of 06:02, 2 October 2012 by Altux (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bab Enam: Gencatan senjata

DI Tristainia, Ibukota Tristain, didalam ruang kerja, seorang ratu berumur 17 tahun tengah memejamkan mata dalam doa sunyinya. Didalam ruangan agak dingin, dimana seluruh hiasan tak berguna diambil. Seperti dalam mausoleum.

Di pusat ruangan, dengan dibalut baju hitam dan ditutupi kerudung tebal, Henrietta tengah berlutut. Didepannya ada altar kecil, yang dihiasi potret kecil Brimir Sang Pendiri di dalam.

Potret Brimir sang Pendiri terlihat bagai cetakan permulaan Halkeginia. Tangannya membentang lebar seakan membuka pintu, potret yang abstrak. Tak mudah melihatnya sebagai manusia. Alasannya adalah karena menggambar ciri-ciri Sang Pendiri dengan terinci adalah kurang ajar.

Sebenarnya, tiada yang mengetahui ciri-ciri terperinci Sang Pendiri. Selama dia berdoa dalam hening, dia mendengar seseorang mengetuk pintu. “Paduka, ini aku.” Itu suara Kardinal Mazarin.

Mulanya dia hendak mengambil tongkat dan melantunkan mantra “Membuka”...tapi Henrietta lalu menggelengkan kepalanya, menempatkan tongkat di meja, bangkit dan membuka kunci pintu.

Mazarin kemudia memasuki ruang kerja Henrietta dan memohon maaf diiringi mengernyitnya alis Henrietta. “Apa anda tengah bekerja? Maafkan ketidaksopananku.” “ Tak apa-apa,” jawab Henrietta.

“Aku tak terlalu yakin soal itu. Kau berdoa dari subuh hingga petang. Bahkan saat aku pergi maupun kembali, keadaanmu tetap sama.” Mazain menatapnya dingin. Isu bahwa Henrietta berdoa sepanjang hari setelah penyerbuan Albion adalah benar adanya. Henrietta mencoba menjelaskan.

“Ratu yang tak berdaya ini tak bisa melakukan apapun selain memberikan doanya.” “Mengapa kau berpakaian hitam? Putih lebih cocok bagi Paduka.” “Kini saatnya perang. Banyak petugas dan orang yang tewas. Saya berduka.”

Mazarin, memalingkan pandangan matanya karena malu, melapor pada Henrietta. “”Kemarin, kekuatan gabungan kita telah menaklukkan Saxe-Gotha. Dengan begini, jalan kita ke Londinium telah diamankan.”

“Mohon kirimkan terima kasihku pada Jenderal de Poitiers.” “Pasti. Satu hal lagi...” “Berita buruk?” “Itu benar. Tentara gabungan meminta pengisian perbekalan ransum mereka. Kita perlu segera mengirimnya lagi.”

“Tapi, brdasarkan perhitungan, ia akan memakan 3 minggu lagi.” Mazarin berkata sambil melihat laporan di tangannya. “Perbekalan Saxe-Gotha dikosongkan. Tentara kita harus memberikan sebagian pada penduduk lokal.” “Apa musuh juga khawatir soal makanan?”

“Tidak. Tujuan mereka adalah membuat tentara kita khawatir. Mereka tahu soal kekurangan makanan kita dan merampas seluruh makanan dari penduduk.” “Itu kejam.” “Ini perang.”

Henrietta mengangguk. “Mohon diatur.” “Pasti. Namun...keadaan finansial membuat kita makin lama makin mengkhawatirkan.” “Menteri keuangan kita bagaimana?”

“Dia tengah berdiskusi dengan duta Gallia.” “Gallia?” “Permintaan utang. Perlu banyak uang untuk bertarung.” Henrietta melihat tangannya sendiri. Lalu dia berkata dengan nada tertahan.

“Kita harus menang. Jadi, kita hanya perlu menang. Nanti, Kita bisa mengembalikan uang dari dompet Albion.” “Meski hari dimana dompet itu didapat tampak sedikit menjauh.” “Apa?” Wajah Henrietta menjadi mendung. Berita buruk tampak menyenangi sebelah sini.

“Sebuah permintaan untuk gencatan senjata datang dari musuh.” “Gencata senjata? Berapa lama?” “Dari besok lusa, hingga akhir Festival Advent. Sudah tradisi bahwa selama Festival Advent, perang juga berhenti.”

Festival Advent berlangsung hingga tanggal 10, festival terbesar di Halkeginia. Karena Festival Advent dimulai sejak hari pertama tahun baru....Ia akan berlangsung hingga minggu berikutnya sedikit. “Perang akan berhenti hingga 2 minggu? Tak mungkin! Tradisi atau bukan, hal seperti itu tak bisa diterima! Terlebih lagi, mereka tanpa malu melanggat perjanjian gencatan senjata sebelumnya! Mereka mencoba menyerang Akademi sihir dan menyandera semua anak-anak itu! Dengan pasukan nan kejam...”

Akademi sihir diserang pad ahari dimana armada penyerbu pergi. Meski para siswa beruntung bisa selamat, memadamkannya masih memakan nyawa.

Meski ia tak memperkuat kepercayaan diri kita, kita tak punya banyak pilihan. Kita masih perlu mengirimkan makanan. Hingga saat itu, tentara tak bisa bergerak.”

“Kalaau begitu, serang Londinium untuk satu minggu lagi! Seluruh armada! Seluruh pasukan! Kau pikir, mengapa kita gunakan kartu as kita – Void?!” Henrietta menekan Mazarin.

Sang Perdana menteri memberi beberapa saran pada Ratu yang tengah murka, “”Paduka. Para prajurit dan Jenderal juga manusia. Berlebihan Memperkerjakan mereka takkan membimbingmu kemana-mana. Meski aku mengerti bahwa kau hendak segera mencapai putus...berhentilah di titik ini.” Henrietta menahan diri dan menjatuhkan kepalanya. “...Aku berkata terlalu banyak. Mohon lupakan itu. Kau benar sekali soal ini.”

Setelah dengan segera menandatangani perjanjian damai, Mazarin bangkit, tapi berhenti di pintu dan berbalik. “Paduka, saat perang berakhir, tanggalkan pakaian hitam itu; itu tak pantas untukmu.” Henrietta tak menjawab.

Mazarin berkata dnegan nada lembut, bagai seorang ayah. “Biarkanlah. Sudah cukup, hanya bersedih cukup untuk ibumu saja.” Setelah Kardinal pergi, Henrietta mendesah. “Aah. Apa yang kukatakan – Louise si Void?” Ucapnya dnegan nada sedih dan hening. “...Untuk tujuan ini, aku merubah orang yang penting menjadi alat.”

Di Saxe Gotha, hari ketiga setelah penandatanganan, gencatan senjata dengan Repbublik Suci Albion berlaku.

Ddidalam kamar sebuah penginapan yang diambil alih tentara gabungan, Louise duduk di depan perapian. Dalam 4 hari, tahun baru akan datang. Lalu, festival Advent Sang Pendiri akan dimulai.

Meski pernag belum berakhir, kota dilingkupi suasanan tak tenang yang aneh. Tidak, perang mungkin adalah alasan mengapa mereka ingin bersikap begitu ribut. Bagi penduduk Albion, ini bisa jadi satu-satunya kesempatan beristirahat.

Jangka waktu gencatan sejata bagaikan hadiah dari Snag Pendiri, dan penduduk Saxe Gotha, juga prahurit Tristain dan Germania, ingin bersenang-senang hingga puncaknya.

Orang-orang yang berpakaian beraneka warna berlalu lalang melalui kota. Karena Albion, si benua terapung, berlokasi 30000 mail di atas laut, musim dingin begitu tiba-0tiba dan keras. Orang kurus seperti Louise sangat peka pada dingin. Dia mengalami musim dingin Albion untuk pertama kalinya. Diselimuti selimut penuh, dia gemetaran di depan perapian yang terbakar terang. Louise memanggil Saito yang duduk sendirian jauh darinya, untuk berbuat sesuatu.

“Ini dingin, kan? Mengapa kau tak kesini ke depan perapian?” Tiada jawaban. Louise lalu teringat pertengkaran terbaru mereka setelah bertemu lagi. Louise mengeluh pada Saito.

“Hei, Saito. Apa kau mendengarkanku? Kini dingin! Apa kau masih memikirkan soal yang lalu, aku sudah memaafkanmu! Kau harus tetap sehat! Itu tanggung jawab familiar!” Lagi-lagi tiada jawaban. Saito duduk di sisi kasur, punggungnya menghadap Louise, melakukan sesuatu dengan serius. “Apa yang sedang kau lakukan?”

Sambil masih diselimuti selimut, dia menghampirinya dan melihat saito melakukans esuatu dengan tutup botol anggur. “Wha-“ Dia mencoba memanjangkan lehernya, mencoba melihatnya, tapi saito menyembunyikannya.

“Tunjukkan padaku!” Louise mendorong saito kesamping. Saito menunjukkan perlawanan.

Diatas sumbat kecil itu ada irisan kecil. “Apa?” Saito terus mengiris sumbat dalam hening. Meninggalkan bekas irisan kecil dengan kuku jarinya. Rupanya dia tengah membunuh waktu dengan memotong sebuah sumbat.

...Suram. Terlalu suram. Cara membunuh waktu semacam ini terlihat terlalu suram. “Sudahlah, hentikan....ini terlalu suram...” Saito dnegan pelan berucap, “Tak suram.”

“Familiar menyebalkan!” “Tikus tanah.” Tikus tanah. Louise tak menyukainya. Dia menginginkan seorang pemuda sombong. Dia menjadi kesal saat memikirkan ini.

“Tikus tanah apa? Sadarlah!” Dia mendorongnya menjauh, bengong, Saito terguling-guling. “Hei, jawab aku, Hei! Hei, hei! Tikus tanah,. Ti-Tikus tanah.” Mengelus-elus pipinya, Saito menatap Louise.

Louise menjatuhkan bahu tak nyaman dan berpikir dengan marah. Yada, bukankah ini seperti, saat dia mendorongku ke bawah waktu itu? Sadarlah! Cukup! Apa familiar tolol itu akan menyerangku sekarang? Ya-Yada - Tubuhnya gemetaran.

Itulah mengapa dia mencoba menghasutnya. Tapi dia tak pernah bisa mengakuinya di depan orang dalam pertanyaan. Namun, Saito hanya bangkit dan berjalan menuju pintu. “K-kemana kau pergi?! Tanyanya, kecewa.

“Jalan-jalan,” Dia menjawab singkat, meninggalkan kamar. Louise datang menyeret selimut yang longgar, kembali ke perapian dan duduk sambil memeluk lutut. Derflinger yang bersandar di dinding, memanggil Louise. “Wanita bodoh.”

Setelah kata-kata itu, wajah Louise menyembul keluar selimut. “A-apa...Dia yang salah! Dia selalu enggan...” “Dan kau fikir siapa sih penyebabnya?” “A-aku tak tahu!”

Tersesat, Louise berteriak. “Maka aku akan bilang. Rekan kini yakin sempurna bahwa kau tak menyukainya.” Louise menggigit bibirnya. “I-itu alami! Dia familiar, sedang aku ningrat!” “Benarkah?”

Wajah Louise runtuh. Menunjukkan sisi gadisnya, Louise pundung. “D-dia jahat. Saat aku kedinginan dan sendiri, tapi dia malah pergi bersama gadis-gadis lainnya...” “Apa yang kau katakan saat dia mengaku? Kau malah berkata soal sesuatu yang belum kau saksikan dan pergi, yang dikatakan pelayan rumah itu hanyalah ‘melepas kancing’. Perselingkuhan diragukan. Tapi kau dnegan angkuh menyimpulkan sendiri.” “Uuh...”

“Haah, karenanya, kau bermain bersama seorang pemuda ganteng. Apa kau tak pikir kau berlebihan? Bagaimanapun, meski ini pura-pura, kau pergi dan membuat pernyataan kejam itu. ‘Saat berkendara di belakang seseorang, adalah lebih baik mengendaria di belakang pemuda yang enak dilihat’ kan?” Louise menundukkan pandangan.

“Bila kau melihatnya, sudah tentu pendeta Romalia itu lebih ganteng. Wajahnya tak bisa dibandingkan. Ini bagaikan membandingkan makhluk terbang – lalat dengan phoenix. Atau makhluk melata – tikus tanah dengan singa. Atau makhluk air – lalat air dan angsa.” “...Apa kau tak berlebihan?”

“Mungkin, bagaimanapun, ini bukan soal wajah. Rekan dengan sabartak pergi ke tanah timur, hanya untuk menemanimu. Kepadamu, dia bahkan mengakui ‘cinta’nya. Kutebak “pewujudan kesetiaan’ semacam itu tak cukup. Dirinya yang menyedihkan tak bisa bersaing dalam ketampanan dengan pria lain. Namun, rekan menunjukkan keberaniannya di saat-saat genting, karena dia mengatakan dia mencintaimu...”

Louise mendengarkan selama 5 menit, dan menjadi merah padam. Lalu, dia pergi ke jendela dan melihat keluar, melihat di belakang tirai, membuka lemari, mencari-cari di bawah meja, dan setelah akhirnya memastikan tiada yang berada di kamar untuk menguping, dia berbalik kembali pada pedang legendaris. “Hei, apa itu benar? Kepada siapa dia mengatakan itu? Bagaimana?”

“Rekan sangat berkacamata kuda soal itu. Meski terserah kau – untuk percaya atau tidak.” Dengan merah menyala di pipinya, Louise terdiam.

“Ini beneran, sangat jelas rekan terlihat sedang galau.” Louise dengan tebal muka menggelembungkan pipinya. “A-aku sudah mengerti. Aku memaafkannya! Bukankah itu sudah cukup?!” “Maka minta maaflah, katakan kata-kata kecil nan lembut itu.” “Aku? mengapa ?! Minta maaf kepada dia...”

“Seharusnya sih dilakukan kedua orang, namun kini giliranmu untuk memulai, karena kau begitu kejam.” Untuk sesaaat, Louise mengerang - Uuuh, auuu, iiiii – menyesalkan. “Aku sudah mengerti! Hanya perlu meminta maaf! Hanya minta maaf!” Jeritnya. Apa itu sikap meminta maaf?

Namun, Derflinger berucap hangat. “Tapi rekan snagat pundung kali ini...kau tahu, dia sangat-sangat jijik padamu. Permintaan maaf seperti itu mungkin tak cukup.” Louise mulai terlihat gelisah. “Khawatir?”

“J-jangan bodoh! Semuanya akan baik-baik saja! Tiada yang bisa meminta lebih dari permintaan maaf!” “Hmmm.” Derflinger terdiam. Karena dia tak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, Louise menjadi tak sabair. Akhirnya Louise gelisah. Dia mengambil sebatang kayu bakar yang berada dekat perapian dan “Piin” mulai mengulitinya.

“Cara membunuh waktu nan suram.” “Diam! Kalau begitu, katakan padaku! Ajarkan aku apa yang harus kulakukan!” “Cinta.” Haaa?”

“katakan,’Aku jatuh cinta pada Saito’!” “Aku tak bisa mengatakan hal semacam itu!” “Apa kau membencinya?” “B-bukan begitu...” Louise enggan.

“Maka, kalau begitu, bukankah kau sudah jatuh cinta?”

“B-bukan begitu! Lagipula, aku mengatakan apa yang ingin kukatakan, bahwa aku tidak mengatakan apa yang kukatakan, dan bahwa aku tak sednag jatuh cinta! Uuuuh! Tolol! Pedang karatan!” “Haah, jika kau seperti itu, maka mendorongnya ke bawah keluar dari pertanyaan, kan?” “itu ide yang bagus.” “benarkah?”

“bagus sekali. Berhenti bercanda! Seorang tuan untuk mendorong ke bawah! Beneran deh...” “kau takkan mendorongnya ke bawah?” “Itu keluar dari pertanyaan! Bodoh!”

“Aah, tapi didorong ke bawah oleh pasangan yang dicintai, dan dipeluk erat-erat, menyenangkan, bukan?” Dengan merah merona di pipinya, Louise menundukkan pandangannya, dan berkata dnegan suara kecil. “...itu, b-bisakah kau ngobrol tentang yang lain? Pintanya. “Maka dorong dia ke bawah.”

“A-Aku takkan mau melakukan itu! Serius! A-aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Lagipula akan sulit untuk mendorong Gandalfr ke bawah. Hei.” “Itu katamu.”