Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab8

From Baka-Tsuki
Revision as of 03:46, 3 November 2012 by Altux (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bab Tujuh : Alasan untuk Bertarung

Kembang api yang mekar penuh menernagi langit malam. Dari bawah tenda-tenda yang berad di plaza utama Saxe-Gotha, orang-orang berteriak gembira. Karena Tentara Gabungan yang ditempatkan disini, kota terisi dua kali lipatnya dengan tenda-tenda. Jumlah penginapan yang bisa disewa prajurit terbatas.

Pedagang-pedagang datang dari berbagai daerah untuk menjual berbagai barang pada para prajurit. Kota Saxe-Gotha tengah diselimuti keramaian yang tak biasa. Dan, menyambut awal Bulan Yara, hari ini dua kali lebih ramai dibandingkan hari pertama minggu pertama.

Festival terbesar di Halkeginia, Festival Advent, telah dimulai. Untuk 10 hari sejak hari ini, semua bisa minujm, bernyanyi dan berbuat macam keributan setiap hari.

Louise dan Saito meminum alkohol di tenda besar penginapan "Charming Fairies" yang dibuka di plaza.

Di sekitar Rene ada semua anggota skuad kedua Ksatria Naga. Semua petugas utama, termasuk Guiche, juga bisa terlihat disini. Baik petugas militer senior dan prajurit dilarang minum dan makan di dalam penginapan Saxe-Gotha. Mereka akan jadi mabuk, dan membuat masalah bagi penduduk setempat-lebih mudah untuk mengawasi mereka jika mereka semua di satu tempat. Karena itulah, penginapan ini, yang mengadakan perjalanan bisnis dari Tristain, terisi penuh.

Setelah pakaian kucing hitamnya dilihat orang, Louise tak bicara sama sekali kecuali perlu. Dia sangat malu. Dalam hening dia menyeruput minumannya sendirian.

Karena Louise lemah alkhol, hanya sedikit anggur dituang kedalam gelasnya. Sisa minumannya berupa jus buah, buah, dan air. Dia terus meminumnya sedikit demi sedikit. Namun tetap saja, wajahnya sudah merah.

Dia mencuri-curi pandang pada Saito melalui sudut matanya. Saito tengah minum bersama grup Rene dan juga Guiche, yang dia temukan lagi tadi. Berbeda dari waktu bersama Louise, dia agak bahagia. Melihat itu, Louise menuangkan lebih banyak anggur.

Louise yang matanya berkunang-kunang mengangkat gelasnya. “Tambah!” Louise melihat seorang pelayan berlari mendekatinya, membuang muka, dan mencoba memanggil yang lain. “Seseorang, mohon layani aku, seseorang.”

“Beri pesananmu.” Siesta memanggil Louise dengan wajah tenang. “Aku tak memanggilmu.” Louise menatap tajam Siesta, dan lalu, bergumam, “Berlari kesana-kemari...seperti seorang tolol.”

Siesta, yang tetap berwajah ceria, berkata, “Aku akan memberikanmu tambahan, jika kau berpakaian dalam kostum kucing hitam.” Pipi Louise memerah. Siesta mendekatkan wajahnya ke Louise tanpa bersuara, dan bergumam, sambil tersenyum,

“Kau tuanku untuk hari ini.” Louise melompat, gemetaran. Tapi lalu dia punya pikiran lain. Tiada waktu beradu mulut dnegan pelayan itu. Toh, Aku tahu hasil perang ini. Aku akan mengatak itu padanya. Dia tertawa dalam pikirannya. Louise memasang wajah malu-malu dan bergumam,

“A-aku ditembak.” Alis Siesta menaik. Louise tak melewatkan reaksi lawan cintanya. Itu karena Louise seorang gadis. Dia tak punya apa yang kupunya. Akhirnya, Aku menang! Louise menjadi bahagia, dan demi mempermanis kemenangannya, dia terus menekan Siesta.

“Itu benar. Dia berkata dia condong padaku. ‘Apa yang harus kulakukan, ku tak bisa berhenti memikirkanmu.’ Katanya. Benar-benar familiar tak tahu diuntung.” Siesta mendengarkan sambil tersenyum.

“Heee. Aku senang mendengarnya,” ucapnya, meski matanya sama sekali tak tersenyum. “Lagipula. Dia mendorongku ke bawah. Tentu saja aku tak memperbolehkannya! Maksudku, aku tak menyukai hal-hal seperti itu. Itu tak alami!”

“Mencumbu tapi tak menjual akan menjauhkan.” Ucap Siesta. Louise menangkap sekilas dahinya dan menjawab balik. “Bukan kau.”

Keduanya terus saling menatap. Pada saat itulah....suara pelan dari sesuatu yang mengenai tenda terdengar. “Mmm?”

“Lihat, itu salju! Salju! Dari luar, suara –suara menggema. Memang, dari pintu masuk tenda, semua bisa melihat salju turun. “Festival Advent Salju...” gumam Louise.

“Aku mengharapkan Festival Advent Salju...” gumam Siesta dnegan wajah terpesona. “Benarkah?” “Ya. Di Tarbes, keadaannya hangat meski musim dingin datang. Tanpa banyak salju...” Dengan mata yang berbinar-binar bagaik kanak-kanak, Siesta memandangi salju diluar tenda. Lalu Siesta menyadari Louise tengah menontonnya. Keduanya saling memandang dengan pipi memerah. Lalu kembali menonton salju.

Louise berkata, sambil menyembunyikan kekikukkannya, “...Entah mengapa, kini tenang. Mungkin kita juga harus berdamai untuk Festival Advent ini.” “Benar.” “Duduklah disini.”

Louise mempersilahkan Siesta untuk duduk. Yap, Siesta duduk dengan malu-malu dekat Louise sambil mengangguk. Setelah menerima minuman Louise yang telah ditawarkan sebelumnya, Siesta membungkuk. “Bersulang!”

Merasa aneh, pasangan ini membiarkan gelas mereka beradu. “Enak,” ucap Siesta, dnegan pipi memerah dari alkohol. “Rasanya bagai benar-benar menjadi seorang ningrat.”

Mereka menonton salju berjatuhan melalui celah tenda. “Indah sekali....salju yang menutupi bangunan...seperti gula,” gumam Siesta. “Yah...” “Meski ini negeri nan indah, mengapa ada perang...?” Ucap Siesta, sambil memandangi Louise.

“M-maaf...aku tak menyalahkan Nona Vallière...aku tahu kau bekerja keras untuk negara.” Louise menundukkan pandnagannya. Siesta bergumam, sambil menatap anggur di dasar gelasnya, “...Jujur saja, aku benci perang ini. Banyak yang tewas. Untuk apa?”

“Untuk apa?” “Untuk apa kau bertarung? Ayah...mengatakan alasannya adalah uang. Menaklukkan negara lawan juga menguntungkan bagi penguasa untuk mengukuhkan dirinya. Apa itu? Apa kau membunuh yang lain untuk alasan semacam itu?”

Louise berpikir. Ini mungkin benar terkait menteri-menteri yang ada. Namun, Henrietta berbeda. Karena waktu yang mereka habiskan bersama selama masa kecil mereka, Louise sangat mengerti dia. Untuk Henrietta. Perang ini soal balas dendam. Untuk mengalahkan musuh yang dibenci yang membunuh orang yang dicintai. Hanya ada keinginan itu dalam pikiran Henrietta.

Siesta menanyai Louise, yang tengah hilang di alam fikiran, Mengapa nona Vallière bertarung?” “Aku?” “Ya benar.”

Itu karena aku ingin membantu Henrietta? Sedikit. Tapi bukan itu sih sebenarnya. Bagi Louise, pertarungan ini... Melihat Louise terdiam, Siesta menunduk. “Maafkan aku. Ini bukan hal yang pantas aku tanyakan, tapi...”

Tepat saat itu...sebuah teriakan keras dari meja Saito terdengar. “Benaran! Jangan bodoh!” “Ha! Siapa yang tolol?! Apa yang begitu tolol soal itu?!” Guiche meraung, sambil berdiri.

Saito juga bangkit dan menunjuk pada Guiche. “Apa yang kau katakan padaku?! Kau hanya melakukannya untuk mendapatkan nilai di mata Montmorency. Bodoh! Jika kau tewas, Monmon akan benar-benar sedih!” “M-mengapa kau menghina tindakanku?!”

Guiche menghunus mawar tiruannya. Sepertinya pertengkaran. Rene, yang minum bersama mereka, mengatakan, “Ya, karena kau seorang jelata, harga diri tak berarti bagimu, tapi keadaannya berbeda bagi kami.” Saito menatap Rene dan berkata,

“Kehormatan ini, kehormatan itu – itu semua hanyalah ketololan. Bukankah unit Ksatria Nagamu sudah mati sekali? Takutlah akan dia sedikit! Aneh! Apa kalian tak takut mati demi kehormatan? Itu bodoh. Hanya orang tolol yang berpikir begitu. Kehormatan? Ia tak pantas dihargai kematian. Hal semacam itulah yang engkau lakukan - kupikir itu bodoh.” “Saito!”

Pada saat itu...nama Saito tiba-tiba diteriakkan. Bukan Rene maupun Guiche. Louise lah pelakuknya, yang berdiri disana, gemetaran dalam amarah. Saito perlahan berbalik menghadap Louise. “Apa?”

“Kau, Minta maaflah. Minta maaf pada Guiche dan Rene!” “Apaa?” “Menghina ‘Kehormatan’ tak diperbolehkan.” Ucap Louise sambil gemetaran.

Dan Saito alasan di balik itu. Aku disalah pahami...hal-hal yang dia pikir penting, sama sekali tak berarti bagi Saito, yang membuatnya terusik.

Karena pertengkaran Saito...dia lupa segalanya soal perasaan galaunya. Hanya pernyataan “Gagal dalam sebuah misi, terus kenapa?” Saito yang ada di kepalanya sekarang. Saito menjawab balik dengan nada marah, “Yang kau bela adalah mereka dan bukan aku?”

“Bela; apa katamu? Bagiku, kehormatan jauh lebih penting dari nyawa. Jika aku kehilangan itu, aku takkan lagi menjadi ningrat. Dan jika aku bukan ningrat, maka aku bukanlah aku. Itulah mengapa aku tak tahan dengan pernyataan yang membantah kehormatan tepat di depan mataku.” Ucap Louise tegas.

Di sisi lain, Saito juga menyadarinya. Saito tahu dari pandangan mata Louise. Saat dia hampir diremukkan golem Fouquet, Louise juga menunjukkan wajah yang sama.

Pada saat itu, Louise berteriak” Aku takkan melarikan diri dari musuh, karena aku seorang ningrat!” Pada saat itu, dia berfikir Louise sangat luar biasa, tapi kini berbeda. Aah, Saito mengerti.

Dia teringat kata-kata terkini Louise. “kematian itu menyedihkan, namun,,,Mereka mati terhormat...terhormat....mereka tewas demi kemenangan yang agung. Karenanya, jangan merasa kasihan pada mereka.”

Saito mengerti alasan sebenarnya mengapa dia pundung. Bukan Julio penyebab terpisahnya mereka. Bagi Louise, ini adalah tugas...apa kata “kehormatan” ini begitu penting? Karena dia merasa itu penting, dia menjadi begitu depresi

Karena itulah, dia membuat pernyataan tentang Guiche tadi. Apa-apaan itu?

Apa kehormatan ini begitu penting? “Kalau begitu, kau...” Saito menatap Louise. “Kau?”

“Jika kau diperintahkan mati, apa kau akan tewas seperti orang-orang gila ini?” Ucap Saito, sambil menunjuk Rene dkk.” Louise menggigit bibirnya.

“Bukankah ini gila? Hal kurang ajar...” Louise menyela sebelum dia selesai. “Mati, akan kulakukan.” Suaranya gemetaran.

“Kau...” Saito terkejut. Louise, dnegan ketegasan penuh, berkata, “D-demi putri dan ibu pertiwi. Jika diperintah, aku akan memberikannya dengan senang hati.” Ini membuat Saito putus.

Dia berkata dia akan siap mati tanpa pikir panjang. Lalu bagaimana dengan surat guru mereka, Colbert. Untuk terbiasa dengan kematian karena perang! Melihat orang-orang tewas, kata-katanya menggema.

Semuanya kini mengemuka. Apa benar, kehormatan lebih penting dari kami? Saito terus menekan Louise. “Lalu bagaimana denganku?” “Heh?”

“Jika kau diperintahkan untuk mati, apa aku juga harus mati?” Louise, terlihat kaget, bergumam, salah memahami ini, “A-apa...apa kau begitu takut mati?” “Apa yang ka-“

“Pengecut! Semua siap mati, saat setuju datang kesini!” “Apa aku setuju? Bukankah aku dipaksa kesini sebagai pengiringmu?” “Lalu mengapa kau belum menyatakannya?!”

“Aku belum diberikan waktu berpikir! Hanya – kesini, kesana, selama ini!” Keduanya saling meneriaki dnegan nada penuh amarah. Orang-orang yang makan dan minum dalam tenda, bengong, dan menonton pertukaran kata diantara mereka.

“Begini,,,,bisakah kalian mendinginkan diri sekarang?” Rene yang berdiri di samping Guiche, akhirnya membawa Louise kembali ke alam nyata. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan dengan tenang memberitahu Saito.

“Yah....ini memalukan. Sekarnag, Saito, kembali ke kamarmu dan beristirahatlah. Setelah itu, kita bisa membereskan ini dengan kepala dingin...marah semacam ini takkan menyelasaikan apapun.” Apa...pembicaraan ini belum berakhir, dan dia masih saja tetap merasa tak enak di hadapan orang lain? Tepat di saat dia memikirkan itu...Saito menyadari satu hal lagi.

Dia tak ingin memikirkannya selama ini....jarak yang dia rasa diantara dia dan Louise, alasan sebenarnya dibelakang rasa tak cocok ini... Apa itu apa yang Louise pikirkan soal aku?

Dia pikir pertanyaan ini dan perasaan berjarak diantara mereka berhubungan. Para Jenderal...menggunakan “Void” Louise sebagai alat... Aku juga hanya “alat” bagi Louise. Sang Familiar legendaris, Gandálfr

Tujuan keberadaannya hanyalah untuk menjaga tuannya saat dia melantunkan mantra... Dengan kata lain, aku hanya alat penting bagi jalannya untuk menjaga kehormatan... Lalu, dia pasti perlu menjaga perasaan Saito. Memberikan sentuhan yang jarang-jarang sebagai penghargaan.

“Maka kau sama dengan para jenderal itu.” Gumam Saito. “Ha! Itu, apa kau bilang...”

“Aku hanya alat, kan? Sebuah familiar.” Lalu dia mendorong Louise kesamping dan berjalan keluar tenda. “Hei, tunggu!” teriak Louise, tapi Saito tak berhenti.

Siesta, yang duduk berdekatan. Bangkit berdiri dan berlari mengikuti Saito. Lalu Louise, dengan marah, mencengkram satu kendi anggur dan mengisi penuh gelasnya, tanpa madu dan jus buah, dan meminumnya sekali teguk.

Saito mondar-mandir melalui kota yang bersalju. Meski ia dibilang kota tua, batu-batu dibentuk sempurna, tanpa retakan atau salah pasang. Meski sukar dipercaya, kota tetap keadaannya selama ribuan tahun, karena mantra “Tetap” diletakkan padanya dahulu, lama sekali.

Kotanya putih karena salju. Tembok di sekitar kota dan sekitarnya seluruhnya ditutupi salju putih yang bertebaran dan menari di langit. Dan saat dua melewati jalan putih yang begitu terang, dia dipanggil dari belakang. “Saito-san.”

Saat berbalik, dia melihat Siesta yang sedih berdiri disana. Dia mengenakan pakaian hitam dan sehelai apron yang berbeda dari yang dia lihat di Akademi Sihir. Rancangan bajunya juga memiliki bukaan leher. Ini bisa jadi kesukaan penginapan "Charming Fairies". “Siesta.

Siesta berlari menuju Saito dan menggenggam tangannya. “S-s...” Dengan kemerahan di pipi. Dia berusaha keras mengatakan sesuatu sambil tertahan. “S?”

“S-salju, kau akan masuk angin...” “Masuk angin? Ngga juga...” Saat dia berkata begitu, Siesta mulai menangis. “Ini parah, kau akan masuk angin parah...”

Yang lewat memandangi pasangan tersebut dengan mata penasaran. Saito panik. “S-Siesta...I-itu...” “Membuat seorang gadis menangis! Dasar playboy!” “Apa, mengejar kembang desa?”

Orang-orang di jalan mulai berdesas-desus. Saito malu. “Siesta, untuk sekarang, ayo terus jalam...” Dia mulai berjalan sambil memegangi bahu Siesta yang terisak.

Karena mereka tak bisa kembali ke, karena Louise yang menyewa kamar, maupun penginapan “Charming Fairies”, Saito dan Siesta menyewa sebuah kamar di penginapan yang cukup jauh. Dalam kota yang penuh dengan para prajurit dan pedagang-pedagang, adalah sulit untuk menemukan sebuah kamar kosong, tapi entah bagaimana, mereka mampu menemukan sebuah kamar dalam basemen salah satu bar dan memasukinya. “Mengambil 1 ecu untuk kamar yang berantakan.”

Keluh Saito sambil duduk di kasur. Suasana agak remang-remang karena tiada jendela di kamar. Meski Siesta terisak-isak parah, dia langsung berhenti begitu Saito menepul lembut kepalanya. “Maafkan aku,” Ucap Siesta sambil menggigit bibir bawahnya. “Ada apa?” Tanya Saito.

“Kasihan Saito-san...meski dia bekerja begitu keras, yang dia terima kata-kata tak berperasaan...ini snagat menyedihkan...” “Tak apa-apa.” Ucap Saito, dengan harapan meringankan suasana untuk sesaat. Siesta mulai gemetaran.

Kamar yang tak berpemanas mulai menjadi dingin. Saito berdiri dan melemparkan beberapa potong kayu bakar ke perapian. Mereka diberakan beberapa saat memesan kamar. Peralatan pemanas lain belum ditemukan di Halkeginia. Dia mulai meniup agar kayu bakar lebih menyala...dan dengan hening dipeluk Siesta dari belakang. Dengan instingnya, dia menahan napas. “Maafkan aku...” ucap Siesta dengan nada sedih.

“Eh> Tidak, tak apa-apa...toh, aku tak punya sesuatu untuk dibelanjakan...” Dia pikir dia berterima kasih soal memesan kamar, tapi dia salah. “Melarikan diri ke tempat semacam ini...sangat mengganggu.” Siesta mempererat pelukannya.

Api menyebar diantara kayu bakar...terbakar begitu terang. Kamar ini setengah di bawah tanah, jadi jendela masih memberikan cahaya dari atas. Menghadap ke jalan, bisa terlihat kaki dari para pejalan kaki. “Apa aku gangguan?” “Tidak sama sekali. Rasanya enak juga.” Gumam Siesta dengan nada terisak lagi.

“Meki begitu, bukankah ini perang? Jika sesuatu terjadi pada Saito san. Aku, Aku...aku benci tak bisa melihatmu lagi, jadi aku memutuskan untuk datang. Karena itulah, aku datang bersama Jessica dan Paman ke Albion...” Sambil berbicara, dia menyerah pada perasaannya. Siesta mulai terisak-isak keras lagi.

“Aku begitu ingin melihatmuDan aku begitu bahagia sat melihatmu, namun aku tak bisa mengungkapkannya. Saat aku bicara, aku mengobrolkan tentang berbagai macam hal-hal yang tak penting. Ini jelek sekali.” Siesta menekankan pipinya, yang basah dari airmata, ke punggung Saito. “Yah...”