Fate/Zero:Act 13 Part 4~ Indonesian Version
-37:02:47
Ketika Irisviel membuka matanya lagi, hal pertama yang jatuh ke dalam pandangannya adalah cahaya matahari terbenam yang mewarnai jendela tinggi di gudang bawah tanah dengan kilau merah tua.
Sejak kehilangan kesadaran, ia telah tenggelam dalam tidur lelap dan merasa seolah satu hari telah berlalu. Daripada tertidur, tubuhnya yang melemah lebih tepat dikatakan memasuki keadaan mendekati kematian.
Tapi rasanya nyaman untuk saat itu, jadi mungkin istirahat panjang itu ada efeknya. Ia masih tidak punya cukup tenaga untuk duduk, namun setidaknya ia bisa mengumpulkan cukup nafas untuk bicara.
Irisviel melihat ke samping dan menemukan Hisau Maiya masih duduk di sudut ruangan, masih seperti sebuah lukisan. Ia masih di tempat yang sama dengan sikap yang sama seperti sebelum Irisviel jatuh tertidur, tetapi pandangan setajam pisau yang terpancar dari matanya tak menunjukkan sedikit pun kelelahan atau kepenatan. Ia hanya memandang kosong ke udara.
Walaupun terlihat bisa diandalkan, ia bisa dengan mudah disangka sebagai robot atau familiar. Bahkan Irisviel pun merasakan ketakutan pada taraf tertentu terhadapnya. Latihan seperti apa dan kemauan sekuat apa yang harus ia miliki untuk bisa mempertahankan fokus setingkat itu? Tidak bisa dibayangkan.
Dengan kekaguman, Irisviel tiba-tiba menyadari – wanita bernama Hisau Maiya ini mungkin telah mencapai satu tingkatan di atas dunia yang dikejar Kiritsugu.
“—Hei, Maiya.”
Irisviel memanggil pelan. Bagaikan anjing yang tiba-tiba mendengar terompet pemanggilnya, Maiya segera mengalihkan pandangannya pada Irisviel.
“Mengapa... kau bertarung untuk Kiritsugu?”
“... Karena aku tak punya apapun lagi.”
Ketika ia menyadari bahwa yang ia jaga tidak berada dalam kesakitan atau ketidaknyamanan dan hanya ingin mengobrol, Maiya sedikit mengendurkan saraf-sarafnya yang tegang dan menjawab setelah berhenti sebentar untuk berpikir.
“Aku tak bisa mengingat apapun tentang keluargaku atau namaku. Nama ini, Hisau Maiya, diberikan padaku oleh Kiritsugu ketika ia membuatkanku paspor palsu.”
“—Hah?”
Melihat keterkejutan di wajah Irisviel, sudut mulut Maiya tertarik membentuk senyuman kecil. Untuk seseorang seperti dirinya, yang tak menunjukkan emosi yang tampak, hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan suasana hatinya yang lebih santai.
“Yang bisa kuingat hanyalah negeri yang sangat miskin. Tak ada harapan, tak ada masa depan. Yang tersisa hanya kebencian komunal dan konflik memperebutkan makanan untuk bertahan hidup.
“Perang tak akan pernah usai. Tak ada dana lagi untuk membiayai tentara, namun saling bunuh terus berlanjut tanpa ada jeda... tak seorang pun ingat usul siapa itu, namun saat itu seseorang mengatakan bahwa lebih cepat mengirim anak-anak maju ke garis depan daripada menyewa tentara dan melatih mereka.”
“...”
“Karena itu, aku tak mengingat apapun sebelum aku memegang senapan di tanganku. Aku hanya bisa terus membunuh yang lain demi memperpanjang hidupku. Membidik musuhku, menarik pelatuk; hanya itulah fungsi keberadaaanku. Selain itu, semuanya disingkirkan... anak-anak yang tak bisa melakukan itu dibunuh oleh anak-anak yang bisa melakukannya. Aku hidup tanpa tujuan seperti itu sampai aku bertemu Kiritsugu.”
Saat Maiya bicara, ia menundukkan kepalanya dan memandangi tangannya. Jemari yang panjang, ramping itu tak memiliki kelembutan seorang wanita, dan hanya bisa dibandingkan dengan senjata tajam untuk membunuh.
“Sebagai manusia, hatiku sudah mati. Hanya tubuhku yang masih berfungsi, memelihara perilaku sebagai manusia. Orang yang memungutku dan mempertahankan ‘hidup’ku adalah Kiritsugu; karena itu, ia bisa menggunakan hidupku dengan cara apapun yang ia inginkan... Itulah alasan mengapa aku masih ada di sini.”
Walaupun Irisviel sudah lama menduga bahwa Maiya memiliki masa lalu yang tragis, hal yang ia katakan jauh melebihi bayangan Irisviel.
Irisviel terdiam dan tak tahu bagaimana ia harus menanggapi. Kali ini, justru Maiya yang membuka mulutnya dan bertanya.
“—Oh?”
Irisviel tidak menyangka Maiya mengatakan hal seperti itu dan hanya bisa merasa terkejut.
“Anda selalu hidup di dalam kastil terpencil seperti itu dan hanya mengetahui sedikit tentang dunia luar. Mengapa Anda mendukung Kiritsugu, yang bersumpah untuk mengubah dunia, sampai-sampai Anda rela mengorbankan nyawa Anda sendiri...?”
“Aku –”
Kata-kata Maiya sekali lagi membuat Irisviel tenggelam dalam pemikiran yang dalam.
Emiya Kiritsugu, suaminya, pria dengan impian ‘menyelamatkan dunia’. Kini ketika Irisviel mengetahui bahwa ia mencari Cawan Suci yang tersembunyi dalam tubuhnya sendiri, apakah dirinya saat ini masih memegang cita-cita yang sama sepertinya?
“—Benar. Sejujurnya, aku tidak memahami cita-cita Kiritsugu sedalam itu.”
Ya, jawabannya itu – negatif.
“Pada akhirnya, aku mungkin hanya berpura-pura memahami. Mungkin ini hanya agar aku bisa bersama-sama dengan orang yang kucintai. Seperti yang kau katakan, Maiya, aku hampir tak tahu apa-apa tentang dunia yang ingin diubah Kiritsugu. Cita-cita dalam hatiku mungkin hanyalah sesuatu yang diajarkan Kiritsugu padaku.”
“... Apakah kau berpikir begitu?”
“Mmm. Tapi tolong rahasiakan ini dari Kiritsugu.”
Ini adalah perasaan yang luar biasa bagi Irisviel. Di hadapan orang ini ia telah mengatakan sesuatu yang tak akan pernah ia katakan di depan suaminya.
“Dalam keadaaan seperti apapun, aku akan mengatakan padanya bahwa aku sangat mempercayai bahwa dia benar. Aku bahkan bisa mengorbankan nyawaku demi idealismenya. Aku berpura-pura memiliki idealisme yang sama sepertinya. Kalau aku meyerahkan nyawaku demi idealisme yang kami yakini bersama – dibandingkan seorang wanita yang semata-mata mengorbankan diri demi suaminya, bukankah aku akan menjadi beban yang lebih ringan bagi Kiritsugu?”
Cintanya pada Kiritsugu dan kepercayaannya pada Saber adalah dua perasaan yang sama sekali berbeda. Bagi Irisviel, perasaan mengandalkan seseorang ini, perasaan yang baru pertama kali ia miliki, mungkin bisa disebut ‘persahabatan’.
“Lalu, Madam, tidakkah Anda memiliki permintaan Anda sendiri?”
Ketika ditanya pertanyaan ini lagi, Irisviel tak bisa berbuat apa-apa selain teringat pertempuran yang ia dan Maiya hadapi bersama di hutan. Saat itu, dihadapkan pada kehadiran Kotomine Kirei yang dahsyat dan jauh melebihinya, dari mana datangnya gelora semangat bertarung itu?
“Aku mungkin memiliki... satu permohonan. Aku ingin Kirisugu dan Saber mendapatkan kemenangan. Aku, demi mereka, ingin mereka mendapatkan Cawan.”
Tentu saja, itu juga berarti kematian Irisviel, perpisahan selamanya dengan Kiritsugu.
Bagaimanapun, walaupun begitu, permohonan ini – menjadi sumber yang memberikan dorongan keberanian dalam hati Irisviel.
“Apakah itu... yang dikatakan permohonan keluarga Einsbern, keberhasilan mendapatkan Magis Ketiga (Third Magic)?
“Tidak. Aku bahkan tak peduli kalau kita tak mendapatkan Cawan Agung (Greater Grail). Yang kuharapkan adalah berakhirnya peperangan untuk selamanya. Sama dengan apa yang dicari Kiritsugu; mengubah susunan dunia ini dan mengakhiri seluruh pertempuran. Pertempuran memperebutkan Cawan Suci di Kota Fuyuki ini juga bukan pengecualian, bukan?
“Ini sudah yang keempat kalinya, dan aku memohon supaya ini menjadi Heaven’s Feel terakhir, dan mengenai homunculus yang dikorbankan sebagai wadah bagi Cawan – aku harap aku akan menjadi yang terakhir.”
“Mmm.”
Illyasviel von Einsbern. Makhluk dengan segala pencapaian hebat alkemi terkumpul dalam dirinya, dilahirkan dari rahim seorang homunculus dan dibuahi dengan sperma seorang magus. Walaupun ia belum pernah melihatnya dengan matanya sendiri, Maiya sudah mendengar keberadaannya sejak lama.
“Itulah rencana sang kepala keluarga. Untuk ‘penjaga Cawan’ setelahku, ia berencana menggunakan homunculus dengan mekanisme yang bahkan lebih hebat lagi. Ia tidak hanya menanamkan rahasia Cawan Suci pada embrio, ia juga menambahkan Sirkuit Magis pada penampilan luarnya dan membuat tubuh fisiknya mampu menjadi wadah bagi ‘Cawan’ dengan sendirinya.
“Kepala keluarga kami telah memperkirakan kemungkinan adanya ‘putaran Kelima’ sebelum Heaven’s Feel keempat dimulai, dan ia mengizinkanku melahirkan Ilya. Kalau Kiritsugu dan aku gagal, anak itu akan menjadi bahan percobaan untuk ‘Dress of Heaven’.”
Kali ini, suara Irisviel dipenuhi kelembutan dan rasa cinta pada keluarga.
Ini adalah bukti nyata bahwa sang homunculus yang bernama Irisviel ini bukanlah semata-mata mesin buatan. Ia memiliki hati seorang manusia, kebaikan cinta, senyum kebahagiaan, dan air mata kesedihan. Perasaan hangat yang mengembang di hatinya adalah bagian terpenting untuk menjadi manusia.
“Ketika aku menggendong anak itu dan menyusuinya...aku juga sangat menyadari bahwa ia tidak akan bisa melarikan diri dari takdir menjadi suatu ‘wadah’ pada akhirnya. Bisakah kau memahami perasaan seorang ibu yang merasakan keputusasaan tanpa akhir ketika memandangi anak yang disayanginya?”
“...”
Maiya terdiam dan tak menjawab. Irisviel melanjutkan.
“Bagaimanapun, itu adalah takdir yang dipikul homunculus keluarga Einzbern. Apakah itu anakku atau cucuku, kesedihan ini akan terasa lagi dan lagi setiap kali seorang anak perempuan lahir. Takdir ini akan berulang setiap kali Cawan Suci Fuyuki turun.
Karena itu, aku berharap rasa sakit ini bisa berakhir di sini bersamaku, menggunakan tubuhku untuk mengakhiri permohonan bodoh keluarga Einsbern. Kalau permohonanku bisa terwujud, maka putriku akan terbebas dari takdir yang tragis ini. Anak itu mungkin akan bisa menjalani seluruh hidupnya sebagai manusia dan tidak berurusan dengan Cawan Suci.”
“Apakah itu perasaan seorang ibu?”
Barulah ketika Maiya menanyakan ini, Irisviel menyadari bahwa ia menunjukkan terlalu banyak perasaannya. Ia memberikan senyuman malu-malu, dan pahit.
“Mungkin. Mungkin kau merasa sulit untuk memahaminya, Maiya.”
“Tidak terlalu sulit. Aku sendiri juga pernah menjadi seorang ibu.”
“—Hah?”
Sebuah jawaban yang mengejutkan. Irisviel hampir meragukan telinganya sendiri.
Seolah merasa sedikit menyesal telah mengejutkan Irisviel, Maiya menceritakan kejadian itu dengan suara tenang.
“Aku... sebenarnya pernah mengalami kehamilan dan persalinan, walaupun bisa dikatakan itu suatu kecelakaan.”
“... Apakah kau pernah menikah?”
“Tidak. Aku tak tahu siapa ayahnya. Selama perang, setiap malam di barak, prajurit laki-laki akan mendatangi kami prajurit perempuan dan... aku tak bisa mengingat kapan mulainya... yang jelas, aku hamil segera setelah aku menjadi wanita.
“Anak itu tidak diberi nama dan aku tak tahu apakah ia masih hidup. Kalau ia tidak mati, ia pasti masih ada di suatu sudut yang jauh di medan pertempuran, bertarung demi hidupnya. Anak-anak di sana semuanya diberi senapan dan dikirim ke medan perang segera setelah mereka menginjak usia lima tahun.”
“Bagaimana bisa...”
Ketika ia mendengar mantan prajurit anak-anak di hadapannya ini menceritakan kembali kisah-kisahnya di masa lalu, Irisviel tak bisa berbuat apa-apa selain merasa tertegun.
“Anda terkejut? Tetapi itu jelas bukan hal yang baru di dunia ini, bukan? Para teroris modern dan kelompok-kelompok gerilyawan perang semua mengetahui keuntungan menggunakan anak-anak sebagai prajurit, dan yang cepat berhasil sepertiku juga menjadi buktinya. Karena itu, anak-anak yang mengalami hal yang sama denganku ini tidak berkurang jumlahnya di zaman modern, tetapi justru meningkat.”
Maiya bercerita dengan tenang, matanya tampak semakin dan semakin tidak hidup. Kesedihan dan kebencian juga mulai menghilang dari suaranya. Mungkin yang tersisa dalam ingatannya hanyalah keputusasaan tanpa akhir.
“Madam, mungkin Anda berpikir dunia yang Anda lihat untuk pertama kalinya dengan mata Anda sendiri sangat indah dan Anda iri pada orang-orang yang hidup bahagia di sana. Bagaimanapun, aku sangat iri pada Anda, yang selalu tinggal di kastil itu. Anda tidak mengalami satu pun ketakutan dan keburukan dunia ini.”
Walaupun tak ada rasa iri hati atau benci dalam pemikiran Maiya, Irisviel merasa agak malu mendengarnya.
Maiya tampak menyadari perasaan Irisviel, sehingga ia melanjutkan.
“Kalau dunia yang seperti itu benar-benar bisa diubah... maka tak peduli bagaimanapun Kiritsugu akan menggunakan hidupku sampai akhir, aku tak akan mengucapkan sepatah pun kata penolakan.”
Namun aku tak tahu cara melakukan apapun selain bertarung – Maiya bergumam pelan pada dirinya sendiri. Tanpa tujuan dan tanpa harapan, hatinya segersang lahan tandus yang habis dilalap api.
Walaupun perasaan dalam dirinya sangat berbeda dengan Kiritsugu, ajaibnya mereka mirip sebagai prajurit. Keberadaan Maiya selalu menjadi pengingat bagi Kiritsugu, dan pada saat yang sama memberikan contoh baginya. Karena ada Maiya di dekatnya, Kiritsugu telah mengunci dirinya dalam pilihan ini dan menjadikan dirinya sendiri mesin pembunuh kejam yang tak mengenal kasihan.
“Apa... yang ingin kau lakukan setelah Kiritsugu mendapatkan permohonannya?”
Ketika Irisviel menanyakan ini, mata Maiya sekali lagi tampak bingung.
“—Aku tak pernah membayangkan bisa menyelesaikan tugas ini dan tetap hidup. Kalau aku benar-benar berhasil bertahan hidup, aku tak akan punya alasan untuk tetap hidup. Tak akan ada tempat bagiku di dunia yang sudah diubah oleh Kiritsugu.”
Suatu dunia tanpa peperangan tak punya tempat untuk seseorang seperti dirinya, seseorang yang tak mengetahui apapun selain pertempuran. Bagi Maiya, itu adalah kesimpulan yang masuk akal.
Perasaan sedih, melankolis seperti itu membuat Irisviel bicara.
“Tidak, itu tidak benar. Maiya, kau masih punya hal yang harus kau lakukan setelah perang berakhir.”
“...”
Irisviel meneruskan bicara sambil menatap mata yang kebingungan milik sang prajurit wanita.
“Kau harus mencari keluargamu dan namamu sebenarnya, dan keberadaan anakmu. Itu adalah hal-hal yang tak boleh dilupakan. Hal-hal yang harus diingat.”
“Begitukah...”
Kontras dengan semangat Irisviel, jawaban Maiya penuh dengan ketiadaan emosi dan ketidakpedulian.
“Kalau kita benar-benar bisa menyongsong dunia tanpa perang, maka kenangan-kenangan milik orang-orang sepertiku akan jadi tak lebih dari mimpi buruk. Mengingatnya hanya akan membuatku semakin merasa sakit. Apakah Anda ingin aku membawa benih kebencian ke dalam utopia yang akhirnya bisa kita ciptakan?”
“Itu tidak benar. Hidupmu bukanlah mimpi. Hidupmu berisi kenyataan yang benar-benar terjadi. Perdamaian yang diciptakan dengan mengubur semua kenangan itu dalam kegelapan tidak lain hanyalah kebohongan penuh dosa. Kurasa kedamaian dunia sejati tidak boleh begitu saja melupakan rasa sakit di masa lalu itu. Justru, kita harus dengan khidmat mengingat rasa sakit dan pengorbanan di masa lalu itu agar kita tidak jatuh ke jalan kesedihan yang sama dan bisa terus menciptakan dunia baru yang damai.”
“...”
Maiya menatap Irisviel dalam diam – lalu berkata dengan wajah yang sedikit lebih lega.
“Anda mestinya mengatakan hal itu pada Kiritsugu lebih cepat. Seandainya Anda dulu melakukannya, mungkin ia sudah mendapatkan pembebasan.”
Kata-kata Maiya membawa kegembiraan sekaligus kesepian ke dalam hati Irisviel.
Mungkin – karena ia sudah berada di ambang kehancuran, ia tak akan pernah punya kesempatan untuk berbincang dengan suaminya lagi.
“—Maka, Maiya, kupercayakan padamu untuk menyampaikan kata-kata itu padanya. Katakan padanya aku mengatakan itu.”
Maiya menjawab sambil mengangkat bahunya sedikit.
“Aku akan melakukan apa yang kuanggap pantas. Tapi itu nanti setelah perang berakhir. Kita tidak boleh gegabah saat ini.”
Walaupun nada bicara Maiya sangat dingin, Irisviel masih mendengar candaan dalam suaranya.
“Benar-benar, kau ini—”
Sebelum Irisviel selesai bicara, gudang bawah tanah itu tiba-tiba mulai berguncang hebat.
Maiya melesat ke arah Irisviel dan memegang bahunya, segera beralih ke mode pertempuran. Tatapannya menjadi setajam pisau, dan ia meraih senapan mesin ringan miliknya dengan tangan kanannya dan mengarahkannya ke pintu besi gudang bawah tanah.
Gudang bawah tanah itu berguncang sekali lagi. Kali ini, pintu besi yang tebal dan berat itu dirusak oleh hantaman keras dari luar, seolah seseorang di luar memukulnya dengan kuat. Itu adalah perbuatan hebat yang hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan alat mekanik. Bagi dua peserta Heaven’s Feel ini, ini bukanlah sesuatu yang cukup mengejutkan – justru, mereka hanya merasakan keputusasaan.
Kalau itu benar-benar seorang Servant yang mencoba menyerang ke dalam gudang bawah tanah, maka senjata milik Maiya akan sama sekali tidak berguna untuk menghadapinya. Terlebih lagi, mereka bahkan tak bisa melarikan diri dalam situasi saat ini, benar-benar terjebak di sudut mati.
Bagaimanapun, bahkan sebelum ketakutan bisa melintasi pikiran mereka, ada suatu kebingungan yang sulit dipercaya.
Siapa yang mungkin mengetahui bahwa Irisviel tengah bersembunyi di gudang bawah tanah ini?
Sawar perlindungan seharusnya sudah mengenali penerawangan apapun maupun familiar yang datang. Bagaimanapun, musuh tidak melakukan pengintaian apapun dan langsung mengirimkan Servant ke rumah Irisviel yang aman dengan sedemikian tepatnya; mungkinkah musuh sudah mengetahui tempat ini sejak lama?
Guncangan ketiga. Sebelum pintu besi dihancurkan, dinding tanah di sekelilingnya sudah tak sanggup lagi menerima hantaman yang demikian kuat dan runtuh terlebih dahulu.
Diiringi kepulan debu, pintu besi itu jatuh ke gudang bawah tanah. Matahari terbenam yang bersinar melalui celah pintu, mewarnai ruangan dengan bayangan merah darah.
Dan sosok raksasa yang membayang di balik puing-puing dan debu itu tak diragukan lagi adalah – Servant Rider, Raja Para Penakluk, Alexander.
Maiya hanya bisa menggenggam senapan mesin ringan di tangannya dalam keputusasaan.
Back to Bagian 3 | Return to Main Page | Forward to Bagian 1 |