Date A Live (Indonesia):Jilid 1 Bab 2

From Baka-Tsuki
Revision as of 17:26, 5 March 2013 by NocturneSky (talk | contribs) (New Chapter)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 2: GameTraining Start

Bagian 1

—Sudah lama ya.

Di dalam kepalaku, bergema suara yang sepertinya pernah kudengar sebelumnya.

—Akhirnya, akhirnya kita bertemu lagi, ×××.

Suara yang penuh nostalgia, penuh kehangatan.

—Aku senang sekali, tapi, sebentar lagi saja. Tunggulah sebentar lagi saja.

Kau siapa, aku bertanya, tapi tidak ada jawaban.

—Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku pasti tidak akan membuat kesalahan lagi. Karena itulah...

Di sana, suara misterius itu terputus.

Bagian 2

“...Haa!”

Shidou tersadar,

“Uwahh!”

dan berteriak keras.

Yah tentu saja. Bagaimanapun juga, seorang wanita yang tidak dikenalnya sedang menahan kelopak matanya dengan jari-jarinya, selagi di matanya bersinar cahaya yang datang dari sesuatu yang kelihatannya adalah sebuah penlight[1] kecil.

“...Nn? Dia bangun.”

Wanita itu, anehnya dengan wajah yang mengantuk, berkata dengan suara yang monoton seperti melamun.

Dia sepertinya sedang memeriksa gerakan bola mata Shido yang tak sadarkan diri, jadi wajahnya sangat dekat dengannya. Samar-samar ia dapat mencium bau wangi, mungkin bau shamponya.

“S, S-S-S-S-Siapa kau?”

“...Nn, aah.”

Wanita itu, masih dalam kondisi sadar-tak sadar, mendirikan tubuhnya, dengan ekspresi suram menggeser poninya ke samping.

Karena jarak yang cukup telah terbentuk di antara mereka, sekarang sudah mungkin untuk melihat wanita itu seutuhnya.

Dia memakai apa yang sepertinya adalah seragam militer, dan umurnya sekitar 20 tahun. Rambut acak-acakannya, mata yang dihiasi lingkaran-lingkaran hitam, dan boneka beruang yang dipenuhi bekas goresan yang entah kenapa melongok keluar dari kantung seragam militernya, adalah karakteristik khususnya.

“... saya adalah Petugas Analisis di sini, Murasame Reine. Sayangnya, sang Petugas Medis sedang keluar—Tapi jangan khawatir. Meskipun saya tidak punya ijazahnya, setidaknya saya bisa menangani perawatan sederhana."

“...”

Mau tidak mau ia khawatir.

Karena, wanita yang dipanggil Reine ini jelas-jelas lebih tidak sehat dibanding Shido.

Pada kenyataannya, sejak awal tadi, seakan-akan sedang menggambar lingkaran kecil dengan kepalanya, tubuhnya terhuyung-huyung tidak tegak.

Shido, sekarang dengan tubuhnya terangkat, teringat dengan apa yang Reine baru saja katakan.

"—di sini?"

Ia bertanya, sambil melihat sekelilingnya.

Shido telah tertidur di sebuah pipe bed sederhana. Mengelilinginya adalah sebuah tirai putih yang berfungsi sebagai pemisah. Itu adalah sebuah ruangan mirip klinik sekolah.

Namun, langit-langitnya sedikit tidak pada tempatnya. Beberapa pipa polos dan kabel-kabel dapat terlihat.

“Di-dimana, ini...”

“...ah, tempat ini adalah ruang medis <Fraxinus>. Kamu tak sadarkan diri jadi kami membawamu kesini.”

“<Fraxinus>...? Lalu aku tak sadarkan diri..., ah—”

Benar, Shido telah terseret dalam pertarungan antara sang gadis misterius dan Origami, dan telah tak sadarkan diri.

“...um, uhm, boleh aku bertanya sesuatu? Terlalu banyak terjadi hal-hal yang tidak kumengerti...”

Shido bertanya sambil menggaruk kepala.

Tetapi, Reine tidak merespon, dengan diam berbalik dari Shido.

“Ah—Tunggu..."

“...ikuti saya. Ada seseorang yang saya ingin perkenalkan padamu. …Saya tahu kamu punya banyak pertanyaan, namun saya tidak pandai menjelaskan sesuatu. Kalau kamu mau lebih jelasnya kamu perlu menanyai orang tersebut.”

Sambil mengatakan ini, dia membuka tirai. Di luar tirai adalah ruangan yang sedikit lebih luas. Sekitar enam tempat tidur dideretkan, dan di bagian belakang ruangan terdapat beberapa peralatan medis yang asing.

Reine berputar menuju apa yang tentunya pintu masuk ruangan, dan terhuyung-huyung mencapainya.

Dia kemudian tersandung, dan dengan ‘bang’, membenturkan kepalanya di dinding.

“! Ka-Kau tidak apa-apa?”

“...uuuu.”

Dia tidak sampai jatuh. Reine, merintih, lalu bersandar pada dinding.

“...aah, maaf. Akhir-akhir ini saya tidak mendapat cukup tidur.”

“S-Sudah berapa lama sejak kau tidur terakhir kali?”

Shido bertanya, dan Reine, setelah berpikir sejenak, mengangkat tiga jari.

“Tiga hari. Tentu saja kau akan mengantuk.”

“...mungkin sekitar tiga puluh tahun?”

“Satuannya terlalu jauh berbeda!”

Shido bahkan sudah bersiap-siap untuk jawaban yang sekitar tiga minggu, tapi jawaban ini benar-benar tidak terduga.

Dan jelas-jelas itu melewati umurnya dari yang terlihat.

“...uhm, memang benar kalau saya tidak bisa mengingat terakhir kali saya tidur. Saya punya semacam insomnia akut.”

“Be-begitukah...”

“...oh. Ahh, permisi, ini sudah waktunya untuk obat saya.”

Reine tiba-tiba mencari-cari di sakunya, dan menarik sebuah toples tablet.

Dia lalu membuka toplesnya, dan menuangkan tablet-tablet itu ke mulutnya seakan meminumnya.

“Hey!”

Tanpa keraguan sedikitpun, sejumlah besar tablet di mulut Reine kemudian *gruk gruk gruk glek*, dan mereka berdua tanpa sadar memulai sebuah adegan komedi.

“...ada apa, kamu berisik.”

“Berapa banyak yang kau makan! Dan lagipula, obat apa itu!?”

“...semuanya pil tidur.”

“Kau bisa mati! Leluconmu tidak lucu!”

“...lagipula obat-obat itu tidak benar-benar ampuh.”

“Tubuh macam apa yang kau punya!”

“...yah rasanya manis dan enak jadi tidak apa-apa.”

“Kau pikir itu Ramune[2]!?”

Setelah laga sahut-sahutan tersebut, Shido mengambil nafas dalam-dalam.

“...uhm bagaimanapun, kemarilah. Ikuti saya.”

Reine mengembalikan toples kosong tersebut ke sakunya, dan sekali lagi mulai berjalan dengan langkah-langkah berbahaya, membuka pintu ruang medis.

“...”

Shido terburu-buru memakai sepatunya, dan meninggalkan ruangan untuk mengejarnya.

“Apa, ini...”

Diluar ruangan, adalah sebuah konstruksi menyerupai koridor sempit.

Dinding dan lantai berwarna pucat dengan gaya mekanik itu entah kenapa membuat Shido teringat akan bagian dalam kapal tempur antariksa yang muncul di opera-opera antariksa atau koridor kapal selam dari film-film.

“...apa yang sebenarnya kulakukan?”

Shido, sudah tidak tahu lagi ini dan itu, perlahan-lahan mulai menggerakan kakinya.

Hanya mengandalkan punggung Reine yang berjalan sempoyongan dengan langkah-langkah yang tidak kokoh, di koridor yang mirip latar film, bergema bunyi langkah kaki.

Setelah berjalan beberapa lama.

“...di sini.”

Pada akhir perjalanan, di depan pintu dengan panel elektronik kecil di sampingnya, Reine berhenti dan mengatakan itu.

Pada momen berikutnya, panel elektronik itu mengeluarkan bunyi ‘bip’ pelan, dan pintu tersebut dengan mulus bergeser terbuka.

“...di sini, silahkan masuk.”

Reine melangkah kedalam. Shido mengikuti di belakangnya.

“...ini...”

Ia melihat pemandangan yang ada di sisi lain pintu tersebut.

Untuk menjelaskannya dengan kalimat sederhana, itu adalah sebuah tempat seperti bridge kapal. Di depan pintu yang baru saja dilewati Shido, lantainya terhampar dengan bentuk setengah oval, dan berada di tengahnya sebuah kursi yang sepertinya adalah kursi kapten.

Tambah lagi, mengikuti tangga-tangga di kedua sisinya yang melandai turun ke lantai yang lebih rendah, dimana para anggota crew terlihat sedang mengoperasikan console yang terlihat rumit. Ruangan itu redup secara keseluruhan, dan monitor yang tersebar di sini-situ memancarkan cahaya yang secara paksa menunjukkan keberadaan mereka.

“...saya membawanya.”

Reine sambil pusing mengayunkan kepalanya selagi berbicara.

“Kerja yang bagus.”

Lelaki tinggi yang berdiri di samping kursi kapten memberi hormat ringan seperti seorang butler. Dia memiliki rambut bergelombang dan hidung yang tidak terlihat seperti seorang Jepang. Dia seperti lelaki muda dengan tampang yang sepertinya bisa muncul di novel-novel BL.

“Halo, Saya adalah Wakil Komandan di sini, Kannazuki Kyouhei. Senang bertemu denganmu.”

“I-Iya...”

Sambil menggaruk-garuk pipinya, ia menunduk ringan dengan kepalanya.

Untuk sesaat, Shido telah mengira Reine tadinya berbicara dengan lelaki ini.

Akan tetapi—ia salah sangka.

“Komandan, Petugas Analisis Murasame telah kembali.”

Kannazuki memanggil, dan dari kursi kapten yang punggungnya sedang membelakangi mereka, terdengar suara memberengut, sementara kursi tersebut berputar balik.

Dan kemudian.

DAL v01 000e.jpg

“—Aku menyambutmu. Selamat datang, di <Ratatoskr>.”

Suara seseorang yang disebut ‘komandan’ tersebut terdengar terlalu menawan, dan disaat figur gadis muda yang memakai seragam militer merah menyala di bahunya terlihat jelas.

Rambutnya terikat 2 pita hitam besar. Dia memiliki postur yang kecil, mata bulat seperti biji pohon ek, dan Chupa Chups di mulutnya.

Shido mengernyit. Karena, bagaimanapun juga kau melihatnya—

“...Kotori?”

Benar, tidak peduli jika kau mengamati wajahnya, atau suaranya, atau aura yang mengelilinginya, meskipun ada beberapa perbedaan, gadis itu tidak diragukan lagi adalah imouto Shido yang manis, Itsuka Kotori.


Bagian 3

“—Itsuka, Shidou.”

Bergumam dengan suara pelan sehingga tidak seorangpun yang dapat mendengarnya, wajahnya muncul di benak Origami.

Tidak salah lagi, dia adalah anak pada waktu itu. Tidak mungkin ingatan Origami menyalahinya.

Sedikit mengecewakan, tapi mereka hanya pernah bertemu satu kali itu saja, jadi tak bisa disalahkan kalau dia tidak mengingat Origami. Sejak memasuki sekolah lanjutan ia sudah mencoba berbagai cara untuk mendekatinya, namun semuanya berakhir dengan kegagalan.

Dan sekarang, bahkan ada persoalan yang lebih menggelisahkan.

“Kenapa, dia ada di tempat seperti itu?”

Ia tidak dapat mengerti mengapa dia keluar ke jalanan setelah peringatan spacequake telah dibunyikan.

Tambah lagi—dia pastinya telah melihatnya.

Origami, dengan perlengkapan khususnya—dan Spirit itu.

"Sersan Kepala Tobiichi, persiapan telah selesai!”

“...”

Karena suara teknisi yang tiba-tiba tersebut, wajah Origami yang menatap ke bawah tersentak ke atas.

Ia lalu dengan segera memfokuskan sebuah perintah dalam kepalanya.

Perintah tersebut mengarungi wiring suit yang menyelimuti tubuh Origami, sampai pada thruster parts di punggungnya, dan mengaktifkan Realizer yang tertanam.

Terselimuti perlengkapan yang bentuknya tidak terlihat cocok untuk terbang itu, tubuh Origami sedikit melayang di udara.

JGSDF[3] - Pangkalan Tenguu.

Dalam hangar[4] yang ditempatkan di salah satu sudutnya, dengan mengikuti instruksi teknisi tersebut Origami mendarat di dock pribadinya seperti sedang duduk, mengembalikan senjata-senjatanya ke tempat yang dituju, dan terakhir, sambil menarik nafas dalam-dalam, mematikan semua Realizer-nya.

Bersamaan dengan itu, bobot perlengkapan dan tekanan yang tidak ia rasakan sepersekian waktu yang lalu semua terdorong ke tubuhnya sekaligus.

Terdengar suara mesin yang menyala di belakangnya, dan thrusters yang dibawanya terlepas.

Namun, tidak sampai sekitar tiga menit kemudian, sebelum Origami dapat bergerak dari tempat itu.

Ini terjadi setiap kali setelah menggunakan CR-Unit. Kembali dari seorang superhuman menjadi orang biasa, tubuh akan terasa luar biasa berat.

Combat Realizer Unit. Biasa disebut CR-Unit

Itu adalah nama yang diberikan pada perlengkapan taktikal yang menggunakan teknologi ajaib, Realizer, yang telah diperolah manusia setelah spacequake besar tiga puluh tahun lalu.

Dengan mengambil hasil kalkulasi komputer, dan memutarbalikkan hukum fisika, kemudian memanifestasikannya di dunia nyata.

Singkatnya, meskipun ada beberapa batasan, ini adalah teknologi yang mengubah imajinasi menjadi kenyataan. Ini disebut-sebut sebagai sistem yang menghasilkan ‘sihir’ melalui tindakan saintifik.

Dan pada saat yang sama, ini adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk bertempur melawan Spirit.

“Buka jalan! Tandu lewat!”

Sebuah sahutan terdengar dari arah kanan.

Menggerakkan hanya matanya, Origami melihat seorang anggota squad yang terbalut wiring suit yang sama dengannya di atas tandu tersebut.

“...Sial, sial, gadis itu...! Sumpah, akan kubunuh dia...!”

Anggota squad di tandu tersebut sedang menahan sebuah perban berembesan darah di kepalanya dan mencaci-maki dengan kesal saat dia dibawa pergi.

“...”

Tidak akan ada masalah kalau dia bisa mengumpat dengan semangat seperti itu. Kehilangan ketertarikannya, Origami menggerakan tatapannya kembali.

Kenyataannya, kalau pengobatan dilakukan menggunakan Realizer medis, selama itu bukan luka yang benar-benar serius, luka tersebut dapat dipulihkan seketika. Ketika Origami mematahkan kakinya sebelumnya, sehari setelahnya ia sudah bisa berjalan lagi.

“——”

Sambil menarik napas panjang, Origami melirik sedikit ke atas.

Ia mengingat kembali pertarungan hari ini.

—Malapetaka yang akan menghancurkan dunia, Spirits.

Mereka adalah keabnormalan yang bahkan kelompok superhuman seperti Origami-pun tidak dapat berharap untuk menyentuhnya.

Muncul entah dari mana, menyebar kehancuran tanpa alasan, mereka adalah monster pada tingkat bencana alam.

“...”

Pada akhirnya, pertarungan hari ini berakhir dengan Lostkekalahan sang Spirit, meskipun lebih kelihatan seperti Spirit tersebut memutuskan untuk menutup tirainya.

Lost bukan berarti Spirit tersebut telah tewas.

Arti sebenarnya adalah Spirit tersebut meloloskan diri melalui dimensi lain.


Meskipun ada catatan di buku di mana terlihat kalau gerakan para AST yang mengusir para Spirit, Origami serta semua anggota yang terlibat langsung dalam pertarungan tahu akan hal itu.

Para Spirit tidak merasakan ancaman sedikitpun dari mereka, dan ketika para Spirit itu lost, itu murni karena kemauan mereka saja.

“… tsk.”

Ekspresinya tidak berubah sama sekali.

Namun, Origami menggigit keras gigi belakangnya.

“Origami”

Suara yang datang dari dalam hangar memecah pemikiran Origami.

“...”

Dalam diam, ia berbalik menghadapi suara tersebut. Tubuhnya mungkin masih belum terbiasa, karena kepalanya terasa sangat berat.

Realizer dasar yang terpasang pada wiring suit, sekali dinyalakan, dapat memperluas territory pribadi seseorang sampai beberapa meter di sekitarnya.

Territory ini adalah esensi dari CR-Unit. Seperti yang namanya nyatakan, itu adalah ruang di mana pemikiran pengguna dapat menjadi kenyataan.

Territory mempunyai kemampuan untuk memperingan benturan dari luar, bahkan juga memungkinkan gravitasi di dalam untuk diatur semaunya. Selama territory ini dibentangkan, para anggota AST dapat menjadi manusia super.

Karena itu sebagai gantinya, untuk sementara waktu setelah menggunakan CR-Unit, sulit untuk menggerakan tubuh dengan bebas.

“Kerja yang bagus.”

Di sana, memakai wiring suit yang sama dengan Origami, berdiri seorang wanita yang sedang pada pertengahan 20-annya dengan tangan di pinggang.

DAL v01 073.jpg

Kapten Kusakabe Ryouko. Perwira yang mengepalai AST di mana Origami berada.

“Kau benar-benar hebat mengusir Spirit itu sendirian. ...Aku mengomeli Tomonara dan Kagaya habis-habisan. Apa coba yang mereka pikir, kabur dan meninggalkan Spirit itu pada Origami sendiri.”

“Saya tidak mengusirnya.”

Origami menjawab, dan Ryouko mengangkat bahu.

“Yah, aku akan melaporkan seperti itu pada atasan. Kalau kita tidak menunjukan hasil sedikitpun pendapatan kita akan berkurang.”

“...”

"Ayolah, jangan memasang wajah seperti itu. Aku memujimu kog. Situasi di mana bangku ace masih kosong, kau membuat usaha yang bagus. Lagipula, kalau kau tidak ada disana, jumlah orang yang akan tewas bukan hanya satu atau dua.”

Fuuuu, dia melepas nafasnya.

“Tapi hey,”

Ryouko menajamkan pandangannya, menggenggam kepala Origami dan membalikkannya ke arahnya.

“Kau sedikit kelewatan.—Kau benar-benar mau mati ya?”

“...”

Dengan pandangan tajamnya masih terfokus pada Origami, Ryouko melanjutkan.

“Apa kau benar-benar mengerti lawan seperti apa yang kau hadapi ini? Yang benar saja dia itu monster. Badai topan yang punya otak.—Kau mengerti? Sebisamu, tekan kerusakan seminimal mungkin, sesuai kemampuanmu, buat dia lost secepat mungkin. Itulah tugas kita. Jangan melompat ke dalam bahaya dengan sia-sia.”

“—salah.”

Origami menjawab sambil menatap Ryouko tepat di matanya, dan sekali lagi membuka bibirnya sedikit.

“Untuk mengalahkan para Spirit, itu adalah tugas AST.”

“...”

Ryouko memberengut.

Sebagai kapten AST, dia seharusnya mengerti nama Anti Spirit Team lebih dari pada Origami.

Karena dia mengerti, dia menyatakan hal itu.

—Kita tidak bisa berbuat lebih dari menekan kerusakan.

Namun, untuk menjawab itu, Origami mengulang sekali lagi.

“—Saya akan, mengalahkan, Spirit itu."

“...”

Ryouko melepas sebuah desahan, dan melepas tangannya dari kepala Origami.

“...aku tidak berencana untuk mendengar apa yang kau pikirkan pribadi. Berpikirlah sesukamu.—Tapi, kalau kau sampai terlihat melawan perintah ketika berada di medan perang, kau akan dikeluarkan dari team.”

"Dimengerti."

Origami memberi jawaban pendek, bangkit dengan tubuhnya yang akhirnya sudah terbiasa, dan berjalan pergi.

Bagian 4

“—Jadi, yang di sini adalah monster yang kami sebut Spirit, dan yang ini adalah AST. Mereka adalah Anti Spirit Team dari JGSDF. Kau sudah melibatkan diri ke situasi yang cukup mengkhawatirkan tahu? Kalau kami tidak menjemputmu, kau mungkin sudah mati dua atau tiga kali sekarang ini. Jadi, menuju hal berikutnya—”

"Se-sebentar!"

Shido mengeraskan suaranya, mencoba menahan Kotori yang telah memulai penjelasan kilatnya.

“Ada apa? Setelah semua kerepotan yang komandan ini lalui untuk memberikan penjelasan padamu langsung. Kalau kau mau menangis, lakukanlah dengan sedikit lebih terhormat. Karena sudah seperti ini, aku setidaknya dapat memberikanmu perlakuan spesial untuk menjilat bawah kakiku.”

Sedikit mengangkat dagunya, dengan tatapan yang sepertinya merendahkan Shido, sungai dampratan yang tidak seperti Kotori mengalir keluar dari mulutnya.

“Be-benarkah!?”

Suara yang terisi kegembiraan tersebut datang dari yang berdiri di samping Kotori, Kannazuki. Kotori langsung menjawab “bukan kau” dan menyikut ulu hatinya.

“Gah...!”

Menonton perbincangan tersebut, Shido membuka mulutnya dalam keterkejutan.

“...Ko-Kotori... Itu kau? Kau baik-baik saja?”

“Kenapa ini, apa kau lupa wajah adikmu sendiri, Shido? Aku tahu kau payah dalam mengingat, tapi aku tidak sampai mengira akan separah ini. Mungkin ide bagus untuk memesan tempat di rumah pensiunan sekarang juga.”

Segaris keringat mengaliri wajah Shido.

Ia mencubit pipinya. Sakit.

Imouto Shido yang cantik tidak seharusnya berhenti memanggilnya ‘onii-chan’.

Menggaruk belakang kepalanya, Shido berbicara dengan suara kerepotan.

“...entah kenapa, aku sangat bingung sepertinya isi kepalaku sudah menjadi Crocodile Panic[5]. Apa yang sebenarnya terjadi? Selain itu, di mana aku? Siapa orang-orang ini? Dan juga—”

Kotori, mengangguk “oke, oke”, mengangkat telapak tangannya dan memberhentikan Shido.

“Tenanglah. Kalau aku tidak bisa mengerti apa yang kau katakan, bagaimana bisa aku menjawabnya.”

Sambil mengatakan ini, Kotori menunjuk layar di bridge.

Di sana, gadis berambut hitam yang Shido temui sebelumnya, juga orang-orang terselimuti armor mekanik, sedang ditampilkan.

“Uhmm... kau bilang... Spirit?”

Shido bertanya sambil menggaruk pipinya. Ia mengingat kata yang Kotori gunakan di penjelasannya sebelumnya.

Muncul secara sembarangan di dunia, monster yang tak dikenal asal-usulnya.

“Ya. Dia adalah makhluk yang aslinya tidak berada di dunia ini. Hanya dengan muncul di dunia ini saja, tanpa kemauannya atau semacam itu, daerah sekitarnya akan tersapu habis.”

Dengan suara bang, Kotori menyatukan kedua tangannya, kemudian membukanya, menggambarkan sebuah ledakan.

Shido menggerenyit, tangannya masih berada di pipinya.

“...maaf, hal ini sedikit terlalu luas jadi sulit untuk mengertinya.”

Mendengar ini, Kotori mengangkat bahunya, “kau masih belum mengerti setelah semua ini?”, dan mendesah.

“Apa yang kubicarakan adalah spacequake, atau lebih tepatnya fenomena yang kita sebut demikian, adalah buah dari kedatangan Spirit seperti gadis tersebut di dunia kita.”

“Ap...”

Shido tanpa sadar mengernyitkan alisnya.

Gempa di ruang terbuka. Spacequake.

Fenomena yang sangat tidak masuk akal yang menggerogoti kehidupan manusia, menggerogoti dunia.

Dan alasan dibaliknya, adalah karena gadis itu—?

“Yah... skala kehancurannya bervariasi. Bisa sekecil batas beberapa meter saja, atau bisa sebesar—kira-kira sampai taraf membuat lubang besar di benua.”

Kotori membuat lingkaran besar dengan tangannya.

Dia mungkin sedang berbicara mengenai spacequake pertama tiga puluh tahun lalu—yang dikenal dengan sebutan Bencana Langit Eurasia.

“Keberuntungan sedang ada di sisimu, Shido. Kalau saja skala ledakan kali ini sedikit lebih besar, kau mungkin sudah terlempar seketika.”

“...”

Seperti yang dia katakan. Bahkan sekarang, tubuh Shido meringkuk ketakutan.

Melihat Shido seperti ini, Kotori setengah memejamkan matanya.

“Dan lagipula, kenapa juga kau pergi keluar ketika peringatannya sedang berbunyi? Kau idiot ya? Kau mau mati?”

“Bukan bukan itu... itu karena kau, lihat ini.”

Shido menarik cell phone-nya keluar dari saku, dan menunjukkan data posisi Kotori. Seperti yang dikiranya, ikon Kotori berhenti di depan restoran keluarga.

“Hm? Ahh, itu.”

Namun, Kotori mengambil cell phone-nya sendiri keluar dari sakunya.

“Ahh...? Kenapa kau membawa, itu.”

Shido melihat bolak-balik antara layar cell-phone-nya dan cell phone yang Kotori bawa yang ada tepat di depan matanya. Karena Kotori berada di tempat ini, ia yakin sepenuhnya kalau dia telah menjatuhkan cell-phone-nya di depan restoran keluarga.

Kotori mengangkat bahunya, dan melepas keluhan panjang.

“Aku sudah bertanya-tanya kenapa kau pergi keluar ketika peringatan sedang berbunyi, jadi ini alasannya. Kau pikir aku ini sebego apa, dasar kakak bodoh.”

“Ta-tapi... ehh, kenapa ini—”

“Sederhana saja. Alasannya karena kita sekarang ini ada di depan restoran keluarga itu.”

“Huh...?”

“Baiklah. Kurasa lebih cepat kalau aku menunjukannya padamu.—Matikan penyaringnya.”

Mengikuti perintah Kotori, bridge yang redup itu seketika menjadi terang.

Namun, sebenarnya bukan cahayanya yang dinyalakan. Lebih tepatnya, sepertinya sebuah tirai yang mengkubahi langit-langit tiba-tiba dilepas.

Nyatanya, langit biru terbentang di sekitar mereka.

“Ap-Apa ini...”

“Tolonglah jangan membuat keributan. Pemandangan di luar adalah seperti yang kau lihat.”

“Pemandangan diluar adalah... ini.”

“Mhmm. Di mana kita sekarang ini berada adalah 15000 meter di atas Kota Tenguu. Menurut lokasi, tanpa sengaja ini berakhir tepat di sekitar restoran keluarga tempat kita berencana untuk bertemu.”

“Di mana kita, berada...”

“Yup. <Fraxinus> ini adalah pesawat udara.”

Melipat tangannya, Kotori menyeringai *fufun*. Dia terlihat seperti anak kecil yang membanggakan mainan favoritnya. Tidak—kalaupun begitu, mungkin lebih mirip dengan seorang ibu yang sedang memperkenalkan anaknya yang ia asuh dengan penuh kesabaran.

“Pe-pesawat...? Apa-apaan itu. Kenapa kau ada di dalam benda seperti itu?”

“Karena itulah, bukankah aku sudah bilang dengarkan penjelasanku berurutan? Bahkan ayam saja bisa mengingat sampai tiga langkah[6].”

“Uuuu...”

“...tapi, tak habis pikir kalau tempat ini sampai ditemukan pencari jejak cell phone, kita benar-benar tidak memperhatikan hal itu. Kita melengahkan pertahanan setelah menambahkan Invisible dan Avoid menggunakan Realizer. Kita harus memikirkan tindak-baliknya nanti.”

Sambil menggumamkan kata-kata yang Shido tidak mengerti, Kotori menempatkan tangan di dagunya.

“A-apa yang kau bicarakan?”

“Ahh, jangan khawatirkan itu. Aku tidak mengharapkanmu untuk mengerti itu lagipula, Shido. Bagaimanapun juga, kau punya otak yang bahkan kalah dengan kepiting bulu jika dihargai per-gramnya.”

“...”

“Komandan. Miso kepiting tidak terbuat dari otak melainkan usus.”

Setetes keringat mengaliri wajah Shido saat Kannazuki mengatakan itu dengan suara yang mantap.

“...”

Kotori menggerakan jari-jarinya, memberi isyarat padanya untuk mendekat, dan Kannazuki menunduk ringan.

Dan lalu, *pa*, stik lolipop yang sudah diselesaikannya ditusuk ke dalam matanya.

“Nuaaaaghh!”

Mencengkeram matanya, Kannazuki terguling kebelakang.

“K-kau baik-baik saja?!”

Dia tidak kelihatan seperti sedang berakting. Shido mengeraskan suaranya karena khawatir.

Namun, tepat saat ia bermaksud untuk lari mendekat, ia menghentikan kakinya.

Kannazuki, yang jatuh ke lantai, menarik sapu tangan dari dalam sakunya, dan dengan ekspresi bahagia, dengan tenang membungkuskannya ke stik lolipop yang baru saja Kotori tusukkan padanya.

“Maaf, apa saya membuatmu khawatir? Tidak apa-apa, ini adalah penghargaan dalam bidang pekerjaan kami!”

Sambil mengatakan ini, Kannazuki segera bangkit, berdiri tegak sempurna.

Bidang pekerjaan macam apa itu, Shido tidak mau mengetahui lebih dalam detilnya.

“Kannazuki.”

“Siap.”

Kotori mengangkat dua jari, dan Kannazuki mengambil dan mengulurkan dua permen pengganti padanya.

“Nah, kembali ke topik. AST. Itu adalah satuan yang berspesialisasi untuk Spirit.”

Sembari berbicara, Kotori menunjuk sekelompok orang yang ditunjukkan di layar.

“...satuan yang berspesialisasi untuk Spirit... apa spesifiknya yang mereka lakukan?”

Mendengar pertanyaan Shido, Kotori mengangkat alisnya seakan jawabannya sudah jelas.

“Sederhana. Kalau Spirit muncul, maka mereka akan datang terbang dan menanganinya.”

“Menanganinya...?”

“Intinya, memusnahkan mereka.”

“...!”

Sebenarnya apa yang Kotori katakan bukan membuatnya terkejut.

Hanya saja—Shido diserang oleh sebuah perasaan yang seakan hatinya sedang diremas.

“M-memusnahkan...?”

“Yup.”

Acuh tak acuh, Kotori mengangguk.

Shido menelan ludah. Suara detak jantungnya sangat kencang.

Ia sudah mengerti apa yang mereka katakan. Spirit. Mereka memang adalah keberadaan yang membahayakan.

Tapi—tak peduli apapun, sampai sejauh membunuh mereka.

Tiba-tiba, Shido melihat wajah gadis itu di pikirannya.


(—Lagipula, bukannya kau datang untuk membunuhku juga?)

Makna dibalik kata-kata yang diucapkan gadis itu, ia akhirnya mengerti.

Begitu juga dengan makna dari wajah yang terlihat seakan air mata akan membanjir keluar pada saat kapanpun.

“Yah, kalau kau melihatnya dengan cara biasa, kalau mereka mati mungkin adalah yang terbaik untuk kita.”

Nampaknya tanpa emosi tertentu, Kotori berbicara.

“Ke-Kena...pa?”

“Kenapa, kau bertanya?”

Dengan ekspresi meringis, Shido bertanya seperti sedang mengeluh, dan Kotori dengan terlihat bijaksana menempatkan tangannya di dagu.

“Tak ada yang aneh dengan itu kan? Mereka monster. Hanya dengan muncul di dunia ini mereka menyebabkan spacequake. Mereka adalah racun paling jahat dan paling mematikan!”

“Tapi, bukannya kau katakan sebelumnya? Kalau spacequake tidak ada urusannya dengan keinginan para Spirit.”

“Itu benar. Setidaknya, sudah dipercaya luas kalau ledakan dari pertama kali memasuki dunia ini tidak ada relasinya dengan keinginan Spirit itu sendiri.—Tapi, sudah ada bekas-bekas kehancuran dan korban spacequake dari hasil pertarungan dengan AST setelahnya.”

“...Tapi bukannya itu karena orang-orang dari AST itu yang menyerang mereka?”

“Yah, bisa begitu juga. —Namun, itu tidak lebih dari sekadar dugaan saja. Bisa juga, kalau AST tidak melakukan apa-apa, para Spirit dengan senang hati memulai aktifitas destruktif mereka.”

“Itu... mungkin tidak akan terjadi.”

Kotori memiringkan kepala keheranan atas pendapat Shido.

“Apa buktimu?”

“Seseorang yang menghancurkan jalanan untuk kesenangan... tidak mungkin dapat membuat wajah seperti itu.”

Hal seperti ini mungkin terlalu samar dan lemah untuk dikatakan sebuah bukti namun... entah kenapa, Shido mempercayai itu dari dasar hatinya.

“Jadi itu mungkin bukan berdasarkan keinginan mereka kan? Tapi tetap saja—”

“Baik mereka menyebabkannya dengan sengaja atau tidak bukanlah masalahnya. Untuk kasus manapun, kenyataannya para Spirit menyebabkan spacequake tersebut. Bukannya aku tidak mengerti yang kau maksud, tapi kau tidak mungkin membiarkan keberadaan berbahaya pada level bom nuklir itu sendirian hanya karena kau kasihan padanya. Hari ini berakhir dengan ledakan kecil saja, tapi kita tidak bisa yakin kalau yang berikutnya bukan bencana level-Eurasia.”

“Tetap saja... membunuh mereka...”

Shido dengan keras kepala membantah, dan, menggumamkan “ya ampun”, Kotori mengangkat bahu.

“Kalian baru saja bertemu selama beberapa menit, dan tambah lagi itu adalah seseorang yang hampir membunuhmu, tapi kau masih mendukungnya. …masakah, kau jatuh hati padanya?”

“B-bukan. Aku hanya berpikir kalau misalnya ada jalan lain.”

“Jalan lain ya, huh.”

Mendengar kata-kata Shido, Kotori melepas desahan panjang.

“Kalau begitu coba kita dengar, apa ada jalan lain yang kau pikirkan?”

“Itu—”

Kata-katanya berhenti.

Dalam pikirannya, ia sudah mengerti sepenuhnya apa yang telah Kotori ucapkan.

Makhluk menyimpang yang meninggalkan kerusakan mendalam pada dunia hanya dengan kemunculannya—Spirit.

Namun, hanya untuk satu kali sekilas.

Shido telah menyaksikannya. Wajah sang gadis, yang kelihatannya tangisan akan segera terlimpah keluar darinya.

Shido telah mendengarnya. Suara sang gadis, terisi kesedihan.

—Ahh, ini semua salah, itulah yang ia pikirkan.

“...bagaimanapun juga.”

Dari mulut Shido, kata-kata mulai mengalir secara natural.

“Kalau... kita tidak berbicara baik-baik dengan mereka sekali saja... kita tidak akan tahu.”

Rasa takut menghadapi kematian langsung pada saat itu masih terukir di kedalaman tubuhnya.

Jujur saja itu adalah rasa takut yang membuat seseorang ingin lari.

Akan tetapi, Shido tidak bisa meninggalkan gadis itu seperti ini.

Karena dia—sama seperti Shido.

Mendengar kata-kata Shido, bibir Kotori membusur menjadi senyum nakal.

Seperti dia sedang berkata “Aku sudah menunggu kata-kata itu”.

“Begitu. —Kalau begitu, biarkan aku membantumu.”

“Huh...?”

Saat mulut Shido menganga terbuka, Kotori membentangkan lengannya lebar-lebar.

Reine, dan Kannazuki, dan crew yang tersebar di bawah, dan juga pesawat udara ini—<Fraxinus>, sepertinya dia sedang mengacu pada semua ini.

“Aku bilang, kami akan mendukungmu untuk itu. Seluruh kekuatan <Ratatoskr> akan tertuju untuk mendukung Shido.”

Dengan gerakan yang elegan, Kotori menempatkan jari-jarinya di lututnya.

“Ap-Apa yang kau bicarakan. Aku tidak—”

“Biarkan aku menjawab pertanyaan pertamamu. Mengenai siapa kami.”

Seperti ingin mencela pertanyaan Shido, Kotori mengeraskan suaranya.

“Oke? Jalan untuk menangani seorang Spirit pada dasarnya terbagi menjadi dua metode utama.”

“Dua...?”

Shido bertanya, Kotori mengangguk dalam-dalam, dan kemudian mengangkat jari telunjuknya.

“Yang pertama, adalah penanganan yang diambil AST. Metode pemusnahan melalui adu kekuatan.”

Mengikutinya, jari tengahnya juga ikut naik.

“Yang satu lagi... menggunakan metode percakapan dengan para Spirit. —Kami adalah <Ratatoskr>. Kami adalah sebuah organisasi yang dibentuk dengan tujuan menangani spacequake tanpa membunuh para Spirit, melalui percakapan.

“...”

Shido mengernyitkan alisnya sambil berpikir. Mengenai apa sebenarnya organisasi ini, dan mengapa Kotori ambil bagian dalam organisasi seperti itu, ada banyak pertanyaan di pikirannya, tapi—untuk sekarang, ia menanyakan pertanyaan yang paling ditanya-tanyakan dalam pikirannya.

“...lalu, kenapa organisasi seperti itu akan mendukungku?”

“Kau punya dasar pemikiran yang salah. Pada dasarnya, organisasi yang disebut <Ratatoskr> adalah organisasi yang dibentuk untuk Shido.”

“Ha, haaaa...!?”

Shido mengalami kerusakan yang mencengangkan dalam berekspresi, dan berkata dengan suara histeris.

“Sebentar. Sekarang aku lebih bingung lagi dari sebelumnya. Untukku?”

“Ya. —yah, mungkin lebih tepat dibilang kalau ini adalah organisasi untuk mendirikan pondasi bagi peran Shido dalam bernegosiasi dengan Spirit dengan tujuan menyelesaikan masalah para Spirit. Sisi manapun, ini adalah organisasi yang tidak akan ada jika Shido tidak ada.”

“Tu-tunggu. Apa maksudmu? Apa semua orang ini dikumpulkan untuk alasan itu? Atau lebih penting lagi, kenapa aku!”

Shido bertanya, dan sambil memutar-balikan permen di mulutnya, Kotori bergumam.

“Mm, yah, Shido itu spesial.”

“Itu bukan penjelasaaaaaaaaan!”

Tidak tahan lagi, ia berteriak.

Namun Kotori tersenyum menantang, dan membuat gerakan mengangkat bahu.

“Oh yah, kau akan mengerti alasannya seiring waktu. Bukankah ini bagus? Aku bilang kalau kami, seluruh anggota dan semua teknologi kami, akan mendukung tindakanmu. Atau—apa kau berencana untuk berdiri di tengah-tengah Spirit dan AST tanpa persiapan sendirian? Kau akan mati, pastinya.”

Kotori menyipitkan matanya dan berbicara dengan suara dingin. Tanpa menyadarinya, Shido menahan nafas.

Benar seperti yang dikatakan Kotori. Shido hanya melantunkan idealisme dan harapannya, tapi tidak memiliki kemampuan apapun untuk membuatnya menjadi kenyataan.

Banyak sekali hal-hal yang ingin ia katakan sampai-sampai semuanya bisa membanjir dari dalam tenggorokannya, tapi ia entah bagaimana dapat menahannya, dan menanyakan hanya apa yang akan membuat laju pembicaraan maju.

“...jadi untuk itu, metode percakapan, apa saja intinya yang perlu dilakukan?”

Senyum tipis terbersit di wajah Kotori.

“Mengenai itu.”

Dia kemudian menempatkan tangannya di dagu.

“Buat Spirit itu—jatuh cinta.”

Sambil menyeringai, dia dengan bangga mengatakan itu.

......

Setelah agak lama.

“...ha?”

Segaris keringat menuruni wajah Shido saat ia memberengut.

“...maaf, aku tidak benar-benar mengerti.”

“Seperti yang kukatakan, berteman dengannya, bicara dengannya, goda dia, kencani dia, dan buat dia tergila-gila karena jatuh cinta.”

Mendengar Kotori mengatakan ini seakan sudah biasa, Shido membenamkan kepalanya di tangannya.

“...uhm, dan kenapa hal itu dapat menyelesaikan problem spacequake?”

Kotori menaruh satu jari di dagunya dan dengan “mmmm” membuat postur berpikir.

“Kalau kita menginginkan sebuah solusi untuk spacequake tanpa menggunakan kekerasan, maka kita perlu membujuk Spirit tersebut kan?”

“Kelihatannya benar.”

“Untuk itu, bukankah lebih cepat untuk membuat Spirit itu menyukai dunia ini? Oh, dunia ini sangat menakjubkan~, kalau mereka seperti itu, maka bahkan seorang Spirit-pun tidak akan mengamuk tak beraturan.”

“Begitu ya.”

“Lalu, yah, bukankah sering dikatakan? Kalau kau jatuh cinta maka seluruh dunia akan terlihat indah. —Karena itu, kencani dia, dan buat Spirit itu jatuh hati padamu!”

“Tidak, ada yang salah dengan logika itu.”

Jelas sekali kalau logikanya sudah di luar jendela. Ketika cucuran keringat membanjiri wajah Shido, ia berkomentar.

“A-Aku tidak bisa menjalani hal seperti itu...”

“Diam kau fried chicken.”

Saat Shido mencoba menyuarakan komplain, namun Kotori menutupinya dengan suara kuat yang tidak memperbolehkan pilihan untuknya.

“Aku tidak akan membiarkan AST untuk membunuh para Spirit~, pasti ada jalan lain~, tapi aku tidak suka cara <Ratatoskr>~...? Kalau kau ingin bersikap naif setidaknya jangan berlebihan kau kumbang bombardier. Apa yang dapat kau lakukan sendirian? Ketahuilah kemampuanmu sendiri.”

“Ugghh...”

“—Aku tidak perlu persetujuan dari dasar perutmu. Tapi, kalau kau tidak mau membunuh para Spirit... maka kau tidak punya kesempatan untuk memilih metodenya.”

Entah mengapa, senyum jahat terbersit di wajah Kotori.

Kenyataannya, memang seperti yang dia katakan.

Tanpa kekuatan atau dukungan, bahkan jika Shido ingin berbicara dengan gadis Spirit itu sekali lagi, hal itu tidak akan jadi kenyataan.

Metode AST sudah di luar pertanyaan—bahkan grup Kotori mungkin ingin menangkap para Spirit untuk keperluan pribadi mereka, hanya itulah alasan yang dapat ia pikirkan.

Tetapi—adalah kenyataan kalau tidak ada jalan lain.

“..., aku mengerti.”

Shido dengan getir mengangguk, dan senyum Kotori mengisi wajahnya.

“—Yoroshiku. Melihat data sampai sekarang, kali berikutnya seorang Spirit muncul adalah setidaknya satu minggu kemudian. Kita akan segera memulai latihan besok.”

“Huh...? Latihan...?”

Shido menyuarakan, tanpa bergeming.

Bagian 5

Hari berikutnya tiba.

“Kemari.”

“Eh?”

Tiba-tiba.

Tangan Shido digenggam oleh Origami, dan ia mengeluarkan suara penuh kebingungan.

“Ah, tu-tunggu...”

Kursinya terjatuh diiringi suara benturan, dan ia diseret keluar dari kelas oleh Origami.

Di belakangnya, mulut Tonomachi ternganga lebar, dan entah dengan alasan apa sekelompok gadis membuat keributan *kyaa, kyaa*.

Saat berpikir kalau rumor lain akan mulai menjalar ke sekitarnya, Shido mengikuti Origami. Yah, setidaknya itu lebih baik ketimbang diperlakukan sebagai best couple bersama dengan Tonomachi, ia menghibur diri sendiri.

11 April, Selasa.

Itu adalah hari setelah hari dimana Shido telah menjalani pengalaman yang aneh dan tidak realistis.

Pada akhirnya, setelah itu, Shido dipindahkan ke ruangan lain di mana ia diberikan penjelasan mendetil mengenai situasi yang mengikutinya oleh lelaki yang tidak dikenalnya (sejujurnya, ia tidak benar-benar mengingat bagian-bagian lebih lanjutnya), dan setelah menandatangani berbagai formulir ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

Bahkan tanpa mandi ia terjun ke atas ranjangnya, dan sebelum ia menyadarinya hari sudah pagi.

Ia menyeret tubuhnya yang lesu ke sekolah, dan bertahan melewati pelajaran sambil menggosok-gosok mata mengantuknya, dan akhirnya pelajaran terakhir berakhir—itu yang sedang ia pikirkan pada saat insiden itu terjadi.

Tanpa berkata-kata, Origami menaiki tangga sampai ia mencapai pintu menuju atap yang terkunci rapat, dan akhirnya melepaskan tangannya.

Suara keramaian murid-murid yang meninggalkan sekolah seperti berada di tempat yang sangat jauh.

Meskipun ada orang-orang kurang dari sepuluh meter jauhnya, tempat ini terasa seperti ruang yang sepi, terisolir.

“Eh, uhmm...”

Meskipun ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Origami, entah kenapa, dibawa ke tempat seperti itu oleh seorang gadis, ia merasa canggung. Pandangan Shido melayang kemana-mana.

Namun, tanpa basa-basi lagi,

“Kemarin, kenapa kau ada di tempat seperti itu?”

Dia berbicara sambil melihat Shido tepat di mata.

“Yah, kemarin kelihatannya adikku masih ada di jalanan setelah peringatannya berbunyi, jadi aku mencarinya..”

“Begitu.—Kau bertemu dengannya?”

Shido menjawab, dan dengan ekspresinya yang tak berubah, bahkan tanpa menunjukan kekagetan, Origami membalas.

“—A-Ah... ya.”

“Begitu. Syukurlah.”

Setelah mengatakan ini, bibir Origami terus bergerak.

“—Kemarin, kamu melihat saya.”

“A-Ahh...”

“Jangan beritahu siapa-siapa.”

Saat Shido baru saja ingin mengiyakan, Origami berkata dengan suara memerintahkan.

Aku ingin tahu bagaimana dia akan bereaksi jika aku menjawab “Kalau kau tidak mau semua orang tahu sebaiknya kau turuti yang kukatakan, hehehe”, keingintahuan berbahaya seperti itu terbaca di wajah Shido.

Tapi seperti yang diduga, Shido tidak punya keberanian sebesar itu. Ia perlahan menundukkan kepala kedepan.

“Tambahan, bukan hanya tentang saya—tapi semua yang kamu lihat dan dengar. Lebih baik kamu melupakan itu semua.”

Dia pastinya... berbicara mengenai Spirit itu.

“...Maksudmu gadis itu?

“...”

Origami hanya memandang Shido dalam diam.

“H-Hey... Tobiichi, gadis itu—”

Ia sudah mendengar tentang para Spirit dari <Ratatoskr>, tapi Shido tetap bertanya.

Pada akhirnya, itu cuma dari sudut pandangan Kotori dan organisasinya. Jika dari orang-orang seperti Origami yang bersilang pedang dengan mereka, ia pikir mereka mungkin memiliki pola pikir sendiri.

“Itu adalah seorang Spirit.”

Origami memberikan jawaban pendek.

“Itu sesuatu yang harus saya kalahkan.”

“...S-Spirit itu, apa dia orang jahat...?”

Shido mencoba melemparkan pertanyaan ini.

Saat ia melakukannya, hanya samar-samar, namun ia pikir ia melihat Origami menggigit bibirnya.

DAL v01 000d.jpg

“—Orang-tua saya, meninggal lima tahun lalu, karena seorang Spirit.”

“...ap—”

Jawaban tak terduga itu menghalangi kata-kata Shido.

“Saya tidak mau lagi ada orang-orang seperti saya.”

“...be, gitukah—”

Shido menempatkan tangan di dadanya.

Ia mencoba bagaimanapun caranya untuk menenangkan detak jantungnya yang berdebar sangat keras.

Akan tetapi, tiba-tiba gagasan yang mengkhawatirkan tiba-tiba muncul di pikirannya. Sambil menggaruk pipinya, ia menanyakan Origami, yang sampai sekarang masih menatap lurus padanya.

“Kalau kupikir-pikir lagi, Tobiichi... mengenai Spirit itu, dan hal-hal seperti itu, tidak apa kalau kau berbicara tentangnya...? Yah, memang aku yang bertanya tentang hal-hal itu...”

“...”

Origami terdiam sejenak.

“Tidak apa-apa.”

“Be-begitu ya?”

“Kalau kamu merahasiakannya.”

“...dan kalau tidak?”

“...”

Lagi-lagi, kata-katanya berhenti sejenak.

“Masalah.”

“Begitu... gawat juga. ...aku janji, aku tidak akan memberitahu siapa-siapa.”

Dengan anggukan, Origami mengiyakan.

Pada akhir perbincangan mereka, Origami memindahkan pandangannya dari Shido, dan menuruni tangga.

“...fuuu...”

Setelah ia tidak dapat melihat punggung Origami lagi, Shido bersandar pada dinding dan mendesah. Meskipun yang mereka lakukan cuma berbicara, ia merasakan kegelisahan yang sangat.

“Orang-tuanya, meninggal karena Spirit—ya.”

*Dong*, ia membenturkan kepalanya di dinding, dan bergumam.

Para Spirit disebut-sebut sebagai malapetaka yang akan menghancurkan dunia. Hal seperti itu—mungkin memang terjadi.

“...mungkin aku memang naif ya...”

Origami dan Kotori, meskipun arah mereka sangat berbeda, mereka bergerak dibawah kepercayaan mereka yang teguh.

Namun bagaimana dengan Shido?

Kata-kata tajam yang ia katakan di depan Kotori kemarin, dapatkah ia mengatakan hal yang sama pada Origami?

“...”

*Haaa*, ia melepas nafas. Ia tidak berpikir kalau tindakannya salah, tapi ia memiliki perasaan yang berliku-liku.

Lalu, baru saja Shido ingin menuruni tangga.

“Kyaaaaaaaaaaaaaaa—!!”

Dari arah koridor, ia mendengar jeritan seorang siswi.

“...!? A-Ada apa?”

Dengan terburu-buru ia meloncati tangga dan menengok, ia melihat banyak murid telah berkumpul di koridor.

Di tengah-tengahnya, ia menyadari seorang wanita yang memakai jas putih pingsan di lantai.

“Ap-Apa yang terjadi?”

“Se-sepertinya dia guru baru, dan... tiba-tiba dia jatuh...!”

Aku bertanya, dan seorang siswi di dekat segera menjawab.

“Aku tidak mengerti, tapi sekarang ayo panggil perawat—”

Saat Shido mulai berbicara, wanita berjas putih yang pingsan itu memegang kakinya.

“W-Waaaah!?”

“...jangan khawatirkan saya. Saya hanya tersandung.”

Sambil berbicara, wanita itu pelan-pelan mengangkat wajah yang tadinya menempel dengan lantai.

“K-kau...!”

Poni panjang dan lingkaran-lingkaran mata yang tebal. Dia sedang memakai kacamata, tapi tidak mungkin ia dapat melupakan keunikan wajah tersebut.

“...hn? Ahh, kamu kan—”

Wanita itu—Petugas Analisis <Fraxinus>, Murasame Reine, perlahan-lahan membangkitkan diri dari lantai.

“Ap-apa yang sedang kau lakukan di tempat ini...?”

“...kamu tidak bisa menebaknya dari yang terlihat? Saya sudah menjadi guru sekarang. Lebih tepatnya saya akan mengajar fisika, dan juga mengambil posisi asisten guru homeroom untuk kelas 2-4.”

Sambil menunjukkan kartu nama yang tertera di dadanya, Reine menjawab. Tanpa sengaja, boneka beruang penuh goresan itu melongok dari kantung dada yang berada tepat di atasnya.

“Tidak, tidak mungkin aku dapat menebak hal itu!”

Ia menyahuti—pada saat itu, Shido menyadari kalau anehnya pandangan di sekelilingnya telah berkumpul ke arah mereka.

“Ah... se-sepertinya orang ini baik-baik saja.”

Ia mengulurkan tangannya dan membantu Reine berdiri.

“...nn, maaf merepotkan.”

“Tidak apa-apa. Ayo bicara sambil berjalan.”

Sambil memperhatikan sekelilingnya, Shido mengusulkan itu.

Menyamai langkah Reine, mereka berjalan dengan susah payah.

“Uhm—Petugas Analisis Reine?”

“...nn, ahh, ‘Reine’ saja tidak apa.”

“Huh?”

“...saya juga akan memanggilmu dengan namamu. Orang bilang koordinasi dan kerja sama dibangun dari kepercayaan.”

Reine mengangguk beberapa kali, dan melihat ke arah wajah Shido.

“Uhm, kamu... Shintarou, bukan?”

“Terlalu jauh!”

Tidak ada hal semacam kepercayaan itu disini.

“...nah sekarang Shin, ini mungkin mendadak.”

“Apa-apaan kau langsung meneruskan saja?! Atau lebih penting lagi kau bahkan memberiku nama panggilan yang aneh!”

Sahutan itu meledak ke muka. Namun, Reine melanjutkan seakan-akan dia tidak mendengar kata-kata Shido.

“...persiapan untuk latihan pengembangan diri yang Kotori bicarakan kemarin sudah selesai. Saya tadi sedang mencari-cari kamu. Pas-pasan saja, sekarang mari berangkat ke ruang persiapan fisika.”

Apapun yang Shido katakan sekarang akan sia-sia saja, jadi ia menyerah untuk membalas, dan setelah desahan kuat, ia bertanya kembali.

“Lebih tepatnya apa yang akan kulakukan pada latihan ini? Uhm... Reine-san.”

“...hm. Saya dengar ini dari Kotori, tapi Shin, kelihatannya kamu tidak pernah berhubungan dengan gadis-gadis kan sebelumnya?”

“......”

—Adikku sayang, mengapa kau menyebarkan sejarah perjalanan kakakmu dengan perempuan (nol) ke orang lain?

Urat nadi kemarahan muncul di wajah Shido saat ia memberi anggukan yang tidak pasti.

“...bukan berarti saya mencoba menyalahkanmu. Memang sangat baik untuk memiliki nilai moral yang kuat. ...Tapi, itu tidak akan membantumu saat kau mencoba menggoda seorang Spirit.”

“Ugh...”

Sembari memberengut, ia mengerang.

Mungkin itu ketika mereka lewat mendekati ruangan staf, ketika

“...ah?”

Shido melihat penglihatan yang aneh dan berhenti.

“...ada apa?”

“Tidak, itu...”

Pada arah mana ia sedang melihat, guru homeroom Tama-chan sedang berjalan—mengikuti di belakangnya, bayangan mungil dengan rambut terbagi dua lalu berbalik badan.

“Ah!”

Mungkin dia menyadari pandangan Shido, lalu bayangan mungil itu—ekspresi Kotori tiba-tiba berseri-seri.

“Oniii-chaaaaaaan!”

Saat itu juga, seakan terhisap ke arahnya, Kotori mendaratkan serangan mendadak pada perut Shido.

“Hagaa...!”

“Ahahaha, kamu bilang hagaa! Si Pak Mayor! Ahahahaha!”[7]

“Ko-Kotori...!? Kenapa kau ada di sekolah lanjutan ini...”

Shido bertanya sambil mencoba melepaskan diri dari Kotori yang menempel pada perutnya, dan dari belakang Kotori, bu guru Tama-chan terburu-buru menghampiri.

“Ah, Itsuka-kun. Adikmu datang, jadi kami baru saja mau menyiarkannya.”

“A-ahh...”

Kalau dilihat baik-baik, Kotori sedang memakai sandal untuk tamu, dan mengenakan kartu pengunjung di bagian dada seragam sekolah menengahnya. Kelihatannya dia memasuki sekolah setelah melalui semua keperluan formalitas baik-baik.

“Oh, sensei, terima kasih!”

“Dengan senang hati.”

Sensei membalas tersenyum pada Kotori yang sedang semangat melambaikan tangannya.

“Aah, benar-benar imouto yang lucu.”

“Haa... yeah.”

Selagi setetes peluh mengaliri wajahnya dan dengan senyum pahit, Shido memberikan balasan yang ambigu.

Setelah tersenyum dan melambai “dadah” pada Kotori, sensei berjalan pergi menuju ruangan staf.

“...jadi, Kotori.”

“Nn, apaa?”

Sembari melebarkan mata bundarnya, Kotori memiringkan kepala.

Tingkah laku itu milik imouto-nya yang manis seperti yang Shido kenal.

“Kau... hal-hal malam tadi, <Ratatoskr>, atau Spirit—”

“Kita bicarakan mengenai itu nanti saja.”

Nada bicaranya sama seperti biasanya, tapi untuk alasan tertentu terasa seperti adanya penekanan, jadi Shido terdiam.

Lalu, dari belakang Shido, suara pelan Reine berkumandang.

“...kamu lebih cepat, Kotori.”

“Mm, karena aku meninggalkan <Fraxinus> di tengah perjalanan.”

Meskipun dia baru saja bilang untuk membicarakan itu nanti, dia alamiah mengucapkan nama kapal itu.

Merasa kalau ini sedikit tidak masuk akal, Shido menempatkan satu tangan pada dahinya.

Melihat hal tersebut dengan senyum riangnya, Kotori melangkah maju di koridor seakan memandu Shido.

“Ngomong-ngomong, hey, onii-chan. Ayo?”

Sembari mengatakan ini, Kotori menarik tangannya.

“Wh... Whoa, aku tahu jadi pelan-pelan.”

Hari ini adalah hari dimana ia sering sekali ditarik gadis-gadis. Selagi berpikir dengan santainya mengenai hal semacam itu, mereka mencapai tujuan mereka.

Gedung timur sekolah lantai empat, ruang persiapan fisika.

“Ayo, masuk, masuk~♪”

“Jangan mengucapkannya seperti ‘hai-ho’[8]!”

Didorong Kotori, Shido menggeser pintu terbuka.

Seketika itu juga, ia mengernyit dan mengucek matanya.

“...hey.”

“...apa?”

Reine merespon kata-kata Shido sambil memiringkan kepala.

“Apa-apaan ruangan ini?”

Ruangan persiapan fisika bukanlah tempat yang biasa dimasuki murid-murid, dan kenyataannya, Shido tidak pernah tahu apa isinya.

Meskipun begitu, ia jelas-jelas menyadari.

—Kalau ini bukanlah ruangan persiapan fisika.

Bagaimanapun juga, penglihatan Shido terisi dengan sejumlah komputer, layar, dan berbagai alat elektronik yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.

“...semua itu peralatan ruangan ini?”

“Kenapa kau menjawab dengan sebuah pertanyaan! Dan lagipula selain itu, bukannya ini ruang persiapan fisika? Apa yang terjadi pada sensei yang bertanggung jawab untuk tempat ini!”

Betul. Mulanya, ini seharusnya adalah tempat satu-satunya selain toilet dimana sang guru tua yang baik hati dan polos Chousoka Beshiyouichi(nama panggilan ‘batu kerikil[9] sejak lahir’) dapat bersantai.

Sekarang, sosok sang guru Chousoka Beshiyouichi tidak terlihat di manapun.

“..ahh, dia. Hmm.”

Reine menempatkan tangannya di dagu dan mengangguk kecil.

“...”

“...”

“...”

“...”

Dengan demikian, beberapa detik telah berlalu.

“...ah yah, kalaupun kamu berdiri disana tidak akan merubah apapun. Silahkan masuk.”

“Apa setelah ‘hmm’ hah!?”

Benar-benar kemampuan mengabaikan yang luar biasa. Kemampuan yang harus dipelajari orang-orang Jepang masa kini.

Reine memasuki ruangan dulu, dan duduk di kursi yang ditempatkan di bagian terdalam ruangan.

Selanjutnya, Kotori memasuki ruangan dari samping Shido.

Lalu, dengan tata cara yang sudah terbiasa, dia melepas ikatan rambutnya dari pita-pita putih dan mengencangkannya kembali dengan pita-pita hitam yang diambilnya dari kantung.

“—Fuuh.”

Setelah dia melakukannya, kelihatannya aura Kotori tiba-tiba berubah.

Dia lalu dengan lesu mengendurkan kerah seragamnya, dan tersungkur ke kursi dekat Reine dengan suara gedebuk keras.

Dan kemudian, dari tas yang dibawanya, Kotori menarik keluar apa yang terlihat seperti binder kecil.

Di dalamnya, berderet dengan indahnya sebagai satu set, berbagai macam tipe Chupa Chups.

Benda itu adalah tempat permen yang sering dibicarakan orang.

Kotori memilih satu, menaruhnya di mulut, dan memberikan tatapan yang seakan merendahkan Shido, yang masih berdiri di pintu masuk ruangan.

“Sampai kapan kau akan berdiri saja, Shido? Atau apa kau mencoba menjadi orang-orangan sawah? Menyerahlah. Dengan wajahmu yang terlihat bodoh, aku tidak pikir kau akan bisa mengusir gagak-gagak. Ah, tapi karena wajahmu sangat menjijikan mungkin sebaliknya manusia tidak akan mendekatimu.”

“...”

Melihat adiknya yang telah berubah menjadi seorang permaisuri hanya dalam sekejap, Shido menempatkan tangan pada dahinya.

Mengganti pitanya mungkin telah mengalihkan pola pikirnya.

Sama halnya dengan membalikkan pion-pion Reversi[10], kemiripan yang mengesankan dengan Jekyll & Hyde[11].

“...Kotori, yang mana karaktermu yang sebenarnya...?”

“Kau kasar sekali. Kau tidak akan populer dengan wanita kalau begitu terus. —Ahh, karena itu rupanya kau masih perjaka. Maaf karena aku mentah-mentah mengatakan hal yang sudah jelas itu.”

“...hey.”

“Menurut statistik, lebih dari setengah pria yang mencapai 22 tahun tanpa dapat mengencani seorang gadis berakhir sebagai perjaka seumur hidup.”

“Itu berarti aku masih punya sisa lebih dari lima tahun! Jangan menyepelekan diriku di masa depan!”

“Orang-orang yang cuma bicara mengenai kemungkinan-kemungkinan atau waktu sisa yang mereka miliki, pada akhirnya yang mereka katakan cuma ‘Aku akan berusaha keras mulai besok’.”

“Guh...”

Sadar kalau ia tidak dapat menang dalam argumen, ia menggertakkan gigi dan menutup pintu.

“...sekarang, ngomong-ngomong Shin, latihan akan segera dimulai. Silahkan duduk di sini.”

Sambil mengatakan ini, Reine menunjuk pada sebuah kursi yang terletak di antara mereka berdua.

“...oke.”

Shido sudah menyadari kalau semua keluhannya akan sia-sia saja, jadi ia mengikuti arahan mereka dan duduk di bangku tersebut.

“Sekarang, ayo segera kita mulai penyiks... *uhuk**uhuk*, ayo mulai latihannya.”

“Kau baru saja bilang penyiksaan bukan.”

“Itu imajinasimu saja. —Reine.”

“...ahh.”

Kotori berbicara, dan Reine menyetujui sambil menyilangkan kakinya.

“...apapun tujuanmu, untuk ikut serta dalam rencana kami, kamu harus paling tidak menyelesaikan syarat tertentu.”

“Apa itu?”

“...singkatnya, kamu harus lebih terbiasa berurusan dengan wanita.”

“Berurusan dengan wanita... ya?”

“...ahh.”

Reine mengangguk. Entah mengapa, kelihatannya dia hampir tertidur begitu saja.

“...bukan hanya untuk mematahkan pertahanan si target saja, namun untuk mendapatkan perasaan mereka, mengarahkan percakapan adalah hal yang esensial. Meskipun kami dapat memberikan arahan kemana harus pergi dan apa yang harus diucapkan... tapi kalau orangnya sendiri gugup maka tidak akan ada hasilnya.”

“Percakapan dengan sebuah gadis... tidak mungkin sesusah itu.”

“Oh benarkah itu.”

Kotori tiba-tiba menggenggam kepala Shido, dan mendorongnya dengan paksa ke dada Reine.

“......!?”

“...nn?”

Reine melepas suara aneh.

Pipinya diserang dengan perasaan yang hangat dan lembut, dan mengikutinya adalah wewangian yang seakan melebur isi otaknya berputar-putar di hidungnya. Shido segera mendorong tangan Kotori dan sambil tersentak mengangkat wajahnya.

“...ap, ap-ap-ap-apa yang kau lakukan...!”

“Hmm, tidak bisa ya.”

Kotori dengan gaya meledek mengangkat bahu.

“Kau mengerti sekarang kan? Kalau sesuatu seperti ini saja mengacaukan detak jantungmu berarti buruk sekali kan.”

“Tidak, jelas sekali contoh seperti ini aneh kan!?

Namun Kotori tidak berniat untuk mendengarkannya, selagi dia menggelengkan kepala dalam kekecewaan.

“Benar-benar, kau ini bocah perjaka yang menyedihkan ya. Ya ampun, apa aku baru saja berpikir kau ini sedikit manis?”

“Be-berisik.”

“...yah, tidak apa-apa kan? Justru karena itu juga kita datang ke sini.”

Selagi mengatakan ini, Reine menyilangkan tangannya. Dadanya yang biasa saja sudah mencengangkan sekarang bahkan lebih mencolok lagi.

Atau lebih tepatnya, mereka sedang ‘menunggangi’ tangannya.

“...”

Untuk beberapa alasan tertentu melihatnya membuat dirinya merasa malu, jadi tanpa menyadarinya ia melirik ke mana-mana.

—Latihan agar terbiasa dengan perempuan.

Di kepala Shido, kata-kata yang diucapkan Reine terlintas.

Tambah lagi, kurang-lebih semua itu mengenai bagaimana menghindari rasa gugup atau situasi erotis... atau semacam itu.

Kotori dan Reine, apa yang sebenarnya mereka rencanakan untuk dilakukan Shido di sini—

“Telan ludahmu. Menjijikan tahu.”

Selagi menempatkan sikunya di meja, Kotori mengucapkan itu dengan mata setengah terbuka.

“...! T-tidak bukan seperti itu Kotori! A-aku tidak...”

“...uhm, kita akan segera mulai bukan?”

Memotong pembicaraan di antara Kotori dan Shido, Reine menaikkan kacamatanya.

“Haa—, t-tunggu, aku belum menyiapkan diri...”

Dengan suaranya yang gemetar karena gugup, Shido meluruskan punggungnya.

Tanpa memedulikannya Reine bergumam “...Nn”, dan seperti beberapa lama yang lalu mendekatkan tubuhnya pada Shido.

Dibandingkan dengan kejadian sebelumnya saat mereka berkontak tanpa pemberitahuan dahulu, jantungnya berdenyut jauh lebih cepat.

—Ahh, apa? Apa yang akan dilakukannya...!?

Dengan jantungnya berdenyut seperti ini ia bahkan tidak dapat bergerak. Selagi membuat ekspresi seperti karakter utama dalam shoujo manga[12], Shido memejamkan matanya rapat-rapat.

Namun, tidak peduli berapa lama ia menunggu, tidak ada yang terjadi.

Ia membuka mata dan melihat-lihat, Reine hanya sedang menyalakan power monitor di meja saja.

“Eh...?”

Selagi Shido memandang dengan tatapan kosong, huruf-huruf <Ratatoskr> yang didesain dengan lucu terlihat di layar.

Selanjutnya, bersamaan dengan nada musik pop, gadis-gadis cantik dengan berbagai warna rambut bermunculan satu persatu, dan menari-nari sebuah logo yang kelihatannya adalah judulnya, Koishite, My•Little•Shido[13].

“I-ini kan...”

“...yup. Inilah yang disebut dengan dating simulation game.”

“Ini galge?!”

Shido melepas sahutan yang mirip dengan jeritan.

“Ya ampun, apa yang kau bayangkan? Sepertinya cuma kemampuan berfantasimu yang kelas-satu, dasar menjijikan.”

DAL v01 113.jpg

“...n, i-itu...”

Sambil terbata-bata... entah bagaimana ia berhasil menenangkan detak jantungnya dengan berdeham.

“A-aku cuma, ragu kalau yang seperti ini bisa dibilang latihan...”

Dalam diam, Kotori memandanginya dengan mata yang seakan sedang melihat sesuatu yang jorok.

Ia berharap kalau setidaknya dia mengatakan sesuatu. Keheningan ini, keheningan ini menyakitkan.

“...uhm, tolong jangan bilang begitu. Ini baru tahap pertama dari latihan. Tambah lagi, ini bukan barang yang dapat kamu temui di toko-toko, ini dibuat oleh seluruh <Ratatoskr>. Game ini secara realistis membuat ulang situasi yang dapat terjadi di kehidupan nyata. Ini paling tidak dapat membuatmu siap. Ngomong-ngomong, ini untuk 15+.”

“Ahh... jadi bukan 18+”

Shido mengucapkan itu tanpa maksud tertentu, dan Kotori memandanginya dengan tatapan yang menyimpan rasa kasihan.

“Kau benar-benar rendahan.”

Lalu, Reine menggaruk kepalanya.

“...Shin, bukankah kamu masih 16 tahun? Kamu seharusnya tidak boleh bermain game 18+ kan?”

“Tapi bukannya ini berbeda sekali dengan apa yang kau katakan beberapa saat lalu?!”

Ia berteriak, tapi tidak kelihatannya baik Kotori atau Reine akan menanggapinya.

“...nn, kalau begitu ayo mulai.”

“Oke oke... coba kita lihat.”

Meskipun merasa kalau ada yang tidak masuk akal, Shido mengambil controller dengan tangannya seperti yang diperintahkan.

Bermain galge di saat adikmu dan seorang guru menontoninya, hukuman macam apa ini, itu pikirnya.

Membaca sepintas monolog sang protagonist, alur game terus berjalan.

Lalu, layarnya tiba-tiba menjadi gelap.



”Pagi, onii-chan! Lagi-lagi hari yang cerah ya!”

Bersamaan dengan kata-kata tersebut, CG[14] yang indah ditampilkan di layar.

Gadis yang pendek, mungkin adik sang protagonist, digambar dengan komposisi yang sedikit miring.

Atau lebih tepatnya, dia sedang menginjak protagonist dalam tidurnya.

Dengan celana dalamnya terlihat sepenuhnya.

“Gak mungkiiiiiiiin!!”

Selagi mencengkeram controllernya, Shido mengeraskan suaranya.

“...ada apa Shin. Ada masalah?”

“Bukannya kau bilang ini membuat kembali situasi yang bisa terjadi di kehidupan nyata?!”

“...itu benar, apa ada yang aneh?”

“Aneh atau tidak, situasi berantakan seperti ini tidak... mungkin...”

Ia berhenti di tengah-tengah, dahi Shido mulai berkeringat.

Ia menyadarinya entah kenapa, pengalaman yang sangat serupa kelihatannya telah terjadi baru saja kemarin pagi.

“...ada apa?”

“...lupakan, bukan apa-apa.”

Sambil merasa kalau ada yang benar-benar tidak beres, Shido kembali melanjutkan game.

Setelah ia sedikit memajukan alur teks, beberapa kata-kata muncul di tengah layar.

“Hmm...? Apa ini?”

“Mm, itu adalah pilihan-pilihannya. Kau memilih tindakan protagonist selanjutnya lewat salah satu pilihan ini. Sesuai dengan apa yang kau lakukan affection point-mu akan berubah jadi hati-hatilah.”

Selagi mengatakan ini, Kotori menunjuk bagian kanan bawah layar. Di sana, terdapat sebuah objek seperti meteran dengan cursor-nya menunjuk ke posisi nol.

“Hmm... Begitu. Jadi tidak apa-apa kalau aku cukup memilih salah satunya kan?”

Shido mengalihkan matanya dari meteran affection points ke pilihan-pilihan itu.

①”Pagi, aku cinta kamu Ririko.” Dengan kasih sayang memeluk imouto.

②”Aku sudah bangun. Atau lebih tepatnya kau sudah membangunkanku sepenuhnya.” Menyeret imouto ke tempat tidur.

③”Kena kau, idiot!” Memegang kaki yang menginjakmu, dan mengunci pergelangan kakinya.

“...Apa-apaan tiga pilihan ini! Bagian mananya yang nyata! Aku tidak pernah melakukan yang manapun dari semua ini!”

“Apalah, tapi batas waktunya hampir habis.”

“Huh...?!”

Seperti yang Kotori bilang, angka yang ditampilkan di bawah pilihan-pilihan itu pelan-pelan mengecil.

“...sepertinya aku harus melakukannya.”

Shido mengucapkannya seperti menggerutu, dan memilih yang paling normal dari pilihan-pilihan itu, ①.

"Pagi, aku cinta kamu Ririko."

Dengan penuh kasih sayang kupeluk imouto-ku, Ririko.

Saat aku melakukannya, wajah Ririko langsung dipenuhi rasa jijik, dan dia mendorongku menjauh.

”Eh... hey, apa yang, bisakah kamu berhenti melakukannya? Menjijikan tahu.”

Meteran Affection Point-nya turun drastis ke minus lima puluh.

“Harusnya ini mirip kenyataan kan!”

Selagi membanting controller ke lututnya, Shido berteriak.

“Ahhhh, bodoh. Meskipun itu adikmu sendiri, jelas-jelas itu yang akan terjadi kalau kau tiba-tiba memeluknya. —Benar-benar, untung saja ini cuma game, kalau ini terjadi di kenyataan, lubang angin yang menawan pastinya sudah terbuka di perut Shido."

“Lalu apa yang harus kulakukan!”

Shido menjerit atas perlakuan yang sangat tidak masuk akal ini, dan Kotori bertingkah seakan dia tidak mendengarnya.

Sambil mendesah, dia menyalakan LCD screen di depannya.

“Ah...? Apa yang kau lakukan?”

“Meskipun ini latihan, perlu ada sedikit ketegangan.”

Di layar, pemandangan yang ia ingat ditampilkan. Itu adalah pintu masuk menuju Raizen High School

Di sana, dari pandangan kamera, berdiri seorang laki-laki setengah baya sedang memakai seragam sekolah lanjutan.

“...kenapa orang itu?”

“Dia bagian dari crew kami.”

Sambil mengatakan ini, Kotori menarik sesuatu seperti mic entah dari mana dan berbicara ke arahnya.

“—Ini aku. Shido menggagalkan satu pilihan. Lakukan.”

“Huh?”

Lelaki di gambar itu menunduk hormat.

“Ha...? Ap-apa?”

Shido mengernyitkan mata, dan lelaki di gambar itu menarik selembar kertas dari kantungnya. Ia lalu memampangkannya di depan kamera.

Pada saat ia melihatnya, Shido merasa shock seakan jantungnya telah berhenti.

“I-itu kan—”

Melihat reaksinya, senyuman yang memperlihatkan kalau dia sangat menikmati ini muncul di wajah Kotori.

“Betul. Itu adalah puisi oleh Shido muda, karena dipengaruhi manga, ia menulis: ‘Etude, persembahan untuk dunia yang rusak ini’.”

“Ke... ke-ke-ke-ke-ke-ke-ke-kenapa kau punya itu...?!”

Itu tanpa diragukan lagi adalah puisi yang telah Shido tulis di buku catatannya saat sekolah menengah. Tapi sebelum masuk sekolah lanjutan, puisi itu jadi terasa memalukan dan ia seharusnya sudah membuangnya.

“Fufu, dulu kupikir itu akan berguna suatu hari nanti jadi aku memungutnya kembali.”

“A, a-ap-apa yang kau rencanakan...!”

Sambil tersenyum lebar, Kotori memerintahkan, “Lakukan.”

“Siap.”

Dengan jawaban pendek, sang lelaki dengan sopan memasukkan puisi tersebut ke dalam rak sepatu terdekat.

Dengan begini, beberapa murid yang datang ke sekolah besok akan berakhir membaca puisi yang telah Shido tulis dengan sepenuh jiwanya.

“Ap... apa yang kau lakukan!”

“Jangan banyak cingcong, kau ini memalukan. Kalau kau berbuat kekacauan ketika berhadapan dengan seorang Spirit maka itu tidak akan berakhir dengan hal seperti ini saja. Tidak perlu dipertanyakan mengenai Shido sendiri, tapi ada kemungkinan juga kalau kami ikut terseret masuk persoalan. —Maka dari itu, untuk memberimu sense ketegangan, aku memberikan penalty ini.”

“Itu terlalu beraaaaat! Lagipula, bukannya cuma aku yang dirugikan?!”

Shido berteriak, dan Reine memberinya anggukan, menempatkan tangannya di dagu.

“...memang betul, apa yang Shin katakan ada benarnya.”

“! Be-betul kan!”

Mendengar bantuan yang tidak diduganya, wajah Shido mencerah. Namun,

“...kalau begitu, ketika Shin salah membuat pilihan, kita juga harus menghadapi semacam penalty.”

Sambil mengatakan ini, perlahan-lahan dia mulai melepas jas putihnya.

“Tung... apa yang kau lakukan?!”

“...yah, tidakkah kamu bilang tidak adil kalau kamu saja yang mendapat malu? Jadi ketika Shin membuat kesalahan dalam sebuah pilihan saya akan melepas satu stel pakaian seperti ini.”

Dia berkata, dan tanpa kelihatan malu sedikitpun dia menyilangkan tangan.

“Bukan itu yang kumaksuuuuud!”

“Apalah, lanjutkan game-nya.”

Kotori dengan tidak sabaran menendang kursi.

Dengan wajah yang hampir menangis, Shido menyerah dan menghadap layar.

Tapi, kalau pilihan-pilihan yang muncul nanti semuanya seperti ini, ia tidak punya keyakinan kalau ia dapat dengan aman menyelesaikannya.

“...hey Kotori, untuk bahan pembelajaran, bisa aku coba semua pilihannya untuk kesempatan terakhir ini?”

“Uwah, bertindak pengecut dan berpikir layaknya orang awam, benar-benar memalukan.”

“Be-berisik, ini pertama kalinya aku memainkan yang semacam ini jadi beri aku keringanan!”

“Yang benar saja, baiklah. Cuma satu kali ini saja. —Kalau begitu, save disini.”

"O-Oke..."

Setelah Shido selesai save, ia me-reset game dan kembali ke pilihan pertama.

“...”

Dengan tampang cemberut ia melototi semua pilihannya... benar-benar kelihatannya tidak ada yang layak untuk dipilih.

Tapi tidak terlihat kalau ③ akan meningkatkan affection points-nya. Dengan menyingkirkan pilihan itu, ia memilih ②.

”Aku sudah bangun. Atau lebih tepatnya kau sudah membangunkanku sepenuhnya.”

Bangun sambil terhuyung-huyung, aku menyeret Ririko ke dalam tempat tidur dan menarik selimut menutupinya.

”Ah..., ap-apa yang kamu lakukan!”

”Mau bagaimana lagi. Karena Ririko sendiri semuanya jadi seperti ini.”

”!! Tidak, berhenti!! Tidaaaaak!”

”Tidak apa tidak apa tidak apa.”

Layar berubah menjadi gelap.

Perkembangan selanjutnya terjadi seketika.

Sang imouto, ambruk dalam tangisan. Sang protagonist, dipukuli ayahnya. Suara jernih borgol tangan. Sang protagonist, tertawa sendirian di dalam ruangan gelap.

Dengan CG tersebut sebagai latar belakang, musik yang sedih disertai credits mulai masuk.

“Apa-apaan iniiii!”

Tanpa bisa menahan diri, Shido berteriak.

“Kalau kau tiba-tiba melakukan sesuatu seperti itu ya jelas-jelas saja hasilnya kau menjadi peleceh seksual.”

“Berarti ③ jawaban yang benar?!”

Shido me-reset game, dan untuk ketiga kalinya kembali ke pilihan pertama, dan kali ini memilih ③.

”Kena kau idiot!”

Kupelintir kaki adikku, mengunci pergelangan kakinya—atau lebih tepatnya mencobanya.

”Naif.”

Dia memelintirkan tubuhnya, meloloskan diri dari peganganku, dan seperti itu, mengayunkan kakinya ke punggungku dan memegang kakiku dengan posisi Sharpshooter yang sempurna.

”Ghufu...?!”

Setelahnya, dikarenakan cedera yang didapat pada saat itu, sang protagonist menderita kelumpuhan di bagian bawah tubuhnya dan terpaksa hidup terperangkap di atas kursi roda. —Dengan begitu, game-nya berakhir.

“Hey, bukankah ① pilihan yang benar pada akhirnya!? Dan biasanya imouto-mu tidak mungkin bisa melakukan gerakan seperti itu kan!”

“Hmpf.”

Segera setelah Shido mengatakan ini, Kotori mencengkeram kerahnya dan melemparkannya ke lantai, langsung menangkapi kakinya dan melakukan Sharpshooter.

“Ghi...!?”

“Hmph, ghi? Setidaknya teriak dan panggil ibumu.”

Sambil berkata ini, dia melepaskan Shido dan dengan terlihat segar meluruskan rambutnya.

“H-hey kau, di mana kau mempelajari gerakan—”

“Itu kecakapan seorang lady.”

Dia mengatakannya terang-terangan.

Bayangan Shido akan seorang lady tiba-tiba berubah menjadi bayangan seorang pro-wrestler yang menonjolkan otot-ototnya.

“Ugh..., lalu bagaimana dengan ini, pada akhirnya apa pilihan yang benar?”

“Ya ampun, kau bahkan menanyakan jawabannya pada si pembuat? Menyedihkan sekali.”

Selagi berbicara, Kotori mengambil controller dari Shido, me-reset game dan melanjutkannya sampai pilihan pertama.

Ia lalu melanjutkan dengan terdiam menatap layar tanpa memilih apapun.

“...? Apa yang kau lakukan? Kalau kau tidak cepat-cepat—”

Sebelum Shido selesai berbicara, nomor yang ditampilkan di bawah pilihan menjadi nol.

”Mmm... sepuluh menit lagi...”

”Ayo! Cepat bangun!”

Dengan begitu, percakapan yang sangat normal ditampilkan di layar.

Meteran affection point tidak naik ataupun turun.

“Ap...”

“Tidakkah kau pikir ada yang salah kalau memilih dari pilihan-pilihan aneh seperti itu?”

Sambil tertawa meledek, Kotori mengembalikan controller pada Shido.

“Aku akan membuat pengecualian khusus dan membiarkanmu melanjutkan dari route ini, jadi cepat lanjutkan. Oh, tambah lagi mulai dari pilihan selanjutnya akan ada penalty.”

“Guh..., grr...”

Selagi merasakan sesuatu yang tidak dimengertinya, Shido menggenggam controller.

Ia melanjutkan game, seorang guru perempuan dengan lingkar dada lebih dari 100cm kebanggaannya diperlihatkan di layar.

Meskipun itu sudah tidak realistis, Shido mengacuhkannya dan melanjutkan.

Lalu,

”Kyaa!”

Diiringi sebuah teriakan, sang bu guru tersandung entah oleh apa dan jatuh dengan posisi di mana wajah sang protagonist terdorong masuk ke dalam dadanya.

Seperti yang diperkirakan, controller-nya terlempar ke atas meja.

“Tidak, mungkin! Hal semacam...”

Ia mulai berbicara, tapi sekali lagi Shido merasakan keringat dingin, dan dengan kesal memungut controller lagi. Ia merasa kalau hal seperti ini, meski situasinya berbeda, telah terjadi beberapa waktu yang lalu.

“Ada yang salah, Shido?”

“...tidak ada.”

Dalam diam, ia lanjut bermain.

Selagi ia melakukannya, sekali lagi sebuah pilihan muncul.

①”Setelah kejadian seperti ini... sensei, saya mulai menyukaimu.” Dengan lembut memeluknya.

②”I-ini dewa susuuu!” Menggenggam payudaranya.

③”Kesempatan!” mengubah posisi melakukan armbar.

...sekali lagi, tidak ada di antaranya yang terlihat masuk akal.

“Jadi begini rupanya...!”

Shido erat-erat mengepalkan tinjunya. Ini pasti mengikuti pola yang sama dengan sebelumnya.

Menunggu sampai hitungan di bawah pilihan-pilihan menjadi nol, seperti yang diduga beberapa teks muncul di layar.



”..., kyaaaah! Apa yang kau lakukan!? Mesum! Dasar mesum!”

Sang bu guru menjerit, dan affection point-nya berkurang 80.

“Apaan ini!”

Shido berteriak, dan Kotori hanya menggeleng menghina.

“Kalau kau menikmati dadanya selama itu tanpa mencoba melarikan diri, respon seperti ini sepertinya sudah jelas.”

“Lalu apa yang seharusnya kulakukan!?”

“Apa kau tidak membaca teks sebelum pilihan itu? Dia adalah pembimbing untuk Klub Judo, Goshogawara Chimatsuri. Kau harus menahan gerakannya, dan mengalihkan perhatiannya dari dadanya ke pergumulan itu.”

“Bagaimana aku bisa tahu hal itu!”

“—yah, kekalahan adalah kekalahan. Lakukan.”

“Siap.”

Lelaki di kamera sekali lagi mengambil sepotong kertas dari kantungnya, dan menunjukannya ke kamera.

Itu adalah gambar kasar seorang karakter disertai setting-nya yang mendetil.

“I... Ini!”

“Betul. Ini adalah naskah original character yang Shido buat di masa lalu.”

“Gyaaaaaaaaaaaaaah?!”

Meskipun Shido berteriak, lelaki itu memasukkan kertas tersebut ke dalam rak sepatu yang dipilih secara acak.

“Hentikan hentikan hentikaaaaaaan!”

Shido memegangi kepalanya dan menjerit, dan Reine mulai membuat gerakan-gerakan dengan suara kosak-kasik.

“..., Reine-san!”

Ia sampai lupa. Dia sudah bilang kalau setiap kali Shido mendapat penalty, dia akan melepas satu stel pakaian lagi.

Yah, karena Shido adalah bocah sekolah lanjutan yang masih waras, tentu saja bohong kalau ia tidak akan senang... tapi, entah kenapa, ia sedikit kerepotan.

Untung saja, Reine masih memakai banyak setelan pakaian di tubuhnya. Kalau ia memastikan untuk tidak mendapat pilihan yang salah lagi maka—

“...nn”

Tepat ketika Shido memikirkan ini, Reine perlahan-lahan memindahkan tangan ke punggungnya, melakukan sesuatu yang menyebabkan suara ‘klik’, lalu menggerakkan tangannya ke dalam bajunya dan menggersak-gersakkannya sedikit, lalu menarik bra-nya dari leher.

“Kau mulai dari situ!?”

Shido menyahut, dan Reine menelengkan kepalanya ke samping.

“...apa ada masalah?”

“Tidak, tapi bukannya jelas-jelas kau membalikkan urutannya?! Atau lebih tepatnya kau tidak perlu melepas bajumu lagi!”

“...hmm? Bukankah itu tidak adil? Saya masih bisa lanjut...”

“Kau cuma mau melepasnya kan, benar kan!?”

Shido mengeraskan suara, dan sekali lagi dengan suara *gan* kursinya ditendang.

“Aku tidak peduli mengenai itu tapi cepatlah. Lihat, karakter selanjutnya sudah muncul.”

Sambil mengatakan ini, Kotori menunjuk layar.

“Guh...”

Tanpa pilihan lagi, Shido lanjut bermain.

Kali ini, yang ditampilkan di layar adalah sebuah adegan dengan seorang gadis yang kelihatannya ada di tahun yang sama dengan sang protagonist, yang menabraknya di sudut koridor, dan jatuh dengan indahnya ketika kakinya membuat bentuk M dan celana dalamnya terlihat sepenuhnya.

“—!”

Sambil mencari-cari ingatannya, Shido mengepalkan tinjunya, dan berkata dengan suara kencang.

“Tidak ada! Yang ini, yang ini pastinya tidak pernah terjadi!!”

“...begitukah? Meskipun begitu saya pikir tanpa diduga-duga hal seperti ini dapat terjadi...”

Itulah yang Reine katakan, tapi ia pastinya tidak pernah mengalami yang seperti ini sebelumnya. Shido dengan yakin menggelengkan kepala.

Tapi, lagi-lagi kursinya ditendang.

“Ini bukanlah game di mana kau mencoba memilih apakah sebuah situasi itu realistis atau tidak. Lakukan dengan sebaiknya. Kalau kau membuat kesalahan di pilihan berikutnya.—lihat ini.”

Selagi mengatakan ini, Kotori mengoperasikan komputer di depannya.

“...ah?”

Shido mengernyitkan mata selagi sebuah animasi ditampilkan di layar.

—Latar tersebut adalah kamar Shido. Di sana, Shido yang setengah telanjang sedang berdiri.

“I... ni kan...”

Wajah Shido berubah pucat.

Bagaimanapun juga, ini adalah—

Secret Skill●Instant Lighting Blaaaaaaaaaast!

Di tampilan itu, Shido membuat pose dengan kedua tangannya menyatu di depan pinggang, dan dengan seluruh kekuatannya tiba-tiba mendorongnya ke depan.

Kotori memasang wajah yang terlihat seakan dia tidak dapat menikmati hal lain lebih dari yang sekarang ini.

“Betul, ini, sebelumnya saat Shido sedang menjaga rumah sendirian... *pu*, ketika dia sedang melatih serangan penghabisan original-nya di kamar... *kuku*, video ini...”

Tak bisa lagi menahannya, Kotori berkata selagi tawanya tumpah.

“TidaaaaaaaaaaaAAAaaaaaaaaaaaAaaaaAAaaaaaaak—!”

Shido melepaskan teriakannya yang paling menakjubkan pada hari ini.

“Kotori! Jangan yang ini! Tolong, apapun selain yang ini!”

“Fufu, kau sebaiknya memastikan agar membuat pilihan yang tepat lain kali. ..ahh, kalau kau menyerah di tengah-tengah, aku akan meng-upload-nya ke sebuah site video.

“......”

Dengan wajah yang kelihatannya akan menangis, Shido menggenggam controller sekali lagi.


References

  1. Senter dengan bentuk mirip seperti pen, penlight berbeda dengan pen senter biasa
  2. Ramune adalah merk soft drink Jepang dengan berbagai rasa.
  3. Japan Ground Self-Defense Force.
  4. Tempat penyimpanan mesin(biasanya untuk pesawat terbang)
  5. Mesin game arcade di mana pemain memukul kepala buaya-buaya yang keluar dari lubang-lubang yang ada.
  6. Ada pepatah yang mengatakan bahwa ayam melupakan banyak hal setelah mengambil tiga langkah, jadi dia sedang mencoba mengatakan kalau Shido punya jangka perhatian/ingatan yang lebih rendah dari seekor ayam
  7. Yang dikatakan di sini mengacu pada Mike Haggar, karakter fiktif dari serial game Final Fight.
  8. Kotori mengucapkan ‘hairo’(masuk) dengan sedikit pemanjangan, membuatnya terdengar seperti hai-ho, yang adalah cara bicara 7 kurcaci dalam cerita dongeng.
  9. Peralatan Doraemon berupa topi yang jika dipakai akan membuat siapapun tidak menyadari keberadaanmu di situ.
  10. Nama asli dari permainan Othello.
  11. Jekyll adalah nama tokoh fiktif yang memiliki kepribadian ganda(Hyde).
  12. Manga untuk perempuan, serial cantik.
  13. Koshite, fall in love
  14. Computer Graphic