Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 1

From Baka-Tsuki
Revision as of 14:13, 7 June 2013 by Tony Yon (talk | contribs) (revisi)
Jump to navigation Jump to search

Toko Swalayan di Ujung Dunia

Meski jendela-jendela kereta dibuka hanya sekitar lima senti, aroma laut sudah mengalir masuk dengan lambat.

Hari itu adalah Minggu siang, dan tidak ada penumpang di sana selain aku. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai saat liburan musim panas. Tapi untuk sekarang, awal April, masih ada waktu yang cukup lama sampai pantai ramai didatangi. Karenanya, mungkin hanya anak SMP yang berlibur ke pantai di saat libur musim semi...... termasuk aku.

Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lembut. Tembok pegunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap di depan mataku, dan lingkup pandangku meluas, bersamaan dengan meningkatnya aroma laut. Sekumpulan atap dan pemandangan air laut berwarna tembaga-tua menggelap di bawah langit mendung.

Kereta itu bergoyang dan berhenti di stasiun kecil.

Aku mengambil tas punggungku dari rak bagasi. Saat aku berjalan ke peron terbuka, aku segera melihat kumpulan berwarna abu-abu di antara gunung-gunung berwarna hijau tua di kananku.

Aku tidak tahu kapan dimulainya, tapi lembah yag ada di sana, telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah yang besar. Aku tidak tahu tempat pembuangan sampah itu legal atau tidak, tapi ada banyak truk dari berbagai tempat yang datang ke sana untuk membuang alat-alat elektronik rusak atau mebel. Setelah sejenak waktu berlalu, tempat itu berubah menjadi sunyi aneh. Begitu sunyi, terasa seolah saat itu merupakan limabelas menit sesudah akhir dunia – sebuah tempat terlindung karenanya terbentuk. SMP dimana aku bersekolah dulu terletak dekat dengan pantai, dan sejak aku menemukan tempat ini secara kebetulan karena tersesat pada suatu hari, aku diam-diam menamai tempat ini <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. Nama itu muncul di sebuah novel, dan meski panjang dan sulit diucapkan, bukan masalah karena aku tidak berniat memberitahukannya pada siapapun.


Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik (meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus yang lain, aku hanya ingin menekankan bagaimana tidak umumnya pekerjaan ayahku bagiku), dan karenanya, rumahku dipenuhi dengan berbagai sound sistem, rekaman, CD, note musik, dan berbagai barang lain yang berhubungan dengan musik. Ibuku pergi dari rumah sekitar sepuluh tahun yang lalu karena tidak tahan. Sedangkan aku, meski aku tidak memiliki rencana ataupun inspirasi saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri dimalam aku berumur enam tahun, kalau aku tidak akan pernah menjadi kritikus musik.

Mari singkirkan hal itu sejenak. Peralatan di rumah kami adalah perkakas berharga, namun ayahku memperlakukannya dengan tidak hati-hati. Dia merusak semuanya – baik speaker, piring putar atau pemutar DVD. Karena tidak banyak orang membelikanku mainan saat aku masih kecil, aku sering membongkari peralatan rusak itu, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki dan merakitnya. Dan sekarang, itu merupakan sesuatu semacam setengah-hobi bagiku.

Dikarenakan kebutuhan untuk hobiku, aku mengunjungi <Toko Swalayan dari Keinginan Hati> di dekat pantai sekali setiap dua sampai tiga bulan, turun dengan menggunakan kereta bergoyang itu untuk mengumpulkan beberapa komponen yang berguna. Terasa seolah aku merupakan satu-satunya manusia yang tersisa di dunia saat aku berjalan di antara sekumpulan sampah sendirian, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.


Akan tetapi, aku bukan satu-satunya yang mengunjungi tempat pembuangan itu di hari itu.

Saat aku berjalan melalui hutan dan menuju lembah, Aku melihat sebuah gunung dari lemari es dan sisa-sisa mobil yang terkena hujan dan berkilau. Herannya, aku juga mendengar suara piano.

Aku pada awalnya berpikir kalau aku cuma berkhayal, tapi saat aku berjalan keluar hutan dan melihat ke timbunan sampah tepat di depan mataku, aku menyadari kalau itu bukan hanya khayalanku. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang...... dan suara klarinet terdengar olehku segera setelah itu.

Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi aku sudah pernah mendengarnya. Mungkin itu piano conerto dari abad kesembilan belas Perancis. Tapi kenapa aku mendengarnya di sini?

Aku memanjat naik ke atap mobil bekas, dan mulai mendaki tumpukan sampah itu. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah mars. Pad awalnya aku berfikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala sedikit, tapi pemikiran itu menghilang dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.

Aku melihat ke bawah sesudah mencapai puncak dari timbunan sampah itu, dan pemandangan yang menyambutku sangat mengejutkan sampai membuatku menahan nafas.

Sebuah piano yang besar terkubur diantara lemari makanan dan tempat tidur rusak. Tutupnya memantulkan kilau hitam, seolah dicelupkan dalam air, dan ia terbuka keluar seperti sayap sebuah burung. Di sisi lain dari piano, adalah sekumpulan rambut berwarna merah tua yang bergoyang bersama dengan keindahan suara dari instrumen itu.

Seorang gadis.

Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.