Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 5

From Baka-Tsuki
Revision as of 11:52, 14 July 2013 by Tony Yon (talk | contribs) (Created page with "==Toccata, Gembok, Revolusi== Sejujurnya, ada yang tidak kuberitahukan pada Mafuyu – ada satu masalah besar dengan ruang kelas itu: Celah di pintu. Peredam suara di ruang ke...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Toccata, Gembok, Revolusi

Sejujurnya, ada yang tidak kuberitahukan pada Mafuyu – ada satu masalah besar dengan ruang kelas itu: Celah di pintu. Peredam suara di ruang kelas itu tidak sempurna, jadi suara masih akan mengalir keluar ruangan. Karenanya, sebuah rumor tentang “sebuah permainan gitar solo yang sangat menakjubkan bisa didengar dari halaman sekolah” menyebar ke seluruh sekolah beberapa hari kemudian.

“Lagu yang mana? Apakah itu <Cyarari ~Spitting Milk from the Nose~>?”


“Aku juga pernah mendengarnya. Aku merasa pusing kalau mendengarnya terlalu lama.”

Jadi itu sebenarnya Bach <Toccata dan Fugue di D minor, BWV 565>. Gadis itu benar-benar menyukai Bach, huh? Sekarang belum waktunya homeroom, dan aku mendengarkan setengah hati pada siaran gosip pagi para gadis, sambil mengingat-ingat lagu yang Mafuyu mainkan.


“Kemarin dia juga memainkan <Farewell>. Sangat~cepat. Pada awalnya aku tidak tahu lagu apa itu.”

“Ah, jadi itu <Farewell>?”

Aku juga sudah pernah mendengar versi gitar <Farewell>. Chopin pada awalnya menyusun lagu itu untuk dimainkan dalam tempo yang cepat – kira-kira empat kali lebih cepat dari tafsiran sekarang – karenanya dalam satu pengertian, performance Mafuyu sebenarnya versi yang benar. Aku ingin mengatakannya, tapi semuanya pasti akan mengatakan kritikus maniak atau penguntit, jadi aku memilih tetap diam. Tunggu, ada apa ini? Apa gen kritikus dari Tetsurou melakukan sesuatu yang aneh pada tubuhkan? Cepat hentikan!

Guru kami membuka pintu sebelum bell sekolah selesai berdentang, dan Mafuyu mengikutinya dari belakang. Seluruh kelas tiba-tiba tenggelam dalam kesunyian. Semuannya bertukar pandang satu sama lain untuk sesaat, sebelum kembali ke kursi masing-masing seolah tidak ada yang terjadi – satu-satunya yang tidak sadar dengan situasi ini adalah orangnya sendiri. Meskipun begitu, sepertinya Mafuyu merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi. Saat dia berjalan ke kursinya, dia menatap semuanya dengan pandangan bingung.


“Mau mendengarkannya seusai sekolah?”

“Kalau begitu aku akan mendengarkan sebelum kegiatan klub dimulai—“

Aku mendengar orang-orang berbisik-bisik sepeti itu, dan aku juga melihat beberapa cowok melirik Mafuyu sambil menyeringai lebar. Belum ada seminggu Mafuyu pindah ke sini, tapi jumlah gadis yang mau memulai percakapan dengannya sudah turun menjadi hampir tidak ada – dia mungkin diperlakukan sebagai makhluk langka oleh semuanya.

Akan tetapi, hal itu juga menjadi masalah buatku. Tempat itu sebenarnya adalah tempat istirahatku, akan tetapi sekarang diduduki oleh orang lain. Sepertinya aku harus merebut kembali ruang kelas itu dari tangan Mafuyu.


Aku menemukan sebuah cara yang sangat licik – aku akan mengunci diriku sendiri di ruang kelas itu, dan dengan begitu Mafuyu akan kehilangan tempat. Saat pelajaran matematika – yang merupakan pelajaran jam ke enam di hari itu – berakhir, aku segera mengambil tasku dan berlari keluar kelas sesudah membungkuk sampai jumpa pada guru.

Akan tetapi, aku tercengang saat aku sampai di komplek musik tua di belakang bagunan. Di sana sudah ada gembok tergantung di pintu ruang kelas. Sialan, berani-beraninya dia melakukan ini pada ruangan (yang kuaku-aku) milikku!

Saat menatap pada gembok di depanku, aku ingat penjepit kertas dan obeng yang kusimpan di tasku. Jangan meremehkan kemampuan yang aku dapatkan dari memodifikasi sound sistem sejak aku masih kecil – sebuang kawat panjang dan tipis cukup untuk membuka gembok kualitas rendah. Tunggu, ini bisa dianggap kejahatan kan? Dan ngomong-ngomong, sama saja game over bagiku kalau ada yang melihatku mencoba membuka gembok ini. Akan tetapi, kalau aku melakukannya dengan cepat, mungkin gak akan ada satu menit....... “Kamu lagi ngapain?”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku hampir saja melompat tiga meter karena ketakutan. Saat aku menoleh—

Itu ternyata adalah Mafuyu. Dia benar-benar marah, dan rambut merah tuanya terlihat seolah berdiri di kepalanya.

“Dasar penjahat, kau pasti berfikir untuk mencongkel gemboknya kan? Tolong jangan pernah dekat-dekat denganku lagi.”

Memang sebenarnya begitu, tapi atas dasar apa kau punya hak memarahiku?

“Kenapa kau selalu mengikutiku?”

Kasar sekali, jadi dia memperlakukanku seperti penguntit juga? Menguntit adalah sebuah kejahatan, kalau dia benar-benar menutut complain padaku – sepertinya hidupku ada dalam keadaan yang sangat buruk sekarang.

“Bukan, tunggu...... aku selalu menggunakan ruang kelas ini, dan amplifier itu juga aku yang memodifikasi.”

Aku menjelaskan sambil berusaha keras menahan diri.

“Kau cuma menggunakannya tanpa ijin!”

“Tapi Miss Mikoujima juga memberiku ijin menggunakan ruang kelas ini......”

“Ini adalah ruang untuk latihan, bukan tempat untukmu bersantai dan menghabiskan waktu mendengarkan CD!”

Mafuyu mendorongku ke samping. Dia membuka gemboknya, dan berjalan ke ruang kelas lalu menutup pintunya. Aku membeku di tempat dan berfikir selama beberapa detik. Aku lalu masuk paksa ke ruang itu tanpa pikir-pikir lagi, dengan membuka pintu paksa seolah aku mencoba menghancurkannya.

“Berhenti menganggapku sebagai idiot yang cuma menghabiskan waktu. Hidup itu hanya menghabiskan waktu sampai orang itu mati.”

“Terus kenapa kamu gak mati aja?”

Apa dia barusan mengatakan sesuatu yang kejam padaku?

“Gak bisa. Kalau aku mati, ibuku dan adik perempuanku akan sangat sedih.” Aku membiarkan diriku berkata omong-kosong. “Aku sudah tahu kalau keluarga yang kaupunya cuma ayah yang tidak berguna.” Apa maksudnya jawabannya itu? Sial, mungkin gadis ini sudah membaca artikel-artikel tulisan Tetsurou? Ayahku yang bodoh itu selalu menyebutkanku dalam artikelnya. Contohnya: “Cara konduktor ini menghadapi adagio selambat salad kentang buatan anakku”, dan semacamnya. Akan tetapi—

“Aku mengakui kalau dia memang tidak berguna, dan kau bebas menganggapnya sebagai idiot kalau kau suka. Akan tetapi, orang yang akan kena masalah karena ini semua adalah aku. Minta maad sekarang juga – terutama padaku!”

“Keberadaan kritikus itu sendiri merepotkan. Mereka selalu menulis omong kosong.”

Oi oi, apa maksudnya ini? Ekspresi Mafuyu tiba-tiba berubah sungguh-sungguh dan dia terlihat seolah hampir menangis. Terus, kenapa aku bertengkar dengannya di tempat seperti ini! Saat menyadari hal itu, otakku segera mendingin.

“Mereka bukan yang memainkan lagu-lagu. Yang mereka lakukan cuma mendengarkan dengan sembrono, dan lalu mereka mulai mengatakan omong kosong seperti yang barusan kau katakan.”

“Urm yah......” mengatakan omong kosong sebenarnya salahku—sebenarnya aku mau mengatakn hal itu, tapi setelah memikirkannya lebih dalam, aku menyadari kalau itu cuma akan menjadi balasan lemah. Karenanya, aku cuma bisa menutup mulutku.

“......Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya!”

Kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa kusadari. Itu cuma omong kosong sih.

Sebagai seorang cowok yang mendengarkan berbagai macam musik rock, dulu aku juga bermain gitar, meski itu cuma kulakukan saat musim panas saat kelas dua SMP. Aku menemukan gitar klasik berdebu dari gudang di rumahku waktu itu, yang kemudian kugunakan untuk berlatih prelude dari <Stairway to Heaven> dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi, aku tidak pernah menyentuhnya lagi.

Mafuyu menyipitkan pandangannya dan tatapannya menjadi dingin. Ekspresinya terlihat seolah berkata,”Aku bertaruh kalau kau cuma mengatakan omong kosong.”

Tepat saat aku mau mengatakan hal yang lainnya, Mafuyu tiba-tiba mengambil gitarnya yang bersandar di meja, dan mencolokkannya pada amplifier. Dia kemudian berjalan ke sisiku, dan memaksaku mengenakan full-size headphone di kepalaku.

“Ap......?”

“Jangan bergerak!”

Dia dengan lembut mengambil pick dengan kedua jarinya, dan memetik senar gitar itu. Tiba-tiba aku terhanyut dalam dalam alunan melodi. Di antara discord[1] yang kuat, not-not turun yang selalu berubah memancar seperti air terjun dari atas tebing. Yang mengikutinya adalah arpeggio arch yang hebat namun ngeri dan juga melodi halus yang mencakup hentakan kaki bersama tarian keduanya yang naik dari dasar lembah.

Itu adalah...... <Etude Op. 10, No. 12> Chopin.

Sebuah badai mengamuk dalam pikiranku, namun dengan paksa disela oleh cadence yang tiba-tiba.

Aku tercengang. Mafuyu melepas headphone itu dari kepalaku, dan suara dari kenyataan perlahan merangkak ke dalam telingaku. Detak jantungku; suara nafasku; suara mesin dari jalan yang jauh; suara sorakan saat tim baseball berlari ke base - tiap dan semua suara yang aku dengar terasa seolah tidak nyata.

Mafuyu membungkuk dan menatap padaku, seolah dia berkata”Apa ‘permainan gitar’ mu terdengar seperti ini?” Kesunyian yang cukup berat meliputi.

“...... Dengan ini, apa kau masih bisa berkata ‘Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya’?”

Aku ingat dia juga mendesah.

Aku sebenarnya ingin berkata,”Berhenti memperlakukanku seperti orang bodoh”, tapi aku tidak bisa mengatakannya dengan meyakinkan.

“Aku sudah mengatakannya. Pergi. Tempat ini adalah tempat latihan.”

“Apa susahnya memainkan alat musik?” aku komplain. “Jadi maksudmu kalau aku membawa sebuah gitar ke sini, aku juga bisa menggunakan ruang kelas ini?”

“Jangan meniruku kalau kau tidak punya kemampuan. Pergi!”

Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Mafuyu mendorongku keluar dari ruangan.

Tidak lama setelah itu, musik lain mengalir dari celah dibelakang pintu yang tertutup rapat. Itu adalah <Marche Funebre> Chopin dari <Piano Sonata No. 2 di B♭minor>. Dia sengaja ingin berkelahi? Tidak tunggu, dia tidak tahu kalau suaranya bisa terdengar dari luar ruangan kan? [2]

Sial.

Aku menekan telapak tanganku di pintu sambil menundukkan kepala. Selama beberapa saat, aku membiarkan tubuhku diserap oleh suara gitar Mafuyu. Perlahan ia berubah menjadi rasa sakit yang tak tertahankan, tapi aku tidak bisa meninggalkan tempat itu.

Aku berfikir – kenapa gitar?

Cukup mainkan pianomu dengan tulus. Kalau begitu aku bisa saja mendengarkanmu memainkan piano, saat berfikir dengan naif pada diriku sendiri,”meski dia masih muda, tekniknya cukup brilian.” Kenapa kau harus memasuki duniaku? Hampir semua lagu yang kau mainkan adalah musik piano kan? Lelucon macam apa itu!?

Jangan meniruku kalau kau tidak punya kemampuan.

Aku mengingat kata-kata Mafuyu. Pundakku merosot dengan enggan, dan aku menarik tanganku dari pintu. Kalau dibandingkan dengan teknik indah Mafuyu, tidak ada yang memiliki kemampuan dalam lingkup yang bisa diterima, tidak peduli siapapun dia. Terutama bagiku, karena aku menyerah dalam memainkan gitar cuma setelah tiga bulan memainkannya.

Mau bagaimana lagi. Itu adalah ruang kelas yang kupakai tanpa ijin terlebih dahulu – karena cukup menggoda menjadi tempat dimana aku bisa mendengarkan CD favoritku dengan suara keras tanpa perlu menggenakan full-size headphone; akan tetapi cuma itu saja. Aku tidak akan benar-benar merasa bermasalah tanpanya.

Tepat saat aku berbalik dan akan kembali ke bangunan utama—

“Anak muda, kau sudah menyerah?”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.

Aku melompat kaget, dan segera menoleh kebelakang. Apa yang terlihat oleh mataku adalah pemandangan seorang gadis mengenakan seragam, yang setengah berlutu tepat di atar pintu – atap rendah ruang musik. Dia menunjukkan sebuah seringai besar tak kenal takut. Aku tidak bisa bergerak sedikitpun, dan cuma bisa melihatnya dalam kebekuan.

...... Si-siapa orang itu?

Dia memiliki bagian lengkap wajah yang cantik, dengan mata yang memberikan tatapan tajam menakutkan. Dia terlihat seperti kucing betina yang kabur dari lingkungan bagus yang membesarkannya, seperti bangsawan Mesir atau keluarga bangsawan lain. Aku melihat warna lencana nya, dan memastikan kalau dia adalah murid tahun kedua.

“Apa kau bermaksud kabur dengan wajah kecewa segera setelah menerima pelajaran darinya? Kau akan menjadi pengalah yang sesungguhnya kalau terus begini, tahu kan?”

“Urm, tah.....” Kakiku yang kaku akhirnya bisa bergerak – aku mundur sedikit “......apa yang kamu bicarakan?”

Gadis itu menggumamkan sebuah lagu. Lagu itu adalah <Born to Lose> Ray Charle.[3]

“Terlahir untuk kalah. Tidakkah kau berfikir kalau lagu ini ada hanya untukmu?”

“Kita semua terlahir untuk kalah. Bukankah selalu begitu?” Tidak tunggu, kenapa aku menjawabnya? Seharunya aku kabur. Kelihatannya tidak bagus. Sebaiknya aku tidak dekat-dekat dengan orang seperti dia.

Dia tertawa dengan sungguh-sungguh.

“Jadi anak muda, kau sebenarnya cukup bagus dengan jawabanmu kan? Aku merasa sedikit lega. Kenapa kau tidak mengeluarkan senjatamu? Negerimu sedang dibinasakan oleh musuh.”

*Thud thud* Dia mengatakannya sambil mengetukkan tumitnya pada pintu ruang latihan. Kenapa aku membiarkan diriku dikritik oleh mu seperti itu? Terus, kamu siapa sih?

“Mafuyu pasti barusan memainkannya. <Etude Op. 10, No. 12> Chopin -- <Revolutionary Etude>.”

Dia mengatakannya dengan telunjuk teracung. Aku mengangguk dengan “Mmm”, dan tiba-tiba mengingat sesuatu—

Aku mengenakan headphone full-size kan? Bagaimana dia tahu?

Senyuman kejamnya itu bahkan bisa membuat seekor gajah pingsan.

“Aku bisa mendengar semua lagu revolusi di dunia ini.”

Dia dengan gesit melompat turun dari atap, dan rambut panjangnya yang dikucir di belakang mengambang di udara seperti ekor bulu hewan liar yang agung. Dia membuat pendaratan sunyi di antara aku dan pintu, lalu dengan segera berdiri tegak.

“Aku ingin membuat Mafuyu menjadi kawanku. Karenanya anak muda, aku membutuhkan bantuanmu. Tolong bantu aku.”

Tidak, berhenti, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan—

“Namaku adalah Kagurazaka Kyouko.”

Kagurazaka. Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya, di suatu tempat. Aku mulai mencari dalam ingatanku.

Oh benar, Chiaki mengatakan nama itu padaku sebelumnua.

Kagurazaka-senpai mengulurkan tangannya padaku.

“Klub Riset Musik Rakyat mengajakmu bergabung sebagai anggota.”


Catatan Penerjemah

  1. bunyi-bunyi sumbang/tidak harmonis
  2. ini lagu pemakaman
  3. secara literal ‘terlahir untuk kalah’