Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Biar Bagaimanapun, Hachiman Hikigaya Itu Memang Sudah Busuk

Sambil mengernyitkan alis matanya, Ibu Shizuka Hiratsuka selaku Guru Bahasa Jepang kami, membacakan karyaku keras-keras tepat di depanku. Sembari mendengarkannya, mulai terbesit keraguan akan kemampuanku dalam menulis, sebab esai yang kubuat ini masih terasa kurang. Meski kutelah menggunakan dengan cermat beberapa kosakata pilihan, esai tersebut tak bisa dikatakan sebagai karya ilmiah. Menilik masa lalu justru terdengar seperti lelucon yang disamarkan, dasar penulis kacangan. Rupanya kata-kata kasar yang ada di dalamnya, jadi alasan yang membuatku dipanggil ke ruang guru.

Namun tentu saja bukan itu alasannya. Aku pun sebenarnya sudah tahu.

Setelah selesai membaca, Bu Hiratsuka menaruh tangannya di dahi dan menghela napas panjang.

YahariLoveCom v1-015.png

"Katakan, Hikigaya. Apa kau ingat tema untuk esai yang Ibu suruh kerjakan ini?"

"...ya, temanya Menilik Kembali Masa-Masa di SMA."

"Sudah jelas, bukan? Lalu kenapa esai ini malah tampak seperti surat ancaman? Memangnya kau ini teroris? Atau cuma sekadar orang bodoh, hah?"

Bu Hiratsuka kembali menghela napas lalu menggaruk kepalanya, tanda frustasi.

Kini aku jadi berpikir, memakai kata Ibu untuk panggilan Ibu Guru kedengarannya lebih menambah daya tarik seksual ketimbang sekadar Guru Perempuan saja.

Aku menyengir selagi melamunkan hal itu, hingga gulungan kertas menghantam kepalaku.

"Perhatikan Ibu bicara!"

"Ya, Bu."

"Tatapanmu kosong, persis ikan yang sudah busuk."

"Apa itu artinya tubuh saya kaya akan omega-3, ya Bu? Berarti saya jenius banget dong."

Bu Hiratsuka hanya menganga mendengar pernyataan itu.

"Hikigaya, jelaskan maksud dari tulisanmu yang melecehkan ini? Ibu beri kau kesempatan untuk menjelaskannya."

Nada bicara Bu Hiratsuka yang keras, berpadu dengan pandangan marahnya saat beliau menatapku dari pojok. Sudah kuduga, untuk wanita sekasar beliau, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tak berdaya hanya dengan tatapannya saja. Rasa takut yang sungguh mencekam.

"Bagaimana, ya... saya memang menceritakan pengalaman saya saat di SMA, 'kan? Kurang lebih sama saja... belakangan ini, beberapa murid SMA juga ada yang merasa demikian... mereka juga mengalaminya, me-mereka..."

Lidahku mendadak kaku. Aku bisa jadi gugup hanya karena berbincang dengan satu orang saja — dan juga perempuan yang lebih tua, tak lebih.

"Sebenarnya, Ibu berharap kau mau bercermin dari pengalaman pribadimu."

"Kalau begitu, harusnya Bu Hiratsuka menyisipkan kata pengantar mengenai maksud tema ini. Jika seperti itu, pasti akan saya kerjakan betul-betul. Dengan kata lain, ini kesalahan Ibu?"

"Jangan berlagak pintar di depan Ibu, ya Nak."

"Nak? ...yah, memang benar sih, perbedaan umur antara saya dengan Bu Hiratsuka sangat jauh, jadi, tak masalah jika Ibu memanggilku Nak."

Wuuusshhh.

Yang barusan ternyata sebuah tinju. Tinju yang dilesatkan secara tiba-tiba dengan mudahnya. Yang terpenting lagi, sebuah keajaiban, karena tinju itu hanya menyerempet di samping pipiku.

"Berikutnya tak akan meleset."

Tatapannya penuh keseriusan.

"Sa-saya sungguh minta maaf. Akan saya tulis ulang lagi."

Meski sudah bersikap layaknya orang yang meminta maaf, aku masih harus berhati-hati dalam memilih kata-kata. Dilihat dari keadaannya, Bu Hiratsuka ternyata orang yang sulit untuk merasa puas. Sial. Haruskah aku segera memohon sambil bertekuk lutut? Tapi itu bisa membuat celanaku kusut, dan aku harus merapihkannya kembali; Membungkuk, lalu tegap kembali. Jika aku menekuk lutut kananku terlebih dulu, aku masih bisa mendekat ke tanah. Penghormatan yang elegan juga datar.

"Asal kau tahu, bukan berarti tandanya Ibu marah."

Ya Tuhan. Kumohon, lepaskan aku. lepaskan aku dari situasi ini.

Sandiwara ini sungguh klise. Itu sama saja seperti berkata "aku enggak marah kok, jadi katakan saja", walau pada akhirnya, beliau tetap marah.

Secara mengejutkan, tampaknya beliau tak benar-benar marah. Setidaknya beliau tak marah mengenai komentar yang menyinggung perbedaan usia tadi. Atas dasar itu, aku mengangkat lutut kananku dari tanah.

Bu Hiratsuka mengambil sebatang rokok Seven Stars dari saku baju di dadanya yang seolah-olah menyembul keluar. Dilanjutkan dengan mengetuk-ngetuk filter rokok tersebut ke meja — kelakuan yang biasa dilakukan oleh orang yang sudah berumur. Setelah dirasa cukup, beliau pun menyalakannya dengan pemantik yang harganya Rp.10.000 itu. Seraya menghirupnya yang kemudian disusul kepulan asap yang terhembus dari napasnya. Beliau menatapku; sorot matanya sungguh mengerikan.

"Kau masih belum bergabung pada klub mana pun, 'kan?"

"Ya, belum."

"...apa kau punya teman?"

Seakan-akan beliau sudah tahu kalau aku memang tak punya teman.

"Sa-saya menjunjung tinggi kesetaraan di atas segalanya. Dengan demikian, saya tak meyakini adanya sebuah kedekatan maupun hubungan antarpribadi satu sama lainnya!"

"Singkatnya, kau tak punya teman, 'kan?"

"Ta-tak perlu blak-blakan begitu juga kali..."

Mendengar jawabanku, wajah Bu Hiratsuka pun berubah sumringah.

"Jadi kau memang enggak punya, ya? Sudah Ibu duga! Ternyata tebakan Ibu tepat. Ibu tahu saat melihat tatapan kosongmu tadi!"

Jika beliau bisa tahu hanya dengan melihat saja, mestinya tak perlu sampai bertanya seperti tadi, 'kan?

Sambil mengangguk, tanda sudah mengerti, beliau memandang wajahku dengan ekspresi yang ditahan.

"...lalu, kalau pacar atau semacamnya? Sudah punya?"

Semacamnya? Apa maksudnya itu? Apa beliau menganggap laki-laki pun bisa dijadikan pacar bagiku?

"Untuk saat ini, belum."

Karena itu aku menegaskan kalimat untuk saat ini, dengan mempertimbangkan segala harapan yang kelak akan terjadi di masa depan.

"Kasihan, jadi begitu, ya..."

Sambil menjauhkan pandangannya, mata beliau pun tampak berkaca-kaca. Kuyakin itu hanya karena asap rokok. Sudahlah, hentikan. Berhenti memandangku dengan tatapan sentimentil itu.

Lagi pula, untuk apa beliau mempertanyakan hal barusan? Apa beliau memang seorang guru yang begitu peduli pada muridnya?

Apa beliau ingin menyampaikan padaku jika suatu saat aku bisa menjadi nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga?

Atau mungkin beliau pernah bermasalah sewaktu masih menjadi murid SMA lalu kembali ke sekolah lamanya ini sebagai seorang guru?[1]Bisakah beliau kembali ke kehidupan lamanya saja?

"Ya sudah, kalau begitu, tulis ulang saja esaimu."

"Baik."

Dan memang akan kukerjakan.

Aku paham sekarang. Kali ini tulisanku pasti sesuai dengan yang diharapkan; aku harus menulis dengan komposisi yang sempurna tanpa ada cacat sekalipun. Yang isinya tak beda jauh dengan ocehan yang ada di blog para model vulgar maupun aktris pengisi suara semacamnya, contoh:

Makan malam kali ini apa, ya...? Ya ampun! Ternyata kari!

Begitulah. Tunggu, lalu untuk apa ada pernyataan ya ampun! tadi? Jika itu hanya untuk menandakan ekspresi terkejut, maka itu tak ada gunanya.

Hal itu semakin memperluas sudut pandangku. Pikiranku malah semakin terganggu oleh hal-hal yang mengikutinya.

"Biar bagaimanapun, ucapan kasar dan sikapmu barusan sudah menyakiti perasaan Ibu. Apa tak ada yang mengajarimu, kalau kau tak boleh membahas masalah umur di depan wanita? Karena sikapmu tadi, jadi Ibu memaksamu untuk ikut serta dalam kegiatan Klub Layanan Sosial. Lagi pula, yang namanya dosa juga harus dihukum, 'kan?"

Untuk seseorang yang telah dilukai perasaannya, Bu Hiratsuka tak tampak seperti orang yang berwibawa layaknya seorang guru. Kenyataannya beliau justru lebih ceria dari biasanya, bahkan cara bicaranya pun dibuat lebih menggoda dan menggairahkan.

Itulah yang kupikirkan sekarang. Kata menggairahkan biasanya membuat kita berpikir ke arah yang tak jauh-jauh dari payudara, 'kan? Kenyataannya, mataku sekarang malah tertuju ke arah blus yang menonjolkan payudara Bu Hiratsuka.

Itu memang hal yang tak bisa dibenarkan... meski begitu, bisa-bisanya ada orang yang tega menjatuhkan hukuman dengan ekspresi sesantai itu?

"Kegiatan Klub Layanan Sosial? ...jadi, apa saja yang dikerjakan di sana?"

Selidik demi selidik. Yang kutahu, kegiatan itu mungkin saja hal-hal semacam membersihkan selokan atau apa pun jenisnya. Intinya adalah hal yang bisa membuatmu tak lelap saat tidur. Amit-amit jabang bayi deh.

"Ikutlah dengan Ibu."

Bu Hiratsuka pun mematikan rokoknya ke asbak yang penuh dengan puntung rokok dan sisa-sisa abu, lalu segera bangkit dari tempat duduknya. Dengan menyisakan diriku yang tanpa kejelasan mengenai pengajuan mendadak ini, Bu Hiratsuka ternyata telah menunggu di dekat pintu seraya menoleh ke belakang, menatapku.

"Ayo jalan!"

Disertai suara deritan pintu dan kebingungan ini, aku pun mengikuti beliau dari belakang.


— II —


Gedung sekolah SMA Negeri Soubu di Kota Chiba ini entah kenapa terlihat agak timpang sebelah. Bila dilihat dari atas, kurang lebih bentuknya agak mirip dengan Aksara Mandarin 口 (Kou) yang berarti mulut — berbentuk seperti bujur sangkar — tapi mungkin lebih mirip dengan Aksara Jepang untuk suku kata ロ (ro) — bujur sangkar dengan beberapa garis yang keluar dari sudut sisinya. Lalu sepasang kaki pada bujur sangkar itu adalah gedung audio visual, yang melengkapi pemandangan lansekap sekolah kami. Gedung untuk kelas mengajar menghadap ke jalan raya, sementara paviliunnya menghadap ke arah sebaliknya. Jembatan yang menghubungkan dua bangunan tersebut terletak di lantai dua, yang kesemuanya membentuk pola seperti bujur sangkar.

Gedung sekolah mengapit sebuah tempat di keempat sisinya, sebuah halaman terbuka yang diperuntukkan sebagai tanah suci para Riajuu — orang-orang yang diberkahi dengan sempurnanya kehidupan remaja mereka — yang tak lain adalah taman pusat. Di tempat ini, mereka saling berbaur satu sama lain — baik cowok maupun cewek — saat jam istirahat makan siang. Dilanjutkan bermain bulutangkis setelah makan demi sebuah alasan melancarkan pencernaan. Setelah jam pelajaran selesai, beberapa pasang kekasih saling melontar ucapan gombal dengan ditemani remangnya matahari senja di belakang gedung sekolah, sambil berselimutkan desiran angin laut dan bintang-bintang di atas langitnya.

Aje gile.

Saat kumelihat pemandangan itu, rasanya seperti melihat orang-orang yang rela tampil habis-habisan demi sebuah peran di sebuah audisi drama remaja. Memikirkannya saja membuatku merinding. Andai aku ikut serta dalam drama tersebut pun, mungkin aku lebih memilih untuk mengambil peran sebagai sebuah POHON atau semacamnya.

Bu Hiratsuka menyusuri sepanjangan lantai linoleum itu tanpa berucap sepatah kata pun, langkah kakinya beriring menuju ke paviliun.

Firasatku buruk tentang ini.

Terlebih lagi, tampaknya belum ada kejelasan mengenai kegiatan Klub Layanan Sosial ini.

Yang kutahu, Layanan Sosial bukanlah seperti kegiatan yang biasanya dilakukan sehari-hari; sebaliknya, ini seperti layanan yang disediakan dalam situasi-situasi tertentu. Contohnya: seorang pelayan yang melayani sang majikannya. Dalam kasus ini, layanan bisa berupa ucapan "selamat datang", yang bisa membuat perasaan sang majikan menjadi menggebu-gebu hingga bisa menyerukan " LETSA PARTY!"[2]

Tapi dalam kenyataannya, hal itu takkan mungkin terjadi. Eh, tunggu. Itu bisa saja terjadi asal ada kesepakatan mengenai harga terlebih dulu. Namun tetap saja, jika memang benar hal seperti itu bisa diselesaikan dengan uang, maka yang namanya hasrat — bahkan mimpi sekalipun — apa bisa terpenuhi? Kalau memang begitu, kata Layanan tak cocok dengan diriku.

Lalu yang ada sekarang, kami sedang menuju ke paviliun. Sudah pasti akan ada kegiatan bersih-bersih di sana, seperti memindahkan piano ke ruang musik, membuang limbah sisa-sisa laboratorium biologi, atau menyusun koleksi katalog perpustakaan, dan hal-hal semacamnya.

Aku pun memberanikan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan kuhadapi.

"Asal Ibu tahu, saya punya penyakit kronis di sekitar selangkangan, lho. Kalau enggak salah namanya... Her-Her-Herpes, ya? Iya, itu..."

"Jika yang kaumaksud itu Hernia, maka tak perlu khawatir. Ibu tak melibatkanmu dalam pekerjaan kasar kok."

Beliau menoleh ke belakang sambil menatapku dengan ekspresi mengejek, layaknya sedang melihat orang bodoh.

Hmm. Kabarnya, tugas-tugas itu mencakup penyimpanan barang maupun administrasinya. Jika itu hanyalah segelintir pekerjaan ringan, berarti aku tak perlu sampai membanting tulang.

"Penyakit ini kadang kambuh ketika saya memasuki ruang kelas, Bu."

"Kau justru terdengar seperti sniper berhidung panjang. Memangnya kau ini anggota Bajak Laut Topi Jerami?"[3]

Rupanya beliau juga senang membaca shounen manga, ya?

Terserahlah. Selama bisa mengerjakannya, akan kukerjakan sendiri tanpa ada yang mengganggu, jadi aku bisa lebih fokus. Aku ini layaknya sebuah mesin. Dengan meniadakan segala hasrat manusiawi, sehingga tak akan ada masalah yang muncul. Aku bahkan bisa menjadi sebuah sekrup, jika itu memang harus.

"Kita sudah sampai."

Beliau berdiri di depan pintu kelas tanpa berbuat sesuatu yang biasanya beliau lakukan.

Tak ada tulisan apa pun yang tertera di plat nama ruangan.

Sambil menatapnya, aku merasa ada yang janggal hingga Bu Hiratsuka mendadak membuka pintu.

Meja dan bangku tertumpuk rapi di pojok ruangan. Mungkin ini dulunya gudang. Setiap perabotan unik pun menghiasi ruangan ini. Tak lebih, ini hanyalah ruang kelas biasa.

Berbicara mengenai itu, di dalam ruangan tampak sebuah pemandangan yang mungkin sebuah hal paling tak wajar bagiku, dan itu datangnya dari seorang gadis.

Gadis itu membaca bukunya sembari dibalut sinar senja.

Pemandangan akan dirinya bagai sebuah lukisan, yang mampu menyihir siapa pun yang melihatnya, tak diragukan lagi, selagi ia membaca, dunia seakan mau berakhir.

Saat kumelihatnya, tubuh dan jiwaku serasa terpisah satu sama lain.

Tanpa sadar, tahu-tahu aku sudah ada di dalam ruangan.

Menyadari ada yang datang, ia pun menyelipkan pembatas buku pada bacaannya lalu menengadahkan kepalanya menghadap kami.

YahariLoveCom v1-029.png

"Bu Hiratsuka. Saya yakin sudah memberitahu Ibu untuk mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk."

Ciri yang dimilikinya begitu menarik. Rambut hitamnya panjang menjuntai. Meski saat di sekolah ia mengenakan seragam perempuan pada umumnya, namun ia seakan berada dalam golongannya sendiri.

"Kau juga tak merespon meski sudah Ibu ketuk."

Tampak ada kesan tak puas saat ia mendengar jawaban Bu Hiratsuka tadi.

"Lalu, siapa orang yang tampak lola yang bersama Ibu itu?"

Tatapan dinginnya tertuju padaku.

Aku tahu perempuan ini.

Yukino Yukinoshita dari Kelas 2-J.

Tentu saja aku hanya tahu nama dan wajahnya. Kami tak pernah terlibat pembicaraan sebelum ini. Jadi salahkah aku? Bisa terlibat pembicaraan dengan orang-orang di sekolah saja sudah merupakan kejadian langka bagiku.

SMA Soubu memiliki sembilan kelas yang menyesuaikan standar pendidikannya, salah satunya yaitu kelas dengan standar international — Kelas J. Standar rata-rata yang dimiliki kelas tersebut bisa sampai dua atau tiga tingkat di atas kelas reguler, dan kelas itu diisi dengan murid-murid yang pernah belajar di luar negeri maupun mereka yang ingin berencana melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Di antara murid-murid itu, yang sosoknya paling mencolok dan menonjol — dengan sendirinya maupun berdasarkan pengamatan — ialah Yukino Yukinoshita.

Saat UTS maupun UAS, nilai tinggi yang ia peroleh secara konsisten, mencantumkan namanya sebagai juara umum di angkatan kelas kami. Seakan belum cukup, penampilan menawan yang ia miliki pun membuatnya selalu dihujani perhatian sekitarnya. Singkatnya, bisa dikatakan ia gadis paling cantik — populer dan dikenal — satu sekolah.

Itu sebabnya ia tak mengenalku, meski aku tak begitu peduli. Namun tetap saja, aku masih merasa sakit hati karena disebut lola. Aku cukup yakin kalau sebutan itu mirip dengan nama merek sebuah permen zaman dulu, yang sekarang sudah jarang kulihat.[4] Walau aku sudah berusaha mengalihkan hal itu, tetap saja tak mengubah fakta kalau perkataannya memang menyakitkan.

"Ini Hikigaya. Ia mau mendaftar ke klub ini."

Seolah terpengaruh kata-kata beliau, tanpa sadar aku membungkukkan badan. Kuyakin tanpa sengaja aku memperkenalkan diri.

"Namaku Hachiman Hikigaya dari Kelas 2-F. Eng... halo! Aku bergabung ke klub ini karena..."

Lho... Sejak kapan aku mendaftar? Lagi pula, sebenarnya klub apa ini?

Seperti tahu apa yang akan kukatakan, Bu Hiratsuka langsung memotong.

"Sebagai hukuman, Ibu memaksanya bergabung dalam kegiatan klub ini. Lalu, Hikigaya, Ibu tak akan menanggapi segala bentuk keberatan, bantahan, protes maupun keluhan tentangnya. Gunakan saja waktumu untuk menjernihkan pikiran serta merenungi perbuatanmu."

Pernyataan tegas yang tak bisa dibantah, tanpa menyisakan ruang untukku memberi alasan.

"Lagi pula, dari penampilannya saja sudah terlihat kalau ia sudah busuk dari dalam. Alhasil, ia selalu berada dalam dunianya sendiri. Kasihan sekali, 'kan?"

Dan beliau hanya menilaiku dari penampilan luarnya saja.

"Ibu pikir, jika ia berbaur dengan orang lain mungkin ia bisa sedikit belajar memperbaiki sikapnya. Ibu serahkan ia padamu. Ibu minta, tolong perbaiki sikap menentang dan menjauhi orang lain yang dimilikinya itu."

Yukinoshita membalikkan badannya menghadap Bu Hiratsuka setelah beliau berkata demikian. Tampak sedikit kesal, ia pun menjawab,

"Jika seperti itu masalahnya, saya rasa takkan jadi masalah jika Ibu memakai kekerasan untuk mendisiplinkan orang ini."

Gahar banget ini cewek.

"Andai saja Ibu bisa, pasti akan Ibu lakukan, tapi di zaman sekarang hal itu bisa jadi sebuah masalah. Lagi pula, tak akan ada yang tahan jika harus selalu memakai kekerasan."

...ya, keluarkan saja semua uneg-uneg kalian.

"Saya menolak, Bu. Saya bisa merasakan motif terselubung dari tatapan matanya yang busuk. Saya merasa sedang dalam bahaya."

Sambil menatap tajam ke arahku, Ia pun langsung membetulkan kerah bajunya, padahal tak ada yang tampak berantakan pada caranya berbusana. Terlebih, tak ada juga yang mau melihat dadanya yang biasa-biasa saja itu. Sungguh, takkan ada orang yang mau. Andaikata aku tak sengaja melihatnya pun, paling-paling itu cuma dalam hitungan detik.

"Kau tenang saja, Yukinoshita. Karena matanya yang busuk dan kepribadiannya itu, makanya ia bisa menahan diri dan memperhitungkan untung rugi dari segala tindakan yang ia lakukan. Ia takkan berani melakukan hal-hal yang bisa berurusan dengan aparat berwajib. Dengan kata lain, ia cuma penjahat kacangan."

"Penjelasan menarik, ya?" Tegasku. "Ketimbang memakai istilah 'untung rugi' dan 'menahan diri', saya lebih memilih jika Ibu memakai istilah 'punya akal sehat dalam mengambil keputusan'."

"Penjahat kacangan... begitu rupanya..." Ucap Yukinoshita.

"Kau malah percaya kata-kata Bu Hiratsuka daripada penjelasanku..."

Apa bujukan Bu Hiratsuka berhasil padanya, ataukah beliau berhasil meyakinkan dirinya kalau aku memang seorang penjahat kacangan? Apa pun itu, sosokku di pikiran Yukinoshita sudah jauh dari yang aku harapkan.

"Yah, jika itu memang permintaan Ibu, apa boleh buat... harus kulakukan juga."

Tanggapannya penuh dengan rasa penolakan. Meski begitu, Bu Hiratsuka tampak tersenyum puas.

"Bagus. Ibu serahkan sisanya padamu."

Beliau pun pergi setelahnya. Meninggalkanku yang masih berdiri termenung.


— II —


Sejujurnya, meninggalkanku sendiri seperti ini justru membuatku lebih nyaman. Berada di lingkungan yang dikucilkan seperti ini juga sudah biasa bagiku, malah bisa membuatku merasa tenang. Bunyi jarum jam di dinding yang bergerak perlahan pun semakin jelas terdengar.

Ayolah, yang benar saja. Ada apa dengan perkembangan cerita yang tiba-tiba menjurus ke komedi romantis seperti ini? Semuanya justru jadi semakin konyol. Sebenarnya aku tak punya keluhan mengenai situasi seperti ini.

Mendadak, kenangan buruk saatku masih SMP kembali terbayang.

Jam pelajaran telah berakhir; menyisakan dua orang murid di dalam ruang kelas.

Tirai terkibar dengan lembutnya seiring dengan semilir angin dan remang-remang matahari senja yang memenuhi ruangan. Kemudian, terucaplah sebuah pernyataan cinta dari seorang anak lelaki.

Sampai dengan saat ini, suara perempuan itu masih terngiang jelas di telingaku.

Kita berteman saja, ya?

Sungguh sebuah kenangan buruk. Setelahnya, kami memang berteman tapi tak pernah ada percakapan semenjak itu. Berkat kejadian tersebut, aku jadi tak pernah lagi berniat mencari teman, bercakap-cakap, apa lagi berpacaran. Bisa dibilang, kisah komedi romantis yang melibatkan diriku dengan perempuan cantik dalam ruangan tertutup, tak pernah berjalan lancar di kehidupan nyata.

Terbiasa akan hal itu, membuatku bisa menghindari perangkap semacamnya hingga saat ini. Para perempuan cenderung menunjukkan ketertarikannya pada hal-hal yang bersifat macho atau para Riajuu dan makhluk sejenisnya, lalu kemudian bergabung dengan gerombolan cowok dan cewek nakal yang saling berbaur satu sama lain dalam kumpulannya sendiri.

Singkat kata, musuh abadiku.

Aku takkan pernah mau lagi merasakan hal itu, karena dengan susah payah aku pun bisa melanjutkan hidup setelahnya. Dan agar aku bisa terhindar dari situasi yang seperti kisah komedi romantis ini, aku harus membuat diriku menjadi orang yang dibenci terlebih dulu. Mungkin aku akan terluka, namun demi harga diri ini, aku tak memerlukan lagi sikap bijak dan semacamnya!

Menurut teori, sebaiknya aku mengintimidasi Yukinoshita dengan tatapan benci. Membiarkannya terbunuh oleh tatapan hewan buas!

Grrrr!

Lalu ia pun balas memandangku seperti sedang melihat sampah. Dengan pupil besar di balik mata sayunya yang seakan memicingkan mata, ia menghela napas dengan panjang. Dan dengan suaranya yang kecil ibarat desiran sungai, ia menegurku,

...daripada berdiri sambil menggerutu di situ, kenapa kau tak ambil kursi lalu duduk?

Hah? Oh, benar juga. Maaf.

Wuih. Tatapan apa itu tadi? Tatapan hewan buas?

Catatan Penerjemah

  1. Berdasarkan serial drama jepang "Drop-out Teacher Returns to School" (Yankii Boukou ni Kaeru). Yang menceritakan seorang mantan anggota geng yang akhirnya kembali ke sekolah lamanya dengan peran sebagai seorang guru. Diceritakan ia menjadi guru yang begitu peduli dengan muridnya agar mereka bisa menghadapi dunia ketika sudah lulus SMA.
  2. Mengacu pada ucapan Date Masamune dari anime Sengoku BASARA yang sering memakai kata-kata "Engrish".
  3. Yang dimaksud Bu Hiratsuka ialah Usopp dari serial One Piece yang karakternya berhidung panjang.
  4. Dalam versi Bahasa Jepang (asli), Yukinoshita memakai istilah nubouttoshita untuk menggambarkan sosok Hikigaya, yang artinya "bengong" atau "tampak linglung". Permen yang dimaksud di sini yaitu permen yang bermerek NuuBou, yang pernah diproduksi Perusahaan Permen Morinaga. Sengaja memakai kata lola (loading lambat) untuk lokalisasi istilah, karena terdengar seperti nama permen, dan istilahnya juga cocok untuk menggambarkan orang yang linglung.
Mundur ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2