Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 6

From Baka-Tsuki
Revision as of 05:32, 15 August 2013 by Tony Yon (talk | contribs) ((belum disunting-telat satu hari-sorry))
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Pemakaman, Pertemuan, Dana

“Jadi katamu, kamu berpapasan dengan Kagurazaka-senpai?”

Pagi berikutnya, Chiaki memandang wajahku dan menanyakan pertanyaan itu saat kami ada di ruang kelas.

“Oh, iya.” Aku menjawabnya dengan nada kesal,”Meski kupikir lebih tepatnya dia yang menungguku, daripada berpapasan.”

“Terus...... apa kamu bergabung dengan klub?”

“Kenapa kamu berpikir aku bergabung!?”

“Karena, Senpai adalah jenis orang yang......pasti akan mendapatkan apapun yang diinginkannya.”

Kagurazaka-senpai mengatakan hal menakutkan yang sama persis padaku di lapangan di depan ruang latihan, dengan jarinya menunjuk padaku kemarin. “Kalau itu adalah hal yang kuinginkan aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, dengan cara jujur atau curang. Tidak masalah apa itu Ebisawa Mafuyu, ruang ini, ataupun kamu.”

Sesudah dia mengatakan hal itu padaku, sonata lagu kematian Chopin terdengar dari ruang latihan, dan kebetulan berada tepat di bagian akhir dimana angin topan mengamuk di pemakaman – untuk sesaat, aku merasa akan mati.

Berhenti mengingatkanku hal-hal menakutkan itu! Meski begitu, Chiaki membuatku mengingat ingatan-ingatan itu dalam pikiranku.

“Aku dengar...... kalau dia sangat menginginkan sebuah gitar yang harganya satu juta yen[1]. Hasilnya dia pergi bekerja untuk toko musik dimana gitar itu dijual, dan dia bahkan berhasil mendapat kelemahan...... urm, dia menjadi teman dekat dengan pemilik toko, dan akhirnya mendapatkan gitar itu secara gratis.”

“Apa gunanya polisi?!”

“Karena Senpai bisa mendapatkan gitar itu, Nao pastinya sangat mudah baginya.”

Jadi maksudmu aku bahkan tidak berharga satu juta yen?

“Berada dalam satu klub dengan orang seperti itu – aku benar-benar tidak memahami apa yang ada dalam pikiranmu.”

“Tapi Kagurazaka-senpai sangat keren!”

Hmm...... dia mungkin kelihatan keren kalau aku melihatnya dari jarak dua kilometer.

“Tidak buruk menikahi Senpai, kan?”

“Baiklah, silahkan! Tapi karena Jepang tidak mengakui pernikahan sesama jenis, pergi menikahlah di Kanada! Tahu kan, Kanada!” Dan jangan pernah kembali lagi!

“Tapi baik Senpai dan aku tidak bisa memasak. Kenapa Nao tidak ikut saja?”

“Gak ada hubungannya denganku!”

Saat aku mengatakannya pada Chiaki, pintu belakang ruang kelas terbuka, dan Mafuyu masuk ke dalam. Bell persiapan cuma kebetulan berbunyi di saat yang sama, seolah mengingatkan semuanya dimana mereka berada di ruang kelas. Dia melihatku dari ujung matanya, lalu duduk di kursinya dalam diam. Tepat saat itu, aku berdiri dengan kesal dan berjalan keluar dari ruang kelas.


Langkah-langkah kaki terdengar dari belakangku.

“Ada apa denganmu?” Chiaki mengejarku.

“Aku mau ke toilet! Jangan mengikutiku.”

“Aku dengar dari Senpai...... kalau kau dikalahkan Ebisawa?”

Aku menghentikan langkahku. Bell yang menunjukkan kelas di mulai berbunyi, dan murid-murid yang berkumpul di koridor ditelan oleh ruang kelas mereka masing-masing. Pada akhirnya, yang tersisa di sana cuma Chiaki dan aku.

“Kau tidak bisa menyebutnya sebagai kekalahan.”

“Bukankah dia mengatakan kalau...... mereka yang tidak memainkan alat musik tidak diperbolehkan mendekati ruang kelas itu...... dan kemudian kamu melarikan diri?”

“Kalau kau berfikir bisa memancingku dengan mengatakan hal semacam itu, kau salah besar! Jangan meremehkan kurangnya motivasiku!” Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku, mau tidak mau aku mengasihani diriku sendiri.

“Nao bisa bermain gitar kan?”

“Kau tidak bisa menganggapnya ‘bisa bermain gitar’.” Dan yang lebih penting lagi...... aku sudah membuang gitar yang dulu kugunakan, jadi sekarang aku tidak memiliki gitar apapun.

“Tidak apa-apa kalau kau mau berlaih dari awal lagi! Senpai sangat ahli dalam hal itu, jadi kau bisa memintanya mengajarimu.

“Kalau memang begitu, kenapa kau tidak meminta Senpai mengundang langsung Ebisawa ke band? Dia tahu kalau Ebisawa sangat ahli dengan gitar, dan ingin sekalian mendapatkan ruang latihan itu sebagai ruang klub kan?”

Aku tidak berfikir hal itu berhubungan denganku sedikitpun! Aku cuma berharap mereka bisa meninggalkanku sendiri.

Chiaki tiba-tiba membisu...... sial, wajahnya menunjukkan kalau dia hampir menangis dan ingin menghajarku di saat yang bersamaan. Tapi kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya marah?

“...... Apa kau tahu kenapa Senpai mengajakmu bergabung? Apa kau benar-benar berfikir kalau kau cuma barang tambahan sesudah Ebisawa?”

Kata-kata Chiaki terdengar seolah dia memaksanya keluar dari dalam mulutnya.

“...... Aku. Tidak. Tahu!”

Aku gemetar, dan mundur beberapa langkah. Punggungku membentur dinding koridor.

“Nao, kau idiot! Dipemakamanmu, aku akan mengatakan ‘Hidup Nao sangat membosankan’!”

Sesudah mengatakan hal itu, Chiaki berlari kembali ke ruang kelas.

Aku berjalan ke toilet dengan hati yang berat, dan duduk di atas penutup toilet. Apa maksudnya itu!

Pasti hebat kalau aku tahu bagaimana cara bermain gitar, tapi...... kalau saja aku bisa mendapatkan motivasi di dalam diriku setelah mendengarkan Mafuyu bermain gitar. Aku duduk di atas penutup toilet dengan kedua tangan memeluk lututku, dan suara bell terdengar. Aku tidak bergerak sedikitpun...... ini adalah pertama kalinya aku bolos pelajaran...... dan sekarang baru satu bulan sejak sekolah dimulai – bukannya terlalu awal ya? Ini adalah langkah paling awalku menuju jalan menjadi anak SMA yang sama sekali tidak berguna!


Pada akhirnya, aku kembali ke kelas di jam kedua. Aku adalah orang yang menyerah di tengah jalan dalam hal apapun, dan aku tidak punya keberanian untuk melangkah ke arcade. Terlebih, jam ke tiga dan ke empat adalah olahraga – gurunya akan jadi mengerikan kalau aku membolos dikelasnya.

Di separuh waktu istirahat makan siang, aku berjalan menuju ruang musik lama, berfikir kalau aku sebaiknya mengambil semua barang milikku dari sana. Tepat saat aku berjalan ke lapangan, aku bisa mendengar suara gitar, dan seolah suara itu mengaduk-aduk otakku. Jadi gadis itu memainkan gitar saat istirahat juga? Haah, aku berpikir kalau aku sebaiknya datang lain kali saja. Saat aku akan kembali ke kelas, pandanganku tertarik oleh sesuatu yang ditaruh di samping pintu ruang itu. Itu adalah...... kantung samapah yang berisi sampah yang tidak bisa dibakar. Sebenarnya apa itu?

Aku mendekati kantung sampah itu, dan mengintip ke dalam, kemarahan meledak dalam diriku. Dalam kantung itu terdapat banyak CD – The Beatles; The Doors; Jimi Hendrix; The Clash – semuanya adalah koleksi berhargaku! Berani-beraninya gadis itu melakukan hal ini! Aku mendorong terbuka pintu itu dengan paksa, dan membantingnya terbuka. Suara gitar itu mulai menyerangku, namun ia lalu berhenti dengan segera.

“...... Bukankah aku sudah bilang, jangan masuk seenaknya!”

Mafuyu duduk di bantal di meja dan memeluk gitarnya. Kedua alisnya naik saat dia berdiri mengatakan hal itu, tapi aku belum mau mundur.

Aku mengangkat kantung sampah itu dan memprotes dengan marah,”Apa yang kau lakukan?”

“Kabinetnya terlalu kecil, jadi aku mengeluarkannya dari ruangan.”

“Kau pikir CD ini milik siapa?”

“Kalau bukan milikmu, pasti tidak akan kubuang!”

Aku sangat marah sampai tidak bisa menjawabnya. Apa maksudnya itu!

“Oi, karena kau bermain gitar, seharusnya kau menghargai perintis-perintis besar dari genre rock!” Dan kau seharusnya menghargai barang pribadiku juga!

“Aku tidak mendengarkan rock atau apalah, ataupun tahu sesuatu mengenainya. Barang-barang ini mengganggu pemandangan dan memakan tempat, jadi cepat bawa pergi sana!”

Mafuyu mendorongku yang masih terkejut keluar dari ruangan dan menutup pintu. Apa yang terdengar di telingaku selanjutnya adalah <Piano Sonata No. 12 di A-flat Major> Beethoven. Lagu pemakaman lagi!? Dia sengaja kan!? Saat itu, sebuat melodi cepat tiba-tiba muncul dalam pikiranku – Aku mengabaikan lagu pemakaman itu utuk sesaat dan memusatkan pikiranku..... Chuck Berry!

<Roll over Beethoven>.

Dia berani mengatakan kalau ia memakan tempat? Tapi dia tidak pernah mendengarkan satupun sebelumnya! Aku sudah mengabiskan separuh kehidupanku yang membosankan untuk mendengarkan musik rock, tapi dia kemudian meremehkannya? Pada awalnya aku ingin memukul pintu ruang kelas itu dengan palu karena frustasi, tapi pada akhirnya aku merubah pikiranku. Ada hal yang lebih baik yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku.


Aku memeluk kantung sampah itu sambil berjalan kembali ke ruang kelasku. Sambil menumpuk CD itu di mejaku satu per satu, aku mulai memikirkan bagaimana cara untuk mengalahkan Mafuyu...... meski tentu saja, aku tidak benar-benar berfikir untuk memukulnya. Cowok-cowok dari kelasku berdatangan: “Kau mau berdagang dengan CD-CD ini?” “Semuanya musik barat.” Aku tidak memperhatikan mereka meski mereka mengatakan berbagai macam hal.

Apa yang harus kulakukan......? bagaimana caranya memberinya pelajaran? Baiklah, aku sebaiknya membiarkannya melihat kehebatan musik rock. Tapi, aku tidak bisa sekedar memberi CD padanya secara paksa, jadi—

Aku akhirnya menemukan album Chuck Berry dari tumpukan besar CD itu. Setelah memasukkan CD itu pada discman ku, aku memasang earphone di telingaku.

Pelajaran sore hari itu kuhabiskan untuk mendengarkan lagu-lagunya.


Aku berlari cepat ke rumah seusai sekolah, tapi aku lupa membuka pintu dengan lembut, dan karenanya CD-CD di rumah berjatuhan mengenaiku seperti tanah longsor. Aku menumpuk CD-CD itu kembali dengan baik, lalu melepas sepatuku dan berjalan menuju koridor. Dari ruang tamu terdengar hasil-hasil karya Bruckner.

“Tetsurou, aku mau membicarakan sesuatu denganmu!”

Aku membuka pintu ruang tamu. Tetsurou sedang duduk di sofa dengan laptop di lututnya, dan dia sedang mengetik artikel dengan cepat. Dia memukul keyboard dengan keras – laptop itu sebentar lagi pasti rusak.

Dari speaker terdengar ketukan timpani, dan Tetsurou mengetik di keyboard dengan *darararara* bersamaan dengan tempo musik - sepertinya dia tidak tahu kalau aku sudah pulang. Karenannya, aku mematikan musik itu tanpa basa-basi. Tersurou melorot turun dari sofa.

“Putraku, apa yang kau lakukan? Hal yang paling membuatku jengkel adalah saat simponi terpotong di gerakan ke tiga – bukankah aku sudah bilang sebelumnya?”

“Sebagai seorang pria paruh baya yang gerakan ketiga dalam hidupnya terganggu, apa kau pikir punya hak untuk berbicara semacam itu?” <--! I need to fix this !-->

“Whoa, Nao kecilku, dimana kau belajar membalas dengan kotor seperti itu? Ayah merasa sangat sedih......” Aku membacanya dari kritik-kritikmu!

“Baiklah, kau harusnya sesekali mendengarkan apa yang kukatakan, oke? Berhenti tiduran di sana, duduk dengan baik— jangan duduk seiza di atas laptop! Apa kau mau merusaknya?”

Seusai jeritan marah dan serangkaian omelan, aku akhirnya berhasil membuat Tetsurou duduk di posisi di mana dia bisa mendengarkanku.

“Apa kau ingin mendiskusikan sesuatu denganku?”

“Yup. Aku meminta rapat keluarga.”

“Ada apa? Sekarang aku tidak sedang memiliki keinginan untuk menikah lagi! Tapi kalau dengan gadis seperti Chiaki, aku mungkin akan mempertimbangkannya.”

“Berhenti berkhayal, kriminal! Tidak akan ada orang kedua di dunia ini yang tertarik menikahimu! Dan yang ingin kudiskusikan juga bukan mengenai hal itu!”

“Apa yang ingin kau beli kalau begitu?”

Nada bicara Tetsurou tiba-tiba menjadi serius, dan itu membuatku lidahku tercekat selama beberapa saat karena keterkejutan.

“Ada yang kau inginkan kan?”

“Urm...... yeah.”

Aku duduk di sofa setelah menenangkan diri.

Pada dasarnya akulah yang bertanggung jawab dengan keuangan keluarga kami, tapi bukan berarti aku bisa menggunakannya seenakku. Aku harus mengadakan rapat keluarga kalau aku ingin membeli sesuatu yang mahal.

“Aku...... ingin sebuah gitar.”

“Bukannya ada satu di rumah?”

“Kau merusaknya saat kau mengayunkannya dalam pertandingan baseball! Gak ingat!?”

Untuk orang seperti dia yang tidak menghargai alat msuik, apa dia masih memenuhi syarat sebagai kritikus musik......?

“...... Kau melakukannya untuk seorang gadis?”

Tetsurou menanyakan hal itu dengan tiba-tiba.

“Eh? A-apa?”

“Cuma ada satu alasan bagi seorang cowok tiba-tiba menginginkan gitar. Agar mereka bisa populer dengan para gadis!”

“Omong kosong macam apa itu? Meminta maaflah pada semua gitaris di seluruh dunia sekarang!”

“Aku akan menolaknya kalau kau tidak mengakuinya dengan jujur.” Aku tidak bisa mengatakan apapun. Kenapa dia begitu menjengkelkan!?

“Memangnya kau pikir harga gitar berapa? Setidaknya lima puluh sampai enam puluh ribu yen[2] kalau kau mau yang cukup pantas kan? Kau cuma punya sekitar dua puluh ribu yen yang bisa kau gunakan semaumu, benar kan?”

“Kenapa kau tahu persis mengenai hal semacam ini?”

Aku merengut, dan menenggelamkan diriku di sofa.

“Kenapa kau tidak mencari uang sendiri! Cukup tulis beberapa artikel untukku.”

Tetsurou mendorong laptop di meja ke arahku.

“Tidak...... aku tidak mau melakukannya lagi.” Aku mendorong balik laptop itu. Aku pernah membantu Tetsurou dengan sebagian artikelnya saat hampir deadline. Pada awalnya kupikir kalau tidak mungkin artikel yang ditulis anak SMP diterbitkan di majalah musik resmi, aku tidak hampir menyangka kalau editor benar-benar menggunakannya. Mungkin karena Tetsurou mengeditnya sedikit atau semacamnya? Ngomong-ngomong, apa majalah itu tidak apa-apa? Sejak saat itu, artikelku sering diterbitkan di majalah atau di sampul CD, dan Tetsurou akan memberikan royalti dari artikel-artikel itu.

Meski begitu, uang yang dihasilkan dari artikel itu tidak sepenuhnya masuk ke uang sakuku. Tetsurou mengatakan kalau tigapuluh persen adalah milikku, sementara tujuhpuluh persen akan digunakan dalam pengeluaran keluarga. Aku pernah mencoba memprotes sekali dengan berkata, “Kenapa aku tidak bisa menggunakan semua uang yang kuhasilkan?”, dan dia menjawabnya dengan, “Karena aku juga begitu!” Aku tidak bisa membalas jawaban itu. Sebagai hasilnya, aku harus mengadakan rapat keluarga kalau aku ingin membeli sesuatu yang lebih dari budgetku.

Dengan kata lain, aku tidak perlu megadakan rapat keluarga seperti ini kalau aku menulis artikel lebih banyak di bawah nama Tetsurou. Tapi kalau begitu, apa yang harus kulakukan dengan majalah musik yang tidak sekalipun menyadari kalau mereka menerbitkan artikel yang ditulis oleh anak SMP......? Dan juga, aku ingin membeli gitar itu sekarang agar aku bisa berlatih dengannya, tapi butuh setidaknya dua bulan sebelum aku bisa menerima royalti dari artikel ku.

“Respon dari artikel yang kau tulis cukup bagus. Kau memang mewarisi kemampuanku – hebat sekali! Kebetulan aku baru bisa menulis dua baris sejak pagi ini, jadi tolong bantu sedikit!”

Tolong jangan mengatakan hal semacam mewarisi kemampuanmu. Aku tidak akan pernah membantumu menulis artikel lagi!

“Kalau kau tidak mau membantu, kau harus mengakui kalau kau ingin membeli gitar agar kau bisa populer diantara para gadis! Kalau tidak, aku tidak akan setuju kau membelinya.”

“Kenapa kau begitu keras kepala mengenai hal itu!”

“Karena kau pernah berlatih bermain gitar sekali, tapi menyerah segera setelahnya.”

Aku memeluk bantal, dan terdiam. Tetsurou selalu tepat sasaran sesekali diantara lelucon-leluconnya – kurasa itu adalah kebiasaannya yang sangat buruk.

“Memang benar, tapi......”

“Itulah kenapa, kalau seorang cowok melakukan sesuatu karena dia ingin populer dengan para gadis, maka tidak akan ada masalah! Akui sajalah. Saat ini, kau harus punya ketetapan hati seperti bila kau menyerah ditengah jalan, kau tidak akan mendapatkan pacar hidupmu!”

Kata-kata itu terdengar bodoh, tapi juga terasa sangat meyakinkan. Aku memikirkan selama beberapa saat apa yang dikatakannya dalam diam.Untuk para gadis, huh – semua ini memang pada awalnya dimulai Mafuyu, tapi lebih ke keadaan dimana aku ingin memberinya pelajaran......?

“...... Baiklah. Aku ingin bermain gitar supaya bisa populer dengan para gadis. Cepat segera beri persetujuanmu!”

“Whoa, sampai bisa mendengar kalimat bodoh seperti itu dari mulut Nao kecil – Ayah merasa sangat sedih~”

“Tetsurou, kau tidak punya hak mengatakan hal semacam itu!”

Aku marah dan melempar bantal itu ke Tetsurou, tapi dia tidak tanpa kuduga mengambil laptop dan menggunakannya sebagai perisai dari seranganku.

“Cuma bercanda! Ingatlah untuk menulis namaku saat kau membayar, kalau tidak mereka tidak bisa meminta bayarannya padaku.”


Kemarahanku menghilang setelah aku melempar koran-koran dan pisang yang telah dimakan separuh pada Tetsurou. Aku kembali ke kamarku, dan menata pikiranku sambil tiduran di kasur.

Aku tidak pernah punya alat musik yang pantas sebelumnya. Mereka memang menampilkan beberapa gitar di toko CD musik, tapi aku tidak berniat mendapatkan yang setengah-setengah dari mereka. Akan tetapi, terasa tidak nyaman kalau kau ingin aku dengan sengaja mencari toko alat musik di jalanan. Juga, kalau bia, aku ingin mendapatkan gitar yang lebih murah.

Setelah berfikir mengenai hal itu selama beberapa saat, teleponku berbunyi – menunjukkan nomor telepon Chiaki. Kalau aku berbicara dengannya mengenai keinginanku membeli gitar, dia pasti akan membuatku bergabung di klub rakyat-apalah itu, jadi aku akan melewatinya hal itu untuk sekarang.

“—Nao? Sekarang masih terlalu awal bagimu untuk di rumah, pengecut.”

“Kenapa kau menyebutnya pengecut? Oh iya, ada hal...... yang ingin kuminta bantuan darimu.”

“Sebuah permintaan? Ada apa? Aku bisa mendengarkan, tapi bayaranku untuk membantumu adalah kau akan bergabung dengan klub kami.”

“Gak akan. Dengar, apa kau tahu toko alat musik yang cukup bagus?”

“Toko alat musik? Kenapa?”

“Untuk membeli alat musik lah. Aku mau membeli gitar.”

Aku sedikit menyesalinya, tapi aku tetap mengatakan padanya alasanku. Sudah kuduga, dia ingin tahu penyebabnya,

“Kenapa, kenapa? Apa kau memimpikan seseorang? Eric Clapton?”

Aku bukan kamu! Dan juga, Clapton masih hidup!

“Mungkinkah...... hal yang dikatakan Ebisawa padamu?”

Aku tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat.

“Ah! Terdiam. Aku benar~”

“...... Bukan begi—“

“Ehh, Nao dan Ebisawa—“

Kmi berdua menelan lagi apa yang ingin kami katakan ditengah kalimat hampir disaat bersamaan. Kesunyian sejenak mengikutinya. Aku bisa mendengar pengumuman kedatangan kereta dari teleponnya – dia mungkin menelepon dari stasiun saat dia mau pulang atau semacamnya? Chiaki akhirnya berkata,

“Baiklah, karena aku akan pulang sekarang, gimana kalau pergi bersama?”

“Urm...... kau tidak harus ikut. Katakan saja tempatnya, dan aku akan ke sana sendiri.”

“Ah, tidak apa-apa. Aku pelanggan reguler di sana, jadi akan lebih murah kalau kita pergi bersama.”

“Terimakasih, tapi......”

“Oh! Keretanya sudah datang. Sampai ketemu lagi di stasiun.”

Dia menutup teleponnya sebelum aku sempat mengatakan apa yang kupikirkan. Untuk suatu alasan, suaranya terdengar sedikit parau. Aku merasa sedikit tidak nyaman, tapi aku tetap mengeluarkan limapuluh ribu yen dari amplop yang berisi uang untuk pengeluaran keluarga dan memasukkannya dalam dompetku, sebelum berjalan keluar rumah. Sebelum naik ke sepedaku, aku menaruh tanganku di daerah dimana jantungku berada, dan memastikannya sekali lagi......

Masih panas. Ini bukan keinginan sesaat.


Untuk mencapai toko alat musik yang Chiaki tunjukkan padaku, Kau harus keluar dari pintu masuk utara dari stasiun kereta, lalu berjalan turun melalui jembatan hingga mencapai landasan tangga di ujung. Sesudah berjalan menuruni tangga, toko itu terletak di kanan persimpangan jalanan pertokoan dan daerah tempat tinggal yang sedikit sepi. Ia diapit tepat di tengah dua bangunan besar – terlihat seperti punggung buku yang tipis. Sebuah papan nama bertuliskan ‘Toko Alat Musik Nagashima’ terpasang di atas pintu masuk. Toko itu sedikit sempit, dan di sana ada gitar-gitar yang dipampang di dua sisi dinding dari lantai sampai ke atap – yang membuat toko ini sedikit mengintimidasi. Musik yang diputar di toko itu adalah heavy metal dari Eropa Utara, yang menambah aura intimidasinya.

Chiaki mengatakan padaku sebelum memasukki toko,”Aku pelanggan reguler di sini, jadi kalau kau pintar menawar, kau pasti mendapatkan harga murah dan memuaskan.” Tapi aku tidak punya pengalaman dalam hal tawar menawar sih, jadi aku tidak merasa terlalu percaya diri dalam hal ini.

“Tapi, kenapa kau memutuskan bermain gitar lagi? Kau masih sangat tidak termotivasi pagi ini.”

Dia masih bertanya pada akhirnya.

“Hmm—aku cuma tiba-tiba merasa ingin bermain gitar.”

“Apa kau pikir aku baru bertemu denganmu kemarin? Kau bukan tipe orang yang melakukan hal secara tiba-tiba semacam ini, tapi...... terserahlah. Hello~”

Chiaki menggenggam tanganku dan berjalan menuju toko. Bahkan lantainya pun dipenuhi gitar-gitar yang di sandarkan di dudukan pajangan. Aku berjalan melewati gitar-gitar itu dan berjalan ke dalam. Akhirnya, aku sampai ke konter di antara tumpukan CD dan lembaran musik – untuk suatu alasan aneh, aku merasakan perasaan nostalgia.

“Apa pemilik tokonya ada?”

Saat Chiaki mengatakan hal itu, seorang pria berjalan keluar dari pintu di belakang konter. Rambut berantakannya di sisir sepintas ke belakang. Seharusnya dia masih muda, tapi wajah capeknya itu terlihat sedikit menyedihkan – seolah dia adalah kentang yang ditinggalkan setelah tiga minggu diambil dari ladang.

“Oh, Chiaki. Maaf, tapi aku sedikit sibuk sekarang......”

“Yah maaf, tapi dia pelanggan biasa. Dia mau membeli gitar.”

Saat Chiaki bermaksud menarikku ke depan pemilik toko, seseorang muncul dari dari pintu di belakang konter.

“Pemilik toko! Senar yang ada di stok tidak ada yang cocok— mmm?”

“Eh? Senpai hari ini jaga?”

Aku yang berada di antara Chiaki dan konter terkejut. Kagurazaka-senpai mengenakan apron berwarna hijau dengan logo toko tercetak di sana, dan ditangannya dia memegang buku catatan. Bagaimana? Kenapa dia ada di sini?

“Ah, Saudaraku Aihara. Kami sedang mengecek persediaan kami hari ini, tapi tiba-tiba ada kekurangan sumber daya manusia. Ngomong-ngomong, kita bertemu lagi, anak muda. Manis sekali. Cepat buat keputusan dan bergabung dengan klub, oke?”

“Urm...... ah, tidak...... ugh, kenapa?”

Hal itu mengingatkanku, Chiaki pernah mengatakan padaku kalau Senpai bekerja di toko musik untuk mendapatkan gitarnya...... Jadi dia membicarakan mengenai tempat ini? Aku seharusnya memikirkan mengenai hal itu di awal...... Sial, aku kena! Ini konspirasi!

“Silahkan nikmati waktumu! Ini adalah tokoku, jadi kau tidak perlu sungkan-sungkan.”

“Urm, ini tokoku.....” Pemilik toko itu memprotes lemah.

“Toko milikmu adalah toko milikku kan? Ngomong-ngomong, jumlah senar untuk Martin Extra di stok tidak cocok sama sekali. Apa kau menaruhnya di tempat lain?”

“Ah, tidak, mengenai itu...... Aku tidak tahu kalau direktur tidak ada!”

“Pemilik toko, kau benar-benar tidak berguna......”

Pemilik toko itu terlihat seperti akan menangis.

“Tidak ada hal yang bisa kulakukan kalau begitu. Anak muda, aku punya waktu luang, jadi aku akan membantumu belanja. Apa yang kau butuhkan?”

“Eh? Ye-yeah, aku tidak bermaksud membeli apapun.” Aku mengarang kebohongan di tempat.

“Dia ingin membeli gitar. Apa yang kau sarankan, Senpai?”

Chiaki memotong. Tidak ada gunanya aku mencoba tetap berbohong.

“Hmm. Berapa yang kaupunya, anak muda?”

“Yah......”

“Oh, ini cukup banyak! Sekitar limapuluh ribu yen.”

“Jangan mengambil dompetku tanpa permisi! Dan juga jangan melihat isinya!”

Aku merebut kembali dompetku dari tangan Chiaki.

“Limapuluh, huh..... kau cuma bisa membeli barang murah di sini dengan uang sebanyak yang kaumiliki itu, tapi kau cuma akan membuang uang.”

“Jangan berkata begitu......” pemilik toko itu merengut saat dia mengatakan hal itu. Aku tidak tahu siapa namanya, tapu aku mulai mengasihaninya.

“Anak muda, bagaimana kalau begini? Kita akan bermain batu-kertas-gunting. Kalau kau menang, aku akan menjual sebuah gitar yang masih disimpan di gudang dan seharga seratus ribu, setengah harga. Kalau aku menang aku akan memilih sebuah gitar untukmu yang sesuai dengan anggaranmu. Bagaimana?”

“Tunggu sebentar, Kyouko. Bagaimana bisa kau bersikap begitu kasar?” Pemilik toko itu kebingungan.

“Kau bilang setengah harga, huh...... tapi apa tidak apa-apa?”

“Tidak perlu khawatir. Tertulis dengan jelas di bagian pertama Das Kapital: orang-orang menjual tenaga bekerja mereka pada pembeli, bukan untuk memenuhi keinginan pribadi mereka akan pembeli, namun untuk memperbesar modal pembeli.”

“Aku tidak paham......”

“Sederhananya, hampir semua alat musik di sini dijual dengan harga yang terlalu tinggi, jadi kami masih akan untung meski aku menjualnya setengah harga.”

“Kyouko......” pemilik toko itu hampir menangis.

“Pemilik toko terlalu menyebalkan, jadi ayo kita mainkan permainan kita di luar. Anak muda, apa kau ingin menerima tantanganku atau tidak?”

Kagurazaka-senpai menggenggam tanganku dan menarikku keluar toko.

Meski sangat menyedihkan bagi pemilik toko, apa yang dikatakan Kagurazaka-senpai cukup masuk akal. Atau lebih tepatnya, terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, karena aku tidak akan kehilangan apapun.

“Kalau harga dari menjual gitar dengan murah adalah aku harus bergabung dengan klub, maka aku akan pulang.”

“Tidak perlu bagiku membuat kondisi semacam itu kan? Lagipula, aku tidak berfikir akan pernah kalah dari pecundang dari lahir sepertimu.” Sial, dia benar-benar blak-blakan.

“Baiklah, aku mengerti. Kau akan menjual gitar yang pantas padaku tidak peduli hasilnya kan? Kau tidak akan memberiku barang cacat atau semacamnya?”

“Tentu saja! Aku bersumpah demi nama dan reputasi toko ini!”

“Ok......Baiklah.”

“Siap? Aku akan memberimu bantuan.”

Kagurazaka-senpai menunjukkan senyum puas, dan menunjukkan sesuatu yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Itu adalah... pick gitar. Eh? Telunjuk dan jari tengah?

Itu rtinya dia tidak akan mengeluarkan gunting? Tidak tunggu...... apa itu jebakan? Dia mengecohku agar aku jatuh dalam jebakan? “Batu--kertas--gunting!” Bersamaan dengan suara Senpai, aku mengeluarkan batu dengan segera.

Jari-jari senpai terbuka membentuk kertas – pick itu jatuh ke tanah dari tangannya.

“......Anak muda, kau orang yang cukup jujur.”

Dia menepuk kepalaku dengan lembut. Licik! Sebenarnya, daripada mengatakan kalau senpai licik, haruskah aku menyalahkan diriku sendiri karena dengan mudah terjebak perangkapnya? Saat senpai menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya, aku bisa melihat pemilik toko di belakangnya menghembuskan nafas lega.

“Baiklah kalau begitu...... aku akan pergi ke gudang untuk menemukan pilihan terbauk yang cocok dengan anggaranmu.”

Aku menenangkan diriku sendiri sedikit, dan berjongkok di tempat. Chiaki datang ke sampingku dan berkata,

“Nao sangat lemah ya.”

“Berisik......”

“Kau kalah di saat kau menerima tantangannya.”

Aku menganggkat kepalaku, dan sesudah melihat Senpai mengambil gitar abu-abu metalik keluar dari gudang, aku akhirnya mengerti apa yang dimaksud Chiaki.

“Ini adalah Aria Pro II seharga limapuluh empat ribudan enam ratus yen, termasuk pajak. Yah, tepat limapuluh ribu kalau aku membulatkannya kebawah untukmu.”

“Urm...... cuma ada empat senar?”

“Hmm? Apa kau tidak tahu? Ini adalah bass. Ia memiliki dua senar lebih sedikit dari gitar biasa, dan pitch nya lebih rendah satu oktaf.”

“Tidak, aku tahu hal itu. Tapi kenapa kau menjual bass padaku?”

Aku ke sini untuk membeli gitar!

“Bass termasuk keluarga gitar kan?”

“Urm, yah, tapi—“

Chiaki meletakkan tangannya di pundakku dan berkata,

“Karena Klub Riset Musik Rakyat kekurangan bassist – itulah kenapa. Kau paham sekarang?”

Butuh waktu dua detik bagiku untuk memahaminya, sebelum aku menyadari dalam keterkejutan – aku sudah jatuh dalam perangkapnya. Motif gadis itu sejak awal adalah untuk bisa memilihkan gitar yang akan kubeli, dan karenanya dia menjanjikanku kalau aku akan mendapatkan gitar tidak perduli hasilnya. Orang yang tidak menyadari rencananya...... adalah aku.

“Tu-tunggu......”

“Aku tidak tertarik dengan kata-kata pecundang. Butuh nota?”

Kagurazaka-senpai menunjukkan senyum sekilas saat mengatakan hal itu. Jadi dia sebenarnya punya sisi imut juga—

“Aku tidak pernah berfikir memainkan bass......”

“Yah, kau tidak benar-benar paham cara bermain gitar pada umumnya kan?”

Protes lemahku dengan segera ditolak oleh Senpai.

“Dan juga, kau ingin menantang Ebisawa Mafuyu dengan gitar kan?”

“Ugh......”

Aku tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat.

“Gadis itu bisa memainkan Chopin dan Liszt cuma dengan satu gitar. Anak muda, dilihat dari kemampuanmu sekarang, tidak ada kesempatan bagimu untuk menang dengan gitar!”

Aku tidak benar-benar bermaksud menantangnya atau semacamnya cuma—

“Akan tetapi, kau bisa menang kalau kau menggunakan bass.”

Kagurazaka-senpai mendorong bass berat itu ke tanganku—

“Aku akan membuatmu menang.”


Catatan Penerjemah

  1. sekitar seratus juta rupiah
  2. 5-6 juta