Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 7

From Baka-Tsuki
Revision as of 11:07, 15 September 2013 by Tony Yon (talk | contribs) ((telat lagi--aku tahu))
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Handuk, Pembasmi serangga, Plester

Dibandingkan dengan gitar elektrik, kelebihan yang dapat dilihat dengan jelas dari bass elektrik adalah kau hampir tidak bisa mendengar apa-apa darinya kalau kau tidak mencolokkannnya ke sumber listrik.

Aku membeli bass itu di bawah bujukan Kagurazaka-senpai, dan membawanya ke kelas di hari berikutnya. Dengan segera aku dikelilingi oleh teman-teman sekelasku. “Ayo mainkan sesuatu, apa sajalah.” Meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap berdalih,”Tapi ini bass, jadi suaranya tidak akan terdengar!” dan kabur. Hal ini tidak akan berhasil kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku membeli bass – dengan pemikiran itu di kepalaku aku juga bisa menghibur diriku sedikit dari akibat dipermainkan oleh Senpai.

“Tapi kenapa bass?”

Seorang cowok menanyakan padaku hal yang tidak kupikirkan sebelumnya.

“Ah, aku juga kepikiran. Kau tidak benar-benar memerlukannya kan?”

“Hey, kritikus, sebaiknya kau menjelaskannya dengan istilah yang gampang.”

“Jangan memanggilku kritikus!” Aku mengambil bass itu dari tangan teman sekelasku, dan meletakkannya kembali ke cover-nya. Sebenarnya, tidak mungkin menjelaskan semuanya dengan baik pada mereka dengan kata-kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua basist di dunia, aku harus mengarang sesuatu.

“Kalian, duduk di sana.”

“Baik, Profesor Nao.:

“Tolong jangan gunakan istilah musik saat menjelaskan.”

Ugh, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku. Beberapa cowok duduk seiza di sekitar kursiku, jadi aku tidak boleh mengatakan sesuatu yang salah di saat seperti ini. Apa yang harus kulakukan? Aku menjilat bibirku dan berfikir bagaimana aku harus memulai penjelasanku.

“...... Baiklah kalau begitu, mari kita mulai dengan mengingat wajah Pensiunan.”

“Kenapa?”

“Jangan bertanya. Lakukan saja sesuai perintahku.”

Beberapa cowok menutup mata mereka, sementara sebagian lain menatap langit-langit. Karana dia terlihat sama persis dengan Mito Koumon, sangatlah mudah mengingat wajah guru kami itu.

“Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari wajahnya. Selesai?”

“...... Baik, selesai.”

“Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat dia masih muda.”[1]

“Enari kan memang masih muda?”

“Oke oke. Selanjutnya, bayangkan Pensiunan tanpa rambut.”

“Profesor Nao, apa ini ada artinya? Semacam tes psikologi atau semacamnya?”

“Kau akan segera tahu. Bagaimana? Kalian bisa membayangkannya?”

“Aku bisa, tapi bukannya rambut Pensiunan cukup lebat?”

“Dibandingkan dengan jenggotnya, masih lebih mudah menghilangkan rambutnya.”

“Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis wajahnya, dan bayangkan bagaimana dia terlihat.”

Wajah semuanya menunjukkan ekspresi seperti: “Eh?”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak mengerti!”

“Apa yang kau maksud dengan garis wajah? Telinga dan semacamnya?”

“Bukan, bukan yang itu. Yang kumaksud adalah buang bentuk wajahnya. Bayangkan matanya, hidungnya, dan mulutnya muncul dari permukaan yang datar. Ok, bayangkan seperti itu.”

Teman-teman sekelasku mengeluarkan desahan “Hmm, hmm......” satu persatu. Beberapa dari mereka menekankan jari-jarinya ke jidat mereka, sementara yang lain menjambak rambut mereka sendiri.

“...... Tidak bisa, tidak mungkin bisa dilakukan. Tidak akan ada artinya kalau kau membuang garis wajahnya!”

“Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan dengan bangga kalau ‘Dalam pikiranku, aku bisa membuang pakaian renang yang dikenakan oleh para gravure idol yang cantik-cantik itu, tidak peduli siapa mereka!’ kan?”

Urm, kalian sebenarnya tidak perlu berusaha sekeras itu.

Mereka berjuang dengan keras selama sekitar dua menit sebelum menyerah. Karenanya, aku membuat kesimpulanku.

“Jadi kalau kau menggunakan analogi menghilangkan garis wajah ke istilah musik, bass terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian mengerti?”

Para penontonku masih terlihat sangat bingung.

“Jadi seperti bagaimana kalian bisa membayangkan lagu-lagu dimainkan bahkan tanpa gitar dan instrument lainnya, tapi kau tidak bisa membayangkan lagu itu tanpa bass. Dan karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa bass begitu penting buatku.”

“Jadi begitu......”

“Aneh. Aku merasa seolah aku mengerti apa yang ingin dia katakan, tapi di saat bersamaan aku juga tidak mengerti.”


Jadi kalian mengerti atau tidak? Akan tetapi, akan mengkhawatirkan kalau kalian mengerti, karena yang kukatakan cuma omong kosong.

“Tapi Profesor Nao benar-benar mengagumkan. Kau punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu.”

“Tidak mungkin aku akan mewarisinya!” Kenapa aku harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman sekelasku?

Dan dengan itu, bell persiapan kelas berbunyi. Pada saat yang bersamaan, pintu belakang kelas – yang merupakan pintu yang dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku – terbuka.

Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandanganya pertama mendarat ke mejaku yang dikerumuni beberapa orang cowok, dan berpindah ke cover gitar di tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.

“...... Minggir.”

Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu cukup untuk membuat para cowoko yang mendengarkan omong kosongku menyingkir dari jalannya...... Oi oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke kursi kalian masing-masing!

“Profesor Nao......” Salah satu cowok itu mendekatkan wajahnya kesampingku, dan berbisik, “Apa ini? Apa alasanmu mengambil bass karena Ebisawa?”

“Eh? A-Apa?” Suaraku menjadi sedikit aneh.

“Kau sering ke lapangan akhir-akhir ini kan?”

“Jadi begitu, jadi dia akan bisa menjadi lebih dekat dengannya dengan bass miliknya ini? Pintar sekali Profesor!”

Para cowok itu melirik wajah Mafuyu. Jangan meng-gossip-kan orang saat kalain ada di dekatnya!

Karena sikapnya yang waspada, semenjak hari keduanya dia pindah ke sini, hampir semua gadis di kelas telah menjadi musuhnya. Akan tetapi, tidak satupun cowok memperdulikan hal itu dan terus mengkhawatirkannya. Yang menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau meminjaminya buku pelajaran saat dia lupa membawanya – semuanya dilakukan oleh para cowok.

Para cowok yang selalu berkumpul di sekitar mejaku mungkin melalukan hal itu untuk alasan yang sama? Cowok benar-benar bodoh.

“Oh iya, Ebisawa......”

Salah satu cowok pemberani berbalik dan berkata pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari buku pelajarannya ke wajahnya, dan dengan pelan berkata,”Tolong jangan panggil aku dengan nama keluargaku.”

“Kalau begitu—Mafuyu......”

“Jangan memanggilku dengan nama depanku juga. Menjijikkan.”

“Mafuyu memanggilku menjijikkan...... satu-satunya alasan hidupku telah hancur.”

“Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan yang kau pikirkan.”

“Benar, wajahku. Tunggu dulu, apa maksudmu?”

Pindahlah ke tempat lain kalau kalian ingin melakukan manzai[2]. Ngomong-ngomong dia emang pernah bilang sebelumnya di hari pertamanya di sini, tapi apa dia benar-benar membenci nama keluarganya seperti itu? Aku selalu berfikir kalau dia cuma berbohong karena keadaanya saat itu. Tapi kenapa? Apa seseorang mengejeknya di masa lalu dan memberinya nama panggilan ‘Ebimayo’[3] atau semacamnya? “Jadi Ebisawa bermain di band juga? Akankah guru pianomu marah kalau dia tahu kamu bermain gitar?”

Pada saat dia berbicara padanya dengan semangat 45, sisi wajah Mafuyu membeku.

“Dan juga, kamu sangat hebat dalam membagi waktu, karena kamu bisa berlatih dua instrumen yang berbeda di saat yang bersamaan.”

“Bukannya dia berlatih di saat yang bersamaan, kurasa? Karena lagunya sama.”

“Bagaimana mungkin!”

Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajarannya. Akan tetapi, aku menyadari kalau pandangannya sedikit kosong.

“Bagaimana...... kalian bisa tahu?” Saat dia berbicara dengan kepala menunduk rendah, para cowok perlahan-lahan menjadi tenang pada saat bersamaan.

“Urm...... Yah......”

“Kau selalu berlatih di lapangan seusai sekolah kan? Kami bisa mendengarmu setiap waktu.”

“Ah, itu sangat terkenal loh! Semuanya tahu mengenai hal itu.”

Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan wajahnya berubah hijau.

“Selama ini....... bisa terdengar?” Oh, sial. Dia tidak tahu? Sambil merengut mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, aku dengan pelan memotong,

“Yah...... aku tidak mengatakannya padamu, tapi sound-proof di ruang kelas itu tidak sempurna. Suaranya akan keluar lewat celah-celah pintu.”

Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap, dan kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa henti.

Aku memeluk kepalaku dan tiarap di mejaku mengantisipasi pukulan yang akan datang darinya, tapi yang kudapat cuma suara langkah kaki berlari menjauh dariku, diikuti suara pintu tertutup.

Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti seluruh Kelas Tiga Tahun Pertama.

Aku menganggkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak tahu apa-apa, tapi tatapan mereka mengatakan kalau akulah yang bertanggung jawab akan hal ini.

“...... Nao, apa yang kau tunggu? Kejar dia!”

Cowok yang kehilangan alasan hidupnya karena Mafuyu menganggapnya menjijikkan, mengatakan hal itu padaku dengan dingin.

“Kenapa aku?”

“Karena kaulah yang bertugas menghadapi Mafuyu!” Ketua kelas Terasa mengatakan hal itu untuk suatu alasan yang tidak kuketahui, dan para gadis di sekitarnya mengangguk bersamaan dengan “Mhmm!”. Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?

“Cepat pergi, atau kalau tidak pelajaran akan dimulai! Cepat!”

Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan, tapi ada sesuatu di dunia ini yang disebut atmosfir dari situasi, yang merupakan hal yang sulit ditahan. Aku didorong oleh hal itu juga, dan berdiri dari kursiku.

Saat aku keluar dari ruang kelas, aku hampir bertabrakan dengan Chiaki yang terenggah saat dia berpapasan denganku.

“Apa yang kau lakukan? Aku lihat Ebisawa beberapa waktu lalu......”

“Kemana dia pergi?”

“Eh? Ah, hmm, dia barusan berjalan turun tangga—Nao? Tunggu! Nao, kau mau kemana?”

Bell persiapan berbunyi hampir bersamaan dengan saat aku mendorong Chiaki ke samping untuk berlari menjauh dari ruang kelas.


Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak ada suara terdengar dari dalam, aku langsung mengetahuinya saat aku memasuki lapangan – gembok yang tergantung di pintu terbuka.

Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai mengatur pemikiranku untuk beberapa saat. Apa yang sedang kulakukan? Aku mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar mencari Mafuyu, tapi apa yang harus kulakukan setelahnya? Apa aku harus meminta maaf padanya? Apa sebenarnya kesalahanku?

Aku seharusnya kembali ke ruang kelas saja, dan berkata pada teman sekelasku,”Aku tidak tahu dia pergi kemana?” dan membiarkannya. Akan tetapi, kakiku tidak mau bergerak.

Segera setelahnya, bell persiapan kelas yang kedua berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar melewatkan satu atau dua pelajaran sesekali. Terlebih lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku meraih pegangan pintu, dan menekannya ke bawah secara diagonal dengan sedikit memaksa.

Mafuyu menumpuk tiga bantal di meja, dan dia duduk di atasnya dengan tangannya memeluk lututnya. Meski tahu aku memasuki ruang kelas itu, yang dia lakukan cuma mengangkat wajahnya dari lututnya.

“Sia-sia kalau kau menggunakan bantal seperti itu. Aku membawa ketiga bantal itu ke sini agar bisa tidur di atasnya kalau kau menjejerkannya di meja. Aku tidak bercanda, jadi jangan ditumpuk seperti itu.”

Mafuyu cuma sedikit merubah posisinya – dia menaikkan tubuhnya sedikit untuk mengambil dua bantal dengan tangan kirinya, sebelum melemparnya ke wajahku. Aku melempar satu kembali padanya, dan meletakan yang satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.

“Kenapa kau di sini?”

Mafuyu bertanya dengan suara serak.

“Aku ke sini karena aku ingin membolos, tapi aku tidak menyangka ada orang lain di sini. Whoa, kebetulan sekali – meski aku sedikit terganggu akan hal ini.”

“Pembohong.”

Bagaimana kau tahu kalau aku sedang berbohong? Tunjukkan buktinya! Tahu kan, bukti! Tapi kau benar sih – aku memang berbohong.

“Kenapa...... kau tidak memberitahuku?”

Mafuyu menatap lantai dan bertanya dengan berbisik. Aku menoleh ke belakang untuk melihat ke celah di pintu, yang menyebabkan sound-proof di ruang itu tidak sempurna.

“Yah, karena kau tidak pernah bertanya!”

Lagi-lagi aku dihantam dengan bantal. Kenapa kau marah pada hal semacam itu?

“Bukan hal yang buruk meski suaranya terdengar keluar. Lagipula kau tidak sedang melakukan hal yang memalukan kan.”

“Kau salah.”

Mafuyu memeluk kedua kakinya di dadanya dengan erat, dan meringkuk di pojok meja. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus kulakukan?

“Kau sudah pernah merilis CD permainan pianomu, tapi kau tidak mengijinkan orang lain mendengarkanmu bermain gitar? Bukannya itu aneh?”

“Apa sih yang kau tahu?”

Mafuyu melempar sebuah pertanyaan yang terjatuh dengan lembut di antara kami.

Tiba-tiba—sebuah gelombang kemarahan naik di dalam diriku.

“Bagaimana aku bisa tahu!” Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau aku tidak melakukannya, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu lakukan setelah dia menghabiskan cadangan bantal yang dia gunakan untuk melempariku. “Itu karena kau tidak mau mengatakan apapun kan? Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu, karena aku tidak tahu bagaimana caranya membaca pikiran!”

Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah. Mafuyu tidak mengatakan apapun, membiarkanku kebingungan apa aku harus ikut campur dan mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah pandangan jijiknya, atau dia komplain padaku.

“—Kalau aku memberitahumu, apa kau akan membantuku?”

Aku mengangkat kepalaku ketakutan, dan memandang Mafuyu. Mata berair miliknya itu terlihat seperti air dari sungai yang mengalir ke sungai – warnanya memudar dan muram.

“Kalau aku mengatakan padamu semua yang menggangguku, akankah kau melakukan sesuatu untukku? Kalau aku ingin kau berenang ke Amerika, akankah kau berenang ke sana untukku? Kalau aku ingin kau memotong tangan kananmu dan memberikannya padaku, akankah kau benar-benar memotongnya untukku? Kalau aku ingin kau mati, akankah kau mati untukku?”

Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti kalau aku mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat dari permukaan air.

“Kalau kau tidak bisa melakukannya, jangan bicara seenaknya.”

“Urm...... apa kau benar-benar ingin aku melakukan hal-hal itu untukmu?”

Mafuyu menggeleng. Sepertinya dia diam-diam menangis sedikit.

“Tidak.”

“Kalau...... kau tidak mengatakannya dengan jelas, bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup mengatakannya pada orang lain mengenai hal itu. Kau tidak akan kehilangan apa-apa.”

“Kalau begitu kembalikan aku ke masa lalu, kembali ke saat aku mulai memainkan piano.”

“Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa melakukannya!”

Yang berarti—memang ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa dia begitu membenci piano?

Dan juga......

“Bagaimana dengan yang ini – tolong berhenti mengikutiku. Kau mengganggu pemandangan.”

Aku tidak mengikutimu! Ini adalah satu hal yang harus kuperjelas dengannya.

“Aku sudah mengatakannya berkali-kali, aku sudah menggunakan tempat ini sejak awal. Orang yang seenaknya menerobos masuk ke tempat ini adalah kau kan? Jadi aku tidak mengikutimu.”

Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster yang tidak di hias miliknya diletakkan di sana.

Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan handuk yang telah digunakan berkali-kali.

“Lihat, di sini ada celah di sisi pintu yang ini, ya kan? Kau harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya tidak akan sempurna, tapi kau akan mendapatkan sound proof yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini......”

Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari loker dan menunjukkannya padanya.

“Bersihkan tempat ini dengan benar. Tidak bisakah kau melihat seberapa kotornya di sisi bawah tembok dan lantai? Aku berkerja keras untuk membuatnya sebersih sekarang ini. Ingatlah ini: Aku di sini untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak mungkin aku akan membiarkan seorang gitaris muda sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan musik rock, terus menunjukkan sikap aroganmu!”

Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar, dan menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu menatapku dalam keadaan tercengang, dengan mata yang masih dipenuhi air mata. Tidak lama setelahnya, dia menarik nafas dalam, dan berkata,

“......Jadi itu alasanmu membawa bass ke sekolah?”

Dia benar-benar menangis seperti anak kecil beberapa saat lalu, jadi kenapa dia menunjukkan ekspresi menyebalkan sekarang? Tidak bolehkah aku membawa bassku ke sini?

“Apa kau pikir kau bisa menang cuma dengan berganti ke bass? Idiot!”

“Silahkan ngomong sesukamu. Aku tidak bisa bermain dengan bagus sekarang, tapi aku pasti bisa dengan segera mengejarmu. Baiklah, ayo kita selesaikan urusan kita untuk terakhir kalinya dengan ruangan ini sebagai hadiahnya!”

Sambil mengatakan hal itu, aku mengambil sapu itu dan mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa mengatakan sepatah kata pun – dia cuma berdiri di sana dengan mata terbelalak. Aku mengartikannya sebagai dia terkejut akan kata-kataku, daripada kebingungan akan tindakanku.


Setelah mengembalikan sapu dan pengki itu ke loker, aku mengeluarkan semprotan kaleng dan meletakkannya di meja. Setelah melihat semprotan kaleng itu, Mafuyu memiringkan kepalanya kebingungan.

“...... Pembasmi serangga?”

“Yeah. Terkadang kau akan menemukan kelabang di dalam ruangan, meski agak jarang kau akan menemukan kecoak akhir-akhir ini.”

Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan itu, aku bisa mendengar sudara pintu terbuka dengan cepat di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan dengan wajah pusat pasi.

“...... Apa lagi! Aku sudah pergi sesuai permintaanmu, jadi duduklah di sana dengan tenang. Lagi pula kau masih akan dianggap telat meski kau kembali ke kelas sekarang—“

“Ke-ke-kenapa kau tidak mengatakan hal ini padaku sejak awal?”

Wajahnya yang hampir menangis membuatnya benar-benar terlihat seperti anak kecil.

“Kenapa? Karena kau tidak bertanya!” Jawabanku sama dengan sebelumnya. “Kau sudah berada di sana selama ini kan? Bukan masalah.”

“Idiot!”

Lengan atasku dipukul olehnya berkali-kali. Gadis yang menyusahkan.


Pad akhirnya, kamu kembali ke kelas setelah jam pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku dengan ekspresi hampir menanggis, aku cuma bisa mengaku kalah. Aku menghabiskan waktu kurang lebih satu jam di ruang latihan membunuh semua serangga yang bisa kutemukan, serta menutup semua celah di mana serangga bisa masuk dengan plester.

Aku tidak berfikir hal itu ada gunanya sih. Makhluk seperti kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk melewati lubang yang cuma selebar dua milimeter kan?

“Ah, sang Putri sudah kembali.”

“Jadi kalian benar-benar kembali bersama huh......”

Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya memandang ke arah kami di saat kami melangkah ke dalam ruangan. Tunggu dulu...... putri?

Ketua kelas Terada berjalan mendekat, bersandar ke meja, dan berkata,

“Setelah mendiskusikannya, kelas ini telah memutuskan kalau kami akan memanggilmu ‘Putri’ mulai hari ini.”

Wajah Mafuyu menjadi putih pucat pada awalnya, tapi segera menjadi merah. Aku selalu merasa meski dia tidak mau banyak bicara, siapapun bisa dengan mudah mengetahui apa yang dipikirkannya dari perubahan ekspresinya.

“...... Ke-kenapa?”

“Kau tidak suka dipanggil baik dengan namamu ataupun nama keluargamu kan? Sangat merepotkan bagi kami untuk berbicara padamu karenanya.”

“Ja-jadi itu alasannya......”

Seorang gadis di samping Ketua kelas dengan santai berkata,”Kalau kau bersujud dan meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan nama memalukan seperti itu.”

“......Gak akan.”

“Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon bantuannya mulai sekarang, Tuan Putri.”

“Besok adalah piketmu, Tuan Putri. Karenannya, kau harus datang lebih awal, jangan seperti biasa dimana kau selalu hampir telat.”

Ah, dia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan semuanya – apa mereka menjahili pendtang baru? Tapi adalah salah Mafuyu sendiri sampai pada keadaan ini, jadi aku tidak merasa kasihan padanya sedikit pun. Tapi meski begitu, ada apa sih dengan jarak besar perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman sekarang?

“Ah, kalau ada yang Tuan Putri butuhkan, kau bisa mengatakannya pada Nao.” Kalimat dingin dari ketua kelas langsung mengunci takdirku tanpa perlu menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi mendengarnya.

“Kenapa aku?”

“Nao, begini ya.”

Cowok yang duduk di kursi diagonal di depanku menjelaskan,

“Kita selalu memanggil pangeran atau putri ‘Yang Mulia’, kan? Kau tahu kenapa?”

“Aku tidak tahu...... dan apa hubungan antara dua hal itu?”

“Itu artiya, ‘kita adalah orang-orang yang berada dibawahnya dan melayani mereka’ – seperti itu. Dan sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada bangsawan, kita cuma bisa berbicara pada pelayannya.”

“Ohhh—“ “Aku mempelajari hal lain hari ini.” Cowok-cowok bodoh di sekitarku menjadi bersemangat.

“Yang berarti, pelayan yang kita bicarakan adalah kamu!”

“Aku? Kenapa?” Meski aku memprotes dengan memukulkan tinjuku ke meja berulang kali, tidak seorang pun menghiraukanku karena keputusan itu telah diterima oleh kelas dengan anggota yang berlimpah, dan terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku – Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya cuma melihat ke arah Mafuyu dan aku dengan pandangan curiga. Dia lalu membuat wajah aneh sebelum berbalik menghadap podium pengajaran.

Catatan penerjemah

  1. Aktor Jepang/pembawa acara/komedian
  2. Stand-up komedi tradisional di jepang.
  3. Udang mayonaise