Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 2

From Baka-Tsuki
Revision as of 10:41, 3 October 2013 by Cucundoweh (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Sampai Kapan pun, Yukino Yukinoshita Tetap Keras Kepala

Saat keluar dari ruang kelas setelah jam pelajaran berakhir, kulihat Bu Hiratsuka sedang menungguku sambil menyandarkan dirinya ke tembok. Beliau sudah tampak seperti sipir penjara yang berdiri tegap sambil melipat kedua tangannya. Kalau boleh bilang, pasti akan terasa cocok apabila beliau berpakaian militer dan memegang cambuk di tangannya. Yah, yang namanya sekolah memang mirip seperti penjara, setidaknya itu bukan imajinasi yang terlalu berlebihan. Maksudku, sekolah pun bisa disamakan seperti Alcatraz ataupun Cassandra.[1] Pastinya aku akan bersyukur andai sang Penyelamat Akhir Zaman[2] bergegas datang menolong.

"Hikigaya. Waktunya kegiatan klub."

Seketika itu darahku langsung membeku. Sial, aku tertangkap. Kalau aku sampai digiring ke ruang klub, mungkin kehidupan sekolahku ini sudah tak punya harapan lagi.

Yukinoshita itu orang yang angkuh sejak lahir, kata-kata yang terucap dari mulutnya bagaikan ular berbisa. Sangat kasar, bahkan tak ada manis-manisnya. Apa makhluk sepertinya itu bisa disebut tsundere? Yang benar saja. Ia cuma gadis yang kurang ajar.

Sambil tersenyum cuek, Bu Hiratsuka tak menghiraukan keenggananku yang tampak jelas ini.

"Ayo pergi." Ujar Bu Hiratsuka sembari berusaha merangkul lenganku. Aku menghindar. Tak tanggung-tanggung, beliau langsung menjulurkan tangannya lagi. Aku pun kembali mengelak.

"Eng... asal Ibu tahu... jika saya pikir-pikir lagi, yah, di antara sekian banyak hal, sistem pendidikan di negara kita ini harusnya saling mendukung juga menghormati kebebasan murid-muridnya, oleh karena itu... saya merasa keberatan jika dipaksa-paksa begini."

"Sayangnya, sekolah merupakan sebuah institusi yang dirancang untuk melatih murid-murid agar bisa menjadi bagian dari masyarakat yang baik. Di kehidupan sesungguhnya, pendapatmu barusan tak mungkin akan dihiraukan. Karena itu, kau pun harus terbiasa untuk dipaksa-paksa orang."

Kali ini bukan sebuah pukulan biasa yang beliau lesatkan, melainkan sebuah serangan telak dari sebuah tinju yang terpilin dan menusuk tubuhku. Sangat kuat, sampai-sampai aku tak bisa bernapas. Tanpa menyia-nyiakan momentum, beliau berhenti menyerang dan langsung merangkul lenganku.

"Kau tahu apa jadinya jika coba membangkang, bukan? Jadi jangan coba-coba memancing tinju Ibu ini, ya."

"Jadi Ibu benar-benar serius mau memakai tinju itu?"

Perih ini tak mungkin bisa lebih buruk lagi.

Selagi berjalan, mulut Bu Hiratsuka mendadak terbuka seakan beliau baru teringat sesuatu.

"Oh, iya. Jika kau mencoba kabur lagi, maka secara tak langsung kau dianggap kalah dari Yukinoshita. Segala bentuk keberatan takkan Ibu terima, lho. Jadi, jika kau tetap tak menghiraukannya, maka jangan harap kau bisa lulus di tahun ketigamu."

Aku sudah tak mungkin lagi bisa lari dari beliau, bahkan dari segi mental sekalipun. Bu Hiratsuka berjalan di sampingku, suara ketukan dari hak sepatu berbunyi di setiap langkahnya. Dan yang terburuk, beliau merangkul pergelangan tanganku. Kalau dilihat lagi, ini tampak seolah Bu Hiratsuka menjadi seorang wanita penghibur yang memakai kostum guru sekolah dan sedang menggandengku ke kabaret cosplay miliknya.[3]

Meski begitu, ada tiga hal yang membedakannya, yaitu: Aku tak bisa membayar beliau sepeser pun, beliau sebenarnya hanya merangkul ujung sikutku bukan seluruh lenganku, dan aku tak merasa senang maupun tertarik sama sekali. Yah, terkecuali fakta kalau ujung sikutku sempat menyentuh payudara Bu Hiratsuka.

Satu-satunya tempat yang ingin beliau tuju sekarang hanyalah ruang klub.

"Eng... saya takkan coba kabur lagi kok, jadi biar saya jalan sendiri saja, ya. Ibu juga pasti sudah tahu kalau selama ini saya selalu sendiri. Jadi tak akan apa-apa jika saya jalan sendiri. Lagi pula, kalau tak melakukannya sendiri, saya justru tak bisa tenang."

"Jangan bicara begitu. Ibu memang mau pergi bareng, kok." Bu Hiratsuka tersenyum lembut sambil mendesah pelan.

Ini membuatku kaget; ini bukan ekspresi yang biasanya beliau tunjukkan padaku.

"Membiarkanmu kabur bisa bikin Ibu gregetan. Jadi, meski tak tega, Ibu harus memaksamu pergi ke sana supaya stres Ibu ini bisa berkurang."

"Alasan yang tak masuk akal!"

"Mau bagaimana lagi? Meski Ibu sebenarnya sudah capek, Ibu masih harus menemanimu sampai ke sana. Semua ini demi kelancaran program rehabilitasimu itu sendiri. Bisa dibilang, ini salah satu contoh dari ikatan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya."

"Ibu bilang yang begini ini kasih sayang? Maaf, Bu, saya enggak butuh."

"Nah, jawabanmu semacam itu yang malah menunjukkan kalau kau memang sudah menyimpang, kau tahu? ...apa saking menyimpangnya sampai-sampai titik urat nadimu jadi terbalik? Lalu kau mau coba membangun sesuatu semacam Makam Kaisar Salib Suci, begitu?"[4]

Bu Hiratsuka ini memang penggila manga...

"Padahal, kau bisa tampak lebih manis kalau mau sedikit menurut. Kau tak bisa menikmati hidup kalau masih punya pandangan menyimpang seperti itu."

"Yah, dunia itu kan tak selalu dipenuhi padang bunga matahari dan aster. Jika masyarakat terbentuk oleh pikiran kalau orang harus selalu bahagia, tentunya Hollywood takkan membuat film-film sedih, ya 'kan? Soalnya, ada sebagian orang yang juga senang dengan tragedi."

"Argumen seperti itu memang ciri khasmu. Wajar sih bagi remaja kalau berpikiran sinis, tapi kalau kau ini sudah jadi penyakit namanya. Jenis penyakit yang sering diidap anak kelas dua SMA. Kalau dipikir lagi, ternyata kau memang pengidap kounibyou."[5] Ujar Bu Hiratsuka sambil tersenyum bangga.

"Jadi Ibu memperlakukanku seperti orang penyakitan, begitu? Kejam banget. Lagi pula, apa itu kounibyou?"

"Kau suka manga dan anime, enggak?" Beliau mengganti topik pembicaraan dan mengacuhkan pertanyaanku.

"Yah, bukannya saya enggak suka sih."

"Lalu apa yang kau suka dari hal itu?"

"Eng, soalnya... itu mewakili kebudayaan Jepang. Itu juga bagian dari budaya modern yang bisa jadi kebanggaan Jepang. Aneh kalau saya tak mengakui fakta tersebut, ya 'kan? Pangsa pasar domestik bisa semakin berkembang karenanya, maka dari itu sisi ekonomi pun harus disangkut-pautkan di sini."

"Begitu rupanya. Lalu kalau karya sastra umum? Seperti Keigo Higashino dan Koutarou Isaka contohnya?"[6]

"Saya juga baca, tapi jujur, saya lebih senang karya yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal."

"Lalu apa nama label penerbit light novel favoritmu?"

"Gagaga... Kodansha Box juga. Saya tak tahu apakah Ibu juga menggolongkan Kodansha Box sebagai salah satu penerbit light novel.[7] Oh, iya, untuk apa Ibu tanya-tanya hal barusan?"

"Yah, kau memang seperti yang Ibu duga. Tapi dalam artian negatif. Contoh sempurna seorang pengidap kounibyou."

"Makanya tadi saya tanya, apa itu kounibyou?"

"Kounibyou ya kounibyou, sebuah ungkapan umum terhadap kondisi mental yang dialami murid-murid SMA. Mereka pikir kalau bersikap sinis itu terlihat keren dan mereka selalu memberi tanggapan dengan kalimat-kalimat yang populer di internet, contohnya, Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi.[8] Ketika sedang membahas tentang pengarang novel dan manga, mereka berkata, Aku lebih senang karya yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal. Mereka mencemooh sesuatu yang sedang digandrungi orang-orang dan memuja hal-hal yang sifatnya tak jelas. Dan terlebih lagi, mereka mengejek para otaku padahal mereka sendiri sebenarnya tak berbeda jauh. Mereka menerka-nerka seakan tahu segalanya lalu menyebarkan logika-logika sesat. Intinya, mereka tak disukai orang-orang."

"Tak disukai orang-orang... cih! Sangat logis, hingga saya tak bisa menyangkalnya!"

"Oh, bukan begitu, Ibu ini sedang memujimu. Murid-murid zaman sekarang sudah pintar-pintar dan mudah menerima kenyataan. Sebagai guru, Ibu takkan mengejek kesalahan yang kauperbuat. Maksudnya, Ibu menganggapmu layaknya orang yang sudah dewasa, jadi ini sama seperti kita sedang berbisnis."

"Murid-murid zaman sekarang, ya?" Aku hanya bisa tersenyum kecut. Pernyataan barusan itu sudah tampak jelas dan aku jadi merasa sedikit jengkel, karena itu aku sempat berniat membantahnya. Meski begitu, kusadari Bu Hiratsuka menatap mataku dengan serius dan aku pun cuma bisa mengangkat bahu.

"Kau memang terlihat sedang mengatakan hal-hal keren tapi itu justru menandakan karakteristik asli seorang kounibyou."

"Oh... benarkah?"

"Sebenarnya Ibu tak mau kau jadi besar kepala, tetapi Ibu memang sedang memujimu kok. Ibu senang dengan orang yang memegang teguh pendiriannya, meskipun orang itu menyimpang."

Mendengar beliau yang tiba-tiba berkata senang malah membuatku terbengong layaknya orang bodoh. Aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.

"Jadi, sebagai orang yang sudah menyimpang, bagaimana pendapatmu tentang Yukino Yukinoshita?"

Langsung kujawab. "Gadis yang kurang ajar." Aku membencinya seperti ingin memberi racun pada orang yang berkata, Lebih baik kau menyerah saja menggubah lagu Concrete Road.[9]

"Begitu rupanya." Bu Hiratsuka menyengir. "Ia memang murid sempurna yang berada di luar kewajaran, tetapi... yah, bagi mereka yang mereka diberkati sesuatu, tentunya akan ada penderitaan tersendiri ketika memiliki sesuatu itu. Biar bagaimanapun, ia tetap gadis yang sangat manis."

Dalam hal apa? Pertanyaan itulah yang mencuat di benakku.

"Ia pun pasti mengidap penyakit yang hampir sama. Yukinoshita orang yang jujur dan senantiasa benar, namun sekelilingnya tak demikian dan justru bersikap tak adil. Ibu yakin hidupnya penuh kesulitan."

"Ia tak selalu benar, tapi saya yakin sebagian besar orang-orang akan setuju dengan Ibu." Bu Hiratsuka langsung melihatku seolah ingin berkata, Itulah yang Ibu pikirkan.

"Sudah Ibu duga seperti itu — kalian berdua saling bertolak belakang. Ibu jadi khawatir. Tak ada satu pun di antara kalian yang bisa berbaur dengan baik di masyarakat, karena itu Ibu mengumpulkan kalian dalam satu tempat."

"Itu memang seperti ruang karantina..."

"Sepertinya begitu. Menyenangkan saat melihat tingkah murid-murid seperti kalian berdua ini. Mungkin Ibu cuma sekadar mau lihat bagaimana jadinya kalau kalian akrab." Beliau lalu tertawa gembira.

Kemudian, seperti yang sudah-sudah, beliau dengan cepat mengunci pergelangan tanganku. Kedua lengan beliau sudah menguciku di seputar tubuhnya, merangkul tanganku di setiap sisinya. Bela diri campuran ini pasti pengaruh dari manga. Sikutku sampai mengeluarkan bunyi patahan seiring payudara besar Bu Hiratsuka yang menggesek-gesek lenganku.

...ampun deh. Lagi-lagi aku kesulitan untuk lari dari jurus beliau yang satu ini. Sungguh menjengkelkan, tapi lama-lama aku pun akhirnya pasrah saja.

Sudah cukup, aku tak tahan lagi.

Saat itu sesuatu terlintas di pikiranku, karena jumlahnya ada dua, maka seharusnya kata itu disebut dengan lengkap, yaitu, sepasang payudara.


— II —


Catatan Penerjemah

  1. Mengacu pada penjara besar Cassandra yang dikuasai oleh Ken-Oh (Raoh sang Raja Tinju, 拳王) yang ada dalam manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) Penjara itu juga dikenal dengan sebutan Kota Ratapan Iblis dan digunakan untuk memenjarakan para ahli bela diri yang gulungan kunonya telah direbut oleh Ken-Oh. Semua itu dilakukan demi ambisi Ken-Oh yang ingin menciptakan aliran bela diri pamungkas.
  2. Merujuk pada julukan yang disematkan untuk Kenshiro dalam manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara). Karena reputasinya yang sering menyelamatkan kaum lemah dari kumpulan geng yang berkeliaran di wilayah yang porak-poranda karena bencana, sehingga orang-orang pun menjulukinya sebagai Penyelamat Akhir Zaman (世紀末救世主, Seikimatsu Kyuuseishu).
  3. Yang dimaksud adalah pertunjukkan hiburan berupa musik, komedi, sandiwara, bahkan tari-tarian yang menggunakan cosplay. Cosplay sendiri berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film animasi.
  4. Berdasarkan karakter Souza/Souther dari manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) yang memiliki kelainan tubuh Dextrocardia Situs Inversus Totalis di mana jantung serta titik vital tubuh lainnya menjadi terbalik dari kiri ke kanan. Karakter tersebut memiliki kenangan tragis yaitu membunuh gurunya sendiri, oleh karena itu ia menampik segala bentuk perasaan cinta dan kasih sayang. Ia kemudian menyebut dirinya sebagai Kaisar Suci (聖帝, Seitei) dan memperbudak anak-anak untuk membangun Makam Kaisar Salib Suci (聖帝十字陵, Seitei Juuji Ryou), sebuah tempat pemujaan yang diperuntukkan bagi gurunya.
  5. Kounibyou (高二病) secara harfiah diterjemahkan menjadi Penyakit Murid SMA Kelas 2. Dicirikan mirip dengan chuunibyou (Penyakit Murid SMP Kelas 2) di mana para pengidapnya memiliki rasa percaya diri yang terlalu berlebih.
  6. Keigo Higashino adalah penulis novel kawakan dari Jepang yang terkenal dengan karya-karya misterinya sedang Koutarou Isaka adalah penulis khusus kisah-kisah detektif.
  7. Gagagaga Bunko adalah label penerbit light novel dari Perusahaan Penerbit Shogakukan. Oregairu adalah salah satu light novel terbitannya. Sedang Kodansha Box adalah bagian dari Perusahaan Penerbit Kodansha.
  8. Pernyataan menurut buku aslinya (Bahasa Jepang) adalah Hataraita make (働いたら負け). Itu adalah ucapan yang umum dilontarkan para pelajar maupun pengangguran yang meyakini bahwa tak ada gunanya bekerja jika hasil yang didapat tak sepadan dengan yang dikerjakan.
  9. Concrete road adalah lagu yang dibuat oleh Shizuku yang merupakan karakter utama dari film Mimi wo Sumaseba produksi Studio Ghibli. Seiji Amasawa yang merupakan lawan main Shizuku, bersikap kejam pada awalnya dan menyuruh Shizuku untuk menyerah ketika menggubah lagu Concrete Road. Setelahnya, Shizuku menggerutu sambil berkata, Kurang ajar berkali-kali sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya. Hachiman berpikir begitu untuk menggambarkan sedemikian bencinya ia pada Yukinoshita. Concrete Road sendiri adalah parodi dari lagu Take Me Home, Country Road yang dipopulerkan oleh John Denver.
Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 3