Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 10

From Baka-Tsuki
Revision as of 15:22, 17 August 2014 by Cievielsan (talk | contribs) (Created page with "== '''Firebird, Luar negeri, tas obat''' == Malam itu, setelah aku selesai makan malam, aku latihan bass lagi. Di tengah latihan, aku mendengar suara benda berjatuhan dari kam...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Firebird, Luar negeri, tas obat

Malam itu, setelah aku selesai makan malam, aku latihan bass lagi. Di tengah latihan, aku mendengar suara benda berjatuhan dari kamar utama. “Ohhh….. Membahagiakan sekali kalau kematianku nanti dikubur oleh tumpukan CD musik dari berbagai zaman……”

Di dekat pintu Tetsurou dengan setelan rapihnya—pemandangan langka—sedang terkubur diatas tumpukan CD yang berjatuhan. Dia menatap langit-langit sambil bergumam sendiri.

“Tolong rajinlah menabung sebelum kau meninggal.” Bukannya aku sudah merapikan tumpukan CD itu ya? Sesering apapun aku merapikannya, CD itu pasti akan ditumpuk sampai setinggi-tingginya—percuma juga kalau dirapikan. Aku mengeluh sambil menggali tumpukan CD yang menibani Tetsurou.

“Kalau aku mati, kau harus menaruh Stravinsky <Firebird> di dalam petiku. Terus jangan mainkan <Requiem Mass in D minor> atau lainnya, kau hanya boleh memainkan <St Matthew Passion>! Setelah itu aku akan menulis ulang partiturnya bersama Jesus Christ dan aku akan hidup kembali dalam 2 hari.” “Gausah repot-repot, lebih baik kau pergi ke neraka dan jangan balik lagi! Bukannya aku sudah memberitahu kalau sedang minum panggil aku?”

“Ah,mhmm. Sudah lama aku tidak bertemu dengan teman sekelasku dari sekolah musik…… Urgg….” Pemusik hebat dari zaman yang berbeda, lalu setelan pakaian satu-satunya milik Tetsurou, menjadi kotor dan bau karena cairan yang sudah menempel. Temannya pasti udah setengah mati karena pingsan. “Ahhhh. Sepertinya aku harus mengirim ini ke laundry.”

Setelah muntah di toilet, Tetsurou kembali dengan wajahnya yang pucat pasi. Bahkan setelah sekian lama aku melihat setelannya yang sering kotor, ia berbuat seolah hal itu gak ada hubungannya dengan dia. Hanya ada satu kemungkinan Tetsurou berpakaian rapih seperti ini : yaitu konser. Mungkin karena termasuk pekerjaannya, ia harus sering pergi ke konser, tapi, ia hanya punya satu setelan rapih. Apa yang harus kuperbuat? Untuk sekarang ini, sepertinya aku harus memberinya secangkir lemon hangat biar dia gak pingsan.

“Uuuuh, kalau diingat-ingat. Aku ini laki-laki yang beruntung. Istriku pergi meninggalkanku, tapi Tuhan memberikanku seorang anak yang sangat peduli denganku.”

Oh ibu, kenapa kau tidak berusaha keras untuk menjadi hak asuh?

“Aku sudah bosan dengan wanita. 5 teman sekelasku single, dan 3 dari mereka bahkan sudah bercerai!”

Tetsurou bernyanyi dengan liriknya sendiri dengan nada <Rigoletto>—<La donna è mobile>. Dengan kesal aku menutup kepalanya dengan plastik sampah agar diam. Pikirkan tetangga kita, dan berhentilah bernyanyi! [TLNote: 'La donna è mobile' diterjemahkan ke Inggris'Woman is fickle', kalau di terjemahkan ke Indonesia ‘Wanita itu plin-plan.]

“Sama sepertimu kan? Kau sudah membuang gitar atau apalah punyamu itu, kan?” “Aku masih memainkannya! Jangan mengurusi urusanku seperti orang bodoh!” aku menunjuk bassku yang tergeletak di sofa. “Tapi permainanmu sangat buruk tau?” “Yah, maaf aja soal itu!” Jadi apa suaranya terdengar sampai keluar? Sepertinya untuk hari esok aku tidak akan memakai ampli lagi saat berlatih di rumah. “Aww, Kenapa? Apa bagusnya dari dia? Ah, Ebisawa Mafuyu, kan? Kemarin-kemarin kau menyebut dia. Dia lumayanlah. Kau tau, ini konyol lho….. biasanya foto cover album musisi perempuan diambil dari wajahnya—khususnya seorang pianis. Kalau biasa aja, fotonya sedikit dimiringkan dari wajahnya, kalau cantik, fotonya diambil langsung dari depan wajahnya. Aku sudah menjalani profesi ini selama 15 tahun, dan untuk pertama kalinya Mafuyu difoto bagian belakang atas—Eh? Kenapa ya, Nao? Memangnya kenapa harus difoto disitu?

"Diamlah."

Aku memercikan segelas air ke wajahnya Tetsurou “Apa yang kau lakukan…. Hari ini Nao dingin sekali. Apa kau membenciku?”

"Hei, Tetsurou......"

"Mmm?" “Apa kau membenci panggilan konsumsi pajak?” “Huh? Pertanyaan macam apa itu?”

"Jawab saja." “Mmm, kalau ditanya benci atau gak….. mungkin jawabannya benci. Tapi aku sudah lama membayar pajak, jadi aku sudah lupa rasa bencinya itu.”

"Mmm, itulah yang kurasakan."

"...... Apa aku boleh menangis?"

"Keluar saja kalau mau nangis!"

Tetsrou mengapit botol whiskey nya ke dalam sikutnya dan sepertinya ia benar-benar akan pergi keluar. Kalau dipikir-pikir ini bisa mengganggu tetangga lagi, aku harus menghentikannya sekarang. Sadar dengan umurmu dan cepatlah tidur!

“Kalau dipikir-pikir kau tidak akan cocok dengan Ebisawa Mafuyu. Karena…… ya kau taulah, kau ini anak seorang kritikus musik, dan dia juga tau siapa aku ini. Sebenarnya, tadi aku baru kembali dari konser Ebichiri di Jepang. Sehabis konsernya aku mengajaknya minum, tapi dia bilang harus datang ke live TV show, karena itu dia menolakku. Saat perjamuan makan, kami mengobrol satu sama lain. Sepertinya ia tinggal di Jepang hanya sebulan, setelah itu ia akan berkelana saat bulan Juni. Mungkin dia akan balik ke Amerika.”

"Sepertinya kau salah paham, aku sama dia itu—Eh?"

Ebichiri—Ayahnya Mafuyu—balik ke Jepang? Dan dia akan kembali ke Amerika bulan Juni. Tunggu, di bulan Juni Mafuyu kan….. jadi karena itu?

“…… Bagaimana dengan Mafuyu? Apa kau mendengar sesuatu darinya?”

"Hah?"

"Bukan apa-apa. Jadi, apa nanti dia akan ikut balik ke Amerika?"

Di akhir tahun ini, Mafuyu mungkin saja akan terbang bersama ayahnya ke Eropa dan Amerika untuk ikut tur dunia. Dia tidak bisa melakukan hal sia-sia lagi seperti pindah ke sekolahku hanya untuk satu bulan, ya kan?

“Menurutku dia tidak akan main piano lagi. Tadi aku dengar kabar kalau para kritikus mengkritiknya dengan sangat jahat. Bahkan setelah dia mengikuti kompetisi yang tidak ada hubungannya dengan Ebichiri, dan memenangkannya. Tapi bagaimanapun juga, dia akan selalu menanggung beban berat nama ayahnya.

"Ah......" Aku jadi ingat kejadian saat Mafuyu menatapku, penuh dengan kebencian. “Kritik-kritik yang nyata hanyalah sebuah masalah. Semuanya cuma sampah.” Dia juga mengatakan hal ini.

“Permainannya itu seakan minta di kritik. Seperti, dirinya yang tidak bersemangat; permainannya yang terlalu tenang; bagian presentasinya yang buruk; musik yang ia keluarkan seperti serangga yang merangkak; atau permainannya yang terlalu bergantung pada teknik…. Bahkan aku bisa memikirkan kritik jahat dengan cepat saat ia bermain. Dan kalau aku mau, aku mungkin bisa menulis sebanyak 3 lembar tentang permainannya. Tapi jika aku melakukannya, aku mungkin adalah orang terbodoh—bukan berarti permainanmu dianggap bagus karena memainkannya dengan penuh semangat.


"Jadi itu alasan Mafuyu tidak bermain piano lagi?" “Entahlah. Para kritikus lain juga menulis tentang kehidupan pribadinya, meski itu ga ada hubungannya dengan musik, ya mungkin itu karena dia adalah anak dari Ebichiri. Kau taukan kalau ibunya yang orang Hungaria itu sudah cerai sekarang.

“Ah…. Jadi dia bener anak blasteran ya.”

Beberapa saat aku mengingat kejadian dimana aku memperbaiki recordernya. Hungaria.

“Ah—kau tidak tau soal itu? Yah, lebih baik masalah ini ga usah dibahas lagi. Aku jadi seperti paparazzi yang hina.”

Tetsurou membuka tutup botol whiskey-nya lalu meminumnya. aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menahannya.

Saat aku menjalani kehidupan santaiku sebagai murid SMP di Jepang, Mafuyu sudah berada di seberang lautan, dibawah pengawasan rasa ingin tahu dan benci di sekelilingnya, hidup dengan rasa takut yang menggentayangi saat bermain piano. Kehidupan macam apa itu? Aku tidak bisa membayangkannya.

Bagaimanapun, aku masih memikirkan permasalahan utama. Kalau dia sudah menyerah untuk bermain piano, kenapa sekarang dia beralih ke gitar?

Keesokan harinya, saat aku berjalan menuju kelas, aku mendengar teman di kelasku sedang mendiskusikan suatu acara di tv kemarin.


"Acaranya ditayangin langsung?"

"Ya, sepertinya dia sudah kembali ke Jepang."

"Wawancaranya?" “Mereka membicarakan yang tidak kumengerti. Tidak seperti mendengar musik klasik yang mudah dicerna.”

"Apa mereka mirip?"

"Tidak begitu. Tuan putri mungkin akan ikut dengan ibunya?" Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka, aku jadi tau kalau mereka sedang membicarakan Ebichiri. Sekilas aku menoleh ke tempat duduk Mafuyu.

“Host nya juga bertanya seperti itu.”

“Bapak sama anak itu hubungannya ga harmonis kan?

Aku berpikir sejenak—kalian tau kalau Mafuyu sebentar lagi akan masuk ke kelas, dan kalian masih membicarakannya dengan suara yang keras?

"Nao, ayahmu itu teman sekelas Ebichi, Kan?"

"...... Kenapa kau tau?" “Maki yang bilang! Dia juga bilang, saat Ebichiri masih mengajar, ayahmu sudah semena-mena main dengan berbagai macam perempuan.”

Maki…. Tolong jangan melebih-lebihkan saat bercerita kepada mereka.

“Apa, jadi Nao tidak tau tentang tuan putri sebelumnya.”

“Tapi dari yang kulihat kemarin, Ebichiri terus mengalihkan topik yang selalu ditanyakan host tentang anaknya. Apa kau tau alasannya?"

"Urm, sini......" Aku memindahkan bassku yang berpangku di pundak lalu aku sandarkan di meja. Kemudian, aku mengumpulkan keberanianku dan berkata, “Berhenti membicarakan tentangnya, oke?

Orang-orang menatapku dengan tatapan kaget. Aku berpura-pura merapikan bukuku, lalu berkata lagi,

“Biarkan saja dia, oke? Dia itu seperti anakkucing liar yang terluka—kalau sekali saja kalian mendekatinya, dia akan langsung mencakar; tapi kalau kalian membiarkannya sendiri, dia tidak akan mengganggu. Dia punya masalahnya sendiri saat tur Amerika dan semacamnya, jadi—”

Saat aku berkata itu semua, orang-orang yang memandangiku mengalihkan pandangannya. Tusukan yang tajam serasa di bahuku. Aku membalikkan badan, dan melihat Mafuyu berdiri di depan kelas. Wajah kemerahan muncul dibawah kulitnya yang berwarna terang. Mungkin karena ibunya yang berdarah Hungaria? Matanya yang besar menatapku—bukan tatapan marah, tapi agak seperti, kaget.


"...... Ah, ini, aku tidak......"

Aku tidak yakin apa yang sebenarnya ingin aku katakan.

"Kau pasti sudah sangat ahli menyebarkan berita."

Gumam dirinya sambil berjalan ke arah tempat duduknya. Orang-orang disekitarku tiba-tiba sudah pergi entah kemana.

"I-ini bukan seperti yang kamu pikirkan."

"Tolong jangan berbicara padaku." Suara Mafuyu bagaikan dua belah sisi tajam gunting, yang memotong jarak diantara kita berdua. Aku hanya bisa diam. Orang-orang disekitarku yang sudah pergi menjauhiku berkedip-kedip padaku menandakan rasa takut.

Dengan terburu-buru Chiaki memasuki kelas setelah bel berbunyi. Saat dia berjalan melewatiku dan Mafuyu, dia menyadari atmosfer berbahaya.

"Ada apa ini?" Dia menoleh padaku, kemudian ke Mafuyu. "Kalian berdua bertengkar lagi?"

"Aku tidak pernah bertengkar dengannya, karena itu tolong jangan pakai kata ‘lagi’"

Kata Mafuyu sambil membuang mukanya. Chiaki sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum itu aku sudah menarik lengannya dan memohon padanya agar dia tidak mengatakan apapun lagi. Lupakan tentang pembicaraan itu, semenjak tadi Mafuyu tidak pernah menoleh kepadaku. Dia bahkan segera keluar kelas setelah bel istirahat berbunyi.

"Dia marah......"

"Tuan putri marah......" Semua orang di kelas bergumam penuh penyesalan, tatapan mereka pun langsung tertuju padaku. Kali ini memang benar-benar salahku, tidak ada pilihan lain lagi bagiku selain berdiri dan keluar kelas.

Aku berjalan di halaman sekolah menuju ruang latihan musik di bangunan tua. Gembok yang biasanya terpasang di pintu tidak ada, dan pintunya pun cukup terbuka. Perlahan aku memasuki ruangan itu, tidak ada orang. Ada apa ini?

Aku berjalan di ruangan itu dan melihat sebuah gitar yang tersambung dengan amplifier; sebuah pick tergeletak di salah satu meja. Sepertinya seseorang setelah masuk langsung keluar secara terburu-buru. Artinya, mungkin akan baik-baik saja kalau aku menunggu dia disini, kan? Terus aku harus mewujudkan entah bagaimana caranya untuk meminta maaf padanya. Lagipula, kenapa Mafuyu marah padaku?

Aku duduk di bantalan empuk yang diletakkan di atas meja sambil berpikir bagaimana caranya meminta maaf. Dengan tidak sengaja aku menjatuhkan pick-ku ke lantai karena tanganku. Ini mungkin pick-nya Mafuyu. Sebelum aku mengambil kembali pick itu—bentuknya rada aneh.

Ngomong-ngomong, pick adalah plastik tipis yang berbentuk segitiga atau seperti onigiri. Bagaimanapun, picknya mafuyu berbentuk lingkaran di kedua sisinya.

Aku menyentuh lingkaran plastik itu dengan jempol dan jari telunjukku, dan posisi jariku sekarang seperti memegang pick seperti biasanya. Biarpun begitu, aku belum pernah melihat pick seperti ini. Aku pernah lihat pick jari atau pick jempol yang melindungi jari-jari itu, tapi pick berbentuk lingkaran—

"Jangan disentuh!" Suara datang dari arah pintu, aku berada di tempat pick itu jatuh. Mafuyu mendorong pintu dengan pundaknya. Aku mengembalikan pick itu ke posisi semula, kemudian aku pergi menjauhi meja tersebut.

"Urm, dengar...... Aku minta maaf."

Aku menunduk dan melihat dia sedang menggenggam plastik kresek kecil warna putih dengan tangan kirinya……. Apa itu obat?

"Apa kamu sakit?"

Mafuyu kaget mendengar pertanyaanku, dan ia berkata, “Bukan apa-apa.” Kemudian ia menaruh plastik obatnya itu dibawah bantal. Jadi dia baru balik dari rumah sakit?

"Apa maumu?"

Mafuyu mengatakannya dengan nada mengeluh, perilakunya seakan ingin mengusirku sesegera mungkin. Sangat menakutkan kalau dia benar-benar berperilaku seperti itu.

Tanpa basa basi aku mengatakannya, “Aku kesini untuk minta maaf padamu.” sambil memikirkan kalimat selanjutnya, Mafuyu berkata.

"Kenapa? Kenapa kau minta maaf? Katakan saja tentangku pada semua orang, aku tidak peduli."

“Hei, aku jelasin, jadi tolong dengar,” kataku sambil menekan emosi. “kemarin, Tetsurou—ngomong-ngomong dia ayahku—pergi mabuk-mabukan dan mendengar rumor dari beberapa kritikus lainnya. Dia bilang beberapa kritikus Amerika sudah menuliskan hal-hal buruk padamu. Bagaimanapun, dia tidak mengatakannya secara rinci, jadi—“

"Jadi karena itu kau minta maaf padaku!"

Emosiku seakan langsung membakar wajahku.

"Jangan menyela perkataanku."

“Apa, jadi kau kesini hanya untuk marah padaku?"

"Bukan seperti itu, ok?" aku menekan perkataanku lagi sambil menekan emosi semaksimal mungkin. "Oke, aku mengerti. Aku kesini meminta maaf atas nama para kritikus yang hanya menulis hal sampah."

Kebiasaanku berbicara kasar keluar, kedipan Mafuyu seakan kaget, termasuk ekspresinya mukanya yang juga terkejut

"Tapi kau bukan kritikus, kan? Yang kritikus itu ayahmu.”

"Aku termasuk."

Mafuyu memiringkan kepalanya. Tatapannya penuh dengan kebingungan. “Benar. Sekitar empat atau lima kali aku pernah menulis artikel atas nama Tetsurou, dan artikel itu terbit di majalah musik. Karena itu, aku beralasan untuk meminta maaf padamu, kan?

Mafuyu menggit bibirnya. Setelah itu, dia melihat lantai dan kepalanya bergetar.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Jadi apa maumu? Dia mengatakannya dengan suara yang agak bergetar.

"Kenapa? Kenapa kau meminta maaf padaku? Sudah cukup aku menerima perilakumu yang buruk."

"Jadi kamu sudah menyadarinya?"

"Bodoh."

Mafuyu mengangkat kepalanya. Matanya dipenuhi warna langit yang pudar—seperti saat pertama aku bertemu dengannya, perasaan basah, seakan sebentar lagi akan hujan.

"Aku tidak peduli dengan benda menjijikan itu. Tidak peduli bagaimana mereka menulis tentangku atau apa yang mereka tulis tentangku, aku tidak peduli. Selain itu, aku bukan….. aku bukan….” Samar-samar aku mendengar suara Mafuyu yang berombak dari kejauhan, dan lama kelamaan aku sadar kalau dia sulit bernapas. Aku jadi penasaran—sebenarnya dia itu darimana? Perempuan ini susah dibayangkan, aura ungu kusam yang menyelimuti dirinya, harusnya dia berada di depanku—tapi kenyataannya, seberapa jauh aku dengannya? Kenapa….. suara dan tanganku tidak bisa meraihnya?

Mafuyu menyandarkan gitarnya lalu duduk di meja, memeluk lututnya yang menyentuh dada dan mengubur dalam wajahnya. Kesuraman saat hujan turun, tapi mungkin hanya dia yang merasakannya.

Aku jalan keluar menuju kelas, tapi samar-samar aku masih bisa mendengar suara hujan yang turun. Bagaimanapun, langit pada bulan Maret tidak bertanggung jawab untuk cerah, dengan satu atau dua awan diatas yang menggarisi bangunan.

Aku berpikir sendiri—aku pasti melupakan sesuatu; aku pasti melupakan sesuatu yang sangat penting tentang Mafuyu. Bagaimanapun, aku masih belum tau apa itu. sampai sekarang, aku baru mengerti sesuatu, tapi perasaan itu ditelan semua oleh awan hujan di imajinasinya. Aku menarik badanku, serasa basah kuyup, lalu jalan kembali ke kelas.