Sword Art Online Bahasa Indonesia:ME 6
Pertempuran Algade
(Lantai 22 Aincrad, Oktober 2024)
Di suatu sore, beberapa hari setelah hidup baruku yang
telah menikah dengan Asuna dimulai, di dalam rumah kayu
yang berada jauh di pelosok hutan lantai 22 Aincrad.
Selagi berbincang mengenai tempat yang sudah kita kunjungi
siang tadi atau masakan yang kita makan, di atas sofa yang
bertempat di depan perapian, Asuna tiba-tiba mengungkapkan
pikirannya.
"Hei, Kirito-kun. Menurutku, mungkin orang itu bukan NPC
melainkan pemain......"
".........Haa?"
Tidak mengerti topik yang mendadak, mulutku tetap sedikit
terbuka. Sambil duduk berdampingan di atas sofa, bibirnya
terus mengisap cangkir tehnya.
"Yaaa, pemilik toko itu, aku tadinya percaya dari sana
kalau dia adalah NPC tanpa ragu...... Tapi hari ini, entah
kenapa, waktu aku mengamati wajahnya, aku tiba-tiba merasa
kalau orang itu sebenarnya adalah pemain."
Subyek pembicaraan kita adalah sebuah restoran. Letaknya
jauh di belakang dari belakang dan bahkan lebih jauh lagi
ke belakang dari bagian bawah blok kota utama «Algade» di
lantai 50. Jika kita pergi ke sana tanpa peta, bukan saja
sampai di sana, kembalinya pun akan sulit. Sebenarnya,
«Restoran» bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikannya,
«Toko Makanan» akan lebih cocok. Namanya adalah «Rumah
Algade».
Bangunannya terlihat seperti akan runtuh jika diterpa angin
yang kuat. Ada tirai penanda yang tergantung pada pintu
masuknya yang merupakan pintu geser. Bagian dalamnya
berlantai batu—atau lebih tepatnya lantai beton yang polos,
terdapat dua meja dan empat kursi lagi di konternya. Semua
perabotannya memiliki aura murahan yang kuat, dan juga itu
memang bukannya sengaja disusun agar terlihat murah.
Di menunya, hanya ada 3 pilihan. «Algade Soba[1]», «Algade
Panggang» dan «Algade Rebus», tidak satu pun diantara
ketiganya memiliki motivasi dibalik penamaannya. Mereka
adalah, dari urutan menu, ramen yang tidak terlihat seperti
ramen, okonomiyaki[2] yang tidak terlihat
seperti okonomiyaki, dan yang terakhir, aku masih belum
punya ide makanan apa itu seharusnya.
Pesanannya lalu dimasak oleh penjaga toko yang sama.
Sewaktu Asuna bilang «pemilik toko itu», Pikiranku
membayangkan si pemilik yang berpostur pendek memakai baju
kerja putih dan toque[3] putih, yang wajah bulat tak diketahui
umurnya tersembunyi di balik gombak[4] panjangnya, lalu akhirnya aku menjawab.
"......Pe..Pemain? ......tapi orang itu tidak mengatakan
apa-apa......"
"Setidaknya dia bilang ‘Selamat Datang’ dan ‘Terima
Kasih’."
"Tapi itu hal biasa untuk NPC. ......sebenarnya kalau kamu
mengarahkan kursornya ke dia......"
Sampai di sini, aku menyadari sesuatu.
Ada perbedaan jelas antara pemain dengan NPC, memfokuskan
pandangan pada suatu sasaran akan memunculkan «Kursor
Berwarna». Meski keduanya sama-sama berwarna hijau, untuk
seorang NPC, di bawah bar HP nya akan terpampang jelas
"NPC". Tapi metode pembedaan ini tidak bisa bekerja di
dalam toko, karena di dalam toko diklasifikasikan dalam
bangunan, alasannya adalah pertimbangan sistem. Mungkin
mustahil untuk makan dengan tenang jika kursornya terus
muncul kapanpun melihat seseorang, jadi kalau aku
memfokuskan tatapanku ke pemilik toko itu pun, kursornya
tidak akan muncul.
Tapi, biasanya tidak ada orang yang peduli dengan
menentukan seorang NPC, karena mereka sudah sangat jelas
dengan sekali pandang. Berbeda dengan darah dan daging
manusia yang beroperasi melalui NerveGear, NPC yang
dikontrol sistem punya karakteristik unik. Setelah
terpenjara di dalam SAO selama dua tahun, siapapun bisa
tahu apakah orang lain adalah pemain atau NPC tanpa
berpikir sekalipun—selagi aku memikirkannya, otakku
memeriksa lagi pose berdiri yang suram si pemilik Rumah
Algade itu.
Lalu, mataku terbuka lebar keheranan.
"......Ini buruk, entah kenapa aku tidak bisa yakin."
"............Iya kan?"
Asuna tersenyum senang untuk beberapa alasan.
Senyumannya, yang belum berubah sejak pertama kali kita
bertemu, tembus menembak hatiku, kapan pun hal ini terjadi,
aku selalu merentangkan tanganku untuk menggapainya sambil
kepusingan. Tapi kali ini, wajah si pemilik Rumah Algade
yang mengambang-ambang di kepalaku mencegahnya.
Aku menggaruk kepalaku untuk mendorong bayang-bayang tak
menyenangkan itu keluar.
"Tidak, tetapi apa mungkin seseorang bisa tidak dikenali
apakah dia pemain atau NPC? Aku yakin pasti ada cara
sederhana untuk memeriksanya......"
"Bagaimana kalau memeriksa reaksinya setelah diserang? Tapi
begitu kita memakai berbagai macam metode nekad dan
ternyata dia adalah pemain, kita tidak akan bisa kembali ke
toko itu lagi. ......Yah, sekarang, aku tidak ingin kembali
ke sana juga sih."
"Tidak, aku terganggu, benar-benar terganggu."
Asuna lekas menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.
"......Kirito-kun, apa sih yang kamu suka dari toko itu?
Sudah setengah tahun sejak pertama kali kamu membawaku ke
sana, aku benar-benar tidak mengerti......"
"Tentang itu, aku sendiri tidak tahu alasannya. Atmosfer
yang tidak ramah, makanannya buruk...... tapi sekali-sekali
aku tidak bisa menahan dorongan untuk mencoba ramen
misterius itu lagi."
"Itu bukan ramen sih, ......Yah, kenapa tidak tanya saja?
Anda NPC atau pemain, seperti itu."
Karena sudah mempertimbangkan ide Asuna beberapa detik
lalu, aku menggelengkan kepala.
"Tidak, pasti gagal. Ketidakramahan pemilik toko itu
seperti sepuluh Heathcliff digabung. Aku yakin sepenuhnya
pertanyaan kita akan diabaikan. Yah, tempat itu juga tempat
yang bagus sih.”
"B..Benar, ......kita biarkan saja sebagai misteri. Maaf
karena aku sudah memulai topik aneh, kamu mau kue lagi?"
Setelah mengatakannya, Asuna berdiri, tapi aku lekas
menggenggam tangan kirinya dan menariknya kembali.
"......Tidak, tidak bisa kubiarkan."
"Eh?"
"Merasa gelisah lagi dan lagi seperti ini akan jadi tak
tertahankan, aku tidak bisa kembali ke garis depan sampai
aku tahu pemilik toko itu manusia atau NPC."
Begitu mendengarnya, 'Jangan berbicara seperti itu!'
terlihat jelas pada ekspresi Asuna, tapi dia duduk lagi
tanpa mengatakannya.
"......Tapi, kalau begitu, kita harus berbuat apa? Aku
tidak tahu cara apapun untuk memastikannya, dan bertanya
juga tidak mungkin kan?"
"Tidak, ada satu cara. Singkatnya, cuma melihat kursor saat
si pemilik itu di luar toko sudah cukup. Sebagai seorang
pemain, dia pastinya perlu keluar untuk membeli bahan
makanan, sedangkan NPC juga punya perilaku spesifik seperti
bersih-bersih di luar toko."
"..................Ja..Jangan bilang..."
Wajah Asuna menjadi kaku dan dia mencoba melarikan diri
dari sofa lagi, tapi kurebut kedua bahunya dan berkata,
"Oke, besok ayo berkemah disana jam enam pagi. Ada gang
kosong di seberang jalan, kita tidak akan dicurigai kalau
mengintai dari situ."
"..................Dingin, pastinya, sangat dingin."
"Iya, kita butuh perlengkapan tahan dingin! Aku yakin kita
punya cukup untuk kita berdua di gudang, lalu kotak makanan
juga diisi dengan bahan-bahan yang menambah ketahanan
dingin. Persiapannya sekarang sempurna, kuserahkan padamu
Asuna!"
Terhadap kata-kataku yang menyembur keluar, wajah Asuna
menjadi sangat kompleks lalu merespon dengan 'Oh~'. Tapi
antusiasme tampak hilang dari ucapannya karena beberapa
alasan.
Hari berikutnya.
Selagi hari masih gelap, mengenakan mantel bulu yang tebal,
kita memasuki posisi observasi di jembatan pejalan kaki di
seberang atap Rumah Algade.
Enam jam kemudian.
Kita dipaksa mundur setelah menyadari bahwa harapan kita
tidak membuahkan hasil.
"......Dia tidak keluar sama sekali, ya kan!"
Di kafe terbuka sekitar jalan utama, Asuna protes setelah
dengan cepat meminum susu panas dan meletakkan cangkir
kosongnya kembali ke meja.
"Bahkan sebelum itu, tirai tandanya ditinggal saat malam,
dan juga tidak ada indikasi pembersihan bagian luar. Aku
sangat terganggu!"
"............Hee-hee maaf[5] tentang itu."
Pertama aku harus minta maaf atas nama si pemilik toko.
Tingkat kelesuan Rumah Algade jauh lebih tinggi dari yang
diperkirakan. Sang pemilik toko tidak pernah keluar untuk
membeli persediaan maupun membersihkan bagian luar. Satu-
satunya perubahan yang kita amati adalah pelat tanda di
pintu gesernya, yang berubah dari "Tutup" ke "Buka" pukul
sepuluh. Tentu saja, tindakan itu saja belum cukup untuk
menentukan apakah dia pemain atau NPC.
".............Hmm, tapi bahan makanannya harusnya akan
habis...... Lalu dia pastinya harus keluar untuk menyetok
ulang......"
Usai menyelesaikan celotehanku, Asuna membalas dengan
tatapan tajam ke arahku,
"......Terus, kamu sungguhan mau menunggu sampai itu
terjadi? Kalau kamu pikirkan lagi, toko itu bahkan tidak
punya pelanggan, berapa hari lagi sampai bahan makanannya
habis? Aku tidak akan kaget kalau ternyata butuh waktu
berminggu-minggu! Aku tidak akan melakukan itu!"
"Ma..Maaf......"
Aku minta maaf lagi, lalu berpikir mati-matian.
Sesuatu—, pasti ada suatu cara. Cara untuk memastikan
apakah dia pemain atau bukan, tanpa dia perlu mengambil
selangkah pun keluar dari tokonya.
Kalau kita tidak bisa memeriksa orangnya, bagaimana dengan
tokonya? Apa ada cara untuk menentukan apakah tokonya itu
toko pemain atau toko NPC? Jelas toko itu buatan pemain
jika ia berdiri tegak diantara bangunan-bangunan elegan di
jalanan Salemburg. Tapi ini Algade, kota paling kacau di
Aincrad, ada banyak toko yang sama mencurigakannya begitu
kita memasuki jalan belakang.
—Ini tidak baik. Sudah termasuk di dalam kelompok
clearing[6] selama dua tahun di Aincrad ini,
menerima julukan «Black Swordsman», tapi tidak mampu
menentukan apakah orang itu pemain atau NPC. Benar-benar
memalukan.
Senyum mengejek diri sendiri mengambang ke wajahku, lalu—
Sebuah ide terbesit di otakku.
"I...... Itu dia!"
"............Apa?"
Meski Asuna melirikku dengan skeptis, aku terus mengoceh,
"Kalau bahannya tidak akan habis, kita tinggal
menghabiskannya sendiri! Dengar, untuk restoran NPC,
istilah kehabisan stok tidak ada dari awalnya, makanannya
cuma muncul begitu saja dari dapur. Tapi toko pemain
berbeda, penjaga tokonya harus membeli stok atau makanannya
tidak bisa dibuat. Artinya......"
Di titik ini Asuna mendadak bangkit dari meja dan mencoba
melesat kabur. Tapi fokusku dalam meningkatkan stat Ketangkasan
menunjukkan hasilnya, tangannya tertangkap sebelum dia
mengambil jarak sedikitpun.
"—Kita cuma harus memakannya! Apapun dari menu toko itu!"
"Tidak mau! Bagaimana kalau itu restoran NPC? Makanan yang
tak terhingga banyaknya akan terus keluar, kan?"
"Kalau begitu, kita akan tahu kalau dia NPC kan? Ayo pergi
sekarang! Masalahnya—Yang mana yang kita pilih dari menu.
«Algade Soba», «Algade Panggang», atau «Algade Rebus»......
?? Asuna, kamu suka yang mana?"
Wakil ketua guild Knights of Blood, pengguna rapier yang
dijuluki «The Flash» menembakkan tatapannya ke arahku yang
mampu membuat lubang kecil di tengah dahiku usai mendengar
pertanyaanku.
Beberapa lama kemudian, dia kembali duduk di kursi dan
berujar,
"«Rebus» jelas bukan, ......«Panggang» yang kadang-kadang
mengandung benda aneh juga bukan."
"Kalau begitu «Soba». Ya, cocok untuk tantangan ini juga,
karena kita makan itu saat pertama kali ke sini."
"............Benar, tapi bukannya kita mengajak ketua guild
juga waktu itu?"[7]
Saat aku mencoba mengingatnya dengan serius, Asuna langsung
menggelengkan kepalanya.
"Cuma bercanda. —Kalau begitu, kapan kita akan
melakukannya?"
Aku menyeringai sambil berdiri, dan berkata,
"Hebat kan, kita belum makan siang di sini."
Beberapa menit kemudian.
Asuna dan aku berdiri di depan toko makanan itu, yang
sebentar lagi akan menjadi medan pertempuran duel satu arah
kami.
"............Ini saatnya."
Setelah memastikan dengan anggukan dari pasanganku— Tangan
kiriku meminggirkan tirai tanda yang kotor, sedang tangan
kananku membuka paksa pintu gesernya.
"Selamat datang."
Suara salam yang biasa di dalam konter terucap bukan lain
oleh sang pemilik toko. Aku duduk di konter alih-alih
mejaku yang biasa. Segera setelah Asuna duduk di sampingku,
aku mulai memesan.
"Dua Algade Soba."
Si pemilik toko menyiapkan mangkoknya tanpa menjawab, dua
bola mie yang misterius dilemparkan ke panci yang besar.
Dari tindakan-tindakan ini, masih belum memungkinkan untuk
memastikan apakah dia pemain atau bukan. Beberapa lama
kemudian, si pemilik toko menggunakan sumpit panjang untuk
memindahkan mie yang sudah mereda ke mangkok, penukaran air
panas, yang diperlukan di dunia nyata, tampak tak
diperlukan disini. Dia menempatkan daging yang diiris
tipis, segumpal sayuran yang telah direbus, dan telur
setengah matang, lalu menuangkan sop berwarna terang ke
dalam mangkok.
Dua mangkok telah berbaris di konter, sebuah efek suara
berdering ketika aku menarik soba itu dari tempat
penyimpananku.
Kita berdua mengambil sumpit dan berucap
'Itadakimasu'[8] bersamaan. Inilah awal ronde
pertama pertempuran.
Mengenai kuliner di Aincrad, cita rasanya dibuat ulang dari
set data cita rasa awal, namun, dengan bumbu tambahan,
orang bisa memodifikasi rasanya lebih jauh lagi. Misalnya,
Steak Coklat, yang merupakan harga diri Asuna, dibuat
dengan mencampur sedikit set bumbu ke dalam cita rasa saus
siap-buat. Dengan kata lain, dengan bantuan tangan pemain,
cita rasa masakan bisa diperkuat, dan dalam kebanyakan
kasus, memperkaya cita rasanya.
—Tapi cukup ajaib untuk mengatakan perasaan «Bahkan tidak
ada satu rasa pun» dari Algade Soba adalah hasil dari
bantuan tangan pemain. Meski sop itu telah ditambahkan
bumbu, kekuatan cita rasanya seakan telah dicairkan ke
dimensi lain, bagai lukisan yang latarnya tertulis tegas
tetapi subyeknya tidak ada.
Mungkin yang menarikku kembali ke toko ini adalah rasa yang
hilang itu, hari dimana hidangan ini akan «Lengkap»,
harapan singkat seperti itu— Tapi tentu, entah kenapa aku
tahu momen itu tidak akan pernah datang.
Selagi aku asyik melamun, Asuna, yang ekspresi wajahnya
bisa terbaca sebagai 'Kenapa ini terjadi padaku' ada di
sampingku. Kita selesai makan di saat yang bersamaan.
Kukembalikan mangkok kosongnya ke konter— lalu berkata,
"......Dua Algade Soba, tambah!"
Ada sedikit jeda di tindakan si pemilik toko, tapi mungkin
itu cuma khayalanku saja. Wajah bulat pria berusia tiga
puluh sampai empat puluhan di bawah gombak panjangnya tidak
berekspresi sama sekali, sang pemilik toko melempar dua
bola mie ke panci besarnya.
Mulai dari saat itu, pertempuran tiada akhir antara aku dan
Asuna melawan si pemilik dimulai.
Tentu, apapun yang dimakan di Aincrad, tidak akan ada yang
memasuki perut di tubuh dunia nyata. Tapi mesin reproduksi
rasa menipu otak, yang berakibat perasaan ‘kenyang’ yang
tak terhindarkan."
Sejujurnya, perasaan itu sudah datang usai mangkok kedua
habis, tetapi tidak ada jalan buatku untuk mundur.
"......Dua Algade Soba, tambah"
Perasaan kenyang ini hanyalah halusinasi, soba ini cuma
data digital. Yang artinya tidak ada yang menghalangiku
untuk memakannya selamanya. Usai menipu diri seperti itu, aku menghabiskan mangkok
ketiga dan melanjutkan ke mangkok keempat. Ada juga Asuna,
yang selalu bisa kuandalkan dalam pertempuran besar, dia
berada pada tempo yang persis sama denganku.
—Namun segera setelah dia menyelesaikan sup dari mangkok
kelima,
"............Kirito-kun, maafkan aku."
Bisikan samar bergaung dari mangkok yang dihabiskannya.
"Aku..tidak kuat lagi, aku harus menyerahkan sisanya
padamu...... Kebenarannya..kamu harus..temukan......"
Rambutnya yang berwarna kastanye berkibar, lalu «The Flash»
tumbang di konter.
—ASUNAaaaaaaaa??!!
Aku ingin meneriakkannya, tapi melakukannya bisa
menyebabkan perut virtualku membalikkan sesuatu keluar,
jadi aku membatasi diriku untuk hanya mengatakan
'Otsu'.[9]
Kuangkat wajahku dan membelalaki si pemilik toko,
"......Satu Algade Soba......tambah"
Aku juga mendekati batas.
Demi Asuna, aku tidak bisa kalah disini. Namun saat
menghisap mangkok keenam yang berisi sesuatu yang bukan
ramen, aku tak mampu menghentikan rasa takut yang bertumbuh
di dalamku.
—Mungkin dia memang benar NPC? Setelah semua yang kita
lakukan, mie dan supnya masih muncul keluar tanpa jeda. Apa
aku menantangnya dalam pertarungan dimana kita tidak punya
peluang untuk menang?
—Tidak, meski mungkin memang begitu, belum waktunya untuk
tumbang. Demi Asuna.
Mangkok ketujuh.
Mangkok kedelapan.
Bar HP perutku sekarang sudah merah tua, tapi ekspresi si
pemilik toko masih tetap tak berubah. Kuhirup mie itu satu
persatu, sambil memikirkan cara untuk membalikkan arus
situasi pertempuran saat ini.
Jika ini adalah toko ramen sungguhan, akan ada lada, tepung
ikan, atau bawang di konternya. Sehingga menyantap nikmat
bagian yang belakangan dengan mengubah rasanya itu mungkin.
Tapi toko ini tidak memiliki hal sebagus itu. Hanya ada
satu cara, dengan «Algade Rebus» sebagai pengecualian,
mencampur dua masakan yang lain itu mungkin, tapi
melakukannya sama saja dengan menghentikan diri sendiri
dengan tikaman. Kenapa «Rebus»? Aku pernah menemani Cline
dan kami memesan «Algade Rebus», kami berdua bilang
'Menyerah' cuma setelah dua suap, memang menu legenda.
—Jadi apa ini akhirnya?
Dalam kesadaranku yang makin memudar, aku mendengar suara
menghidupkan dari ingatan jauh.
Wajah Asuna, yang sedang memakan Algade Soba denganku saat
pertama-tama, berucap,
"Suatu hari aku ingin membuat saus kecap, kalau tidak
perasaan tidak enak ini tak akan pernah hilang."
"............!"
Mataku terbuka penuh, dan tanganku yang gemetaran bergerak
untuk membuka tempat penyimpanan bersama aku dan Asuna.
Mencari diantara daftar item yang sangat banyak, kutemukan
item sasaranku.
Begitu kugenggam apa yang kucari-cari, aku memiringkannya
di atas mangkok, cairan yang sedikit gelap mengalir turun
dan segera menyebabkan warna kuning tipis sop itu berubah
menjadi coklat. Wangi sedap yang tidak bisa dibandingkan
dengan apapun, bau yang terbenam di dalam dasar ingatanku
adalah— saus kecap. Hasil dari penelitian panjang Asuna,
bumbu terhebat Aincrad yang tidak seorang pun bisa
membuatnya kecuali dia.
Setelah kutaruh botol kecil itu, kugenggam mangkoknya dan
kuhirup sejumlah besar mie dan sop.
"............Ini dia."
Aku berbisik dengan suara serak. Rasa ini. Yang telah
kucari-cari, bentuk lengkap dari Soba Algade. Sudah ada
disini sekarang.
Kalau memakan ini, sebanyak apapun mangkok— Tidak, mungkin
aku bisa makan lima mangkok lagi,aku masih bisa bertempur!
—Saat itu.
Ucapan yang belum pernah kudengar di dalam toko ini
menggema dari atas kepalaku.
"............Tuan, itu, boleh saya......coba?"
Kuangkat wajahku yang kebingungan, mengangguk dan mendorong
mangkokku kepadanya.
Si pemilik yang misterius itu mengangkatnya dan memakan
sesuap mie dan sop digabung. Dia menengadah beberapa saat
sebelum menempatkan mangkoknya kembali di konter—
Segera setelahnya, dua garis air mata mengalir dari balik
gombak panjangnya.
"............Ini dia. Rasa ini... dunia nyata... rasa toko
saya!"
—Jadi anda memang pemain!
—Kalau begitu lebih ramah lagi dong!
Menelan kata-kata yang ingin kuteriakkan, aku bertanya,
"............Toko anda, dimana lokasinya?"
"Hmm, di Ogikubo[10], saya terhisap ke dalam
NetGame jadi toko itu sudah berhenti beroperasi. Tapi
begitu game ini selesai dan saya kembali ke sisi lain, saya
akan membuka toko ramen lagi. Dengan ramen ini, juga
«Panggang» dan «Rebus» juga akan tampil, jangan sungkan
untuk datang."
Air mata mengalir menuruni wajahnya, kemana karakter
pendiam yang tadi? Selagi menonton pemilik toko yang telah
memperoleh momentum bicara, aku tumbang ke konter.
Selagi kesadaranku memudar, Pikiran terakhirku adalah,
—Aku tidak akan kesana, pasti—
Catatan Penerjemah
- ↑ Soba = Mie jepang disiapkan dengan tepung soba.
- ↑ Okonomiyaki = Adonan bulat datar yang digoreng kedua sisinya.
- ↑ [http://2.bp.blogspot.com/- 7oss9ZGgyJM/Tc6sBAFetyI/AAAAAAAABXc/3Kc_b_2mQ5k/s1600/toque .png Toque]
- ↑ Gombak = Jambul (pada ayam, burung, bunga, dsb); Jambak (rambut di dahi kuda); Rambut di atas dahi (yang ditinggalkan sehabis berpangkas)
- ↑ Disini Kirito bicara maaf dengan nada kekanakan yang mengesalkan, tapi karena tidak tahu padanan bahasa Indonesianya...
- ↑ Clearing = Kelompok pemain yang menyelesaikan game di garis depan
- ↑ Mengacu pada kejadian di jilid 8 'Sebuah Kasus Pembunuhan di dalam Area'
- ↑ Itadakimasu = Ucapan yang dikatakan orang Jepang sebelum makan
- ↑ Otsu = Singkatan dari Otsukaresama yang artinya ‘Terima kasih atas kerja kerasnya.’
- ↑ Distrik di Tokyo, dikenal sebagai tempat lahir ramen Tokyo