Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 1
Bab 1: Dan jadi, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar
Satu bagian ruangan staf dibuat sebagai area penerima tamu. Sebuah sekat memisahkan sebuah dipan berkain kulit hitam dan sebuah meja tamu kaca dari bagian ruangan yang lain. Ada sebuah jendela tepat di dekatnya, yang dari sana dapat terlihat sebagian besar perpustakaan.
Tiupan angin awal musim panas yang cerah datang dari jendela yang terbuka, dan selembar kertas menari-nari di udara. Pemandangan yang mengharukan itu mencuri hatiku, dan aku mengikuti gerakan secarik kertas itu dengan mataku, ingin tahu bagaimana kertas itu jatuh nantinya. Dengan lembut, sekarang. Seperti air mata yang mengalir, kertas itu melayang ke lantai.
Dan kemudian - robek. Sebilah belati membobosnya seperti tombak.
Sepasang kaki gemulai menyilang di depanku. AKu tidak dapat tidak memperhatikan betapa panjang dan berbentuk kaki tersebut melalui setelan dan celana panjang ketat yang menutupi mereka.
Setelan cukup bergaya, tapi daya tarik mereka sering kali kurang. Pantyhose akan memenuhi tuntutan keseksiannya jika wanita itu memakai rok, tapi ketika kakinya ditutupi oleh setelan dan celana panjang, akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Jika kaki seorang wanita sekurus tongkat dan tidak memiliki daya pemikat, maka tidak ada gunanya baginya memakai setelan dan celana panjang - dia malah hanya akan terlihat mengerikan.
Dan namun kaki di depanku berbeda. Kakinya memiliki kesimetrisan yang sempurna sampai-sampai bisa kamu katakan memiliki Rasio Ideal[1].
Ah, tapi itu tidak hanya dimaksudkan pada kakinya saja. Rompi ketatnya menampilkan lekukannya yang mencuram dengan lembut, dan lekukan itu akan segera sampai pada puncak buah dadanya yang mantap… OH, APAKAH INI GUNUNG FUJI? Tubuhnya disesuaikan dengan baik dari kepala sampai kaki seperti sebuah violin - tapi tidak violin sembarangan. Violinnya berdiri megah, dibuat sesempurna seperti sebuah Stradivarius.
Masalahnya adalah dia juga memiliki tampang Buddha yang marah dan mengerikan, diukir oleh tangan genius. Dia itu menakutkan dilihat dari sudut pandang artistik, sudut pandang budaya dan sudut pandang sejarah.
Selagi dia mengunyah filter rokoknya sambil melamun, guru Jepangku Hiratsuka-sensei melihatku dengan tatapan menghina. “Hikigaya. Kamu tahu bagaimana ini akan berakhir, bukan?”
“M-Mana kutahu…”
Intensitas itu tidak pernah pudar dari mata besarnya, dan aku segera memalingkan wajahku.
Segera setelah aku melakukannya, Hiratsuka-sensei mulai membunyikan kepalan jarinya. Semua yang bisa kudengar hanyalah suara firasat ajalku yang mendekat. “Jangan katakan kamu tidak tahu?”
“‘M-Mana kutahu? Oh aku tahu!’ itu apa yang akan aku katakan! Anda salah paham! Aku paham benar! Aku akan mengubahnya! Jangan pukul aku!”
“Tentu saja harus diubah. Geez… dan kupikir di sini kamu sudah sedikit berubah.”
“Mottoku adalah menyelesaikan apa yang perlu kukerjakan dan itu saja,” Aku berkata dengan senyuman murahan.
Aku dapat merasakan pembuluh darah meletup di dahi Hiratsuka-sensei.
“…jadi ternyata pilihanku satu-satunya adalah untuk menghantammu, huh? Orang-orang menghantam satu sama lain di televisi ketika mereka ingin melanjutkan ceritanya.”
“T-t-tidak, anda tidak bisa melakukannya pada tubuh rapuhku ini. Dan omong-omong, tayangan di televisi akhir-akhir ini sudah menurunkan level kekerasannya, anda tahu. Kalimat anda benar-benar menunjukkan usia anda!”
“Kenapa kamu…! Peluru Penggetar Pertama[2]!”
Duk. Teriakannya yang berlebihan tidak seberapa dengan suara lemah yang dihasilkan ketika tinjunya mendarat ke dalam perutku.
“…urk.”
Saat aku menaikkan kepalaku dengan lemah - dengan nyawaku terjuntai-juntai di depan mataku - Hiratsuka-sensei terkekek dengan kejinya. “Jika kamu tidak ingin merasakan Peluru Pelenyap Keduaku[3], kamu sebaiknya mengunci mulutmu dari sekarang.”
“M-Maaf…” Aku meminta-maaf dengan tingkah menurut. “Tolong ampuni aku dari Peluru Pemusnah Terakhir[4].”
Hiratsuka-sensei mencelempungkan dirinya ke dipannya, merasa puas. Dia menyeringai lebar melihatku dengan cepat menyerah atas serangannya. Dia mungkin merupakan jenis orang yang secara tidak sadar lupa betapa menyedihkan kata-kata dan tindakannya, tapi dia sebenarnya merupakan orang yang cantik di dalam dirinya.
“s-CRY-ed itu tayangan yang bagus, huh… baguslah jika kamu cepat mengerti, Hikigaya.”
Perbaikan: dia hanya menyedihkan. Kelihatannya dia hanya bisa tertawa pada leluconnya sendiri.
Aku baru-baru ini mengetahui tentang hobi guruku ini. Singkatnya, dia menyukai manga dan anime yang berdarah-panas. Aku sedang mempelajari begitu banyak hal sampah yang tidak kuindahkan, whoopee.
“Sekarang kalau begitu, Hikigaya. Aku akan menanyakanmu hal ini hanya untuk berjaga-jaga. Apa maksud jawaban sialanmu ini?”
“Anda tidak seharusnya berkata kotor pada murid anda…”
Akan lebih mudah jika aku cukup membuat-buat sesuatu, tapi karena aku telah memusatkan semua perhatianku pada secarik kertas itu, aku tidak memiliki jawaban lain di pikiranku. Jika dia tidak dapat mengerti setelah membacanya, maka itu urusannya.
Hiratsuka-sensei menghembuskan kepulan asap dari rokoknya dan menatap setajam belati ke arahku, seakan dia dapat membaca pikiranku dan tahu persis apa yang sedang kupikirkan. “Aku mengerti seberapa hancurnya sifat yang kamu miliki, tapi kupikir kamu sudah dewasa sedikit. Tidakkah menghabiskan waktu dengan Klub Servis mempengaruhimu sedikitpun?”
“Uh-huh…” Aku menjawab, mencoba untuk mengenang kembali waktuku dengan yang disebut sebagai "Klub Servis" ini.
Tujuan Klub Servis itu adalah, untuk menyederhanakannya, mendengarkan kekhawatiran murid lain dan menyelesaikan masalah mereka. Tapi pada kenyataannya, itu hanyalah sebuah ruang isolasi dimana murid-murid eksentrik dikumpulkan bersama-sama. Aku berakhir dalam situasi dimana aku dipaksa untuk membantu orang lain untuk memperbaiki sifat hancurku ini, tapi karena tidak ada satupun dari itu yang mempengaruhiku, level ikatan emosionalku dengan klub itu kira-kira nol. Apa yang bisa kukatakan?
…Walau Totsuka imut. Hanya itu saja.
“Hikigaya… tiba-tiba ada tampang mesum di matamu. Kamu sedang mengiler.”
“Huh?! Oh, lontong…” Aku buru-buru menyapu mulutku dengan lengan bajuku.
Itu berbahaya. Sesuatu sedang terbangun di dalam diriku.
“Kamu belum bertambah baik,” Hiratsuka-sensei berkata setelah berhenti sejenak. “Kamu hanya menjadi lebih menyedihkan.”
“Er, Aku merasa aku tidak semenyedihkan anda…” Aku bergugam. “Menyebut tentang s-Cry-ed itu apa yang dapat orang duga dari seseorang setua-”
“Peluru…”
“Yang kumaksud itu adalah itu sangat cocok untuk seorang wanita dewasa seperti diri anda. Aku benar-benar kagum akan rasa kewajiban anda untuk menyebarkan karya klasik. Memang! Serius, anda menabjubkan!” Aku berkata tanpa berpikir. Aku melakukan apa saja yang bisa kulakukan untuk mencegah dihantam.
Itu berhasil, karena Hiratsuka-sensei menurunkan tinjunya. Tapi dia menatapku dengan mata tajam karakteristiknya, mengingatkanku dengan seekor hewan gila. “Haah…” dia berkata pada akhirnya. "Yang penting, kumpulkan kembali Formulir Survei Tur Tempat Kerja Prospektifmu. Setelah kamu melakukannya, aku mau kamu menghitung semua formulir survei sebagai hukuman karena melukai perasaanku.”
“…ya guru.”
Ada setumpuk kertas yang menyemakkan di depan mataku. Menyortir setiap lembar satu-per-satu sangat meletihkan, seperti bekerja di sebuah pabrik roti. Atau mungkin seperti seorang penjaga pantai.
Sendirian bersama guru wanitaku sebenarnya bukanlah sebuah perkembangan yang mendebar-debarkan jantung, dan tentu saja jika dia meninjuku aku tidak akan terjatuh dan akhirnya menyentuh buah dadanya seperti seorang mesum kebetulan. Itu semua sepenuhnya omong kosong. Sungguh kebohongan! Aku menuntut permohonan maaf dari semua penulis dating sim dan pengarang novel ringan di luar sana.
Di Sekolah Menengah Atas Soubu Kota Chiba, ada sebuah acara yang dinamakan sebuah "tur tempat kerja" yang terjadi ketika kamu berada di kelas sebelas.
Formulir survei dipakai untuk menentukan pekerjaan yang diminati untuk dipelajari lebih mendalam oleh para murid dan kemudian sekolah akan mengirimkan murid-murid tersebut ke tempat kerja itu. Itu merupakan bagian dari program pendidikan baru yang ketinggalan zaman untuk menanamkan keinginan untuk bekerja dalam sebuah perusahaan ke dalam hati setiap murid. Itu bukan masalah besar, beneran. Setiap sekolah mungkin memiliki sebuah cara sama seperti itu.
Masalahnya acara itu dimulai pas setelah ujian semester. Dengan kata lain, melakukan berbagai pekerjaan sambilan yang akan menghisap waktu berharga sebelum ujianku.
“Jadi mengapa aku mesti melakukannya pada saat ini…?” Aku bertanya, menggeliat-geliut.
Selagi aku menyortir tumpukan kertas ini ke dalam tipe-tipe pekerjaannya, Hiratsuka-sensei duduk di meja guru, memasukkan sebatang rokok ke dalam mulutnya. " Itu karena sekarang sudah saatnya, Hikigaya," dia menjawab. "Tidakkah kamu mendengar bahwa kamu akan memilih jurusan tahun ketigamu pas setelah liburan musim panas?”
“Tidak tahu sama sekali, guru.”
“Kamu seharusnya sudah mendengarnya di homeroom[5]…”
“Yah, kalau itu, aku bolos dari homeroom jadi aku tidak mendengarnya sama sekali.”
Tidak, beneran, mengapa itu disebut "homeroom"? Itu bukan rumahmu. Aku benar-benar membencinya. Dan lagi, aku muak dengan semua sistem memberikan tugas saat homeroom. Kamu diberikan kesempatan untuk berdiri di depan kelas dan memberikan perintah, tapi aku harap semua orang berhenti sepenuhnya diam ketika aku melakukannya. Jika seseorang seperti Hayama memberikan perintah, semua orang akan penuh dengan senyuman dan mendengarkan dengan penuh perhatian seperti keluarga kecil yang bahagia, tapi ketika aku melakukannya, tidak ada satu orangpun yang pernah mengucapkan sepatah katapun. Apaan? Malah, bahkan tidak ada orang yang mem-boo aku karena mereka semua pura-pura tidak ada disana.
“…yang penting, tur tempat kerjanya dimulai setelah ujian semester dan sebelum liburan musim panas. Itu ditempatkan disana supaya kalian dapat mengerjakan ujian kalian dengan tujuan yang jelas di dalam pikiran kalian, tidak supaya kalian bisa berangan-angan tentangnya.”
Walau aku ragu itu akan berhasil, tambah Hiratsuka-sensei, mengepulkan secincin asap rokok dari ujung rokoknya.
Sekolah yang aku masuki, Sekolah Menengah Atas Soubu Kota Chiba, terdedikasikan untuk menyiapkan para murid-murid untuk memasuki universitas. Sebagian besar murid berharap untuk melanjut ke universitas dan banyak dari mereka yang benar-benar melanjut ke universitas. Itu adalah sesuatu yang mereka camkan ke dalam pikiran mereka dari sejak pertama mereka memasuki sekolah menengah atas.
Entahkah itu karena aku sudah memperhitungkan bahwa universitas adalah sebuah tempat penundaan bekerja selama empat-tahun dari awal, yang kusebut "pandangan ke masa depan"ku itu agak kurang. Aku sudah memikirkan matang-matang apa yang akan kulakukan ketika aku tumbuh dewasa. Aku pasti tidak akan pergi bekerja.
“Kelihatannya kamu sedang memikirkan sesuatu yang tidak-ada-harganya…” Hiratsuka-sensei memutar matanya. "Jadi kamu masuk ke jurusan IPA atau jurusan IPS?” dia bertanya.
“Yah, anda tahu, itu, aku-”
Segera setelah ak membuka mulutku, sebuah suara keras memotongku. "Ah, disana kamu rupanya!”
Dia menggelengkan kepalanya dengan tidak senang, rambut cerahnya (yang digumpalkan seperti bakso) bolak balik berpaling. Seperti biasa, dia memakai rok pendek dan sepotong kemeja dengan dua atau tiga kancing terbuka, menampilkan dadanya yang lumayan besar. Itu adalah Yuigahama Yui, yang telah menjadi kenalanku baru-baru ini. Fakta bahwa kami baru hanya kenalan walaupun dia berada di dalam kelasku menjelaskan banyak tentang kemampuan komunikasiku. Hancur.
“Oh hei, Yuigahama,” kata Hiratsuka-sensei. “Maaf, aku meminjam Hikigaya darimu.”
“I-Itu bukan seperti dia milikku atau semacamnya! Itu sepenuhnya baik-baik saja!" Yuigahama menyangkal dengan keras, mengayun-ayunkan tangannya. Aku menangkap semacam nuansa "toh aku tidak membutuhkannya" dari kata-katanya. Ditolak dengan sebegitunya agak terasa sedikit menyakitkan…
“Apa urusanmu?” tuntutku.
Orang yang menjawab bukan Yuigahama, tapi gadis yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Rambut hitamnya (yang diikat menjadi twin-tail) naik turun, mengikuti gerakannya yang tiba-tiba. "Kamu tidak datang-datang ke ruangan klub, jadi kami pergi mencarimu. Yuigahama-san, maksudku.”
“Um, kamu tidak perlu menjelaskan bagian terakhir itu. Aku sudah tahu itu.”
Gadis berambut-hitam yang satu-satunya ciri positifnya adalah wajahnya itu Yukinoshita Yukino. Seperti sebuah patung keramik, penampilannya menabjubkan, tapi sifatnya juga dingin mematikan seakan sifatnya, juga, terbuat dari keramik. Seperti yang dapat kalian tebak dari caranya membakarku segera setelah dia melihatku, kami bukanlah sobat terdekat.
Yukinoshita dan aku berada di dalam klub yang sama - Klub Servis - untuk sekarang. Dia ketuanya. Dan di dalam kegiatan kami, kami terus saling bertikai, hanya terkadang dapat akur. Singkatnya, kami hanya memiliki pertikaian menyedihkan dan tiada akhir ini berjalan terus di antara kami dimana kami saling menaburkan garam di atas luka.
Setelah mendengar kata-kata Yukinoshita, Yuigahama melipat lengannya dan memberungut. "Aku berkeliling menanyakan semua orang dimana kamu berada," dia mengomplain. "Semua orang bertindak seperti 'Hikigaya? Siapa dia?' Itu saaaaangat aneh.”
“Kamu tidak usah memberitahu dunia tentang itu." Entah bagaimana gadis ini setiap kali berhasil menembakkan peluru menembus jantungku? Dia bahkan tidak membidik. Dia sniper genius atau apa?
“Itu saaaaangat aneh," dia mengulangi kata-katana untuk beberapa alasan bodoh, cemberut. Berkat dia, informasi bahwa tidak ada satupun orang di sekolah yang bahkan mengetahui siapa aku mencongkel organku untuk kedua kalinya.
Yah, itu tidak seburuk itu, terutama jika kamu mengetahui semua orang lain di sekolah. Berdasar pada tidak ada orang yang mengenalku setelah selama ini, aku mungkin telah menemukan pekerjaan yang sepenuhnya cocok denganku: ninja.
“Apa? Um, maaf." Maaf bahwa bahkan tidak ada satu orangpun yang tahu aku hidup. Itu yang pertama kalinya aku pernah meminta maaf untuk sesuatu sesedih itu.
Jika aku tidak memiliki mental sekuat ini, aku akan menangis terus menerus.
“I-Itu bukan masalah besar, tapi…” Yuigahama mulai memainkan jari-jarinya di depan dadanya. "I-Itu, um…” dia berkata dengan malu-malu, menggembungkan pipinya. "B-Beritahu nomor teleponmu? K-Kamu tahu! Itu aneh untuk berkeliaran mencarimu dimana-mana, dan lagi itu memalukan… setiap kali seseorang menanyakanku tentang hubungan kita, Aku cuma - tidak.”
Wajahnya memerah, seakan hanya ingatan dia pergi mencari-cariku saja begitu tak tertahankannya memalukan. Dia memalingkan matanya dariku, melipat lengannya dengan erat di depan dadanya dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Dan kemudian dia mengintip-intip ke arahku dari ujung matanya.
“Yaaaaah, itu bukan masalah besar, beneran…” Aku berkata selagi aku mengeluarkan telepon gengamku. Segera setelah aku melakukannya, Yuigahama menarik keluar sebuah telepon gengam miliknya sendiri yang besar dan berkilau. "Ada apa dengan telepon gengam seperti batu bata raksasa itu?”
Yuigahama tersentak. “Huh? Tidakkah ini imut?” dia bersikeras selagi menunjukkanku gantungan teleponnya yang terlihat murahan. Semacam mainan lembut yang terlihat seperti jamur tergantung dari gantungan itu dan bergemerincing saat dia mengoyangnya. Itu begitu menyuramkan.
“Jangan tanya aku. Aku tidak mengerti rasa keindahan seorang pelacur. Jadi kamu suka benda berkilau? Apakah kamu sedang membicarakan tentang kaca atau Sushi Joint[6] atau apa?”
“Huuh? Sushi? Dan jangan panggil aku pelacur!” Yuigahama melihatku dengan mata monster pemakan manusia.
“Hikigaya. Jika kamu mengatakan 'benda berkilau', maka kamu benar-benar tidak tahu seperti apa rasanya menjadi seorang murid SMA[7] Tidak ada orang yang menaruh gelas di atas sushinya,” Hiratsuka-sensei memotong, matanya berkilau. "Tapi itu hanya sushi.”
Tampang "Aku baru saja mengatakan sesuatu yang keren!" itu di wajahnya agak menjengkelkanku…
“Jika kamu tidak dapat melihat keimutannya, bukankah itu salah mata seperti ikan matimu itu?”
Reputasiku sebagai ahli mata ikan mati hanya semakin menguat. Terserahlah, aku menyerah.
“Yah, terserah,” kata Yuigahama. “Kamu bisa meng-sync teleponmu dengan teleponku, bukan?”
“Nah. Aku punya telepon pintar jadi tidak bisa.”
“Huuuh? Jadi aku harus mengetikkannya?” Dia merintih. “Sungguh menjengkelkan.”
“Aku tidak perlu fungsi semacam itu. Toh aku kurang lebih membenci telepon gengam. Mari.” Aku menyerahkan telepon gengamku pada Yuigahama, yang mengambilnya dengan gugup.
“A-Aku yang mengetikkannya, huh… tidak masalah, kurasa. Tunggu, aku takjub kamu menyerahkan teleponmu pada orang lain begitu saja.”
“Meh, tidak ada masalah jika kamu melihat apa yang ada di dalam teleponku. Toh aku hanya mendapat pesa dari adikku dan Amazon.”
“Whoa! Serius?! Dan tunggu – Amazon?!”
Jangan ejek aku.
Yuigahama mulai mengetikkan ke dalam telepon yang kuberikan padanya dengan kecepatan yang menabjubkan. Pada mata lambanku, dia bertolak belakang dariku - cepat dan tajam. Maka dengan ini aku menjulukinya Ayrton Senna[8]nya telepon gengam. “Kamu begitu cepat mengetik…”
“Huh? Ini bukan apa-apa. Mungkin jari-jarimu layu karena kamu tidak ada orang untuk di-SMS?”
“Aku merasa terhina,” kataku. “Aku biasanya mengirim SMS pada para gadis sepanjang waktu di SMP.”
Thud. Yuigahama menjatuhkan teleponnya. (Oi, lihat apa yang kamu lakukan pada barangku, pikirku.)
“Tidak mungkin…”
Catatan Translasi
<references>
- ↑ Golden Ratio
- ↑ Shocking First Bullet, dari anime s-Cry-ed yang dibuat tahun 2001 dan memiliki banyak elemen shonen dan pertempuran ala-chuuni
- ↑ Annihilating Second Bullet
- ↑ Exterminating Last Bullet
- ↑ Semacam ketika wali kelas yang masuk ke kelas
- ↑ Toko Sushi
- ↑ Leluconnya di sini adalah 'benda berkilau' juga disebut 'hikarimono', sejenis ikan berkilau yang digunakan sebagai topping sushi.
- ↑ Pembalap F1 dari Brazil yang memenangkan tiga pertandingan dunia F1