Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 4
Bab 4: Karena Berbagai Alasan, Kawasaki Saki Tidak Jujur
Ujian semester sudah mendekat tepat di depan mata kami.
Ada banyak kasus dimana waktu belajar itu kurang lebih diartikan sebagai waktu restoran keluarga atau waktu perpustakaan, tapi tidak ada cara untuk mengawasi murid SMA yang pergi berjalan-jalan jam sebelas malam. Aku diberitahu bahwa kamu akan diusir dari restoran keluarga setelah melewati jam sepuluh malam. Karena alasan itu, belajar di malam hari itu merupakan sesuatu yang dilakukan seluruhnya di rumah. Omong-omong, belajar di malam hari itu tidak sama dengan menonton tinju di malam hari.
Jarum jam menunjukkan hampir ke angka dua belas. Aku mengerang dan meregangkan diri. Aku merasa aku masih akan belajar selama satu atau dua jam lagi. Haruskah aku minum sedikit kopi? Aku berpikir pada diriku sendiri. Dengan langkah berat, aku menyeret diriku menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Kopinya berada pas di tempat dimana aku mengingatnya.
Mengisi kembali kandungan gula diri seseorang itu sepenuhnya diperlukan ketika kamu memakai otakmu terlampau berlebihan. Yang kumaksud adalah sudah saatnya bagi Kopi MAX yang begitu manis untuk tampil.
(Pemikiran tiba-tiba: Kopi MAX itu erotis ketika kamu memasukkan kafein dan sejumlah susu yang pas ke dalamnya. Pertama sekali, itu akan terlihat luar biasanya mirip dengan sepasang buah dada yang besar. Kopi itu berkedip padamu dan menyarankan, “Aku tidak akan membiarkanmu tidur hari ini ☆” – atau sesuatu semacam itu. Seseorang harus menggambarkan Kopi MAX-tan atau Pixiv untukku[1] …)
Saat aku berjalan ke ruang tamu, memikirkan berbagai kumpulan hal tidak berguna tentang Kopi MAX, aku menyadari adik kecilku Komachi sedang tertidur di sofa. Ujian Semester gadis ini juga segera datang sepertiku, tapi seperti biasa dia tidak khawatir sama sekali.
Saat aku mencari-cari Kopi MAX yang kubeli, aku ingat bahwa bejananya sudah terbuka dan jadi aku mulai mendidihkan air saja. Aku menuangkan air ke dalam ceret Tefal, menekan tombol daya yang membuat suara klik selagi aku melakukannya. Merasa bosan dan selagi menunggu airnya mendidih, aku duduk di ujung sofa dimana adik kecilku sedang tertidur.
Komachi sedang tertidur dengan perutnya tidak tertutupi.
Kulit polos nan putihnya naik dan turun pada saat yang sama dengan dengkurannya. Pada saat yang sama, pusar imutnya berkedut. Saat dia bergerak dengan erangan lembut, aku bisa melihat dia sedang berbaring memakai kaus dan jaketku, keduanya diambilnya tanpa izin. Aku tidak menyadari hal ini dari awal karena dia melengkung seperti bola, tapi mengapa gadis ini hanya memakai pakaian dalam? Dia akan terjangkit flu jika begini terus.
Untuk sekarang aku menyelimutinya dengan handuk mandi terdekat. Sebagai reaksinya, Komachi bergugam sesuatu dalam tidurnya. Selagi ini terus terjadi, air yang kudidihkan mulai berdesis dan membuat suara klik yang mengumumkan bahwa airnya sudah siap. Aku memasukkan kopi instan itu ke dalam sebuah cangkir dan menuangkan air panas ke atasnya.
Suatu bau sedap melayang dari kopiku. Aku menambahkan susu dan gula dalam jumlah yang cukup banyak dan mengaduknya empat kali dengan sendok teh. Ketika aku selesai, kopi manis tercintaku sudah siap disajikan. Aroma megah susuku dan keharuman yang berbau manis dari kopiku bercampur dengan satu sama lain. Aku tahu persis ini akan begitu enak.
Seakan dia menangkap hembusan bau itu, Komachi mendadak bangun.
Hal pertama sekali yang dia lakukan adalah berdiri terpatung-patung, menatapku tanpa suara selama dua detik penuh. Kemudian, tanpa mengatakan sepatah katapun dia memakan tiga detik penuh untuk membuka jaket dan tirainya tanpa suara. Kemudian dia membuka matanya lebar-lebar dan menatap ke arah jamnya selama lima detik penuh tanpa suara. Dia membutuhkan total sepuluh detik untuk memahami situasinya sekarang ini.
Kemudian dia menghirup nafas dalam-dalam. “Lontong! Aku ketiduran!” dia mulai berteriak dengan suara yang menjengkelkannya keras. “Aku hanya berencana untuk tidur selama satu jam, tapi kemudian aku tertidur selama lima jam!”
“Oh, aku mengerti sekarang. Kamu ketiduran, katamu? Kamu langsung pergi tidur segera sesaat kamu sampai ke rumah.”
“Kamu parah! Aku ada mandi dulu sebelum aku tertidur!”
“Astaga, aku benar-benar tidak mengerti mengapa kamu begitu tersinggung.”
“Oh ya, mengapa kamu tidak membangunkanku?!”
Komachi benar-benar begitu jengkel padaku karena beberapa alasan. Aku pikir mungkin “Aku ketiduran” artinya kurang lebih sama dengan “Aku seekor babi ☆”.
“Ak benar-benar tidak peduli, tapi demi Tuhan tolong pakai celanamu. Dan siapa yang memberimu izin untuk memakai bajuku?”
“Hm? Oh, ini. Ini gaun tidur yang sempurna. Bukankah ini seperti pakaian one piece[2]?” katanya sambil menarik bagian depan kausnya.
Jangan tarik itu, jangan tarik itu. Aku bisa melihat bramu, kamu tahu. Dan jangan berputar-putar – Aku bisa melihat celana dalammu.
“…oke, aku akan berhenti memakainya, perengek,” katanya.
“Oh, terima kasih. Kalau begitu aku akan memberimu beberapa pakaian dalam, Komachi.”
“Ohhh, sangat kuhargai!”
Aku menyesap kopiku, setelah bersumpah jauh di dalam lubuk hatiku bahwa aku akan memberikannya kain lap saja. Selagi Komachi menyinsingkan lengan baju kausku seperti piyama one piece lagi, dia berjalan ke dapur dan mulai memanaskan susu di dalam mikrowave.
“Omong-omong, apa yang kamu lakukan pada jam segini?”
“Belajar untuk ujian. Aku turun ke bawah karna aku barusan beristirahat sejenak,” jawabku.
Komachi membuat suara terkejut. “Aku juga masih belum beristirahat sekarang setelah kamu mengatakannya.” Kemudian dia berhenti sejenak. “Onii-chan, sumpah, kamu akan menjadi pria yang 'suka berbisnis' ketika kamu mulai bekerja.”
“Hei, 'suka bisnis' tidak berarti aku 'suka' bekerja. Inggrismu hancur.”
“Tidak mungkin, onii-chan. Aku itu benar-benar jago Inggris. Aku itu jenius yo. I AM SMARTICLES,” katanya dengan kemampuan Inggris yang tidak mirip jenius sama sekali. Smarticles itu bahkan bukan sebuah kata, tolol.
Mikrowavenya berdering. Komachi memegang cangkirnya dengan kedua tangan, dan selagi dia meniupnya untuk mendinginkannya, dia mulai berjalan ke arahku. “Kurasa aku juga akan belajar.”
“Silahkan. Aku akan kembali belajar, kalau begitu. Kamu juga lebih baik terus bertahan belajarnya.”
Aku menegakkan seluruh kopiku dalam sekali teguk dan berdiri. Tapi pada saat itu, Komachi menarik punggung kausku dan membuat suara kroak seperti kodok kintel. Ketika aku berpaling, Komachi sedang tersenyum lebar.
“Kamu bilang ‘kamu juga,’ benar? Tidakkah biasanya itu berarti ‘ayo kita melakukannya bersama’? Onii-chan, apa bahasa Jepangmu sudah hancur?”
“Kamu yang bahasa Jepangnya hancur…”
Yah, itu tidak masalah untuk membodohkan diriku sementara dengan melihat hasil PR adik kecil idiotku, pikirku.
Dan begitulah, sesi belajar malam hari dengan adik kecilku dimulai.
Kami membawa semua alat-alat belajar kami dari ruangan kami dan menyebarkannya di atas meja di ruang tamu. Aku memutuskan untuk berfokus terutama pada sejarah Jepang hari ini, jadi aku pergi membahas kumpulan soal Yamakawa dan juga manualnya, dan setelah itu aku masuk pada catatanku.
Pada sisi Komachi, ada buku “Inggris SMP: Target 1800”, seakan itu akan membantu dengan Inggrisnya yang menyedihkan.
Bersama, kami belajar dengan diam dan rajin. Aku menjawab soal dan menuliskan penjelasan panjang lebar ke dalam catatan ketika ada yang salah. Kami mengulang proses itu berulang kali. Pada saat aku selesai membahas isi ujian semesterku. Aku menyadari bahwa Komachi sedang menatapku dengan pandangan melamun di matanya.
“…apa?” tuntutku.
“Hm? Oh, Aku hanya berpikir kamu itu begitu kaku, onii-chan.”
“Kamu merendahk'n ku? Kamu mau berkelahi, anak kecil? Aku akan menjambak rambutmu!”
Tapi Komachi hanya tertawa akan ancaman lemahku. “Begitulah yang kamu bilang, onii-chan, tapi kamu pasti tidak akan memukulku.”
“Huh? Itu hanya apa yang kamu pikir. Alasan mengapa aku tidak memukulmu adalah karena orangtua kita akan meninjuku jika aku begitu. Itu saja. Jangan salam paham.”
“Teehee. Kamu merona, kamu merona,” nyanyinya selagi dia membuat tanda peace.
“D… diam…”
Untuk sekarang, aku memuaskan diriku hanya dengan menyodok dahinya. Tepatnya, aku menjentikkan sebuah penghapus ke kepalanya, menyebabkannya menghancurkan diri. Singkatnya, aku melancarkan semua simpanan tenagaku dalam satu serangan penuh dan tidak menahan apapun.
“Oof!” Komachi mengerang. Penghapus itu menghantam dahinya, menyisakan jejak. Selagi dia mengurut dahinya, Komachi menatap marah padaku dengan mata berlinang-linang. “Hmph… dan aku sedang memujimu sebagai murid yang begitu baik…”
“Itu karena kamu mengatakan sesuatu yang bodoh. Sekarang cepat belajar sana, astaga.”
“Hal seperti itu yang membuatmu begitu kaku. Men, ada begitu banyak tipe abang dan adik di luar sana. Aku memiliki seorang teman yang pergi ke les yang sama denganku yang kakaknya itu preman. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah di malam hari dan semacamnya.”
“Uh huh.” Kelihatannya Komachi sudah kehilangan semua motivasi untuk belajar. Entah kapan, dia menutup buku Target: 1800. Sekarang ini, kami sudah sudah masuk ke dalam waktu berbincang yang tidak ada gunanya.
Selagi aku dengan bijaknya mengabaikan ocehan Komachi, aku terus mempelajari sejarah Jepang. 645, Tahun terjadinya Reformasi Taika adalah pada tahun 645.
“Tapi ente tahu, kakaknya itu adalah murid yang super serius sampai dia masuk ke SMA Soubu. Aku heran apa ada sesuatu yang terjadi padanya.”
“Oh, begitu ya.”
Kata-kata Komachi masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga lain. 694, Tahun dimana Fujiwara-kyo menjadi ibu kota adalah pada tahun 694. Oh tunggu, apa itu tahun 794? Tidak, itu Heian-kyo.
Namun, itu sudah cukup untuk membuatku terlelap. Manusia memiliki tekad yang kuat untuk tidak dikalahkan obat. Dengan kata lain, tidak peduli berapa banyak kafein yang kukonsumi, keinginanku untuk tidur mungkin bisa menang.
“Tapi yah, itu keluarganya jadi aku tidak bisa benar-benar mengatakan apapun. Kami sudah semakin dekat akhir-akhir ini, jadi dia mengungkapkan isi hatinya padaku, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan. Oh, namanya Kawasaki Taishi-kun dan dia mulai memasuki tempat lesku April ini.”
“Komachi.”
Pensil mekanikku jatuh dari tanganku dan membuat suara dentuman. Kantukku hilang dalam sekejap.
“Apa hubunganmu dengan Taishi-kun ini? Apa maksudmu dengan semakin dekat?”
“Whoa, kamu memiliki tampang menakutkan di matamu, onii-chan…”
Kelihatannya aku sedang melihatnya dengan agak serius. Komachi agak sedikit terkejut. Tapi disini adalah adik idiotku. Sesuatu mungkin terjadi padanya jika dia tidak menjaga dirinya sendiri. Itu alamiah bahwa aku khawatir dengannya sebagai seorang keluarga. Jika dia terlibat dengan lelaki, itu tidak akan bagus baginya.
Onii-chan benar-benar tidak mentoleransi hal-hal seperti itu.
“Meh. Beritahu aku jika ada sesuatu yang menganggumu. Aku sudah memberitahumu ini sebelumnya, tapi hal-hal yang kulakukan dengan Klub Servis – yang masih belum kumengerti, omong-omong – mungkin bisa membantumu, kurasa.”
Komachi menggembungkan pipinya dan tersenyum ketika aku mengatakan itu.
“Onii-chan, kamu benar-benar seorang pria yang kaku!”
Sudah pagi hari. Burung pipit sedang bercicit. Jadi ini yang namanya “fast-forward sampai keesokan harinya” yang terjadi dalam cerita-cerita.
Aku membuka mataku, berkedip terkejut. Aku disapa, bukan oleh pemandangan yang biasa kujumpai, tapi oleh langit-langit yang tidak kukenali. Yang kumaksud dengan itu, aku sedang berada di ruang tamu. Kelihatannya kami entah bagaimana tertidur ketika kami sedang belajar. Hal terakhir yang kuingat adalah aku sedang menginterogasi Komachi tentang status hubungannya.
“Hei, Komachi. Sudah pagi,” panggilku.
Saat itulah ketika aku sadar aku tidak melihat adik kecilku dimanapun. Aku melihat-liha sekelilingku mencari Komachi selama dua detik. Kemudian, aku menatap ke luar jendela. Matahari sudah terbit cukup tinggi. Itu memakan waktu tiga detik untuk memastikan ini. Kemudian aku merasakan perasaan ada sesuatu yang salah dan aku melihat ke arah jam sambil berkeringat dingin. Sudah jam sembilan pagi. Aku melihatnya ke atas dan ke bawah, tapi masih jam sembilan pagi. Itu memakan lima detik penuh untuk memproses hal ini.
Dampak situasinya menghantamku dalam waktu sepuluh detik ini.
“Aku akan super telat…” AKu menundukkan kepalaku, merasa depresi.
Sarapan berisikan roti panggang, daging ham dan telur terjajar di atas meja, beserta secarik surat yang ditinggalkan Komachi sebelum dia berangkat.
Kepada onii-chan, Aku akan berangkat duluan karena aku tidak mau terlambat. Tenang saja!
S.P. Pastikan kamu memakan sarapanmu!!
“Tolol… kamu pikir kamu itu Security Police?”
Cara menulisnnya yang benar adalah P.S.[3], seperti Playstation.
Yah, karena tidak ada gunanya gempar akan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan, aku mengunyah sarapan yang disiapkannya untukku dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sambil bersungut-sungut. Keliatannya orangtuaku sudah pergi bekerja. Karena kedua orangtuaku bekerja, pagi hari dalam keluarga Hikigaya mulai pagi sekali. Ibuku membuat sarapannya tapi Komachi biasanya bertugas menyiapkan makan malam.
Dan namun tidak ada satu orangpun yang membangunkanku meskipun mereka bangun pagi. Sementara aku khawatir apakah aku dicintai dan semacamnya, aku ingin percaya dalam kebaikan untuk membiarkan seseorang tetap tertidur.
Darahku sedang terpompa-pompa saat aku mengganti bajuku. Setelah memastikan pintunya sudah terkunci, aku meninggalkan rumah.
Selagi aku bersepeda dengan santai melintasi pinggiran sungai, aku melihat ke atas dan menjumpai gumpalan-gumpalan awan raksasa yang melintasi langit dengan cepat. Hari ini, jalur ke sekolah begitu indahnya sepi. Itu membuatku merasa tentram. Biasanya, rute menuju SMA Soubu adalah sebuah jalur lomba pacu bersepeda dimana murid dari sekolah lain berlomba-lomba melawan satu sama lain. Menyalip orang lain dan berteriak “Maju! Magnum!” adalah perasaan yang paling menyenangkan. Ketika kamu melawan para pria, kamu akan menjadi berapi-api dan mengatakan sesuatu seperti, “Aku tidak akan kalah! Sonic!” Cite error: Closing </ref>
missing for <ref>
tag..? Singkatnya, ini hanya latihan untuk nanti ketika aku menjadi seorang eksekutif yang hebat dan elit.”
“Aku pikir kamu ingin menjadi seorang bapak rumah tangga.”
“Urk!” aku menyernyit, tapi aku segera mendapat tumpuanku lagi. “Y-yah! Itu suatu kesalahan untuk berpikir bahwa terlambat itu sudah pasti hal yang buruk. Anda mengerti? Para polisi mulai bergerak setelah insidennya terjadi. Itu sudah dikenal luas bahwa sang pahlawan akan datang pada menit-menit terakhir. Dengan kata lain, mereka selalu terlambat. Tapi siapa yang menyalahkan mereka?! Tidak ada! Ironinya disini adalah bahwa keterlambatan itu merupakan keadilan!” aku berteriak dari lubuk jiwaku.
Ketika aku selesai, Hiratsuka-sensei memiliki tampang dingin di matanya untuk beberapa alasan.
“…Hikigaya. Mari kuberitahu kamu satu hal. Keadilan yang lemah itu tidak ada bedanya dengan kejahatan.”
“…keadilan lemah itu bahkan lebih baik dari kejaha- tunggu! Jangan pukul aku! Tidak!”
Aku Soku Zan [4].. Tinju Hiratsuka-sensei mendarat ke dalam liverku dengan keakuratan yang pas. Tubuhku mengerang akan luka yang dihasilkan. Selagi aku terjungkir dan jatuh ke lantai, aku terbatuk-batuk.
Hiratsuka-sensei menghela takjub sementara aku menggeliat kesakitan. “Astaga… tidak ada habisnya murid bermasalah di dalam kelas ini.” Tapi dia tidak mengatakannya dengan jijik – malah, dia terlihat senang daripada apapun. “Aku sedang membicarakan tentang satu orang lain ketika aku mengatakan itu.”
Sepenuhnya mengabaikan bahwa aku sudah terjatuh ke lantai, Hiratsuka-sensei mengetakkan sepatu hak tingginya ke lantai dan menghadap ke pintu belakang kelas. Aku melihat ke arah yang sama dari posisiku di atas lantai dan menyadari keberadaan seorang murid perempuan sedang memegang tas sekolahnya.
“Kawasaki Saki. Apa kamu juga terlambat supaya keren?” Hiratsuka-sensei memanggilnya dengan senyum masam di wajahnya.
Tapi gadis yang bernama Kawasaki Saki ini hanya menjawab dengan anggukan kepala tanpa suaranya. Kemudian dia berjalan persis melewati tubuh terjuntaiku di lantai dan menuju tempat duduknya.
Rambut panjang hitamnya tumbuh sampai punggungnya; bagian yang tidak diperlukan dari lengan baju kemejanya dilonggarkan; kaki panjang dan tajamnya terlihat dibuat untuk menendang. Tapi yang memberikan kesan padaku adalah mata tanpa ambisinya, yang menatap kosong ke kejauhan. Tanpa disebutkan black lacenya yang kelihatan seakan dibordir oleh seorang penjahit.
Sumpah aku pernah melihat gadis itu entah dimana sebelumnya… tunggu sebentar, jika dia ada di dalam kelasku, kalau begitu tentu saja aku pernah melihatnya sebelumnya.
Karena aku dapat melihat ke dalam roknya dari posisi terjuntaiku di lantai, aku langsung berdiri. Aku tidak mau siapapun curiga denganku.
Dan pada saat itu, tiba-tiba aku menyadari sesuatu dalam pikiranku.
“…kamu si gadis black lace itu, bukan?”
Dengan itu, semua keraguanku langsung sirna.
Tanpa sadar, aku mengingat kembali pada satu peristiwa yang telah terbakar ke dalam mataku. Aku mengingat si gadis yang tiba-tiba menertawaiku ketika dia melihatku di atap.
Oh, jadi dia berada dalam kelasku, huh? Sudah waktunya untuk sekali lagi memastikan bahwa ini adalah gadis yang sekarang sudah kuketahui bernama Kawasaki Saki. Daripada pergi ke tempat duduknya, Kawasaki berdiri di tempat dia berada dan melihat ke belakang padaku dengan santai dari bahunya.
“…apa kamu bodoh?” tanya Kawasaki Saki. Dia tidak menendang atau meninjuku. Dia tidak merona karena malu dan wajahnya tidak merah karena amarah – itu seakan dia sama sekali tidak tertarik. Dia hanya sedikit jengkel.
Jika Yukinoshita Yukino itu kaku, Kawasaki Saki hanya dingin. Itu seperti perbedaan antara es kering dengan es biasa. Yukinoshita melepuhkan siapapun yang menyentuhnya.
Dengan tampang jijik di wajahnya, Kawasaki menyisir seuntai rambut yang lepas sebelum menghadap ke tempat duduknya. Setelah dia menarik kursinya dan duduk di atasnya, dia melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong seakan dia merasa bosan. Itu seakan dia sedang melihat ke luar sehingga dia tidak perlu melihat ke dalam.
Tidak ada orang di dunia yang tidak menyadari aura “jangan bicara padaku”nya. Tapi aura “jangan bicara padaku”nya masih lemah. Tidak ada orang yang mau berbicara padaku di dalam kelas meskipun aku mengaktifkan aura “tolong bicara denganku”.
“Kawasaki Saki, huh…?”
“Hikigaya, berhenti mengutarakan nama gadis yang bagian dalam roknya kamu lihat dengan emosi mendalam.” Hiratsuka-sensei meletakkan tangannya di bahuku. Tangannya begitu dingin. “Kita akan berbincang-bincang tentang hal ini nanti. Datang jumpai aku di ruang staf setelah sekolah.”
Catatan Translasi
<references>
- ↑ Pixiv adalah situs yang banyak dipakai pelukis Jepang untuk mengupload gambar-gambar anime. '-tan' bahasa Kansai yang sama dengan '-chan' dan digunakan sebagai istilah cinta hal-hal imut.
- ↑ Pakaian yang sekaligus menyatukan baju dengan rok, apa ada Indonya?
- ↑ Post Script = Setelah Isi
- ↑ Secara harfiah berarti, “Bunuh Langsung Kejahatan.” Sebuah referensi pada moto Shinsengumi, kelompok pasukan revolusi. Juga banyak dikaitkan dengan kemampuan pedang Saitou Hajime dalam Rurouni Kensin, manga shonen klasik