Oregairu (Indonesia):Jilid 3 Bab 3
Bab 3: Yukinoshita Yukino Memang Benar-Benar Mencintai Kucing
3-1
Dari semua hari yang ada dalam seminggu, Sabtu pastilah yang terhebat. Apakah kalian tidak gentar di depan superioritasnya yang mencengangkan? Itu adalah hari libur dan begitu pula hari berikutnya. Itu kurang lebih seperti cuci gudang Super Saiyan.
Aku juga mencintai hari Sabtu dengan segenap hati dan jiwaku, dan aku ingin menjalani hari-hari seakan setiap hari adalah hari Sabtu ketika aku sudah dewasa. Hari minggu itu mendepresikan karena sepanjang hari kamu akan berpikir pada dirimu sendiri, “Mulai besok aku sudah mau bekerja lagi…”
Hal pertama yang kulakukan di pagi hari adalah membaca-baca koran dengan malas. Seperti biasa, Kobo the Li’l Rascal adalah bagian terbaik koran tersebut. [1]Atau malah, kamu bisa bilang hanya bagian itu yang benar-benar kubaca.
Setelah aku selesai membaca koran tersebut – dan dengan itu aku maksud Kobo the Li’l Rascal - Aku mengecek selebaran-selebaran diskon. Setiapkali aku melihat sesuatu yang murah, aku membuat lingkaran merah di sekelilingnya dan menyerahkannya pada Komachi, yang kemudian mencatatnya ke dalam daftar belanjanya. Dalam keluarga kami, Komachi atau ibu yang berbelanja.
Kemudian aku menyadari tulisan yang terang mencolok di tengah-tengah selebaran. Tulisan itu begitu terang sampai kamu bisa juga mengatakannya sebuah foton saja. Aku sedang membicarakan tentang partikel cahaya, bukan nama orang.[2]
“K-Komachi! Lihat ini!” Tanpa berpikir, aku menyentak lengannya dengan antusiasme yaang tak terbendung. “Mereka juga menggelar acara Pameran Anjing dan Kucing Tokyo tahun ini!”
Itu seperti salah satu adegan dari The Lion King. Aku mungkin juga akan berakhir meneriakkan seruan perang tanpa berpikir. U-Ra-Ra!! Bukankah itu slogannya Geronimo[3]?
“Astaganaga! Kamu benar! Ini menabjubkan! Kamu memiliki mata yang tajam, onii-chan!”
“Hahaha! Pujalah aku, anak kampungan!”
“Wow, kamu begitu menabjubkan! Onii-chanku menabjubkan!”
“…diam, kalian berdua. Kalian begitu menjengkelkan.” Ibu kami merangkak keluar dari tempat tidurnya, mengutuk dan terlihat begitu mirip dengan sebuah golem. Dia memiliki rambut tidur, kacamata yang dipakainya miring dan dia memiliki lingkaran hitam di bawah matanya yang tidak mau menghilang.
“M-Maaf…” Aku meminta maaf, yang kemudian ibuku mengangguk singkat dan merangkak mundur ke tempat tidurnya. Kelihatannya dia berencana untuk tidur panjang.
…tentu sulit menjadi seorang wanita karir. Aku kasihan dengan wanita yang menikahiku. Aku akan lebih dari sekedar pria yang bergantung pada bayaran gaji seorang wanita – Aku akan benar-benar menyia-nyiakan sumber daya masyarakat saja.
Selagi dia menaruh tangannya di pintu tempat tidur, ibuku melihat ke balik bahunya. “Kamu,” katanya. “Kamu bebas untuk meninggalkan rumah, tapi hati-hati dengan mobil. Karena cuacanya lembab dan mobil mulai akan bermasalah di bawah cuaca seperti ini, jadi mudah untuk terjadi kecelakaan. Jangan lakukan sesuatu yang bodoh seperti membiarkan Komachi naik sepeda denganmu.”
“Ya, ya. Macam benar saja aku akan membuat Komachi melewati sesuatu yang begitu berbahaya.”
Kasih sayang yang dirasakan orangtuaku pada adikku begitu dalam. Ya, itu karena dia seorang gadis, tapi dia melakukan semua pekerjaan rumah sepanjang waktu dan dia begitu hebat dalam segala hal yang dicobanya, belum disebut dia hanyalah begiiiiiitu menggemaskan. Tidak heran orangtuaku memperlakukannya seperti seorang tuan putri.
Di sisi lain, sebagai abang yang lebih tua, aku ragu mereka merasakan hal yang sama.
Persis pada saat tersebut, ibuku menghela dengan dalam saat dia melihat pada wajahku. “Aku khawatir tentangmu, tolol.”
“…huh?”
Aku menjadi ingin menangis meski dengan kepribadianku ini. Tidak kuduga ibuku terus mengkhawatirkanku selama ini… dan di sini kupikir aku tidak dicintai karena ibuku tidak pernah membangunkanku di pagi hari, lebih suka memberi koin 500 yen belaka dibanding masakan rumah untuk makan siang dan kadang-kadang membelikanku kaus-kaus yang terlihat jelek sekali dari toko di sekitar sini. Yang benar saja, ada apa dengan selera pakaian orangtuaku yang mengerikan? Selera orangtuaku begitu buruk sampai-sampai itu memalukan. Aku sumpah mereka membenciku.
Namun… hubungan antara orangtua dengan anak adalah hubungan yang indah. Mataku mulai berlinang-linang.
“I-Ibu…”
“Aku benar-benar khawatir. Kalau kamu membuat adikmu terluka, ayahmu akan membunuhmu.”
“A-Ayah…”
Aku menjadi ingin menangis meski dengan kepribadianku ini.
Ayah yang sedang dibicarakan sekarang ini sedang dalam alam mimpi, bersenang-senang dalam tidurnya.
Jujur, keadaan tidak pernah bagus ketika ayahku sedang ada di sini. Dia terlalu menyayangi Komachi dan memandangku dengan mata setengah-curiga, aku tahu. Tapi dia hanya memberitahuku hal-hal yang tidak relevan padaku, seperti hati-hati dengan pemeras yang datang untuk menghancurkan reputasimu, atau wanita yang merayumu di jalan hanya tertarik dengan isi dompetmu, atau bahwa investasi dana masa depan itu kurang lebih sebuah penipuan, atau bekerja itu adalah untuk menerima kekalahan. Dan apa yang benar-benar membuatnya begitu mengerikan adalah hampir semua yang di atas datang dari pengalaman ayahku sendiri, jadi aku tidak bisa mengabaikannya.
Setiap kali dia meninggalkan rumah, dia menghempaskan pintunya sekuat mungkin, mengangguku ketika aku sedang tidur.
“Tidak perlu khawatir karena kami akan pergi naik bus!” Komachi berpaling pada ibu kami, tertawa malu-malu. “Oh, kami akan memerlukan biaya busnya!”
“Baiklah kalau begitu,” kata ibuku, “berapa banyak lagi harga tiket pergi-pulangnya?”
“Uhh…” Komachi mulai menghitung dengan jarinya. Um, jika satu tiket perjalanan itu 150 yen, maka tiket perjalanan pergi-pulang itu 300 yen. Aku tidak bisa mengerti bagaimana dia perlu memakai jarinya untuk memikirkan itu.
“Harganya 300 yen,” jawabku pada akhirnya, sebelum Komachi bisa menyelesaikan perhitungannya.
Mendengar itu, ibuku menjawab dengan sebuah kata “oke” selagi dia mengeluarkan sebuah koin kecil dari dompetnya. “Mari, 300 yen.”
“Terima kasih!” kata Komachi.
“Permisi, ibu. Aku juga pergi, ibu tahu…” Ada semacam perasaan kaku pada kata-kataku, seperti aku itu Masuo-san yang sedang berbicara dengan Fune. [4]
“Oh, kamu juga perlu biayamu?” Ibuku menaruh tangannya ke dalam dompetnya lagi seakan dia baru saja menyadari eksistensiku.
“Dan aku akan makan di luar hari ini jadi aku juuuuuuuga perlu sedikit uang makan siang!” lantun Komachi.
“Huh? Aku rasa tidak ada yang bisa dilakukan…”
Pada permintaan Komachi (yang hanya mengalir dengan opportunisme) ibu kami menyerahkan pada kami dua lembar uang kertas.
Wow, Komachi tentu menabjubkan. Dipikir lagi, uang makan siangku adalah 500 yen seperti biasa, jadi mengapa itu diterjemahkan menjadi 1000 yen ketika adikku yang meminta itu di luar pemahamanku. Tolong, berikan aku penerangan, ibu.
“Terima kasih! ‘ke, ayo kita pergi, onii-chan.”
“Mm.”
“Baiklah, bersenang-senanglah di luar.” Ibuku melambai pada kami dengan lesu sebelum menghilang ke dalam tempat tidurnya sekali lagi. Tidur yang nyenyak, ibu.
Kemudian, selagi aku meninggalkan rumah, aku mencengkram pintunya dengan setiap serat ragaku dan mengempaskannya.
Suara itu khusus untukmu. Bangkit dan bersinarlah, ayah!
3-2
Itu memakan waktu total lima belas menit penuh bagi busnya untuk sampai ke tempat acara Pameran Kucing dan Anjing Tokyo, aula Makuhari Expo. Meskipun namanya acara Pameran Kucing dan Anjing Tokyo, aku terkejut acara itu digelar di Chiba. Aku tidak memiliki cukup uang untuk pergi jika aku salah mengiranya sebagai Tokyo Big Sight atau semacamnya.
Tempat itu wajar dipenuhi oleh sejumlah besar orang. Ada juga sejumlah orang yang membawa hewan peliharaan mereka ke dalam.
Komachi dan aku dengan ragu-ragu berpegangan tangan karena itulah apa yang seharusnya kami lakukan. Itu tidak seperti kami sobat yang sedang berkencan atau apa, tapi kami sudah melakukan hal ini begitu sering ketika kami pergi keluar sewaktu kecil sampai itu sudah menjadi sebuah tindakan kebiasaan sekarang. Komachi menyiulkan sebuah lagu selagi dia mengayunkan tanganku maju mundur. Aku hampir mendapat dislokasi tulang karena itu.
Aku bisa melihat bahwa Komachi menjadi lebih riang dan lebih ceria dari biasanya, mungkin karena apa yang sedang dia pakai: sepotong baju border tank top yang dipadu dengan sepotong cutsew merah jambu yang tipis bergaris leher lebar, diiringi oleh celana pendek yang memanjang sampai ke pahanya, agak mirip dengan rok low-rise. Ditambah lagi, dia membuat seringaian jutaan dolar nan riang yang mengancam untuk membelah wajahnya menjadi dua. Setiap kali adik kecilku itu tersenyum seperti itu, dia terlihat begitu tidak tahu malunya bangga akan dirinya. Tidak seperti dia tersenyum seperti itu dimana-mana.
Omong-omong, acara itu mungkin saja disebut Pameran Kucing dan Anjing Tokyo, tapi acara itu kurang lebih sebuah tempat penjualan hewan peliharaan dengan hewan-hewan dagangan yang dipajangkan (e.g. kucing dan anjing). Di sisi lain, aku cukup terhibur untuk melihat bagaimana beberapa jenis hewan langka juga dipajang. Juga tidak ada biaya masuk atau apapun – itu adalah sebuah acara yang patut ditakuti. Chiba benar-benar yang terhebat.
Segera setelah kami masuk ke dalam, Komachi mulai menunjuk-nunjuk pada hewan-hewan dengan begitu gembira. “Lihat, onii-chan! Penguin! Begitu banyak penguin sedang berjalan berkeliling! Sungguh menggemaskan!”
“Oh, itu mengingatkanku. Aku dengar kata penguin diturunkan dari kata latin untuk ‘gemuk’. Ketika kamu memikirkannya, mereka terlihat seperti pekerja kantoran obesitas yang sedang berjalan tertatih-tatih di luar kantor.”
“Oh, wow. Tiba-tiba, aku tidak bisa berpikir mereka itu imut lagi…” Komachi menurunkan lengannya, terlihat patah semangat. Dia berpaling padaku dan menatapku dengan penuh kekesalan. “Berkat trivia tak bergunamu itu, aku akan terpikir kata ‘gemuk’ setiap kali aku melihat seekor penguin, onii-chan…” gugamnya dengan keluh kesah, tidak seperti akan ada manfaatnya mengatakan itu padaku. Salahkan orang yang pertama menamainya penguin itu. “Kamu tahu, onii-chan, kamu tidak sepatutnya mengatakan hal semacam itu dalam suatu kencan, kamu tahu? Jika seorang gadis berkata, ‘Sungguh menggemaskan!’ kamu seharusnya berkata, ‘Ya, tapi kamu lebih menggemaskan lagi.’”
“…Sungguh bodoh.”
Bahkan penguin yang tinggal di Kutub Selatan akan mengidap flu jika mereka dihadapkan pada percakapan mengigilkan itu, menurutku.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Tidak seperti aku sedang memberitahumu untuk benar-benar mengatakan itu padaku, kamu tahu. Aku sudah tahu aku itu menggemaskan.”
“Mengatakannya itu sendiri menghancurkan efeknya…”
Sungguh sebuah percakapan yang berkilau selagi kucing dan anjing serta penguin sedang berkeliaran di belakang.
“Terima kasih atas komentar tidak berarti itu! Omong-omong, lihat, lihat! Ayo kita lihat kesana sebentar,” kata Komachi selagi dia mulai berlari, sambil merenggut tanganku.
“Oi, tunggu dulu, jangan buru-buru. Kamu akan menabrak sesuatu.”
Entah bagaimana, kami berakhir pada apa yang terlihat seperti zona burung, dipenuhi oleh burung beo dengan segala bentuk dan ukuran. Sebuah dunia yang menyilaukannya kaya akan warna terbuka di depan mata kami. Kuning, merah, hijau… semua warna utama dijipratkan kesana-kemari dengan begitu cerahnya sampai itu menyakitkan mataku untuk melihatnya. Setiap kali burung-burung itu membentangkan sayap mereka dan melayang tinggi, cahaya bersinar pada bulu-bulu mereka, memamerkan kecemerlangannya.
Tapi di antara banjiran warna-warna cemerlang tersebut, apa yang benar-benar menonjol adalah sebuah kepala berambut hitam yang berkilau.
Setiap kali pemilik rambut hitam berkilau itu membenamkan hidungnya ke brosur Pameran Kucing dan Anjing Tokyo yang dipegangnya dengan satu tangan, rambut twintailnya berdesir maju mundur.
“Bukankah itu… Yukino-san?” Kelihatannya Komachi juga mengenalinya.
Serius, tidak ada orang yang menonjol dengan begitu jelasnya seperti dia itu. Dia sedang menarik cukup banyak perhatian pada dirinya. Dibalut oleh sepotong cardigan berukuran seperempat dengan warna krim dan sepotong gaun one-piece yang rapi serta halus dengan sebuah pita terikat persis sedikit di bawah dadanya, dia menghasilkan kesan yang lebih lembut dari biasanya. Setiap kali dia berjalan, sandal tali yang dipakaikan pada kaki polosnya membuat suara yang ringan dan menenangkan. Tapi si gadis yang sedang dibicarakan itu sepertinya tidak memperdulikan tatapan-tatapan di sekelilingnya, melihat-lihat dengan berwajah-tak-berekspresi persis seperti yang dilakukannya di ruangan klub.
Yukinoshita mengecek nomor aulanya dan melihat ke bawah pada brosurnya. Kemudian dia melihat ke sekeliling dirinya dan melihat ke bawah pada brosurnya sekali lagi. Dan kemudian dia membuat helaan menyerah.
Ada apa dengannya? Apa dia tersesat?
Yukinoshita menutup brosurnya dengan keras seakan dia sudah membulatkan tekadnya mengenai sesuatu dan segera berjalan dengan bergaya – tepat menuju dinding.
“Oi, itu jalan buntu,” kataku padanya tanpa berpikir panjang, tidak sanggup menahan untuk berdiam diri menontonnya lebih lama lagi.
Itu membuat sebuah tatapan yang terang-terangan tidak ramah dari arah Yukinoshita. Meep.
Tapi segera setelah dia menyadari bahwa akulah orang yang berbicara padanya, sebuah tampang yang agak misterius muncul di wajahnya dan dia berjalan ke arah kami. “Apa ini? Seekor hewan yang tidak biasa, yah.”
“Bisakah kamu tidak memanggilku seekor Homo sapiens sapiens begitu saja? Kamu sedang menolak perikemanusiaanku.”
“Bukankah aku benar?”
“Kamu benar, tapi kamu tidak memahami maksudku…”
Hal pertama yang dia lakukan ketika dia membuka mulutnya adalah memperlakukanku seperti seekor primata hominid. Sementara dia itu sepenuhnya benar dari sudut pandang biologis, kamu tidak bisa mendapat sapaan yang lebih parah lagi dari itu.
“Jadi mengapa kamu sedang berjalan menuju tembok?”
“…Aku tersesat,” kata Yukinoshita muram dengan sebuah ekspresi yang hanya bisa dikatakan sebagai… pasrah. Seperti dia sedang di ambang melakukan seppuku. Matanya meluap dengan rasa jengkel saat dia membuka brosurnya dan membacanya dengan teliti sekali lagi.
“Uh, tempat ini tidak cukup besar untuk bisa tersesat, kamu tahu…”
Jadi dia tidak punya intuisi arah, huh… yah, kurasa ada saat-saat dimana kamu menjadi tersesat meskipun ketika kamu memiliki sebuah peta. Peta tidak benar-benar berguna, terutama ketika kamu berada dalam sebuah bangunan dimana setiap blok terlihat sama seperti yang sebelumnya. Seperti Komiket atau lantai bawah tanah Stasiun Shinjuku. Stasiun Umeda begitu parahnya sampai kamu akan terjebak disana jika kamu tidak membawa kertas grafik dan memetakannya sendiri.
“Selamat siang, Yukino-san!”
“Ah, jadi kamu juga ikut datang, Komachi-san. Selamat siang.”
“Namun, aku tidak menyangka bisa melihatmu di sini,” kataku. “Kamu datang untuk melihat sesuatu?”
“…yah, beberapa hewan disini-sana, kurasa.”
Kucing, singkatnya. Dia menggambarkan sebuah lingkaran merah besar di sekitaran tempat kucing…
Telah menyadari tatapanku, Yukinoshita dengan kalem melipat brosurnya seakan tidak ada yang salah. “Hi-Hikya…” Dia mencoba untuk bertingkah kalem, tapi dia sepenuhnya tergagap saat berbicara. “Ahem, apa yang sedang kamu lakukan di sini, Hikigaya-kun?”
Kalau aku, aku juga bertingkah seakan aku tidak menyadari apapun, selagi sepanjang waktu berusaha keras menahan diri untuk tidak mengolok-oloknya. Toh, kalau aku mengatakan sesuatu dia mungkin akan membalasku lima kali lipat…
“Aku datang kemari setiap tahun dengan adikku.”
“Disini juga tempat dimana kami bertemu kucing kami!” sela Komachi.
Seperti yang Komachi katakan, di sinilah tempat kami bertemu kucing kami Kamakura untuk yang pertama kalinya. Dia mungkin seekor kucing brandalan yang kurang ajar, tapi dia punya silsilah. Saat Komachi berkata dia menginginkannya sebagai seekor hewan peliharaan, itu sudah keputusan akhir. Aku merasa kasihan pada ayah kami, yang hanya dipanggil datang untuk membayar bonnya.
Yukinoshita melihat ke arah Komachi dan aku, sebuah senyuman terlihat dengan jelas di wajahnya. Jangan itu lagi. Dia memasang tampang ini di wajahnya sebelumnya.
“…kalian berdua begitu akur seperti biasa, yah.”
“Tidak terlalu, seperti sebuah acara sepanjang tahun.”
“Oke.” Ada hening sejenak. “Sampai jumpa, kalau begitu.”
“Ya, sampai jumpa.”
Kami berdua mengutarakan kat-kata perpisahan, mencegah ikatan yang lebih jauh lagi.
“Tunggu dulu sejenak, Yukino-san. Karena kamu datang jauh-jauh kemari, ayo kita jalan bersama!” Komachi menarik lengan baju Yukinoshita sebelum dia bisa pergi. “Abangku benar-benar menghancurkan suasana setiap kali dia membuka mulutnya. Aku akan merasa lebih senang bersama denganmu, Yukino-san.”
“B-Begitukah?” tanya Yukinoshita sebagai balasannya, mengambil setengah langkah mundur dari Komachi, yang sedang menekannya tanpa henti.
Komachi mengangguk dengan semangat sebagai balasannya. “Yap yap!” jawabnya. “Ayooooolah!”
“Apa tidak akan menganggu? …Hikigaya-kun, maksudku.”
Aku sedang disingkirkan seakan itu adalah hal yang paling wajar di dunia ini.
“Tunggu dulu, apa omong kosong yang sedang kamu ucapkan ini? Aku menutup mulutku ketika ada orang di sekitar jadi aku sama sekali tidak pernah menganggu, kamu dengar?”
“Dengan kata lain, kamu berbaur ke dalam sekelilingmu, begitu ya… dalam segi itu, kamu memiliki bakat yang menabjubkan…”
Yukinoshita terlihat tidak terkejut maupun terkagum. Tapi yah, sebenarnya, jika kamu merupakan bagian dari kelompok dan kamu menjadi diam, semua orang akan heboh mengkhawatirkanmu.
“…baiklah, kita akan melihat-lihat bersama,” kata Yukinoshita. “Apa ada sesuatu yang ingin kalian lihat? K-kalau tidak ada yang khusus…”
“Mari kupikir…” Komachi memukul tangannya seakan dia terpikir akan sebuah ide cemerlang. “Karena kita datang jauh-jauh kemari, ayo kita lihat hewan-hewan yang biasanya tidak bisa kamu lihat!”
“…Aku benar-benar tidak tahu apa kamu bisa membaca suasananya atau tidak,” kataku.
“Huh? Apa?” Komachi memiringkan kepalanya dengan bingung.
“…Aku akan ikut dengan saranmu.” Yukinoshita menghela pasrah.
Itu sulit untuk tahu apa yang mau dikatakan. Aku meminta-maaf untuk adikku dalam hatiku.
Ketika berbicara tentang sesuatu seperti hewan langka, tidak ada banyak tempat untuk tipe-tipe hewan yang lebih besar seperti yang bisa kamu duga. Melihat situasinya, zona burung memiliki rasio yang kurang lebih setara. Itu mungkin karena burung yang lebih langka tidak memakan banyak tempat.
Setelah meninggalkan bilik yang menampilkan burung-burung menyolok dari negara-negara Selatan di belakang kami, kami pergi ke sebuah area dengan tampilan yang begitu menabjubkan. Area itu, yang dipalangi dengan pegangan tangan yang dibuat dari baja yang diperkuat, merupakan rumah bagi burung-burung agung berparuh tajam, dengan cakar yang diasah dan sayap yang koko.
“L-Lihat itu, Komachi! Garuda! Elang! Rajawali! Oh men, aku harap kita punya salah satu burung ini.”
Sungguh keren… Aku hampir berhenti berjalan dan melompati pegangannya tanpa berpikir. Jika ada satu gejala chuunibyou yang kuidap, itu adalah ketidakmampuanku untuk tidak tergerak oleh penampilan yang begitu mengesankan seperti ini. Itu mungkin bagaimana cara seorang tentara America atau seorang chuuni total akan melihatnya.
Tapi Komachi, yang kelihatannya tidak mampu untuk memahami apa yang begitu menabjubkannya dari itu, mendengus padaku. “Eh? Itu tidak imut. Itu begitu berbau chuuni.”
“Oi, apa omong kosong yang kamu ucapkan ini? Tidakkah itu imut caranya memutar kepalanya, lihat?” Aku berpaling, berniat untuk meyakinkannya, tapi Komachi sudah meninggalkanku. Sungguh kejam.
“Tidak ada yang imut darinya.” Daripada adikku yang berhati-dingin, yang menjawabku adalah Yukinoshita. “Tapi aku memang merasa burung itu agung dan indah,” tambahnya, mengejutkannya.
Tapi kelihatannya dia tidak sedang berbohong. Yukinoshita berdiri di sampingku, mencengkram pegangan bajanya, pandangannya terfokus hanya pada burung-burung pemangsa itu.
“Whoa! Jadi kamu memang memahami kemantapannya! Kamu seorang chuuni dalam hatimu!”
“…itu aku tak memahaminya.”
Alas, nyonya ini memahaminya tidak bisa…
Oh, sial. Teruskan itu lagi dan aku akan mulai terdengar seperti Zaimokuza…
Chuunibyou
Tak terobati seumur hidup
Sebuah penyakit hati (terlalu banyak suku kata)
Sebuah haiku, ditulis oleh Hachiman. Omong-omong, chuunibyou adalah kata yang menandakan mengenai musim apa puisi tersebut. Chuunibyou merupakan musim seminya masa muda.
Catatan Translasi
<references>
- ↑ Komik populer yang diterbitkan di koran Yomiuri Shinbun. Seperti Garfield
- ↑ Kata Jepang untuk foton itu 光子, yang juga bisa dibaca menjadi seorang nama gadis..
- ↑ Geronimo karakter dalam Kinnikuman, komik shonen terkenal.
- ↑ Masuo karakter dalam Sazae-san. Fune itu mertuanya. Mereka memiliki hubungan yang canggung dan renggang.