Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid3 Rapsodi Daun Bambu

From Baka-Tsuki
Revision as of 18:10, 7 February 2009 by Chrhndy (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Setelah dipikir-pikir, walaupun bulan Mei ini sudah cukup hangatnya, aku lebih tersengat di bulan Juli, dengan kelembaban yang lebih parah hingga tingkat ketidaknyamananku melonjak jauh sekali. Bangunan sekolah yang murah meriah ini tidak akan mungkin bisa dipasang dengan fasilitas kelas atas seperti pendingin ruangan. Kelas 1-5 yang beruap itu seperti halte penungguan bus yang menuju neraka. Aku ragu bahwa sang arsitek bangunan ini mengetahui apapun tentang konsep ‘lingkungan hidup yang nyaman.’ Lebih parahnya lagi, minggu pertama bulan Juli ini dipenuhi oleh berbagai macam ujian, sehingga kegembiraan hatiku telah melayang jauh ke Brazil, dan bersikeras tidak mau kembali dahulu. Hasil ujian pertengahan caturwulanku sudah merosot ke tingkat bencana, sehingga ujian caturwulanku tidak akan mungkin berubah secepat itu. Penyebab pastinya adalah karena aku telah membuang waktu terlalu banyak dengan Brigade SOS, sehingga aku tak bisa konsentrasi pada pelajaran sekolah. Aku sesungguhnya tidak berniat untuk terikat seperti itu; aku harus tunduk pada Haruhi kapanpun dia membuat keputusan. Hal ini telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hariku, dan aku mulai terbiasa dengan kehidupan macam begini. Nafas kehidupan berhembus di tengah sinar matahari yang benderang dari ufuk barat ke ruang kelas sesudah sekolah berakhir. Perempuan yang duduk di belakangku menusukku dengan pensil mekaniknya. “Kamu tahu hari apa ini?” Haruhi Suzumiya bertanya dengan wajah seorang anak kecil di hari Natal. Kapanpun dia menampilkan mimik seperti itu, sudah jelas bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang tidak normal lagi. Aku berpura-pura menjadi bodoh sebentar, lalu berkata, "Ulang tahunmu?" "Enggak!" "Ulang tahun Asahina-san?" "Eng-gak!" "Koizumi atau Nagato'." "Gimana aku tahu kapan mereka berulang tahun?" "Kalau kau mau tahu, ulang tahunku…" "Cukup. Kamu enggak sadar betapa pentingnya hari ini?” Sepenting apapun hari ini, hari ini masih normal dan tentunya panas. “Katakan, tanggal berapa sekarang?” “7 Juli… Hey, jangan ngomong kau berbicara soal festival Tanabata, bukan?” “Tentu saja, sekarang festival Tanabata, Tanabata! Hal itu logis kalau kau tinggal di Jepang. Festival itu sebenarnya berasal dari Cina. Dan menurut kalendar Cina, Tanabata seharusnya bulan depan. Haruhi membuka mulutnya, memegang pensil mekaniknya dan melayangkannya ke mukaku. “Batas Asia adalah dari Laut Merah sampai sini.” Pengetahuan geografi macam apa itukah? “Mereka menggabungkan semua negara yang berada di daerah itu untuk kualifikasi Piala Dunia, bukan? Tidak penting apakah sekarang Juli atau Agustus. Yang penting, keduanya jatuh saat musim panas. Ya, benar. “Apapun. Pokoknya kita akan menggelar perayaan Tanabata. Aku tak pernah melewatkan acara hebat seperti itu. Selain idemu, ada hal-hal lainnya yang kita tak harusnya lewatkan. Omong-omong, kenapa kau memberitahuku hal semacam itu? Aku tak punya urusan dengan rencanamu. “Semuanya akan lebih menyenangkan kalau kita rayakan bersama-sama. Aku putuskan kita akan adakan perayaan yang meriah untuk Tanabata setiap tahun, dimulai dari sekarang.” “Jangan seenaknya sendiri.” Walaupun kata-kata itu terucap, melihat Haruhi sedang meledak dengan kesenangan, aku tahu kata-kata itu takkan bermakna. Sesegera setelah kelas berakhir, dia melompat keluar dari kelas dengan perintah, “Tunggu aku di ruang klub! Kau tidak boleh pulang ke rumah!” Kau tidak perlu menyuruhku karena aku sendiri sudah mau pergi ke ruang klub. Karena aku ingin bertemu dengan seseorang – dan hanya seseorang itu sendiri.


Anggota-anggota lain sudah berkumpul di ruang klub, yang berada di lantai dua di gedung kesenian. Dibandingkan dengan panggilan ruang klub Sastra yang dipinjamkan ke Brigade SOS, lebih baik disebut markas de-facto yang direbut secara paksa. “Oh, halo.” Yang tersenyum dan menyapaku dengan gembira adalah Asahina-san. Dia adalah sumber kenyamanan hatiku, tanpanya, Brigade SOS takkan berarti seperti nasi kare tanpa kare. Sejak Juli, Asahina-san telah berganti kostum menjadi pakaian maid musim panas. Haruhilah yang membeli kostum itu, aku tidak bisa menebak dari mana dia bisa mendapat kostum menarik seperti itu, sedangkan Asahina-san akan terus berterima kasihpadanya secara tulus. “Ah…. Te… terima kasih banyak.” Sekarang juga, Asahina-san masih menjadi maid Brigade SOS yang pendiam, dengan rajinnya menuang the untuk disajikan padaku. Aku menyeruput seteguk teh dan memerhatikan keadaan sekitar "Hey, apa kabar?" Koizumi menengok dan menyapaku. Dia duduk di depan papan catur yang terletak di atas meja, dan memegang buku catur sewaktu menggerakan pion catur dengan tangan lainnya. "Kabarku tidak pernah normal sejak aku masuk SMU." Koizumi bilang bahwa dia bosan dengan Othello, jadi dia membawa papan catur minggu kemarin. Tapi sejak tak ada yang bisa bermain catur lagi, dia harus bermain sendiri. Dia terlihat sangat santai walaupun ujian sudah menunggu di depan. "Hmm, aku tidak sesantai itu. Aku hanya memanfaatkan waktu di luar belajar untuk melatih otakku. Dengan setiap masalah terpecahkan, peredaran darah di otak akan menjadi lebih lancar. Bagaimana kalau kita bermain?" Tidak, terima kasih. Aku tidak mau melatih otakku yang sudah lelah ini. Jika aku terbebani pikiran aneh lagi, semua kata-kata Inggris yang sudah aku susah payah hapalkan akan dimuntahkan lagi dari otakku. "Sayang sekali. Mungkin aku akan membawa papan monopoly atau kapal perang lain waktu? Ah ya, gimana kalau kita bermain sesuatu yang kita berdua tahu? Apa usulmu?" Apapun, atau mungkin tidak. Klub ini bukan Kelompok Penelitian Permainan Papan. Omong-omong, aku masih heran dengan semua kegiatan yang Brigade SOS telah lalui. Tidak pasti apa yang klub kurang beres ini sedang lakukan. Akupun tidak mau tahu, karena dengan begini kemungkinanku bertahan hidup akan bertambah. Jadi aku tak terdorong untuk melakukan apapun, itulah logika yang sempurna. Koizumi meluruskan bahunya dan kembali menelaah buku caturnya. Dia mengambil kuda hitam dan menggerakkannya di atas papan. Di sebelah Koizumi, dengan emosi lebih sedikit daripada robot, duduklah satu alien bernama Yuki Nagato, yang sibuk membaca buku. Alien pendiam dan aneh ini telah berganti kesukaan dari novel terjemahan ke novel bahasa asing asli. Dia sedang membaca buku yang sampulnya diceceri oleh bahasa yang tak dapat kumengerti, seperti buku petunjuk sihir saja. Aku tebak mungkin tulisan itu ditulis dengan bahasa Jawi kuno atau semacamnya. Aku yakin Nagato takkan mengalami kesulitan memahami prasasti Tugu. Aku menarik kursi lipat dan duduk. Asahina-san dengan tangkasnya menyajikan secangkir teh di depanku. Siapa yang mau minum teh panas di hari yang panas.... Aku tak berniat protes apapun karena aku pasti akan membuat seluruh isi surga mengamuk, dan meneguk tehku dengan puji syukur. Hmm, tehnya menguap. Di pojok ruangan ada kipas angin listrik yang Haruhi dapatkan entah dari mana. Bagaimanapun efek pendinginannya seperti menuangkan air mendidih ke setumpuk batu panas. Kalau kau bisa mengambil barang dari entah manapun, kenapa tidak memilih pendingin vertikal dari ruang guru? Aku palingkan pandangku dari buku cetak Bahasa Inggris, dengan halaman-halamannya terhembus angin, beralih kembali ke kursi lipat dan meregangkan badanku. Sadar bahwa aku takkan belajar sesampai di rumah, aku ingin menguji bisakah aku belajar lebih baik di ruang klub, tapi aku benar-benar tidak terusik oleh pelajaran, di manapun aku berada. Tak ada penyelesaiannya, sehingga tidak baik untuk kesehatan jasmani dan rohani untuk memaksa. Aku memainkan pensil otomatisku dan menutup buku, dan berniat memandangi penyetabil jiwaku. Dia, yang mampu mendinginkan hati pedasku, mengenakan kostum maid di seberangku, sedang mengerjakan soal matematika. Melihat dengan sungguh-sungguh pada bukunya, lalu memutar-mutar halaman, terlihat sangat terserap pada pekerjaannya, lalu tiba-tiba dengan cepat menulis seperti diterangi oleh ilham, dan mengulang semuanya, itulah Asahina-san. Dengan melihat seperti itu saja aku sudah merasa tenang. Tiba-tiba aku merasa iba, ingin sekali menyumbangkan seluruh uangku, terlepas dari uang sakuku, ke pengamen di jalanan tanpa pertimbangan macam-macam. Asahina-san tidak sadar atas perhatianku dan terus mengerjakan matematika. Semua gerak-geriknya membuatku tersenyum, bahkan aku sedang tersenyum. Seperti yang kulihat adalah anjing laut kecil yang imut. Mata kami bertemu pandang. "Ah, a.. apa ini? Apa kelakukanku tidak wajar?" Asahina-san dengan paniknya menghindar, melumatkan hatiku lebih lagi. Hampir saja aku nyanyikan mazmurku pada bidadariku itu... "Ya-ho!" Pintu terbanting, seorang perempuan melangkah ke dalam dengan bangga. "Maaf, maaf, aku telat." Buat apa meminta maaf, tidak ada yang menunggumu. Haruhi muncul dengan memegang setongkat bambu di atas pundaknya. Tongkat bambu itu masih segar dengan daun bambu hijau di sekelilingnya. Kenapa kamu membawanya ke sini? Untuk membuat kotak uang? Haruhi menggembungkan dada dan membalas, "Memang kenapa, ini buat menggantung permintaan tentu saja." Kenapa? Kenapa lagi? "Bukan apa-apa sih, aku hanya tidak pernah menggantung permohonan di tongkat bambu lama sekali, jadinya aku berniat melakukannya lagi di hari ini, perayaan Tanabata!" ... Seperti biasa, jangan harapkan makna yang mendalam. "Dari mana tongkat ini?" "Di hutan bambu di belakang sekolah. Jika ingatanku sehat, daerah itu kepunyaan pribadi, kau pencuri. "Apa urusannya? Akar bambu 'kan tumbuh di bawah tanah, jadinya tak penting kalau aku potong bagian atasnya saja. Beberapa nyamuk menggigitku tadi, gatal sekali. Mikuru-chan, tolong salepkan krim anti nyamuk di punggungku. "Ya, sekarang juga!" Asahina-san berjalan kecil-kecil membawa kotak palang merah seperti suster magang. Dia mengambil salep lalu menyelipkan tangannya ke dalam kerah seragam pelaut Haruhi dan sampai ke punggung Haruhi. Haruhi memiringkan badannya ke depan dan berkata, "Sedikit ke kanan... terlalu ke kanan. Ya, di sana." Haruhi sekarang terlihat seperti kucing piaraan yang dagunya dielus-elus dan memejamkan matanya dengan santai. Dia menaruh tongkat bambunya di jendela, menaikki meja pemimpin, lalu mengambil beberapa helai tanzaku entah dari mana dan tersenyum cerah. "Sekarang, ayo tulis harapan kita!" Nagato mengangkat kepalanya perlahan, Koizumi tersenyum hati-hati dan Asahina-san melebarkan matanya. Apa maunya kali ini? Haruhi melonjak dari meja, dengan roknya terkibar oleh angin selagi dia berkata, "Tapi ada syaratnya." "Syarat apa?" "Kyon, kau tahu siapa yang mengabulkan permintaan pada Tanabata?" "Orihime dan Hikoboshi bukan?" "Betul. Sepuluh poin untukmu. Terus, kamu tahu bintang mana yang mewakili Orihime dan Hikoboshi?" "Enggak." "Bintang-bintang di Vega dan Altair?" Koizumi menjawab secepat kilat. "Benar! 85 poin untukmu! Itulah dua bintang yang dimaksudkan! Dengan kata lain, kau harus arahkan tongkat bambu yang ada tanzakunya ke arah bintang-bintang itu. Mengerti?" Apa maksudmu? Dan cara penilaian apakah ini? Heh heh. Haruhi tiba-tiba menunjukkan wajah bengisnya. "Biar kujelaskan. Suatu benda takkan bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya, menurut Teori Khusus Relativitas." Apa hubungannya teori itu dengan masalah ini? Haruhi mengambil sebuah catatan dari kantung roknya dan membacakannya keras-keras, "Sekadar untuk pengetahuan tambahan, dari bumi ini, jarak ke Vega dan Altair masing-masing dua puluh lima dan enam belas tahun cahaya. Artinya agar pesan kita tercapai ke bintang-bintang itu, lama waktunya dua puluh lima dan enam belas tahun. Itu faktanya, semuanya mengerti?" Terus apa? Kenapa lagi kau mau-maunya meneliti hal semacam itu? "Begitu juga dengan lama waktunya para dewa menerima permohonan kita, benar? Kita harus menunggu selama itu dahulu sebelum permohonan kita diterima. Jadi tulis permohonanmu untuk dua puluh lima atau enam belas tahun ke depan! Permohonan seperti 'aku mau punya selusin pacar nanti Natal' takkan berhasil, karena permohonannya takkan dikabulkan tepat waktu." Haruhi melayangkan tangannya dan melanjutkan. "Tunggu dulu, jika kita perlu sekitar dua puluh tahun, berarti untuk kembali lagi perlu lama waktu yang sama bukan? Berarti kita harus menunggu selama lima puluh tahun dan tiga puluh dua tahun masing-masing supaya permohonan kita dikabulkan?" "Gimanapun juga, mereka 'kan dewa. Pastinya mereka mampu membantu kita. Pasti ada tawaran 50% penjualan setiap tahun!" Kapanpun cocok baginya, Hukum Relativitas akan dibuang olehnya. "Semuanya mengerti kata-kataku sekarang? Jadi ada dua tipe tanzaku, datu untuk Vega, satu untuk Altair. Jadi tulis permohonanmu untuk dua puluh tahun dan enam belas tahun ke depan." Benar-benar tidak masuk akal. Memohon dua permohonan untuk dikabulkan saat bersamaan benar-benar tidak tahu malu. Lagipula, mana mungkin kita tahu akan jadi apa kita nanti dua puluh lima atau enam belas tahun ke depan? Harapan terbaik adalah mendapat pesangon pensiun atau dana investasi secara benar dan bekerja dengan baik, pikirku. Jika Orihime dan Hikoboshi bisa mendengar permohonan macam itu, pastilah kepala mereka pening. Mereka cuma bisa bertemu masing-masing tiap tahun, terus diminta hal-hal yang tolol. Kenapa kau tak himbau para politikus untuk membantu? Jika aku adalah para dewa itu, aku akan sarankan hal itu. Bagaimanapun juga, seperti biasa, gadis ini terbiasa memikirkan segala hal yang aneh. Mungkin sekali ada lubang putih di kepalanya, karena akal sehatnya seperti bersumber dari alam semesta yang lain. "Itu tidak sepenuhnya benar." Koizumi berbicara seperti pengacara Haruhi. Tapi dia mengatakannya dengan bisikan sehingga hanya aku yang dapat mendengar. "Benar bahwa kelakukan dan omongan Suzumiya-san unik, tapi ditimbang-timbang dari keadaan sekarang, jelaslah dia mengerti akal sehat." Koizumi menyelipkan senyuman biasanya dan melanjutkan, "Jika pola pikirannya abnormal, dunia ini takkan jadi sestabil ini. Dunia pastinya berada di bawah aturan-aturan yang aneh jika hal itu terjadi." "Bagaimana kau pasti?" Aku tanya. "Suzumiya-san berharap seluruh dunia akan berubah sedikit saja dan dia memiliki kekuatan untuk membangun ulang dunia dari serpihan-serpihan. Kau mestinya sudah tahu itu." Jelaslah aku tahu. Tapi aku pun punya keraguan. "Akan tetapi, sejauh ini, dunia belum sepenuhnya jatuh ke jurang irrationalitas, karena dia menghargai akal sehat lebih dari keinginannya sendiri." "Contoh ini mungkin sedikit kekanak-kanakan, tapi," Koizumi mengangkat kepalanya dan berkata, "Ayo kita andaikan bahwa dia ingin Sinterklas benar-benar ada. Dari pengetahuan umum, Sinterklas tidak pernah ada dalam kenyataan. Karena, kondisikan Jepang saja, tidak mungkin seseorang memasuki rumah yang terkunci di tengah malam, meninggalkan hadiah tanpa ketahuan sedikitpun. Bagaimana Sinterklas tahu keinginan setiap anak setiap Natal? Dan tidak mungkin dia bisa memberi hadiah di rumah setiap anak itu dalam jangka hanya satu malam. Secara fisika tidak mungkin." Yang ingin menganggapi penjelasan itu secara serius pastilah mengalami gangguan jiwa. "Tentu saja, jadi karena itulah Sinterklas tidak ada." Alasanku untuk berdebat dengannya adalah karena dia membela Haruhi, dan itu membuatku kesal. Jadi aku angkat pertanyaanku, "Kalau kau benar, pastilah tidak mungkin alien, pengelana waktu dan esper ada di dunia? Lalu kenapa kau ada di sini?" "Itulah yang membuatku dapat membayangkan Suzumiya-san merasa tidak nyaman dengan akal sehat yang ada di dalam pikirannya. Akal sehatnya telah sekali lagi menolak kemauannya - satu dunia di mana kejadian supranatural adalah norma sehari-hari." Tidakkah itu berarti Haruhi memiliki akal sehat yang sedikit miring? "Mungkin dia tidak bisa sepenuhnya melawan pikiran itu, yang menyebabkan aku, Asahina-san dan Nagato-san dipanggil ke sisinya, dan itulah alasannya aku dianugerahi kekuatan supranatural. Aku tidak yakin pendapatmu soal ini." Paling baik aku bersikap ragu. Setidaknya aku bukan sepertimu, aku sadar sepenuhnya aku manusia biasa. Tapi aku tak mungkin tahu bahwa keadaan itu berkat atau kutukan. "Hey kamu! Jangan berbicara sembunyi-sembunyi! Aku sedang membincangkan sesuatu di sini!" Merasa tidak terlalu senang aku dan Koizumi berbicara sendiri, mata Haruhi telah berubah bentuk menjadi segitiga selagi dia berteriak. Jadi aku dan Koizumi harus secara patuh kembali ke tanzaku dan pensil yang Haruhi berikan kepada kami. Haruhi bernyanyi kecil dan mulai menulis; Nagato duduk diam dan memandang tanzaku; Asahina-san terlihat kesulitan menghadapi sesuatu yang lebih rumit daripada soal matematika yang sulit. Koizumi secara santainya bergumam, "Hmm, inilah sesuatu yang bisa dikerjakan", selagi memiringkan kepalanya. Apa kalian bertiga harus seserius itu untuk hal seperti ini? Tidakkah lebih mudah kalau kita bersikap santai dan tulis apapun yang kita mau? ...Dan jangan katakan permohonanmu akan menjadi kenyataan!

Aku mainkan pensilku dengan jari-jemariku dan memandang ke sekeliling. Batang bambu yang Haruhi "curi" tergeletak di kusen jendela yang terbuka, sehingga daun-daunnya terurai. Angin tenang yang menghembuskan daun-daun itu, menyegarkan suasana.

"Semuanya sudah selesai?"

Suara Haruhi membangunkan lamunanku. Di atas mejanya terdapat dua catatan: "Biarkan dunia ini berputar denganku sebagai porosnya!" "Aku harap bumi akan berputar terbalik." Benar-benar penuh dengan coretan anak autis. Lebih baik lagi kalau hal ini adalah sebuah lelucon, tetapi Haruhi terlihat sangat serius ketika dia mengikatkan tanzakunya ke daun bambu.

Asahina-san menulis dengan tulisan tangan yang rapi dan lucu: "Semoga keterampilan menjahitku meningkat." "Semoga keahlian memasakku bertambah baik." Harapan-harapan itu terlalu mengagumkan. Dia mengatupkan telapak tangannya dan berdoa kepada tanzaku yang ia gantung di daun bambu. Aku rasa dia pasti menulis sesuatu yang salah.

Tak ada yang menarik pada tanzaku Nagato, ditulis dengan huruf biasa, dia menulis kata-kata tunggal monoton seperti 'harmoni' dan 'pembentukan ulang'

Koizumi tidak banyak berbeda dari Nagato. Dengan tulisan tangan yang herannya tak rapi, dia menulis istilah mudah seperti 'kedamaian dunia' dan 'keluarga sakinah'.

Bagaimana denganku? Tidak sulit juga. Karena lama waktunya adalah dua puluh lima dan enam belas tahun, aku akan sudah jadi tua waktu itu, jadi harapan masa depanku adalah: "Berikan aku uang." "Berikan aku rumah besar dengan taman di mana aku bisa mandikan anjingku." "Kamu benar-benar brengsek." Haruhi mengumandangkan pikirannya setelah tercengang melihat catatanku. Dia secara tidak tersangka merasa terkejut pada permohonanku. Dalam jangka panjang, permohonanku akan lebih berguna daripada membalikan putaran bumi! "Baiklah, cukup adil. Semuanya, ingatlah permohonan kalian sekarang! Tahap pertama akan datang enam belas tahun lagi. Ayo berlomba siapa yang paling cepat dikabulkan permohonannya oleh Altair!" "Oh... pastilah... tentu saja..." Aku pandangi lagi Asahina-san menganggukan kepalanya dengan ekspres serius selagi aku kembali ke kursiku. Sementara itu, Nagato telah menyelam kembali ke dunia buku-buku. Haruhi mengikat batang bambu yang panjang itu keluar jendela dan meletakannya tegak. Dia lalu mengambil kursi di sebelah jendela dan duduk. Dia menempelkan pipinya ke kusen jendela dan memandangi langit. Sisi wajahnya yang itu terlihat murung, seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Orang itu memang gampang berganti siklus perasaan, padahal dia baru saja berteriak dengan semangat sesaat lalu. Aku buka buku pelajaranku, dan mulai mengerjakan soal latihan lagi. Selagi aku mencoba menghapal jenis-jenis kata sifat, ".....Enam belas tahun huh? Lama sekali." Aku dengar Haruhi berbisik separuh nafasnya di belakangku.

Nagato membaca novel bahasa asingnya seperti patung. Koizumi mulai bermain catur sendiri. Aku berusaha belajar terjemahan Inggrisku. Selama ini, Haruhi masih duduk di sudut jendela dan memandangi lain. Dia sebenarnya indah untuk dipandang jika dia tetap duduk di sana tanpa bergerak. Pertamanya aku pikir Haruhi akan merebut daun dari buku Nagato, tapi entah kenapa sikap Haruhi yang sangat tenang itu mengkhawatirkanku. Aku curiga dia sedang merumuskan hal-hal yang akan membuat kami sakit kepala lagi. Di sisi lain, sampai batas-batas tertentu, Haruhi terlihat mengalami depresi hari ini. Kadang-kadang dia hanya akan melihat ke lain dan menghembuskan nafas panjang. Hal ini seharusnya menggetarkan bulu kudukku lebih lagi. Badai akan muncul hanya setelah sesaat ketenangan; ini terlalu mengkhawatirkan. Kertanegara pun mengalami hal yang sama saat sebuah perayaan keagamaan sebelum kerajaan Singasarinya diserbu oleh Kediri. Aku dengar suara sehelai kertas digoretkan sehingga aku angkat kepalaku. Duduk di seberangku dan sedang bekerja keras mengerjakan matematika, Asahina-san menaruh telujuknya di atas bibirnya dan mengedipkan mata kanannya, dia lalu memberiku tanzaku tambahan yang dia ambil sebelumnya. Setelah melirik pada Haruhi, Asahina-san lalu menarik tangannya dan menganggukan kepalanya dengan wajah gadis kecil yang baru saja berhasil membuat keisengan. Niatku untuk menjadi partner seorang kriminal sudah sepenuhnya dibangunkan. Aku menarik cepat tanzaku itu dan membacanya dengan hati-hati. "Tolong tetap tinggal di ruang klub setelah kegiatan hari ini sudah berakhir. - Mikuru-chan" Pesan itu ditulis dengan tulisan kecil dan bulat. Bagaimana bisa aku menolak.

-- Bersambung ---