Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 6
Bab 6 : Meski begitu, Hikigaya Hachiman
6-1
Aku menghempaskan diriku ke sofa di ruang tamu dan aku bisa mendengar suatu suara klik yang menyela suara detakan jarum menit dari jam di atas dinding.
Ketika aku dengan santai melihatnya, jarum jamnya sudah mencapai tengah malam.
Sejumlah waktu yang lumayan banyak telah berlalu semenjak aku diturunkan oleh Hiratsuka-sensei.
Komachi dan orangtuaku sudah memakan makan malam mereka dan sekarang sudah terkunci di dalam ruangan mereka sendiri. Kamakura mungkin sekarang ini sedang tertidur di ruangan Komachi.
Kadang kala, kotatsunya akan membuat suara dengungan pelan mungkin karena kotatsu itu termasuk model lama. Kotatsunya ditinggalkan menyala walaupun tidak ada orang yang menggunakannya. Aku berdiri, mematikan listriknya, dan kembali ke sofa.
Ruangannya begitu dingin itu sebaliknya merupakan bantuan besar. Aku tidak akan mengantuk dan yang terpenting, kepalaku sepenuhnya jernih seperti cuaca dingin itu.
Hiratsuka-sensei sudah pasti memberikanku petunjuk. Kemungkinan itu tidak hanya terbatas pada hanya hari ini sebab itu juga merupakan sesuatu yang terus diberitahunya padaku sampai sekarang ini. Tapi aku pastilah sudah gagal menyadarinya, salah memahaminya, atau bahkan melewatkannya. Itulah kenapa aku harus memikirkannya lagi, mulai dari yang paling awal sekali.
Aku harus menetapkan dan mempertimbangkan kembali masalahnya sekali lagi.
Rintangan yang paling baru dan terbesar adalah, tentu saja, acara kolaborasi Natal itu. Walaupun aku menjalankan tugas membantunya, situasi sekarang ini sudah hampir runtuh.
Ditambah itu, masalah dari Isshiki Iroha menjadi jelas. Sementara akulah orang yang mendorong posisi ketua OSIS pada dirinya, Isshiki tidak sedang mengurus OSIS dengan baik.
Terlebih lagi, situasi Tsurumi Rumi juga terkait dengan ini. Aku tidak tahu efek seperti apa tindakanku selama liburan musim panas di Desa Chiba itu pada dirinya. Tapi aku tidak bisa berpikir situasinya sekarang ini sebagai sesuatu yang positif.
Dan kemudian… Dan kemudian, ada masalah yang menyangkut Klub Servis.
Tapi mengenai masalah yang terakhir ini, hanya memikirkannya saja membuat hatiku merasa suram dan sesuatu yang menyerupai suatu solusi tidak mau terlintas dalam pikiranku. Ekspresi yang menyerah setelah mencoba untuk mencari suatu kesempatan, senyuman yang dipaksa untuk mencoba terlihat ceria, dan akhirnya, kata-kata yang seharusnya dikatakan padaku itu semua berputar-putar lagi dan lagi di dalam kepalaku.
Aku berakhir menyia-nyiakan sejumlah waktu yang signifikan sejak tadi karena pikiranku terpaku pada hal-hal itu. Ini adalah suatu masalah yang sebaiknya kutinggalkan untuk nanti.
Sekarang setelah itu ditetapkan, terutama tiga masalah yang lain itu memiliki tujuan yang dengan jelas sudah tertancap jadi itu sederhana saja untuk dipahami.
Yang pertama adalah untuk membuat Isshiki melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai ketua OSIS melalui acara ini. Selanjutnya adalah untuk membuat Tsurumi Rumi bisa menampilkan senyuman itu pada setiap orang meskipun dia sendirian. Berikutnya lagi, acara ini perlu dilaksanakan di dalam lingkup akan apa yang memungkinkan secara realistis dengan mengusahakan kerja sama minimum dengan SMA Kaihin Sogo termasuk Tamanawa.
Jika ini semua dicapai, maka suatu solusi sementara seharusnya dapat terlihat.
Aku terus menyusun kembali masalah-masalah dari kepalaku, mencari-cari solusi optimal itu seakan aku sedang menancapkan bendera kematianku sendiri. Apa yang menghubungkan mereka semua adalah acara kolaborasi Natal ini. Tiga masalah itu terangkum dengan hal ini.
Aku hanya perlu memikirkan cara yang akan membuat ini menjadi sukses dengan cara yang ideal.
Tapi setelah memikirkan dengan teliti pekerjaan untuk minggu ini, aku sadar bahwa ini bukanlah suatu pencapaian yang mudah. Aku tidak merasa aku dapat mampu membalikkan situasi ini. Aku bahkan berbicara pada Tamanawa mengenai apakah ada sesuatu yang bisa diperbaiki.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku sebaiknya meminta bantuan dari seseorang.
Kalau begitu keadaannya, satu-satunya yang bisa kumintai bantuan adalah Komachi.
Tapi Komachi tidak sedang berada dalam situasi di mana dia dapat diganggu sebagai seorang murid yang ikut ujian. Bagi adik kecilku yang sudah hampir mendekati ujiannya dalam kurang dari dua bulan, aku tidak bisa meminta dia untuk bantuannya. Tidak mungkin aku bisa menggangu titik penentuan dalam hidupnya.
Kalau begitu, siapa lagi yang ada? Zaimokuza? Kalau itu dia, aku bisa menganggunya tanpa merasa begitu buruk mengenainya. Dia mungkin juga senggang. Namun, mempertimbangkan bahwa kami memiliki banyak kelompok yang terlibat, aku rasa tidak ada cara untuk membuat Zaimokuza berfungsi dengan sebagaimana semestinya. Belum dibilang dia itu sudah tidak mampu berkomunikasi dengan orang jadi itu akan lebih parah dengan orang dari sekolah lain.
…Tidak, aku tahu itu bukan salah Zaimokuza.
Tanggung jawab dan penyebabnya terletak pada diriku.
Persisnya betapa lemahnya aku?
Kenapa aku begitu cepat mencoba untuk bergantung pada orang lain? Hanya karena aku meminta bantuan untuk sekali itu, aku menjadi salah paham. Dan seekarang aku segera mencoba untuk bergantung pada orang lain.
Persisnya kapan aku menjadi begitu lemah?
Hubungan antar manusia pastilah sebuah narkoba. Tidak kamu sadari kamu menjadi tergantung semua sementara hatimu perlahan memburuk dari dalam. Dan kemudian kamu berakhir perlu bergantung pada orang lain dan kamu akhirnya tidak bisa melakukan sesuatu sendiri.
Kalau begitu, apa itu mungkin bahwa dengan berniat mengulurkan tangan pada orang itu berarti aku sebenarnya sedang membuat mereka menderita? Apa aku sedang melahirkan orang-orang yang tidak dapat berdiri di atas kaki mereka sendiri kecuali mereka memiliki bantuan dari seseorang?
Meskipun kami seharusnya mengajari mereka bagaimana menangkap ikan dan bukan memberi mereka ikan.
Sesuatu yang bisa dengan mudahnya diberikan pada seseorang itu pastilah palsu. Sesuatu yang bisa dengan mudahnya diberikan itu pastilah sesuatu yang bisa dengan mudahnya diambil oleh seseorang.
Selama pemilihan ketua OSIS itu, Komachi memberiku sebuah alasan. Aku bergerak dengan posisi bahwa aku sedang melakukannya demi Komachi, untuk mempertahankan kelangsungan dari eksistensi Klub Servis.
Itulah kenapa aku mungkin keliru waktu itu.
Walaupun aku seharusnya bertindak dengan sebuah jawaban dan alasan yang kutemukan untuk diriku sendiri.
Bahkan sekarang, aku sedang mencari suatu alasan untuk bertindak dari seseorang. Demi Isshiki, demi Rumi, demi acaranya.
Apa itu semua benar-benar alasan-alasan kenapa aku mau bertindak? AKu merasa seperti aku keliru dengan prasyaratnya. Poin-poin yang seharusnya kupikirkan pastilah salah.
Jika aku akan membenarkan apa yang benar atau salah, maka aku perlu mulai dari awal.
Sampai hari ini, demi apa aku sedang bertindak? Apa alasannya? Aku akan menyusuri kembali peristiwa-peristiwa yang ada dalam pikiranku tadi dalam urutan kronologis balik.
Alasan acara Natal perlu menjadi sukses adalah demi Isshiki Iroha dan demi Tsurumi Rumi. Dan alasan kenapa aku membantu acaranya secara langsung karena aku mendorong posisi ketua pada Isshiki saat pemilihan ketua OSIS. Dan selama pemilihan itu, kenapa aku melakukan itu untuk mencegah Yukinoshita dan Yuigahama menjadi ketua. Kenapa aku ingin mencegah mereka berdua menjadi ketua? Alasan yang kuterima dari Komachi adalah dasar bagiku untuk bergerak, tapi alasan sebenarnya kenapa aku bergerak adalah…
Ada sesuatu yang kuinginkan.
Di masa lalu kemungkinannya itu adalah satu-satunya hal yang kuinginkan dan bahwa aku tidak perlu apa-apa selain itu, bahkan bertindak sejauh sampai membencinya. Tapi untuk tidak mampu sepenuhnya mendapatkan itu, aku mulai berpikir itu tidak ada.
Namun, itu karena aku merasa aku telah melihatnya. Bahwa aku bahkan mungkin telah menyentuhnya
Itulah kenapa aku keliru.
Aku mampu membuat pertanyaannya. Sekarang aku perlu berpikir. Tentang apa jawabanku itu.
Aku tidak tahu berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk berpikir. Tapi malam yang diwarnai dengan warna biru itu mulai lenyap selagi langitnya dengan samar-samar terus memutih.
Aku sedang berpikir sepanjang waktu, namun aku tidak bisa memikirkan satu cara, rencana, atau strategi apapun. Tidak peduli logika, teori, alasan, dan sofistri apapun yang bisa kupikirkan, tidak ada yang terlintas dalam pikiranku.
───Itulah kenapa, mungkin ini dia. Mungkin ini merupakan jawabanku.
6-2
Selepas sekolah di ruang kelas. Aku merenggangkan badanku di mejaku. Ketika aku menggerakan badanku sedikit, ada suara kreak pada leher dan pinggangku.
Pada akhirnya, aku berangkat ke sekolah tanpa mendapat banyak tidur kemarin malam. Segera setelah aku sampai ke mejaku, aku tergeletak di atasnya dan sebagian besar pelajarannya masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan.
Namun, pikiranku sekarang ini teramat jernih.
Aku masih setengah ragu akan jawaban yang kupikirkan yang memakan satu malam itu. Aku tidak yakin apa ini benar-benar tepat atau tidak.
Namun, aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang lain.
Aku membuat satu helaan besar terakhir dan berdiri.
Tujuanku hanya satu tempat.
Aku meninggalkan ruang kelas dan melintasi lorong.
Lorong yang suram dan sepi itu tidak membuatku merasa terganggu. Sudah untuk beberapa saat ini, aliran darahku tidak mengenakkannya cepat dan suhu tubuhku sia-sianya tinggi. Suara angin menghantam jendela dan suara mereka-mereka dalam klub-klub olahraga terdengar begitu jauhnya sampai aku tidak bisa mendengar itu semua. Aku mengulang-ulang kata-kata yang perlu kukatakan lagi dan lagi di dalam hatiku sehingga aku tidak bisa mendengar yang lain.
Aku dapat melihat pintu yang mengarah ke tempat yang kutuju. Pintu itu tertutup rapat dengan keheningan yang mencekam yang parah.
Aku berdiri di depan pintunya dan dengan pelan menarik suatu nafas dalam. Aku kemudian mengetuk pada pintunya dua sampai tiga kali. Meskipun aku telah memasuki ruangan ini sampai hari ini, aku tidak pernah mengetuk pintunya. Namun, untuk sesuai dengan tujuanku hari ini, mengikuti formalitas ini adalah wajar.
Aku menunggu sejenak, tapi tidak ada suatu jawaban dari dalam.
Aku mengetuk sekali lagi.
“Masuk…”
Aku dapat mendengar suatu suara lemah datang dari balik pintu ini. Sampai sekarang ini, aku tidak pernah memperhatikannya, tapi beginilah bagaimana kamu akan mendengar suara mereka melalui sepotong pintu ini, huh? Setelah mendapat jawaban, aku meletakkan tanganku pada gagang pintu.
Pintunya membuat suara bergeser saat terbuka. Pintu ini berat. Apa pintu ini benar-benar seberat ini sebelumnya? Aku memusatkan kekuatanku dan memaksa pintunya terbuka.
Ketika aku masuk ke dalam, wajah-wajah yang lumayan terkejut sekali itu terletak pada tempat yang sama seperti biasanya.
“Hikki, ada apa? Kamu biasanya tidak mengetuk.”
Yuigahama Yui memiliki ponselnya tergenggam pada tangannya seperti biasanya dan memiliki tampang kebingungan.
Yukinoshita Yukino menandai posisi halaman dalam buku yang belum diselesaikannya dengan penanda bukunya dan meletakkan bukunya ke atas meja. Dia mengalihkan matanya ke bawah dengan perhatiannya terpusatkan kee atas meja.
Yukinoshita membisikkan beberapa kata dengan suara kecil yang tidak tertuju pada siapapun.
“…Bukankah aku memberitahumu bahwa kamu tidak perlu memaksa dirimu untuk datang?”
Aku dengan hening mendengarkan kata-kata itu sampai akhir hanya supaya suara itu tidak akan terselip dari telingaku.
“…Aku ada sedikit urusan di sini.”
Ketika aku menjawab singkat, Yukinoshita tidak mengatakan apa-apa lagi selagi aku tetap berdiri. Selagi kami melakukan itu, suatu keheningan melanda ruangan itu seakan malaikat telah turun.
“Ke-Kenapa tidak kamu duduk dulu?”
Baik Yukinoshita dan aku sama-sama melihat pada Yuigahama selagi dia berbicara dengan penuh tekad. Aku mengangguk padanya dan menarik tempat duduk terdekat di sana. Setelah aku duduk, tepat di depanku terdapat Yukinoshita dan Yuigahama. Aah, ini yang pertama kalinya aku sadar bahwa orang-orang yang datang kemari untuk permintaan dan konsultasi mereka akan selalu melihat pemandangan ini. Tempat duduk yang telah selalu kududuki sampai hari ini berada di posisi diagonal dari tempat Yukinoshita duduk dan sedang kosong.
“Ada apa…? Bukankah kamu duduk sedikit lebih jauh dari biasa?”
Itu jelas bahwa aku berbeda dari biasa. Toh, aku di sini bukan sebagai anggota klub.
Jawaban yang kupikirkan sepanjang waktu ini, lagi dan lagi, hanya ada satu.
Sekali kamu salah, maka itulah jawabanmu. Kamu tidak bisa menyelesaikan masalah yang sama lagi.
Meski begitu, kamu seharusnya bisa memintanya lagi. Itulah kenapa, kali ini, aku akan mulai mengumpulkan jawaban-jawaban yang benar satu per satu dari awal melalui jalan yang benar dan tindakan yang benar. Aku tidak dapat memikirkan cara lain apapun selain itu.
Setelah aku membuat helaan besar, aku memusatkan perhatianku pada Yukinoshita dan Yuigahama.
“Aku ingin membuat sebuah permintaan.”
Kata-kata yang terus kuulang lagi dan lagi di dalam hatiku keluar dengan jauh lebih mulus dari yang kubayangkan.
Mungkin itulah kenapa. Yuigahama mendengarkan hal tersebut dan membuat tampang lega.
“Hikki, kamu akhirnya akan berbicara pada kami…”
Yuigahama membuat senyuman yang berhati hangat. Tapi Yukinoshita memiliki ekspresi yang sepenuhnya berbeda. Hanya tatapannya yang di arahkan ke arahku, tapi itu terasa seakan dia bahkan tidak sedang melihatku. Ketika aku menerima tatapan itu, suaraku menjadi semakin lemah sedikit demi sedikit.
“Itu mengenai acara Natal yang disebutkan Isshiki sebelumnya. Itu jauh lebih parah dari yang kubayangkan, jadi aku ingin meminta bantuan kalian…”
Setelah aku berhasil menyelesaikan kata-kataku, Yukinoshita menjatuhkan tatapannya dan ragu-ragu untuk berbicara.
“Tapi…”
“Tidak, aku tahu apa yang ingin kamu katakan.”
Sebelum Yukinoshita bisa membantah sesuatu setelah kata penghubungnya, aku menyela dia dan berbicara dengan rentetan cepat.
“Akulah yang terlibat ke dalamnya atas kehendak sendiri dan aku bahkan mengatakan itu sama sekali tidak akan membantu Isshiki. Tapi akulah yang mendorongnya untuk menjadi ketua. Aku sepenuhnya sadar bahwa akulah si penyebab utamanya.”
Jika aku ditolak di sini, itu akan buruk. Aku tidak punya apapun yang bisa meyakinkan Yukinoshita, tapi meski begitu, aku tidak bisa membuatnya menolakku sekarang. Untuk sekarang, aku menyebutkan sejumlah alasan yang terlintas di dalam pikiranku.
“Apa kalian ingat anak SD dari Desa Chiba itu? Dia sama sekali masih belum berubah sejak saat itu…”
“Ahh… Rumi-chan, Kurasa?”
Yuigahama membuat tampang kesulitan. Insiden yang satu itu bukanlah memori yang menyenangkan bagi siapapun. Tidak satu orangpun yang terselamatkan dan semua orang yang terlibat dipaksakan dengan hasil terburuk.
Itulah hasil cara-caraku sampai sekarang ini. Tapi di sana, aku juga keliru lagi. Itulah kenapa, agar tidak keliru lagi kali ini, aku mati-matian melanjutkan kata-kataku.
“Itulah kenapa aku ingin melakukan sesuatu. Banyak hal terjadi karena semua hal yang telah kulakukan sampai sekarang ini, dan aku tahu ini adalah permintaan yang egois dari diriku. Tapi aku masih ingin membuat permintaan ini untuk kalian”
Setelah aku selesai berbicara, aku melihat pada Yukinoshita dan kepalan tangan yang diletakkannya di atas meja meremas dengan erat.
“Jadi, kamu sedang mengatakan itu salahmu?”
“…Yah, aku tidak bisa meyangkalnya.”
Secara langsung ataupun secara tidak langsung, apapun itu, penyebab di balik itu adalah hasil tindakanku. Itulah kebenaran yang sebenar-benarnya. Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita mengalihkan matanya ke bawah dan mengigit bibirnya.
“Begitu ya…”
Yukinoshita berbicara dengan nada yang menyerupai helaan dan mengangkat kepalanya. Mata yang sedikit basahnya itu menahanku untuk sepersekian detik, tapi dia segera memalingkannya. Dia memakan waktu sejenak seakan mencari kata-kata untuk diucapkan dan Yukinoshita meneruskan dengan nada yang dingin.
“…Jika kamu percaya tanggung jawab itu terletak terutama pada dirimu, itu sesuatu yang seharusnya kamu selesaikan sendiri, bukan?”
Nafasku berhenti untuk sesaat mendengar kata-kata tersebut. Tapi aku tahu aku tidak bisa tetap terdiam mendengar itu dan entah bagaimana berhasil memaksakan kata-kata keluar dengan suara parau.
“…Benar. Maaf, lupakan saja apa yang kukatakan.”
Dengan ini, aku tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada apapun lagi yang terpikirkan olehku. Lagipula, sebaliknya, apa yang telah Yukinoshita katakan itu lebih benar secara mendasar.
Itulah kenapa hal tersebut bisa menyakinkanku, setidaknya secara teoritis.
Aku baru saja mau berdiri, terlihat siap untuk meninggalkan ruang klub. Tapi pada saat itu, suatu suara emosional memanggil pada diriku.
“Tunggu.”
Suara itu menggema di dalam ruangan klub yang hening dan dingin.
Yuigahama melihat ke arahku dan Yukinoshita dengan mata basah.
“Bukan begitu. Kenapa, kenapa semuanya harus seperti itu? Itu sedikitpun tidak masuk akal.”
Yuigahama berkata begitu dengan suara gemetaran. Walaupun kami berdua teryakinkan secara logis, dia menilai bahwa itu salah tanpa satu alasan apapun.
Pipiku sedikit mengendur sebagai respon akan penampilan tersebut yang cocok dengan Yuigahama. Dengan senyuman lemah itu, walaupun aku berniat untuk mengatakannya dengan nada menegur pada seseorang, aku dengan perlahan berkata seakan aku sedang menjelaskan pada seorang anak kecil.
“Ya, itu masuk akal… Itu normal untuk menangani persoalanmu sendiri.”
“…Aku rasa begitu.”
Yukinoshita berhenti sejenak sebelum setuju denganku. Ketika Yukinoshita dan aku berkata begitu, Yuigahama menggelengkan kepalanya dengan kuat dan membantah.
“Kalian salah. Kalian berdua sedang mengatakan hal yang sepenuhnya berbeda.”
Ketika aku melihat ke arah Yuigahama yang memiliki tampang yang hampir akan menangis, aku dapat merasakan dadaku menyesak dengan tajam dan itu membuatku ingin memalingkan mataku. Namun, suara baik hatinya itu tidak mau membiarkanku melakukannya.
“Um, kamu tahu, itu bukan hanya tanggung jawabmu, Hikki. Maksudku, itu benar kamulah yang memikirkan segalanya dan melakukan segalanya, tapi kami sama saja. Kamilah yang mendesakkan itu semua pada dirimu…”
“…Tidak, itu tidak benar.”
Aku mencari kata-kata yang seharusnya kukatakan pada Yuigahama yang kepalanya tertunduk dengan berat. Tidak seperti itu didesakkan padaku. Malahan, hal itu cukup banyak membantuku.
Namun, ekspresi Yuigahama masih terlihat seakan hampir akan menangis selagi dia mengangkat kepalanya untuk memusatkan perhatiannya padaku.
“Ya, itu benar. Kamu bukanlah satu-satunya alasan kenapa situasinya menjadi seperti ini, karena aku, juga…”
Yuigahama melihat ke arah wajah Yukinoshita. Tatapan itu menyiratkan bahwa ada satu orang lagi yang bertanggung jawab.
Yukinoshita menerima tatapannya secara langsung. Namun, dia tidak mengatakan apapun. Dia menekan bibirnya dengan erat seakan menerima untuk disalahkan dengan pasrah.
Yuigahama menggugamkan kata-katanya selagi suaranya menurun seakan dia sedang ditekan oleh tatapan itu.
“…Aku rasa kamu sedang bersikap tidak adil dengan apa yang kamu katakan, Yukinon.”
Suaranya lembut, tapi tatapan Yuigahama terarah dengan kuat ke arah Yukinoshita. Matanya yang bertambah dalam kesungguhan bahkan memiliki keagresifan di dalamnya.
Yukinoshita tidak berpaling dari tatapan itu. Dia memakan waktu sejenak, bimbang antara menjawab atau tidak dan dia berkata dengan nada kecil tapi tajam dan dingin.
“…Kamu mengatakan itu sekarang…? Kamu juga yang bersikap tidak adil.”
Ketika Yukinoshita berbicara, Yuigahama mengigit bibirnya sedikit. Mereka berdua bertukar pandangan seakan mereka sedang menatap tajam pada satu sama lain.
“Tunggu, bukan itu apa yang ingin kubicarakan.”
Mencari si pelaku yang bersalah bukanlah sesuatu yang kucari di sini. Aku tidak ingin semacam kesimpulan yang berlebih-lebihan dimana semua orang bersalah. Aku seharusnya datang kemari untuk membicarakan sesuatu yang jauh lebih berbeda.
Aku sama sekali tidak sedang di sini karena aku ingin melihat Yukinoshita dan Yuigahama dengan ekspresi bertengkar itu.
Meski begitu, suaraku yang hilang tidak mencapai mereka. Mereka berdua bertukar pandangan segan pada satu sama lain, tapi meski begitu, kata-kata yang mengalir keluar tidak mau berhenti.
Tenggorokan putih Yuigahama bergetar dan dia menelan nafasnya. Dia melihat ke arah Yukinoshita dengan mata berair-air dan meneruskan kata-katanya satu per satu.
“Kamu tidak pernah mengatakan apa-apa, Yukinon… Kecuali kamu memberitahu kami, akan ada hal yang tidak kami pahami.”
“…Kamu sendiri juga tidak mengatakan apa-apa. Kamu akan selalu mencoba untuk menutupi situasinya.”
Suara Yukinoshita tidak memiliki kehangatan apapun di dalamya. Ekspresi itu seperti karikatur beku yang hanya meletakkan kebenarannya dengan rasa tidak tertarik. Dia mungkin sedang membicarakan waktu-waktu yang kami habiskan bersama beberapa hari ini.
“Itulah kenapa, jika kamu, jika kalian berdua menginginkannya, maka…”
Gugaman tambahan Yukinoshita dengan suara kecilnya yang terdengar seakan itu akan menghilang menyebabkan Yuigahama tersedak akan suaranya sendiri.
Ruangan yang dingin dan hampa ini hanyalah menunggu dengan sabar bagi akhir waktunya untuk datang. Yukinoshita telah merasakannya sendiri.
Omong kosong sepintas itu adalah sesuatu yang ditelan baik Yuigahama dan aku. Itu mungkinlah sesuatu yang bahkan dituntut dengan paksa oleh Yukinoshita.
Semua orang itu sama saja dengan tidak mengatakan kebenarannya. Kami di sini tidak mampu mengatakan satu hal pun yang kami inginkan.
Baik aku dan dia terlalu menganggap remeh itu. Baik dengan satu sama lain dan baik bagaimana kami dengan satu sama lain.
Meskipun idealisme dan pemahaman kami juga sepenuhnya berbeda.
“…Kita tidak akan paham kecuali kamu mengatakan sesuatu, huh?”
Kata-kata yang disebutkan Yuigahama tadi membuat hatiku mencelos. Ada hal yang tidak akan kamu pahami jika kamu tidak mengatakan apa-apa. Itu sudah tidak diragukan lagi. Namun, jika kamu mengatakannya, apa kamu akan benar-benar paham?
Kata-kata yang kututurkan keluar itu membuat Yuigahama menghadap ke arahku. Yukinoshita terus melihat ke bawah. Tatapan Yuigahama mendesakku untuk meneruskannya dan aku berkata.
“Tapi ada hal yang tidak akan kamu mengerti meskipun kamu mengatakan sesuatu.”
“Itu…”
Mulut Yuigahama bergerak dengan depresi. Itu hampir seperti air mata akan berlinang dari sudut matanya. Itulah kenapa aku merasa aku harus berbicara dengan selembut mungkin.
“…Aku tidak merasa aku akan teryakinkan meskipun kamu memberitahuku apapun. Aku mungkin hanya akan mulai sesukaku berpikir bahwa ada sesuatu lagi dari apa yang kamu katakan, bahwa ada semacam alasan untuk itu.”
Yukinoshita cenderung menjadi seorang gadis yang sedikit bertutur kata sementara Yuigahama akan menggugamkan kata-kata untuk mencoba menyingkirkan masalahnya.
Ditambah lagi, aku memiliki kebiasaan untuk membaca di balik kata-kata orang lain.
Itulah kenapa ketika Yukinoshita berkata dia akan mencalonkan diri sebagai seorang kandidat, meskipun dia mengatakan itu atas instingnya, aku mungkin tidak akan menangkap arti dari kata-kata sesuai yang diucapkannya tersebut. Aku akan berpikir bahwa ada faktor-faktor lain yang terlibat dan akan mencoba untuk mencari-cari maksud sesungguhnya di balik kata-kata itu hanya untuk keliru pada akhirnya.
Orang-orang melihat hanya pada apa yang ingin mereka lihat serta mendengar hanya pada apa yang ingin mereka dengar. Aku juga tidak ada bedanya.
Yuigahama menggosok matanya dan kemudian mengangkat kepalanya dengan kuat.
“Tapi jika kita cukup berbicara dengan satu sama lain, jika kita cukup lebih banyak berbicara dengan Hikki, maka aku…”
“Bukan itu apa yang sedang kukatakan.”
Aku dengan lembut menggelengkan kepalaku pada kata-kata Yuigahama.
“Jika kamu tidak mengatakannya, kamu tidak akan mengerti.” Siapapun bisa mengatakan itu. Meskipun mereka bahkan tidak tahu apa itu atau apa yang ingin coba mereka sampaikan, mereka akan menelan kata-kata yag dipinjam dari suatu orang asing entah dimana.
Meskipun kamu mengatakan sesuatu, masih akan ada sesuatu yang tak terucapkan, dan ada sesuatu yang akan hancur hanya dengan mengatakannya.
“Berpikir kamu mengerti karena seseorang mengatakan sesuatu itu berarti kamu sombong. Itu hanya untuk kepuasan bagi diri siapapun yang mengatakan itu, dan siapapun yang mengatakan itu sedang bersikap angkuh… Ada ada yang lebih dari itu dan kamu tidak akan selalu memahami satu sama lain hanya dengan berbicara. Itulah kenapa, kata-kata bukanlah apa yang kuinginkan.”
Selagi aku mengatakan itu, aku dapat merasakan tubuhku sedikit bergetar. Aku segera melemparkan pandanganku ke luar jendela dan hari sudah perlahan-lahan menjadi sore. Ruangan ini menjadi sedikit lebih dingin karena itu.
Yukinoshita sedang mendengar dengan hening sepanjang waktu, tapi dia sedang memegangi bahunya seakan mencoba untuk menghangatkan tubuhnya.
Yuigahama mengisak dan mengusap matanya. Dia kemudian berbicara dengan nada berkaca-kaca.
“Tapi jika kamu tidak pernah mengatakan apapun, kamu tidak akan pernah mengerti…”
“Ya… Berpikir kamu bisa mengerti meskipun kamu tidak pernah mengatakan apapun hanyalah suatu ilusi. Tapi… Tapi aku…”
Aku mencari kata-kata yang kuinginkan untuk meneruskannya, pandanganku beralih ke sana-sini.
Namun, pandanganku tidak melihat kata-kata tersebut. Satu-satunya hal yang terpantul di dalam mataku adalah mata yang menjadi merah karena digosok dengan gelagapan, dan wajah tampak samping dengan bulu mata panjang yang melihat ke arah bawah.
Dan pandangan itu tiba-tiba kabur.
“Aku…”
Meski aku memulainya lagi, aku masih tidak bisa menemukan kata-kata itu.
Apa yang harus kukatakan? Aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan. Kata-kata yang telah kurasakan dan telah kupikirkan itu telah kuucapkan. Aku bertanya lagi dan aku menumpukkan semua itu dari awal. Aku seharusnya sudah memikirkan kata-katanya untuk hal tersebut. Benar-benar tidak ada lagi yang tersisa. Aku sudah kehabisan semua opsi.
───Ahh, Aku paham. Pada akhirnya, hal-hal yang coba kukatakan, tidak peduli di mana aku dan tidak peduli seberapa banyakpun aku memikirkannya, hanya ada pemikiran, logika, perhitungan, siasat<--measures--> dan tipu daya.
Meski begitu, aku masih mencari kata-kata yang perlu kukatakan, yang ingin kukatakan meskipun aku tidak sepenuhnya memahaminya setelah memikirkannya. Namun itu tidak seperti mereka akan mengerti meskipun aku mengatakan itu. Namun itu juga tidak akan berguna hanya mengatakannya saja.
Aku tidak ingin kata-kata. Tapi tentu ada hal lain yang kuinginkan.
Dan aku yakin itu semua bukanlah sesuatu seperti ingin memahami satu sama lain, akur dengan satu sama lain, berbicara dengan satu sama lain, dan untuk tetap bersama-sama. Aku tidak ingin untuk dipahami. Aku tahu bahwa aku tidak sedang dipahami, dan aku tidak merasa aku ingin dipahami. Apa yang kuinginkan itu adalah sesuatu yang lebih keras dan kejam. Aku ingin memahaminya. Aku ingin memahami. Aku ingin tahu. Aku ingin tahu dan menjadi lega. Aku ingin memperoleh ketenangan hatiku. Itu karena aku takut dengan hal-hal yang tidak kupahami. Ingin untuk sepenuhnya memahami merupakan suatu keinginan yang munafik, lalim, dan angkuh. Itu sepenuhnya menyedihkan dan memuakkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa jijik pada diriku sendiri untuk memiliki keinginan semacam itu.
Namun, jika… bagaimana jika kita berpikiran serupa?
Jika kita bisa memaksakan kemunafikkan yang menyakitkan mata itu pada satu sama lain dan jika suatu hubungan yang mengizinkan keangkuhan itu ada.
Aku tahu bahwa untuk bisa melakukannya itu sepenuhnya tidak mungkin. Aku tahu itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa diraih tanganku.
Anggur yang tidak dapat diraih tanganku itu tanpa diragukan lagi asam.
Tapi aku tidak perlu sesuatu seperti buah-buahan yang begitu palsunya manis. Aku tidak perlu sesuatu seperti pemahaman palsu atau suatu hubungan palsu.
Apa yang kuinginkan adalah anggur asam itu.
Meski itu asam, meski itu pahit, meski itu menjijikan, meski itu penuh dengan racun, meski itu tidak ada, meski aku tidak bisa meletakkan tanganku padanya, meski aku tidak diizinkan untuk menginginkannya.
“Meski begitu…”
Aku paham bahwa suara yang keluar entah kapan itu bergetar.
“Meski begitu, aku…”
Aku mati-matian menahan perasaan ingin menangis tersedu-sedu itu. Meskipun aku sudah menelan suara dan kata-kataku, perasaan itu terus keluar dalam pecahan-pecahan kecil. Gigiku akan menggertak dengan ribut dan kata-kataku dipaksa keluar dengan sendirinya.
“Aku ingin sesuatu yang asli.”
Sudut mataku itu panas dan pandanganku kabur. AKu hanya bisa mendengar suara nafasku.
Baik Yukinoshita dan Yuigahama melihat ke arah wajahku dengan wajah terkejut mereka sendiri.
Sungguh memalukan. Untuk menuntut sesuatu dari orang lain dengan suara berkaca-kaca dan menyedihkan itu. Aku tidak ingin menerima diriku yang seperti ini. Aku tidak ingin menunjukkannya. Aku tidak ingin siapapun melihatnya. Bahkan hal-hal yang kuucapkan itu kacau balau. Tidak ada logika apapun ataupun sebab-akibat dimanapun. Ini hanyalah sekumpulan omong kosong.
Nafas basah dan panasku membuat tenggorokanu bergetar. Pada saat itu, aku menekan suaraku yang kurasa sudah akan keluar.
“Hikki…”
Yuigahama memanggilku dan dengan lembut mengulurkan tangannya. Namun, jarak di antara kami tidak cukup dekat baginya untuk dapat menyentuh. Tangan terulurnya tidak mau sampai dan dia dengan lemah menjatuhkannya.
Itu tidak hanya tangannya saja. Aku juga tidak yakin apakah kata-katanya sampai padaku.
Apa persisnya yang bisa kamu pahami dari kata-kata itu? Mereka tidak akan pernah paham meskipun aku mengatakan itu semua. Tapi dengan mengatakan itu semua sendiri juga merupakan suatu kepuasan-diri. Atau mungkin, itu adalah tipu daya yang kami benci. Itu mungkin saja sudah menjadi penipuan yang sepenuhnya tak berharga.
Namun, tidak peduli sebanyak apapun aku memikirkannya, suatu jawaban tidak mau keluar. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Itulah kenapa satu-satunya hal yang tersisa adalah keinginan tidak berhargaku ini.
“Aku… tidak paham.”
Yukinoshita berkata begitu dengan suara pelan. Tangannya yang memegangi bahunya mencengkram dengan lebih kuat dan ekspresi pedihnya itu berubah bentuk.
“Maafkan aku.” Yukinoshita dengan pelan menguggamkannya dengan suatu suara kecil dan berdiri dari tempat duduknya. Dia kemudian segera menuju ke arah pintu tanpa melihat sekejappun ke arah kami.
“Yukinon!”
Yuigahama mencoba untuk mengejarnya dan berdiri. Tapi kuatir akan diriku, dia berpaling.
Satu-satunya hal yang kulakukan hanyalah melihatnya.
Aku dengan linglung melihat Yukinoshita meninggalkan ruangan itu dengan pandangan kaburku dan aku melepaskan nafas panas yang terpendam di dalam dadaku.
Itu akhirnya usai. Di suatu tempat, aku mungkin merasa lega.
“Hikki.”
Yuigahama mencengkram lenganku selagi aku melamun. Dia kemudian menarik dan mencoba untuk memaksaku untuk berdiri. Wajahku dekat dengan wajah Yuigahama. Yuigahama melihat secara langsung ke arah mataku dengan matanya yang tercampur dengan air mata.
“…Kita harus pergi.”
“Tidak, tapi…”
Kesimpulanku sudah dikeluarkan. Kata-kata yang perlu kukatakan dan pemikiran yang ingin kusampaikan sudah tidak ada lagi. Aku membuat senyuman mengolok-diri dan aku memalingkan wajahku dari Yuigahama.
Namun, Yuigahama tidak mundur.
“Kita perlu pergi bersama…! Yukinon bilang dia tidak paham. Aku rasa dia bahkan mungkin tidak tahu kenapa dia tidak paham… Bahkan aku tidak paham. Tapi lihat! Tapi kita tidak bisa hanya membiarkannya seperti itu dan membiarkannya berakhir! Ini adalah satu-satunya kesempatan kita dan itu yang pertama kalinya aku pernah melihat Yukinon seperti itu! Itulah kenapa kita perlu pergi sekarang…”
Ketika dia mengatakan itu, dia melepaskan lenganku dan kemudian mencengkram tanganku. Tangan yang diremaskannya dengan kuat pada tanganku itu panas.
Lagi, Yuigahama menarik-narik tanganku. Itu tidak sekuat tarikan sebelumnya. Itu adalah kelemahan yang mencoba untuk memastikan dan mengetes sesuatu. Aku yakin bahkan Yuigahama juga tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dengan tangan kami masih bersama, dia melihat ke arah wajahku dengan gugup.
Itulah kenapa aku dengan lembut menepis pergi tangannya.
Atas itu, tangan Yuigahama jatuh dengan lemah dan wajahnya sudah hampir akan menangis.
Tapi bukan itu apa itu adanya. Itu bukan aku tidak ingin memegang tangan seseorang karena aku gelisah. Itu bukan aku tidak ingin seseorang untuk menyokongku karena aku tidak bisa berjalan sendiri. Untuk berpegangan tangan adalah sesuatu untuk keadaan yang jauh lebih berbeda lagi.
Sekarang ini, aku akan berjalan dengn kakiku sendiri.
“…Aku bisa berjalan sendiri. Ayo kita pergi.”
Setelah aku mengatakan itu, aku menuju ke arah pintu.
“Y-Ya!”
Dari belakang terdapat langkah kaki dan suara yang mengikuti. Setelah memastikan itu, aku membuka pintunya dan menuju ke lorong.
Ketika aku melakukannya, sosok seseorang yang berdiri kaku di tempat segera masuk ke dalam pandangan. Dia adalah Isshiki Iroha.
“Ah, Senpai… aah, um, Aku pikir aku ingin memanggilmu, tapi…”
Isshiki kalang kabut saat dia mencoba untuk mengatakan sesuatu, tapi sekarang ini bukanlah saatnya untuk direpotkan dengan Isshiki.
“Iroha-chan? Maaf, kita bisa berbicara nanti, oke?”
Yuigahama meminta maaf dan segera berlari pergi. Aku baru saja akan mengikutinya juga, tapi Isshiki menghentikanku.
“Se-Senpai, tidak ada rapat hari ini! Aku datang untuk mengatakan itu… Ju-juga,”
“Ya, aku paham.”
Aku tidak mendengarkan kata-kata Isshiki sampai akhir dan aku asal menjawabnya. Aku baru saja akan berlari ke arah Yuigahama yang sedang menunggu di depan. Tapi di situ, lengan baju jaketku ditarik.
Ketika aku menengoknya untuk melihat apa itu, Isshiki memiliki tampang pasrah dan membuat suatu helaan. Dia kemudian menunjuk ke atas.
“Tolong dengarkan aku sampai akhir… Yukinoshita-senpai ada di atas! Atas!”
“Maaf. Terima kasih.”
Setelah aku mengucapkan terima kasih pada Isshiki, aku segera memanggil Yuigahama.
“Yuigahama, dia di atas.”
Yuigahama segera berlari kembali dan kami berdua memanjat tangga ke atas bangunan spesial.
Di atas kemungkinannya mengacu pada lorong terbuka itu.
Lorong yang menghubungkan bangunan sekolah dengan bangunan spesial adalah sesuatu seperti atap tanpa tutup atap di lantai empat. Selama musim dingin, lantai ini tidak begitu dipakai oleh murid-murid pada saat-saat musim ini karena tempat itu terpapar dengan angin dingin tersebut.
Setelah kami memanjat tangganya, kami sampai ke lantai atas lorong terbuka itu.
Sinar setelah matahari terbenam dari barat itu dihalangi oleh bangunan spesial dan matahari petang itu mewarnai menembus kaca lorong tersebut. Langit di arah timur sudah mulai gelap.
Koridor terbuka itu berada di dalam celah senja tersebut dan Yukinoshita berada di sana.
Yukinoshita sedang bersandar pada pegangan besinya dan kelihatanya sedang linglung. Rambutnya menari-nari dengan angin dingin tersebut. Cahaya petang menyinari rambut hitam berkilaunya dan kulit putihnya. Matanya yang dibayangi oleh kegelisahan itu terarah jauh pada kumpulan bangunan yang mulai menampilkan kecemerlangan malamnya.
“Yukinon!”
Yuigahama berlari ke arah Yukinoshita. Aku mengikuti setelahnya, berjalan dengan perlahan. Aku masih terengah-engah karena kami harus terus berlari menaiki tangganya tanpa beristirahat.
“Yukinoshita…”
Aku memanggilnya dengan suara terputus-putus, tapi Yukinoshita tidak berpaling ke belakang.
Meski begitu, kelihatannya suaraku sampai pada dirinya sebab dia berbicara dengan suara kecil yang bergetar.
“…Aku tidak paham.”
Dia menyuarakan kata-kata itu lagi.
Ketika dia mengutarakannya, kakiku berhenti.
Angin dingin ini meniup melewati kami seakan sedang memisahkan kami. Yukinoshita dengan perlahan berpaling ke belakang seakan angin itu membuatnya terganggu. Mata berairnya tidak memiliki kekuatan apapun selagi dia berdiri di sana meremas tangan terkepalnya yang menekan dadanya.
Yukinoshita menanyakanku dengan suara paraunya, tidak repot-repot merapikan rambutnya yang diganggu oleh angin.
“Apa persisnya yang kamu maksud dengan sesuatu yang asli?”
“Itu…”
Bahkan aku tidak terlalu memahaminya dengan baik. Sampai hari ini, aku sendiri masih belum melihatnya, jangankan menyentuhnya. Itulah kenapa aku masih di sini, tidak tahu apakah sesuatu itu merupakan sesuatu yang bisa kukatakan “itu adalah”. Tentu saja, tidak mungkin orang lain bisa memahaminya. Meski begitu, itu merupakan sesuatu yang kuharapkan.
Selagi aku berdiri di sana tidak mampu untuk menjawab, seakan guna menebusnya untukku, Yuigahama melangkah maju satu langkah dan meletakkan tangannya pada bahu Yukinoshita.
“Yukinon, tidak apa-apa.”
“…Apanya tidak apa-apa?”
Ketika Yukinoshita menambahkannya, Yuigahama membuat seringai yang risau namun malu-malu.
“Jujur saja, aku juga tidak benar-benar paham…”
Yuigahama menggosok rambut dangonya untuk mencoba menutupinya dan dia menarik kembali tawanya itu. Dia melangkah selangkah lebih dekat pada Yukinoshita dan dia meletakkan tangan yang satunya lagi pada bahu Yukinoshita. Dan kemudian, Yuigahama menatap pada Yukinoshita yang tepat di hadapannya.
“Itulah kenapa, aku rasa jika kita membicarakannya, kita pasti akan lebih memahaminya. Tapi aku yakin akan ada juga hal-hal yang tidak kita pahami. jadi, macam, mungkin kita tidak akan pernah memahaminya, tapi, itu agak seperti sedang memahaminya, juga… Oke, aku benar-benar tidak paham… Tapi, kamu tahu… Aku…”
Pada pipi Yuigahama terdapat suatu linangan air mata.
“Aku tidak ingin keadaannya untuk terus seperti ini…”
Kata Yuigahama dan dia memeluk bahu Yukinoshita yang ditariknya lebih dekat dan mulai mengisak seakan tali ketegangan itu terpotong. Tidak mampu untuk memeluknya kembali, Yukinoshita membuat suatu helaan dan bibirnya bergetar.
Aku berpaling dari mereka berdua hanya untuk sejenak.
Tidak peduli seberapa banyakpun aku memikirkannya, jawaban itu, kata-kata itu adalah satu-satunya hal yang muncul keluar. Persisnya bagaimana dia bisa, bagaimana Yuigahama bisa mengatakan kata-kata tersebut seperti itu?
Seperti seseorang yang hanya bisa menyandang sebuah teori yang dibasahi oleh kepalsuan yang berkontrakdisi dengan cara yang bertele-tele?
Seperti seseorang yang tidak bisa meletakkan isi pikirannya ke dalam kata-kata dengan sebagaimana semestinya dan malah tetap terdiam?
Tidak ada yang bisa disampaikan tanpa kata-kata, namun ada suatu kekeliruan karena ada kata-kata. Jadi apa persisnya yang bisa kita pahami kalau begitu?
Kepercayaan yang dipegang Yukinoshita Yukino. Hubungan yang dicari Yuigahama Yui. Sesuatu yang asli yang diinginkan Hikigaya.
Persisnya se-berbeda apa ini semua, aku ada di sini tanpa mengetahuinya.
Namun, air mata tulus itu sudah cukup untuk memberitahuku. Bahwa saat ini pada sekarang ini sama sekali bukan suatu kekeliruan.
Yukinoshita membelai rambut Yuigahama selagi dirinya menekan pada bahu Yukinoshita.
“Kenapa kamu yang menangis…? Kamu memang benar-benar… tidak adil.”
Setelah mengatakan itu, Yukinoshita menekankan wajahnya pada bahu Yuigahama seperti suatu pelukan. Aku dapat mendengar isakan pelan itu.
Baik Yukinoshita dan Yuigahama menyokong satu sama lain selagi mereka berdiri di sana. Pada akhirnya, Yukinoshita membuat helaan besar dan mengangkat wajahnya.
“…Hikigaya-kun.”
“Ya.”
Setelah aku menjawab, aku menunggu dirinya untuk melanjutkan. Yukinoshita tidak sedang melihat ke arahku. Meski begitu, suatu tekad yang teguh dan kuat di dalam suaranya itu tersampaikan padaku.
“Aku akan menerima permintaanmu.”
“…Maaf.”
Aku sedikit membungkukkan kepalaku. Itu sepatah kata yang begitu pendek, namun suaraku sudah hampir bergetar. Ketika aku mengangkat kepalaku, Yuigahama juga mengangkat kepalanya dari bahu Yukinoshita.
“Aku akan membantu juga…”
Yuigahama memalingkan wajahnya ke arahku dan berkata begitu dengan nada bergetar. Ketika mata kami bertemu, dia menunjukkanku sebuah senyuman dengan mata yang basah.
“…Terima kasih.”
Selagi aku mengatakan itu, aku secara refleks melemparkan pandangan tak berarti ke atas langit.
Aku dapat melihat langit oranye itu terwarnai di sepanjangnya.
Mundur ke Bab 5 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 7 |
Catatan Translasi
<references>