Oregairu (Indonesia):Jilid 10 Bab 1

From Baka-Tsuki
Revision as of 08:49, 3 July 2015 by Fathom (talk | contribs) (→‎3)
Jump to navigation Jump to search

Bab 1 : Akhirnya, Hikigaya Komachi berdoa kepada dewa-dewi.

1

Ruangan menjadi gelap saat aku membaca bukuku.

Salah satu kebiasaan burukku yang tak bisa hilang saat aku sedang bersih-bersih total atau merapikan ruangan adalah seperti “Ups, aku baru saja memulai hobiku membaca buku”.

Hampir saja... Kalau yang kubaca adalah sebuah buku berseri, aku bakal terjebak di sebuah maraton bacaan. Dan setelah aku selesai membaca semua volumenya, aku bakal nyerocos, “Kapan sih volume berikutnya keluar? Cepatlah, dan lakukan tugasmu, penulis!”

Aku bangkit dari sofa tempatku berbaring dan mengembalikan buku yang kubaca kembali ke raknya.

Dengan ini, bersih-bersih total sudah selesai. Cuma merapikan sana sini sih, tapi ya sudahlah, selesai.

Di hidup, selagi kau masih belum bisa menghilangkan noda masa lampau, maka aku harus bilang, dengan keseriusan, merapikan adalah sebuah usaha sia-sia yang pastinya, tak berarti. Kalau kehidupan adalah noda itu sendiri, maka apapun yang kau lakukan, kau tak akan pernah melihat akhir dari usaha membersihkan kehidupanmu.

Bagaimanapun, karena aku paling tidak sudah merapikan rak buku di kamarku, akupun kembali ke ruang tamu dengan rasa kemenangan. Cuma tinggal beberapa hari lagi tahun ini akan berakhir.

Seharusnya besok adalah hari kerja terakhir orang tuaku di tahun ini. Mereka punya pekerjaan bertumpuk yang harus diselesaikan jadi mereka pasti bekerja larut sekali. Karena itu, ibukupun bersih-bersih sedikit demi sedikit dengan waktu terbatas yang ia punya. Tak lama kemudian, ruang tamu menjadi bersih dan rapi.

Hanya saja di ruang tamu yang bersih itu, ada satu sosok yang terbaring lemas di lantai, memancarkan aura yang tak menyenangkan.

Sosok itu adalah adikku, Hikigaya Komachi.

Tubuh bagian atasnya keluar dari kotatsu dengan muka menghadap kebawah. Kucing yang berlalu-lalang di punggungnya adalah Kamakura, yang sedang menjilati bulu-bulunya.

“Ada apa sih...?” aku secara refleks menanyakannya, tapi nggak ada jawaban. Alah, cuma seonggok mayat... Aduh, ayolah Komachi, mati di tempat seperti ini, agak menyedihkan tahu...

Meskipun begitu, ada kucing di punggungnya pasti berat. Ia seperti sedang di rasuki arwah gentayangan melihat ia tak bergerak sama sekali. Aku pasti suka kalau aku bisa menentukan arwah kucing gentayangan itu adalah kucing, arwah, atau malah setan, meow.

Aku menuju kotatsu sambil mengangkat Kamakura dari punggung Komachi dan menaruhnya di pangkuanku. Kamakura mengelus-elus pangkuanku untuk mencari kenyamanan, menaruh kepalanya dan tergeletak, tidur kembali. Maaf karena tempat tidurnya buruk. Ampuni aku, meow♪!

Saat aku melepaskan beban dari punggung Komachi, ia mengangkat kepalanya.

“Ah, onii-chan...”

Adikku yang selalu manis ini sekarang punya mata yang menyipit, seperti mata busuk sebuah ikan. Oh, kau terlihat mirip dengan kakakmu ini! Kita memang benar-benar saudara! Jadi kalau Komachi itu manis dan aku mirip dengannya, itu artinya aku manis! Tapi, tunggu, mata busuk itu sangat tidak manis. Jadi kalau keimutannnya masih belum cukup untuk membuatnya manis, bukannya itu berarti aku sama sekali tidak manis, ya, sama sekali?

Bagaimanapun, ini kali pertama aku pernah melihat Komachi terlihat seperti benar-benar tersudut ke tembok.

“Komachi, nggak apa-apa kan...?”

“Nggak... Aku sudah tamat...” Komachi menggumam dan membenamkan mukanya ke dalam kasur. Kemudian ia mengucapkan sesuatu seperti igauan dengan suara terpecah-pecah. “Harus, bersih-bersih... Harus, buang sampahnya... Harus, buang onii-sampah...”

“Tenang Komachi. Bersih-bersihnya kurang-lebih selesai. Dan juga, nggak semudah itu membersihkan onii-chanmu ini. Kau harus siap-siap menghadapi masa yang panjang.”

“Uuugh, Komachi jadi gelisah, aku cuma mau kau menikah secepatnya...”

Dia memberiku tatapan tidak puas, tapi tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu. Itu ibaratnya seperti mencoba menikahkan Hiratsuka-sensei, mungkin saja. Kayak kau bisa menikahkan laki-laki semenyusahkan aku ini... Tapi ini bukan saatnya mengeluarkan tameng pelindung. Komachi inilah masalahnya.

Dalam banyak hal, aku tahu alasan kenapa Komachi menjadi seperti ini. Itu pasti karena tes-tesnya. “Belajar itu terlalu sulit”, “Tes uji cobanya jadi kacau”, kurang lebih seperti itu.

Bahkan setelah Natal berakhir, Komachi telah berjuang dengan belajar siang dan malam sepenuhnya, tapi dengan Tahun Baru yang semakin dekat, sekarang dia kehabisan bahan bakar.

Mengoceh dan merana, Komachi berkata, “Sial, sial sial...”

Kemudian dia memandangku.

Saat aku menjadi terdiam, Komachi mengubur kepalanya kedalam bantal kembali. Dia berbicara dengan suara tersedot-sedot. “Sniff, uugh, Aku lelah sekaliiiiiii...”

Kemudian dia memandangku.

Aww kawan, dia menyebalkan sekali... Meskipun begitu, aku adalah seorang veteran senior onii-chan yang membanggakan lima belas tahun pengabdiannya. Pada saat inilah aku pastinya tahu apa saja kata-kata yang tepat ditujukan padanya.

“Yah, tahulah. Belajar terus-terusan emang sangat menekan. Tahun Baru sebentar lagi sampai, jadi kenapa kita nggak istirahat sejenak dan jalan-jalan yang jauh dari sini, buat kunjungan kuil pertama kita tahun baru ini?”

“Ayo!” Komachi secepat kilat menjawabnya dan mendadak bangkit dari posisi tidurnya itu.

Kelihatannya tepat sasaran. Pasti lah, karena aku adalah onii-chan profesional, itu cuma salah satu dari tugasku. Faktanya, aku rasa kota ini harus bergerak untuk menyiapkan lowongan menjadi onii-chan. Apaan sih lowongan menjadi onii-chan? Bukannya, yah, seperti di urus-urus oleh adik perempuannya? Pekerjaan itulah yang kau bisa bilang kebal dari pemecatan. Sebenarnya sih, masih bisa dibilang menjadi pengangguran.

Tapi, sebagai seorang onii-chan yang profesional, aku tidak akan memanjakan dia terlalu banyak. Aku harus mengingatkannya. “Nggak apa-apa sih, tapi sebelum itu kau harus belajar sampai mati ya.”

“Iya, iya. Aku bisa belajar lebih semangat kalau aku punya hal yang bisa bikin senang nantinya, tahulah.”

Aku sudah mengingatkannya, tapi sepertinya dia sama-sekali tidak mendengarkanku. Iapun duduk dan mengambil sebuah jeruk mandarin. Mmhm, maksudku nggak papa sih kalau sekarang kau semangat...

“Ada kuil yang pengen di kunjungi? Kayak, kuil yang bisa kasih berkah atau apalah.”

“Mmm...”

Saat aku tanyakan dia, dia mulai berpikir.

Kelihatannya, untuk orang yang akan mengambil tes menjadi seorang siswa, mengunjungi kuil untuk pertama kalinya di Tahun Baru adalah sebuah kejadian penting. Ada juga yang bilang, “Kapanpun kau dalam masalah, berdoalah kepada dewa-dewi”.

Kalau kau benar-benar dalam situasi yang buruk, hanya dewa-dewilah yang bisa kau andalkan. Kebanyakan orang memang tidak terlalu bisa diandalkan sih. Jadi, fakta kalau misalnya kau tidak mengandalkan orang-orang disekitarmu bisa berarti kalau kau hanya mengandalkan dewa-dewi saja di kehidupan sehari-harimu. Comot-comotan tetaplah nyopet bagaimanapun. Saat seperti inilah aku harap bakal muncul Ultra-apalah.

“Kalau dekat sini, coba aja tempat ayah kita pernah kunjungi. Tahulah, tempat yang dia bilang pernah jadi tempatnya begadang cuma buat ngantri. Kuil Kameido Tenjin atau apalah?”

Tempat itu hanya sejauh satu stasiun dari Sobu Line di daerah sini, jadi memang tidak jauh-jauh amat. Jelaslah, karena kita akan berdoa pada DewaBelajar, bisa dipastikan akan penuh sesak karena memang musimnya. Setiap kali terpikir kerumunan orang dan aku di dalamnya, aku tak bisa tak mengeluarkan ekpresi “bleh” dari mukaku, eh maksudku, aku benar-benar benci kerumunan tahu ☆!

Dan entah kenapa, Komachi juga mengeluarkan ekspresi “bleh” di mukanya. “Tukang begadang... Satu lagi hal menjijikkan dari ayah...”

Dia itu ayah yang baik, jangan dikeluhin terus... Tahulah, kalau mama tidak membuatnya berhenti, ayah sudah pergi ke Dazaifu, tahu... Aku juga punya firasat kalau mama juga yang melarangnya begadang.

“Yah, lupakan aja ayah, ada juga satu Dewa Belajar di Yushima Tenjin...”

Kuil ini juga punya satu Dewa Belajar, jadi pasti sangat popular saat masa-masanya tes-tes.

Artinya, bisa dipastikan akan sangat sesak karena memang musimnya---dll, dll.

Saat aku sedang menimbang-nimbang pilihan-pilihan yang ada, Komachi mengeluh.

“Mmm, tempat yang terkenal emang bagus, tapi... Rasanya tempat yang dekat dengan SMA bisa jadi bikin aku hoki!” “Masa? Kalau gitu... Rasanya Kuil Sengen bisa.”

“Ah, itu kan kuil yang selalu ngadain festival.”

“Nggak, nggak selalu.”

Kuil apa sih yang selalu mengadakan festival? Seperti tak punya rasa menghargai begitu. Apa itu sepertitoko depan stasiun Akihabara yang selalu mengadakan penjualan sebelum tutup? Sebanyak apa sih setiap hari dalam setiap harinya?

Tapi aku rasa itu memang biasa buat Komachi, yang tidak akrab dengan Kuil Sengen, yang akhirnya hanya tahu tentang festival di sana. Memang itu adalah salah satu tujuan turis, tapi sebenarnya mengunjungi kuil tetangga hanya akan terjadi saat kunjungan pertama tahun baru atau kalau ada festival.

Tapi Kuil Sengen, ya...? Aku punya firasat kalau akan ada orang yang kukenal di sana, jadi aku tidak terlalu semangat untuk itu, tapi itu tempat itu cukup disukai ternyata. Aku juga tak mau ketemu alumni SMPku dulu. Sebenarnya sih, aku tidak sedang mau pergi ke manapun, tahu?

Selagi keraguanku muncul, Komachi menatapku dengan prihatin.

“Apa?” kutanyakan ia.

Komachi membenarkan posisi duduknya untuk persiapan sesuatu. “Oh, tahulah, onii-chan. Aku nggak merasa kita perlu sama-sama atau gimana. Aku nggak papa kalau sama mama.”

Mmmm, kau biasanya mengacuhkan ayah, kan? Itulah ayah bagimu, yep.

Bagaimanapun, aku punya sedikit firasat kenapa dia menjadi prihatin begitu. Dia bisa saja bersikap seperti biasa, tapi dia punya kepekaan terhadapku sebagai kakaknya. Nggak, nggak, onii-chan juga peka tentang dirinya sendiri, tahu? Aku hanya bermasalah di bagian memahami kepekaan itu karena aku masih bingung bagaimana menyikapinya.

Itulah mengapa di liburan musim dingin yang kurang dari dua minggu ini menjadi sesuatu yang patut aku syukuri. Pastinya, setelah sekolah mulai masuk lagi, aku harus menghadapi hal seperti itu lagi.

Tapi sekarang aku sedang liburan. Dan karena ini sedang libur, memang gayaku untuk mengistirahatkan seluruhjiwa ragaku. Sebagai seseorang yang menargetkan menjadi bapak rumah tangga, menggunakan otak saat liburan tidak patut dipertimbangkan. Tundalah pengajuan proposalmu, bawalah kerumah dan pikirkan lagi. Itulah yang bisa dibilang ilmu menjadi budak perusahaan! Tunggu dulu, jadi semua ini tentang menjadi budak perusahaan atau menjadi bapak rumah tangga?

Untuk tujuan beristirahat selama mungkin dan juga menunda segalanya lebih lama lagi, akupun memutuskan untuk mengganti persoalannya.

“Aku nggak perlu kepedulian yang menjengkelkan itu, ehh.”

“Ah kamu, kalau bisa sih, aku maunya nggak ngelakuin itu.” Komachi mengeluarkan desahan sok pamer. Sori, dekku, karena jadi onii-chan yang begini.

“Yah, kalau kalau nggak pergi Komachi, aku tinggal pergi sendiri kayak tahun kemarin. Nggak banyak yang dipikirin dan lebih gampang buatku.”

“Lagi-lagi, kau bilang sesuatu kayak gitu.”

“Leluhur bilang, Malam Tahun Baru adalah hari persiapan tahun yang akan datang. Begini, kalau aku bikin kenangan pahit pas kunjungan pertamaku, tahun itu dipastikan jadi tahun yang penuh kenangan pahit. Melakukan sesuatu di tahun baru dan kau mau buat aku bikin kenangan pahit dengan berada di tengah kerumunan? Ide yang buruk kan, setuju, Komachi-kun?”

Dengan lancar sekali aku menceramahi Komachi yang sedang bermuka bosan. Dia terlihat tidak terperangah pertamanya, tapi sekarang ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan kemudian menatapku dengan serius.

“Masuk akal. Malam Tahun Baru itu hari persiapan tahun yang akan datang... Oke, mungkin aku akan ikut denganmu, onii-chan.” “O-oke... Kenapa berubah pikiranmu?”

Dia menatapku seperti menatap sampah sedetik yang lalu, tapi sekarang dia bermuka sungguh-sungguh, 180 derajat berbeda dari sebelumnya. Kemudian dia mengeluarkan senyum cemerlang.

“Maksudnya sih, kalau aku ikut dengan onii-chan pas Malam Tahun Baru, itu artinya aku akan bareng onii-chan sepanjang tahun. Tadi itu baru aja mencetak banyak poin Komachi.”

“Y-yah. Aku, rasa...”

Kata-katanya membuat pikiranku membeku.

.......

...Oh kawan, ada apa dengan adik manisku ini!? Lupakan kata klise yang selalu muncul di akhir kalimatnya, adikku benar-benar manis!

“Ko-Komachi...”

Selagi aku tersedu-sedu, tersibak air mata karena perkataannya, Komachi mengembungkan pipinya yang merah dan mengalihkan pandangannya. Kemudian dia menatapku menyamping.

“J-Jangan geer, oke! Maksudnya bareng onii-chan itu karena kita akan satu sekolah tahun depan, kayak berdoa supaya lulus tes, oke! Tadi itu baru aja mencetak banyak poin Komachi, oke!”

Ughh, tsundere rendahan... Bukannya tadi itu malahan kriminal Portopia rendahan? Kriminalnya Yasu sih. Sial, sekarang aku jadi depresi.

Aksi terpaksa tadi itu memang bukanlah hal termanis dirinya, tapi kalau aku bersikap seolah-olah kalau dia hanya menyembunyikan rasa malunya, malah sebenarnya, mungkin tak apa-apa kalau kupanggil dia manis.

“Kalau begitu, berangkatnya sama-sama deh.”

“Oke. Baik, baik, aku akan coba belajar lagi di kamarku.” Komachi keluar dari kotatsu dan berdiri selagi ia bicara tadi. “Lanjutkan, selamat bersenang-senang.”

Saat Kamakura masih tidur di pangkuanku, aku memegang kaki depannya, mengayun-ayunkan ke arah Komachi, dan dia pun tertawa. “Ngerti-ngerti, aku bakal berusaha keras!” kata Komachi. Ia mengambil hapenya dan mengelus-elus Kamakura pelan-pelan selagi bersenandung dan akhirnya kembali ke kamarnya.

Yang tertinggal sekarang di ruang tamu hanya Kamakura dan aku. Saat kamakura melakukan funsu dengan hidungnya, aku menggoyang-goyangkan ekornya. Ia terbangun sebal dan merenggangkan badannya. Kemudian ia merangkak kedalam kotatsu.

Aku mengikuti panutannya dan merangkak kedalam kotatsu hingga bahuku, dan menjadi siput kotatsu.

Hanya sebentar waktu tersisa di tahun ini.

Seperti tahun-tahun yang lain, ini adalah hari sebelum Tahun Baru yang tenang.

2

Tahun Baru dimulai dengan mulus.

Selamat Tahun Baru.

Rasanya, mesti mengucapkan hal itu dengan anggota keluarga terasa seperti tak tahu malu atau malah bisa-bisa terasa bodoh . Walau begitu, aku harus melakukannya supaya bisa dapat amplop Tahun Baru. Memang begitu, pembelajaran elitku untuk menjadi budak perusahaan sudah dimulai sejak aku masih bayi. Kalau begitu caranya untuk mendapatkan uang, dengan mudah aku bisa saja memalingkan mukaku dari menatap ketidak adilan dan ketidak rasionalan, menundukkan kepalaku meski aku tak mau menunduk, dan menunjukkan senyum lemah, senyum dari seorang pegawai. Hal yang seperti itulah yang dimaksud menjadi budak perusahaan! Saat aku membuang-buang waktu dengan memikirkan hal semacam itu, dengan aman aku mendapatkan amplop Tahun Baru tahun ini juga. Tahun-tahun yang lalu, uang itu telah diserap tak lazim oleh institusi misterius “bank mama” dan sekarang, harusnya jumlahnya sudah banyak sekali di bank itu. Mungkin saja, ya mungkin saja, sebenarnya memang begitu. Aku percaya padanya. Aku harap ia tak menghapus huruf M dari kata MOTHER dan berubah menjadi OTHER.

Selagi aku bisa memperoleh uangku tanpa masalah tahun ini lagi, aku berbaring di bawah kotatsu dan bermalas-malasan. Bukannya bantal, aku mulai duduk di atas kursitatami dan memainkan hapeku.

Saat Malam Tahun Baru datang, hapeku tak lazimnya bergetar sering sekali daripada tahun-tahun sebelumnya, yang malah tak pernah.

Itulah yang disebut dengan pesan “Selamat Tahun Baru”.

Aku dapat pesan yang amat-amat panjang dan formal sesaat setelah Tahun Baru dimulai, pesan simpel, yang mana amat manis, dan pesan yang bagaikan ramalan takdir tertulis dari pengirim tak dikenal... Yah, sejenis itu lah. Aku kira aku bakal dapat satu lagi pesan bodoh, tapi ternyata tidak. Bukannya aku mengharapkannya atau apapun. Dengan buru-buru aku membalas pesan kayak-chuuni dan pesan yang penuh kata-kata sepenuh badai topan dengan balasan apalah terserah.

Tapi aku tak tahu harus apa dengan pesan terakhir, seri khusus yang simpel, “Pesan MANIS”. Kalau aku terlalu semangat dan membalasnya dengan balasan panjang sekali, bakal terasa mengerikan, tapi kalau bukan itu, membalas dengan balasan dengan semaian gambar dan emoji bakal terasa menjijikkan. Sisanya tinggal pilihan membalas dengan balasan biasa, tapi itu bakal terasa dingin dan tak acuh karena terlalu membosankan.

Hidup akan terasa lebih enak kalau ada sesuatu seperti contoh-contoh, seperti kartu ucapan Tahun Baru yang memamerkan desain-desainnya untukmu... Berguna sekali karena memang sudah jelas apakan kartu Tahun Baru itu hanyalah sebuah formalitas atau bukan. Sesuatu seperti kartu ucapan Tahun Baru biasanya ditempeli dengan gambar-gambar dan foto-foto, dan setelah kau mengisi bagian putih sisanya dengan “Ayo nanti sama-sama lagi!” atau “Ayo nanti minum-minum lagi!”, kartumu akan selesai. Budaya Jepang memang sangat memukau. Dan juga, memang tak normal cara mahasiswa yang sukses bisa memakai “Ayo nanti minum-minum lagi” kapanpun dompet mereka hampir kosong. Kalau mereka minum-minum sering-sering sepanjang tahun, aku pasti akan merasa mereka akan kecanduan alkohol. Kenapa hal itu tak terjadi karena mereka hanya bilang sebagai formalitas, jadi kenyataanya, mereka tak pernah beneran minum bareng. Aku yakin...

Selagi aku memikirkan hal-hal seperti itu, aku menulis balasannya, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi---Hapuuuuuuuuuuuus lagi! Tuliiiiiiiiiiiiiiiiiis laagi! Lakukan dan ulangi.

Aku ingin balas dengan balasan panjang, tapi kalau terlalu panjang, akan terasa seperti berontak. Tapi kalau terlalu singkat, aku malah akan disangka tak acuh. Merasa takut dan khawatir dengan apa yang harus dilakukan, aku jadi memutuskan membalasnya sebanyak jumlah kata yang ada disana. Inilahh apa yang mereka bilang “meniru” dalam ilmu psikologi. Dengan meniru kelakuan dari pihak lain, keakraban masing-masing akan meningkat!

“Onii-chan, siap berangkat?"

Saat aku menulis balasanku, Komachi memanggilku.

Aku mengecek lagi waktunya dan sudah sekitar jam sembilan pagi. Orang tua kami sudah pergi berkunjung ke Kuil Kameido Tenjin. Untuk kami berdua, ini adalah waktu yang tepat untuk pergi berangkat.

“Yah... Ayo berangkat.”

Setelah mengecek apakah pesanku sudah terkirim, aku merangkak keluar dari kotatsu dan berdiri.

3

Pengalaman itu adalah beberapa stasiun yang bergoncang-goncang dan penuh orang. Kami berbaur bersama gelombang-gelombang manusia yang menembus gerbang tiket, berjalan menuruni jalan yang curam sampai akhirnya kami mencapai gerbang dari jalan setapak yang pertama dari Kuil Sengen.

Jalan-jalan setapak yang bisa terlihat darinya Rute Nasional 14 ini dikatakan pernah berada di bawah air. Info ini di-tweet oleh akun official CHI-BA+KUN, jadi tidak perlu ragu tentang itu. Dan bisa saja, dulu sekali, tempat ini punya pemandangan megah yang mirip dengan sebuah Situs Warisan Dunia UNIESCO, Kuil Itsukushima. Dengan kata lain, ada sedikit kemungkinan Chiba bisa menjadi Situs Warisan Dunia UNIESCO; aku sudah memikirkan hal itu dalam-dalam.

“Oh kawan, keadaannya jadi gila...”

Inilah yang terjadi dengan Situs Warisan Dunia UNIESCO pribadiku... Populer sekali...

“Ini kan kuil paling gede di daerah sini, ya kan? Ya pasti semua orang bakal kesini, tahulah.”

Oh, iya, memang begitu... Kemudian aku tersadar. Kalau semua orang pergi kesini, kalau dipikir-pikir lagi, bukannya itu berarti siswa-siswi dari sekolahku bisa saja datang ke sini...?

Sial, aku kan ke kuil sekitar aja tiap tahun, jadi hal seperti itu malah kelewat...

Saat pikiran-pikiran itu melayang-layang di kepalaku, Komachi yang ada di sebelahku mulai melihat-lihat sekitar dengan gelisah. “Oh, itu dia mereka.”

Kemudian ia menembus kerumunan dan terus berjalan.

“H-Hey, Komachi. Kemana kamu?”

Kau itu kan calon siswi, oke? Jadi kau harus genggam tanganku supaya nggak jatuh dan terselip dan jadi anak yang hilang, malah, onii-chan akan membawa kau seperti putri! Di arah tanganku terlentang ada muka-muka yang aku akrab dengannya. “Selamat Tahun Baru kalian berdua!”

Komachi bergegas ke arah mereka bagaikan mau memeluk mereka dan cewek di depan dengan riangnya mengangkat tangannya. Saat melakukannya, untalan rambut coklat cerahnya akan bergerak-gerak.

“Selamat Tahun Baru dan yahallo!”

“Apaan ucapan begitu...? Selamat Tahun Baru,” begitu aku menjawabnya, sambil tercengang.

Yuigahama memakai jaket abu-abu kecoklatan dengan rajutan vertikal di tengah, dengan syal panjang yang melingkupi lehernya, dan tangan yang diangkatnya ditutup oleh sarung tangan.

Cewek di sebelahnya memakai jaket putih dan yang mencuat dari jalinan rok-mininya adalah kakinya yang ditutup kaos kaki hitam. Ia adalah Yukinoshita Yukino.

“...Selamat Tahun Baru,” kata Yukinoshita, dengan tetap melingkupi mukanya dalam syalnya. Yah, melakukan upacara ucapan Tahun Baru terasa memalukan dalam satu hal atau yang lainnya. Akupun malah jadi memainkan ujung syalku juga.

“Ahh... Yah, betul. Selamat Tahun Baru.”

“Oke, ayo kita mulai kunjungannya,” kata Komachi, dan ia kembali menembus kerumunan orang. Kamipun mengikuti di belakangnya.

Error creating thumbnail: Unable to save thumbnail to destination

Selagi kami berjalan, aku menyondongkan kepalaku kebelakang Komachi. “Komachi-chan, boleh onii-chan tanya sesuatu?”

“Apa itu?”

Dengan diam-diam aku berjalan ke samping Komachi dan mengecilkan suaraku. “Kenapa mereka kesini?”

“Pertemuan dengan Komachi ☆!”

“Tunggu dulu, pertemuan...?” aku mengatakannya dengan suara menandakan kebingungan dan ia pun mengeluh.

“Mereka kan temen-temenku, jadi nggak papa kan?”

“Yah, nggak papa sih... Tapi meminta mereka kesini, tahulah, gimana bilangnya ya?” kataku, dengan mengusap-usap pipiku selagi berpikir.

Bukannya mestinya untuk acara seperti ini kau mengundang teman-temanmu? Yah, bukan berarti aku tahu “mestinya” itu yang bagaimana karena aku tak punya teman semasa SMP. Aku bertanya-tanya apakah memang seperti itu. Mungkin saja ini salahnya para hantu? Bisa saja. Jadi ini yah yang mereka katakan hantu penyendiri, huh...?

Hanya saja, fakta bahwa Komachi bertemu teman-temannya selagi bersama kakak laki-lakinya untuk hal yang seperti ini membuatku khawatir tentang pergaulannya. Aku menatap termenung, tapi Komachi tahu apa yang harus dikatakan dan dengan paksa meneguk liurnya.

“Yah, pikirin aja musim apa sekarang. Gak undang kawan-kawanmu itu jadi salah satu bentuk tata krama, tahu...” kata Komachi, dengan lancarnya.

Benar, aku paham sekarang. Jadi alasan kenapa dia tidak mengundang teman-temannya adalah karena betapa gugupnya mereka saat sedang musim-musimnya menjalani tes.

Tes-tes membuat sebuah batas.

Inilah cerita klasik: teman-temanmu melakukan tes masuk di sekolah yang sama, dan akhirnya ada satu pihak yang gagal dan yang satu lagi berhasil masuk. Saat kau dengar ada pasangan yang gagal masuk di sekolah yang sama, hal itu membangkitkan nafsu makan dan apabila itu menjadi salah satu tuas yang membuat masalah yang akhirnya membuat mereka putus, makananmu itu berubah menjadi makanan Susumu-kun.

Kalau umur mereka sekitar umur anak SMP, maka hubungan pertemanan merekapun pasti akan menjadi retak. Khususnya saat mereka memutuskan akan mengambil tes masuk sekolah khusus persiapan universitas, ada orang yang sudah ditakdirkan akan ditinggalkan karena ada batasnya siapa yang bisa masuk. Dan orang yang tertinggal akan memutuskan hubungan mereka secepat yang dia bisa. Kalau saja itu aku, itulah yang akan kulakukan.

Karena pada akhirnya kau merasa malu, frustasi, tak senang dan iri. Kalau sudah saatnya perasaan iblis itu menyeruak, akan ada waktunya saat dimana kau akan mengekang dirimu sendiri, tersenyum dan setelah itu langsung kau putuskan hubunganmu. Menjadi sadar akan pemutusan yang akan terjadi adalah hal yang agak membingungkan. Kalau kau ingin lulus dengan muka berseri-seri, bukannya hau harus hindari bertemu teman-temanmu terlalu sering? Dan saat itulah dimana tak punya teman ada gunanya! Hachiman punya pikiran kalau dalam sekolah untuk persiapan tes, mereka harus mulai mengajari caranya menghancurkan hubungan pertemanan!

Itulah mengapa saat seperti ini punya teman dengan perbedaan umur cukup jauh dapat membuatmu beristirahat sejenak. Kedua belah pihak bisa ngobrol satu sama lain tanpa merasa terkekang.

Sekarangpun, tiga orang itu masih ngobrol dengan semangat satu sama lain selagi berjalan, Komachi ngobrol dengan Yukinoshita dan Yuigahama dan merekapun membalas ia dengan tersenyum. Untuk Komachi, yang selalu belajar saat liburan musim dingin, saat ini adalah saat untuknya dimana ia bisa bersantai.

Di dalam gelombang penuh manusia, Yuigahama menatap sekitar dengan tatapan tajam. Kelihatannya ia masih bingung tentang stan makanan apa yang ia akan antri di sisi jalan utama.

“Wow, kayak ada festival di sini,” kata Yuigahama, dan muka Komachi tiba-tiba berseri-seri.

“Aku tahu! Ah, mau makan sesuatu?”

“Pasti lah! Kalau gitu, mungkin... gimana kalau apel permen?”

Kelihatannya mereka akan mulai berjalan-jalan pergi dari jalan utama selagi mereka mengobrol. Yukinoshita, yang masih disebelah mereka, menyentak syalnya dan menahan mereka.

“Kita akan lakukan itu setelah kunjngan kita ke kuil,” kata Yukinoshita.

“Okeeeee...”

Dengan enggan mereka berdua kembali dari kerumunan orang.

Yang satu itu kayak momen dari kakak beradik perempuan... Hal seperti itu, yah, nggak ada ruang untuk onii-chan, tahu kan...

Apakah itu karena sifat bisa diandalkannya Yukinoshita, kemampuan Yuigahama untuk berbaur dengan orang lain, atau adik perempuan yang terkenal kejelekannya, sifat saudari dari Hikigaya Komachi yang membuat orang lain melakukan keinginannya; yang manapun alasannya, untuk cewek-cewek dengan perbedaan umur, kecocokan mereka tak terlalu buruk.

Yuigahama memimpin mereka didepan, Komachi mengikutinya dengan senyuman di mukanya, dan Yukinoshita memandang mereka tanpa suara selagi mengikuti dari belakang.

Aku berjalan dan mengawasi mereka di posisi paling belakang.

Dan kemudian, itu terjadi. Aku merasa tak nyaman dengan “obrolan para saudari” yang aku pikirkan tadi.

...Nggak baik.

Karena aku sudah memikirkan hal paling bodoh pertama kalinya di Tahun Barulah mengapa kedua sisi mulutku entah kenapa melengkung, sebuah senyuman muncul begitu saja di mukaku. Aku menarik-narik syalku untuk mencoba menutupinya.

Tanpa sadar, aku mengalihkan pandangan dari depan dan mataku berputar-putar di sekitar kerumunan orang.

Tak bisakah mereka mengatasi kerumunan ini, aku tanya? Rentetan pemikiranku membuatku hampir-hampir muntah. Aku pengen pulang aja sekarang...

Tapi saat kami sampai ke halaman depan kuil setelah menapaki tangga batu, kepadatan jadi berkurang entah kenapa.

Mungkin saja ini karena tidak ada stan makanan di halaman ini. Karena kuil sudah di depan mata, semua orang berjalan lurus kedepan tanpa berlalu-lalang. Kami bergabung dengan kerumunan dan kamipun sampai di depan kuil.

“Apa ya yang semua orang harapkan?”

“Kau harusnya gak begitu di kunjungan pertamamu. Ini bukan Tanabata, tahu...”

“Benar. Ini bukanlah hal yang benar-benar bisa mengabulkan permohonan, lagi pula.”

“Wooow, kalian membosankan!” Komachi mengatakannya dengan ekspresi ketakutan dan Yuigahama setuju dengannya.

“Ya, kalian! Maksudku kita kan berdoa pada dewa dewi, jadi mendingan kita minta sesuatu soalnya kita akan dapat untung juga darinya!”

Sial, aku nggak tahu logika misterius apa yang dia pakai dalam debat itu.

Yukinoshita menekan dahinya seperti sedang kesusahan memahaminya dan mendesah. “Oke... Yah, aku rasa biar saja begitu. Walau begitu, aku rasa nuansanya lebih kayak sedang bersumpah setia daripada yang lain.”

Yukinoshita sekelebat tersenyum. Yuigahama mengangguk keras dan mengangkat tangannya. Mereka berdua kemudian memasukkan persembahan dan membunyikan lonceng bersama-sama. Lalu kedua-duanya dua kali menundukkan kepala dan menepuk tangan. Kemudian mereka menutup kedua matanya. (50.3%)