Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume8 Bab4

From Baka-Tsuki
Revision as of 09:00, 14 December 2015 by Altux (talk | contribs) (Created page with " Bab 4 : Kunjungan Sang Pendeta Seminggu setelah Saito terbangun... Seekor naga angin mendarat di lapangan Akademi Sihir Tristain Seluruh murid, yang tengah ngobrol di lapa...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search
Bab 4 : Kunjungan Sang Pendeta

Seminggu setelah Saito terbangun...

Seekor naga angin mendarat di lapangan Akademi Sihir Tristain

Seluruh murid, yang tengah ngobrol di lapangan, memutar badan.

Begitu melihat pemuda di punggung naga, desahan keluar dari dada para gadis sekolah.

“Lihat! Rambut yang sangat indah!”

“Lihat itu!”

Saat melihat mata pemuda itu, para murid wanita langsung ketakutan. Warna yang kiri dan kanan berbeda.

“Mata bulan.”

Ucap seorang perempuan.

Mata dengan warna kiri-kanan yang berbeda disebut “Mata bulan’, mengikuti kedua bulan di Tristain. Di proinsi-proinsi dimana tahayul masih kuat, dipercaya orang semacam itu adalah jahat dan dibenci semua orang.

Namun...mereka tetap terpana menonton pemuda cantik itu turun dari naga.

“hyaa...apa dia ningrat dari sebuah negara? Dia bagaikan seorang peri!”

Pendeta Romalia – Julio Cesar.

Murid-murid wanita terus menjerit – “Kyaa Kyaaa”.

Julio mengabaikan ribut-ribut ini dan turun ke tanah dari punggung naga anginnya...

Dum.

Dia menghantam tanah dengan kepalanya.

Murid-murid wanita bengong, saling menatap, lalu berlari mendekati Julio.

“Apa kau...baik-baik saja?”

Julio tertawa dengan sebuah senyum, sambil terbaring di tanah. Senyum yang sangat menawan – seluruh muid wanita langsung terpikat.

“Ada tanah di mukamu...M-mohon gunakan ini...”seorang perempan memberikan sebuah saputangan ke Julio, membuat yang lainnya tergerak juga.

“I-ini gunakan milikku!”

“Saputanganku harum!”

“Aku baik-baik saja.”

“Haah! Tanah tak cocok dengan penampilan eleganmu!”

“Tak apa.”

“Tapi...”

“Aku belum mencuci wajahku setelah perang. Itulah kenaa ia kotor.”

Julio melambai pergi.

“Selama tiga minggu? Benarkah!”

“Apa kau sebegitu benci mencuci wajahmu?”

Tawa menggema.

“Bukan itu masalahnya. Aku tak bisa membuat sapu tangan seorang Wanita kotor.”

Dia berdiri lalu membungkuk.

“Tidaaak! Berhentilah bercanda!”

Para gadis menjerit gembira.

Para cowok mengamati para gadis sekolah mengagumi dengan hati pahit. Seorang murid lelaki, dengan senyum menantang, menghampiri Julio.

Seorang gadis berteriak.

“Pelisson-sama!”

Pelisson di tahun ketiga adalah pemburu wanita Akademi Sihir Tristain. Meski dia memiliki wajah cantik bagai pahatan kuno, dia kurang memilki daya tarik. Dia iri saat seprang terkenal tiba-tiba muncul, dan tak bisa membendungnya.

Pelisson menyilangkan lengan dan menatap tajam Julio, dan menyadari Saget Suci di dadanya.

Fuun, dia tersenyum mengejek.

“Pendeta, apa kau datang untuk memohon berkat?”

Tanpa kehilangan ketenangannya, Julio menjawab “Aku datang kesini untuk bertemu seorang teman.”

Ini adalah Gedung tempat belajar para ningrat. Pergilah berceramah di jalan-jalan.”

“Aku tak ingat menanyai pendapatmu.”

Alis Pelisson naik sedikit. Begitu mengetahui Julio tak memiliki tongkat sihir, dia menghunus tongkat tipis dan panjangnya. Ini yang baru, yang diterima Ksatria muda saat bergabung dengan tentara.

“Dari perkataanmu tadi, tampaknya kau juga ikut dalam Perang Albion, pendeta.”

“Aa”

“Aku petugas pelapor dari unit Naarre. Kau?”

“Kerjaku macam-macam.” Ucap Julio, merendah

“Pasti soal merawat nagamu. Seperti pengikutmu. Ya.”

“untuk pendeta, perkerjaan apa saja cocok.”

Pelisson memukul kepala Julio dengan tongkat sihirnya.

“Dengan memukul kepalaku, kau menghina Tuhan dan Brimir sang Pendiri, Petugas.”

“Aku tak menghina Tuhan. Aku hanya mengajarkan tata krama seorang pendeta sombong yang mulai bertingkah bagai ningrat. Aku akan menunjukkanmu sebuah hinaan.”

“jadi kau seorang ningrat? Lalu mengapa kau begitu iri dengan seseorang yang berada di luar lingkar ningrat?”

Wajah Pelisson memerah. Mrid-murid wanita yang berkumpul di sekeliling mereka menjadi ketakutan.

“Maka ucapkan mantramu!”

Teriaknya sambil mengucapkan mantra...

Naga angin yang tadinya duduk di belakang Julio, bangkit dan menerjang Pelisson, dalam sedetik, Pelisson yang tak bisa melawan, dibuat tak berdaya di tanah oleh naga angin besar itu.

“H-hei! Ini tak adil! Jangan gunakan naga! Guah!”

Pelisson yang punggungnya diinjak oleh naga angin besar itu pingsan dalam keadaan susah payah .

“Karena aku tak bisa menggunakan sihir, aku gunakan naga.”

Mendengar keributan ini, Chevreuse-sensei menghampiri mereka dengan langkah-langkah pendek.

“Apa ini! Apa ini! Kupikir perang sudah berakhir, jadi berhentilah bertengkar di lapangan sekarang juga! Aku serius!”

Mata Chevreuse terbelabak saat menyadari Julio yang tengah bangkit berdiri.

“Ara ara, Bukankah anda orang luar? Atas izin siapa anda bisa masuk? Apalagi, anda juga membawa naga semacam itu!”

Mengambil tangan Chevreuse yang bergejolak, Julio membungkuk sopan.

“...Eh?”

Setelah mengambil tangannya, dia menatap wajah Chevreuse. Wajah tampan semacam itu membuat wajah Chevreuse bersemu kemerahan tyak peduli umurnya.

“Aku minta maaf. Namun, aku hanya datang kesini untuk menemui seorang teman...”

“A-ara, begitukah? Siapa? “Nona Vallière. Saya ingin mendapat izin dari diri engkau yang cantik, untuk menemuinya hari ini.”

“Cantik? Apa?”

“Ya, di negara asalku, Romalia, ada lukisan kuno seorang wanita suci. Saat anda muncul, saya salah mengira anda sebagai wanita suci dalam lukisan tersebut.”

“Ya Tuhan! Wanita Suci! Itu!” Teriak Chvreuse dengan nada penuh gairah.

“Bolehkah saya memasuki sekolah?”

“Wanita suci ini tak mungkin menolak pendeta-sama! M-mohon ambil ini!”

Chevreuse menulis izin masuk di kertas dengan mulus, dan dengan wajah penuh mimpi, menyerahkannya pda Julio.

“Terima kasih. Ah, jika boleh, bisakah sata meminta anda merawat sang nag?

“Y-ya! Mohon pergilah!”

Chevreuse berdiri tegak dan memberi salut penuh empati.

“Azuro! Kini aku akan pergi.”

SI Naga angin Azuro mengaum dan mengangguk kepada tuannya.

Para gadis sekolah menatap dingin Chevreuse, yang setengah sadar menonton punggung Julio yang pergi.

“A-apa yang kalian lihat?!”

“Tak ada...Seorang guru masih seorang wanita, begitulah.”

“J-jangan mempermainkan gurumu! K-kau! Berhentilah tidur selamanya di tanah! Cepatlah lepaskan dirimu dari kaki Naga Angin pendeta-sama!”

Sambil bersemu merah, Cehvreuse meneriaki Pelisson yang tengah melenguh akibat diinjak naga angin.

-tok tok tok –seseorang mengetuk pintu. Louise setengah sadar membuka mata.

“Siapa?” tanyanya.

“Ini aku. Aku.”

Jawaban pun datang.

Mendengar suara itu, Louise langsung melompat dan berlari. Namun...setelah berpikir sebentar, dia kembali dan bersembunyi di bawah selimut.

Pasti sejenis lamunan. Karena sangat merindu, dia mulai mendengar suara dalam kepalanya.

“Mohon bukakan. Ini aku.”

Suara itu kembali menggema. Louise perlahan menyembulkan kepalanya keluar selimut dan mengamati pintu.

“Apa kau yang sebenarnya?”

“Dan mengapa aku yang palsu? Buruan buka.”

Louise bangkit di kakinya. Bagai kilatan pink, dia berlari menuju intu, berpakauan hanya dalam pakaian tipis malam, dan buru-buru membuka pintu.

Wajah yang dia lihat berkali-kali dalam mimpinya, kini berdiri di hadapannya.

“Saito...”

Louise hampir rubuh ke lantai.

Sambil tersenyum, Saito memegang bahu Louise.