Konjiki no Wordmaster (Indonesia):WN Chapter 87

From Baka-Tsuki
Revision as of 05:32, 18 December 2016 by Srow (talk | contribs) (Created page with "Chapter 87: Pemikiran yang Kuat “Akhir-akhir ini penghalangnya memiliki efek yang kecil. Desert Turtle berubah menjadi ganas hanya dengan sedikit rangsangan. Sekalinya mar...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Chapter 87: Pemikiran yang Kuat


“Akhir-akhir ini penghalangnya memiliki efek yang kecil. Desert Turtle berubah menjadi ganas hanya dengan sedikit rangsangan. Sekalinya marah, keganasannya tersebut tidak akan mereda hingga beberapa waktu. Namun, jka kita meninggalkannya sendirian, ada kemungkinan dia akan mengejar. Jadi, diantara kita yang bisa melawannya dapat mencoba mengalihkannya te tempat lain, tapi...” (Shivan)

“Jika itu gagal, mengarah ke hasil ini...Kupikir seperti itulah.” (Hiiro)

Setelah mendengar perkataan Shivan, Hiiro berkata seperti itu dengan begitu meyakinkan. Saat monster-monster tersebut tidak menyadari keberadaan mereka, mereka menuju ke arah lain. Meskipun Suku Ashura terlihat sedang menarik perhatian si monster, monster lain yang sedang tertidur melihat mereka diserang.

“Begitulah. Walaupun aku mengatakan berbagai alasan, satu yang paling penting yaitu kalau kita tidak ingin meninggalkan Rigund. Semua orang berpikir seperti itu.” (Shivan)

“Tapi, jika kau berpikir mengenai masa depan anakmu, bukankah ini merupakan pilihan yang salah?” (Hiiro)

Pria berjambul itu kesal dengan kata-kata Hiiro, dia kaget melihatnya saat dia menggertakkan giginya. Muncul di depan orang sepertinya, Kamui akhirnya membuka mulutnya.

“Ya.....seperti yang kau katakan...aku yakin. Tapi.....Ayah adalah keluarga.”(Shivan)

“...Biarkan aku bertanya ini. ayahmu telah dimakan oleh kura-kura gurun, kan? Salah satu ciri dari kura-kura gurun adalah mampu mengambil bentuk dari Ayahmu. Meskipun begitu, dia hanya mirip dengan Ayahmu. Masih bisakah kamu katakan bahwa ayahmu masih hidup?” (Hiiro)

“Itu...” (Kamui)

Kamui menundukkan kepalanya dengan mata yang putus asa.

“Lagipula, bukankah Ayahmu sudah mengatakannya kepadamu? Kalau dia mempercayakan suku ini kepadamu. Namun, orang yang membuat suku ini kesulitan adalah kau, Pemimpin Suku Ashura.” (Hiiro)

“Memangnya apa yang kau tahu, bajingan?” (Pria Berjambul)

Pria berjambul menghunuskan shamsirnya saat dia mendekati Hiiro dengan kecepatan yang luar biasa. “Diam.” (Hiiro)

Saat Hiiro mengatakannya, dia menunjuk jarinya kearah orang itu saat sesuatu keluar dari ujung jarinya. Apa yang keluar, tentu saja, sebuah kata. Pergerakan pria berjambul tiba-tiba terhenti. Tidak tau apa yang terjadi, dia terkejut. Bahkan dengan seluruh kekuatan yang ada di tubuhnya, tubuhnya tetap tak mau bergerak. Itu bukanlah paralysis. Hanya saja tubuhnya menolak untuk bergerak, seolah-olah itu benar-benar beku.

『止 | Stop』

Dengan menggunakan { Word Magic }, Hiiro telah menghentikan pergerakannya. Saat yang lain memiliki ekspresi kosong, tidak yakin dengan apa yang sudah Hiiro lakukan, Liliyn menatapnya sambil bersenandung [ Hohou ] dengan bunga.

Meskipun biasanya dia tidak akan menggunakan { Word Magic } dalam situasi seperti ini, sekarang ini suasana hati Hiiro sedang sedikit buruk. Ini menjadi tenang setelah dia mendengarkan cerita mereka. Walaupun begitu, dia mengambil tindakan dengan sedikit perhatian sembari memikirkan kemungkinan apa akibatnya.

Alasannya mungkin karena dia tidak peduli dengan keadaan Suku Ashura sekarang ini. Bahkan Hiiro frustasi karena dia tidak yakin dengan dirinya sendiri.

“Oi, Nitouryuu/Dual Blades.” (Hiiro) (TL Note: Nitouryuu = Dual Blades)

Hiiro memanggil Kamui.

“Mengapa kau tidak berhenti dari gaya hidup yang bodoh ini? Kecuali kau, tidak. Kecuali kalian tidak memahami bahwa Suku Ashura akan segera punah?” (Hiiro)

“K-kau masih berbicara seperti itu, bajingan?” (Pria Berjambul)

Saat terdengar hanya suara dia saja yang keluar, pria berjambul berteriak. Namun, Hiiro menunjuk jarinya ke tempat lain. Tatapan semua orang pindah ke tempat yang Hiiro tunjuk. Tempat yang Hiiro tunjuk adalah....anak-anak.

“Apa kau masih belum mengerti kalau kau, yang sudah dipercayakan mengenai masa depan suku ini, mengarahkannya ke kehancuran? Atau apa kau masih belum paham kalau semua anak-anak akan mati?” (Hiiro)

Kalau itu tiba-tiba terjadi kepada Kamui, dia menatap anak-anak yang sedang tidur, wajah mereka kelihatan kesakitan. Di dekat mereka, orang yang kelihatan seperti seorang ibu menemani mereka. Saat dia menyeka keringat mereka dengan lembut, dia berusaha memberikan mereka beberapa makanan. Bagaimanapun, anak-anak yang tidak makan dengan baik, mereka menolak minum sup seperti makanan.

Namun, ibu itu terus memberi mereka kata-kata motivasi, memberitahu mereka untuk tidak menyerah. Bahkan saat dia lelah dan kurang tidur, suasananya sangat menyedihkan. Walaupun begitu, dia tetap melanjutkan senyum kesedihan tersebut di depan anak-anak.

“Jika dia melihatmu sekarang, apa yang akan dipikirkan oleh Ayahmu?” (Hiiro)

“....” (Kamui)

“Jika itu aku, aku akan mengatakan ini. ini merupakan kesalahan karena mempercayakan suku kepadamu.” (Hiiro)

“Ku-...” (Kamui)

Ekspresi wajah Kamui berubah karena kesal. Pria berjambul mendengar anak-anak menangis dengan menyedihkan. Dia hanya bisa tetep diam. Liliyn memanggil Hiiro sambil terkagum-kagum.

“Aku terkejut, bocah. Aku tidak menyangka bahwa kau khawatir dengan anak-anak yang merupakan orang asing.” (Liliyn)

“Hmph, bukan seperti itu. Aku hanya kesal. Kesal kepada tingkat kemiskinan orang-orang ini.”(Hiiro)

“Kukuku, jangan berkata seperti itu, bocah. Jadi, itu apa yang dikatakan rekanku. Bagaimana menurutmu, Shivan?” (Liliyn)

Liliyn mengajukan sebuah pertanyaan kepada teman lamanya, Shivan. Dalam melakukannya, dia mengerang seolah-olah itu susah untuk dilakukan. Dia mulai membuka mulutnya yang berat.

“...tidak, itu seperti apa yang sudah dia katakan. Ya, kita memanglah miskin. Bagaimanapun, ini adalah sesuatu yang diinginkan semua orang. Ini bukanlah keputusan Kamui sendiri.” (Shivan)

“Berdasarkan situasi tersebut, Suku Ashura merupakan sekumpulan orang bodoh.” (Hiiro)

“A-Aku tidak akan pernah lagi memaafkanmu~~!” (Pria Berjambul)

Saat satu menit yang merupakan batas waktu 『止 | Stop』 pengaruhnya telah hilang, pria berjambul mulai bergerak lagi untuk menyerang Hiiro dengan Shamshirnya di tangan.

“Apa yang coba kau lakukan, pemimpin?” (Pria Berjambul)

Kamui menyelinap di antara Hiiro dan pria berjambul, hingga serangannya terganggu. Hiiro juga mencurigai tindakan Kamui sambil menatapnya. “Sukunya...jangan hina mereka.” (Kamui)

Meskipun terdengar kalau dia berbicara acuh tak acuh, Kamui jelas memasang ekspresi muram. Walaupun kata-kata Hiiro tidak dapat dibantah dan logis, Kamui memiliki hal-hal yang membuatnya tidak bisa menyerah. Dia tunjukkan niatnya bahwa ia tidak akan membiarkan rekan-rekannya dipermainkan.

“Kau dapat melakukan apapun yang kau inginkan, tapi mereka yang sengaja mengambil tindakan terhadap dirinya sendiri untuk merusak, tidak ada yang lebih bodoh dari mereka. Bahkan jika kalian mengklaim bahwa kalian memiliki alasan untuk melakukan hal-hal seperti itu, aku hanya bisa melihatnya karena itu benar-benar konyol.” (Hiiro)

“Aku tidak akan...mengizinkanmu untuk berbicara lagi.” (Kamui)

Tangannya berbalik ke arah punggungnya, mengeluarkan sepasang katana.

“Jadi kau ingin pergi? Bagaimana dengan menggunakan antusiasme itu untuk menundukkan monster?” (Hiiro)

“...Diam.” (Kamui)

“Kupikir aku harus mengatakannya juga ya? Kalian hanya tidak ingin melawan monster itu.” (Hiiro)

“Diam” (Kamui)

“Karena penampilannya itu mirip dengan ayahmu ... pemimpin sebenarnya. Itu sebabnya kau ragu-ragu.” (Hiiro)

“Diam.” (Kamui)

“Berpikir bahwa ia akhirnya akan kembali, bahwa dia akan datang kembali. Saat kau mempercayai khayalan tak berdasar tersebut, kau menghindari pertarungan yang akan membuatmu kesakitan.” (Hiiro)

“Aku sudah memberitahumu...DIAM.” (Kamui)

“Kalian sedang meletakkan sampah ke niat mereka yang telah mempertaruhkan nyawa mereka pada sebuah garis.” (Hiiro)

“Tutup Mulutmu!” (Kamui)

Langsung menghilang dari tempatnya, Kamui tiba-tiba muncul di depan mata Hiiro sebelum dia sempat menyadarinya. Memegang katana di kedua tangan, Kamui menahannya saat ia mencoba menyerang Hiiro.

  • kiiiiiiiiiiiin!*

Hiiro menarik [ Thorn-Sword Piercer ] setelah melihat katana Kamui dan mencoba menahan serangannya lagi.

(Ku -...... kekuatan apa ini! Meskipun aku bisa melawannya karena sebelumnya aku melihat tangannya, gerakan orang ini terlalu cepat !?) (Hiiro)

Meskipun Hiiro mampu membaca serangan sederhana lawannya yang sedang marah, dia hampir saja tidak bisa menahannya. Satu-satunya alasan untuk ini karena cepatnya gerakan Kamui itu.

“Tunggu, Kamui.” (Shivan)

Setelah mendengar kata-kata tersebut, Kamui membuat jarak antara dia dan Hiiro. Setelah itu, ia melihat ke arah pemilik suara, Shivan. “Kamui, apakah itu tindakan seorang pemimpin?” (Shivan)

“.......Aku tidak akan...membiarkanmu dihina.” (Kamui)

Melihat Kamui mengertakkan gigi saat ia menjawab, Shivan hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

“.......Mau bagaimana lagi. Mereka itu tamu.” (Shivan)

“Apa?” (Kamui)

“Kau tidak akan merubah pikiranmu, ya?” (Shivan)

“Tentu saja.” (Hiiro)

“Fumu, Kamui juga sama, bukan?” (Shivan)

“Un.” (Kamui)

Shivan sekali lagi menarik nafas sambil mengangkat bahu.

“Dalam hal ini, akan lebih baik jika kau menyelesaikannya sampai kau puas. Jadi, mari kita keluar.” (Shivan)

“Aku bersedia.” (Hiiro)

“...Aku akan menang.” (Kamui)

Hiiro dan Camus saling melotot. Namun, Jin-u membuat ekspresi terkejut saat mereka berteriak.

“Sivan-sama, apakah ini bisa diterima?” (Jin-u)

“Mau bagaimana lagi. Belum lagi, saat berselisih, lebih baik bagi mereka untuk saling bertarung satu sama lain.” (Shivan)

“T-tapi....” (Jin-u)

“Ada beberapa hal yang hanya bisa dipelajari dengan bertarung menggunakan tinju. Bukankah begitu, Liliyn?” (Sivan)

“Lucu, yang lebih penting, jika kau ingin melakukannya maka lakukanlah.” (Liliyn)

Liliyn tidak bisa membantu tapi dia menyeringai saat melihat ke depannya. Tidak diragukan lagi, dia senang karena dia bisa mengamati pertarungan Hiiro ini. Melihatnya, Sivan hanya bisa menggelengkan kepalanya dalam kesedihan.

“Jin-u, kau yang akan menjadi juri.” (Shivan)

“Y-ya.” (Jin-u)

Pria berjambul, Jin-u, memberikan jawabannya, membawa mereka berdua bersamanya berjalan ke gurun.

Shivan berbicara kepada Liliyn yang berada di dekatnya.

“Yang muda itu mirip denganmu. Berpegang teguh pada ide-idenya sendiri dan menunjukkanya, belum lagi sikap kurang ajar nya. Dia tidak akan menjadi anakmu, kan?” (Sivan)

“Hohou, itu lelucon yang cukup lucu. Kelihatannya kau ingin sisa tahun hidupmu yang pendek itu akan habis di sini, ya?” (Liliyn)

Saat pandangannya buruk, rasa haus Liliyn terhadap darah menguat. Shivan mulai resah.

“Hanya bercanda.” (Shivan)

“Lucu, tepatnya bagaimana aku bisa mirip dengan bocah itu?” (Hiiro)

“Itu adalah....” (Shivan)

Keringat mulai mengalir di dahinya, Sivan menarik nafas.

“Sekarang yang kau sebutkan itu, bahkan bocah Ashura mirip denganmu ketika kau masih muda. Kejujuran dan keterusterangannya. Bahkan perilaku kalian yang menghargai rekan kalian yang konyol.” (Liliyn)

“Hoh Hoh Hoh, yah, dia masih belum matang.” (Shivan)

“Tentu, aku pernah mendengar bahwa orang-orang dari Suku Ashura membutuhkan 40 tahun sebelum mereka dewasa. Aku mengerti. Saya melihat. Jadi dia pada dasarnya masihlah anak nakal.” (Liliyn)

Ketika orang-orang dari Ashura Tribe mencapai usia 40, penampilan mereka menjadi orang pada usia dua puluhan. Meskipun Kamui telah hidup selama lebih dari 3 dekade, penampilan dan mentalitasnya masih belum matang.

“Melihatmu yang memiliki anak nakal, aku tidak berpikir kalau kau diperbolehkan untuk mengatakan itu, mungkin?” (Shivan)

“Diam! Kau masih bisa mengatakan itu saat kau tidak bisa melihat, dasar orang tua sinting!” (Liliyn)

“Seperti yang sudah kukatakan berkali-kali, walaupun aku tidak melihatnya, aku masih bisa merasakannya. Dasar loli brengsek.” (Shivan)

Saat mereka berdua saling melotot dengan bunga api di udara, Shivan hanya bisa kagum. Shamoe hanya bisa menonton mereka karena dia masih kebingungan.