Tate no Yuusha Jilid 1 Bab 25 (Indonesia)
Bab 25 : [Special Extra : Bab 2] Bendera di atas Makan Siang Anak-Anak
Bagian 1
“Aku pergi main dulu!”
“Pulanglah saat makan siang!”
“Iya!”
Hari ini cuacanya sangat cerah!
Setelah pamitan pada ayah dan ibuku, aku pun pergi ke lapangan di desaku.
Keel dan yang lainnya sedang menungguku di sana.
“Hei, akhirnya kau datang juga!”
“Tentu saja.”
Keel menggerak-gerakkan telinga anjing kecilnya, saat dia menungguku.
Anak-anak lainnya juga sudah berada di lapangan.
“Mereka bilang, hari ini kita tidak boleh pergi ke pantai karena Sadina tidak ada di sini. Padahal sudah kubilang tidak apa-apa, tapi...”
“Oh, diamlah! Yang penting, hari ini ayo kita main di sawah.”
“Oke!!”
Semuanya mengangguk setuju.
“Baiklah, ayo kita pergi! Jangan jauh-jauh dariku agar kalian tidak tertinggal!”
“Kau ini bicara apa? Aku ini ‘kan pelari yang cepat!”
Kami semua berlomba dan berlarian menuju sawah.
Tapi sungguh, aku ini bisa lari dengan cepat. Lariku mungkin secepat Keel, tapi semuanya selalu bilang Keel yang tercepat.
Saat aku mulai berlari, teman-teman yang lain bisa kususul dengan mudah.
“Waah larimu cepat sekali!”
“Kalau kau mengayunkan tanganmu dengan kuat ke belakang, dan membayangkan larimu semakin cepat, maka larimu akan jadi lebih cepat.”
Aku sedang mengajari cara berlari cepat pada anak yang larinya lebih lambat, dan saat kami berbicarakan hal itu, kami sudah tiba di sawah.
Ayah dan ibuku bilang, aku harus hati-hati karena ada beberapa monster di sini, tapi sampai saat ini, kami belum menemui bahaya yang serius.
“Hari ini, apa yang akan kita lakukan?”
“Ah sial! Aku kalah. Lihat saja, lain kali akan kukalahkan kau!”
Keel menatapku sambil menggerutu.
Heh heh. Ini akan jadi hari yang menyenangkan.
“Ayo kita main ‘kucing-kucingan’!”
“Boleh juga!”
“Iya!”
Semuanya setuju dengan usulanku.
“Aku yang jadi kucingnya! Akan kukejar kau!”
“Kau takkan bisa menangkapku!”
Keel sangat tidak suka kalau dia kalah, tapi itulah salah satu kelebihannya.
“Ahahaha!”
“Sial! Tunggu!”
Keel kelihatannya benar-benar kesal. Dia terus saja mengejarku.
Dan setelah agak lama main, kami semua pun kelelahan, dan memutuskan untuk beristirahat.
“Sekarang kita mau main apa?”
“Semuanya masih bisa terus main, kan?”
“Hari ini, aku tidak harus bantu-bantu di rumah, jadi aku masih bisa main.”
Apapun alasannya, ada saat-saat teman-teman punya kesibukan masing-masing di rumah. Aku sendiri biasanya membantu ibuku memasak.
“Ayo kita main kucing-kucingan lagi!”
“Tapi aku sangat capek. Aku mau istirahat dulu.”
Keel kelihatannya masih belum kelelahan. Kurasa semua anak laki-laki memang seperti itu.
“Terserah. Kalau begitu kami akan main tanpa kalian.”
“Iya!”
Semua anak laki-laki berdiri, dan lanjut bermain kucing-kucingan.
“Mereka itu seperti tidak ada capeknya.”
“Iya, kau benar!”
Rifana, gadis yang berada di sampingku, juga setuju denganku. Kami berdua duduk sambil melihat mereka bermain.
“Hei, kau lebih suka sama siapa?”
“Hmmm...”
Umur kami sudah mendekati masa-masa gadis, yang mulai berpikiran tentang cinta.
Kami mulai berbincang tentang siapa saja yang sedang berpacaran, dan siapa yang kira-kira akan kami nikahi nanti. Tidak lama, kami jadi bersemangat dan larut dalam perbincangan kami.
“Aku ingin menikahi seseorang seperti ayahku!”
“Itu sih curang namanya! Harusnya laki-laki itu seumuran denganmu!”
“Hmm...”
Aku menoleh ke arah para anak laki-laki yang sedang bermain.
Keel mungkin anak yang paling keren di antara mereka semua. Dia juga punya wajah yang tampan. Tapi, aku tidak sepantasnya berpikir seperti itu. Karena aku tidak percaya diri, saat melihat wajahku di cermin.
Kalau kami pergi ke kota terdekat, akan ada banyak gadis manis di sana. Dan semakin kami tua, mereka jadi semakin kelihatan cantik. Dan ras-ku dianggap tidak cukup menarik dari segi kecantikan...
Tapi ayahku itu keren, dan dia juga tampan. Aku ingin bisa sekeren ayahku. Semuanya juga bilang kalau ibuku wanita yang manis. Dia juga ramah, dan bisa memasak... Aku ingin tahu... Apa saat besar nanti aku akan menjadi cantik sepertinya? Sebelumnya, aku pernah menanyakan itu pada ibuku.
Dia pun tersenyum dan mengangguk. Jadi aku sangat yakin, kalau nanti aku juga akan menjadi cantik. Di waktu yang lain, aku juga bertanya, bagaimana rasanya saat jatuh cinta dengan seorang pria. Apakah berbeda dengan menyayangi keluarga kita?
Ibuku terlihat kebingungan. Kupikir, rasa sayang ibuku terhadap pria, berbeda dengan saat dia menyayangiku.
Bagian 2
“Ada beberapa jenis rasa suka kepada seseorang. Ibuku pernah bilang, rasa sayangnya terhadap orang lain, berbeda dengan rasa sayangnya padaku.”
“Ya! Aku mengerti. Tapi aku ingin menikahi seseorang seperti... seperti sang Pahlawan Perisai Legendaris!”
Rifana adalah teman baikku dari desa. Sifatnya lebih feminim daripada aku, dan dia suka membicarakan tentang laki-laki dan cinta. Apalagi saat dia membicarakan tentang “Kisah Empat Senjata Suci”, karena diceritakan sang Pahlawan Perisai, begitu ramah terhadap ras Demi-human seperti kami.
“Yah... Aku...”
Namun tidak lama setelah itu...
Sampai saat itu, aku tidak pernah membayangkan hari-hari kami yang damai akan berakhir. Dan aku dipaksa untuk mempercayainya.
Ping!
Suatu suara yang keras menggema di sepanjang pesawahan. Saat aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, udaranya tiba-tiba bergetar, dibarengi bertiupnya angin kencang.
“Ah!”
“Kyaaah!”
“Apa yang..?”
Kami semua terjatuh dan menunggu angin kencangnya mereda.
Sesaat kemudian, angin itu pun lenyap. Semuanya menjadi hening.
“Apa itu tadi?!”
“Hei, lihat itu.”
Keel menunjuk ke arah langit.
Aku juga melihat ke arah yang dia tunjuk, dan terdiam membisu.
Langitnya seperti sudah dirobek oleh sebilah pisau. Dan bentuknya seperti retakan pada tempurung kura-kura. Sangat mengerikan.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Ayah dan ibuku bilang, kalau terjadi apa-apa, kita harus kembali ke desa.”
“Kalau kita tidak memeriksa keanehan ini, kesempatan yang sama takkan datang dua kali.”
“Tidak! Keel!”
Anak-anak yang lain menyeret Keel agar ikut pergi dari sini, dan kami sama-sama pulang ke desa.
“Raphtalia!”
“Ayah!”
Ayahku baru pulang dari kota sebelah. Aku segera berlari mendekatinya.
“Apa kau baik-baik saja? Ayah sangat khawatir!”
“Aku baik-baik saja. Ayah ‘kan bilang, aku harus segera kembali ke desa kalau sesuatu terjadi.”
“Gadis pintar.”
Dia mengusap kepalaku.
Hee hee hee…
Kemudian ayahku berbicara dengan para orang dewasa yang lain.
“Semuanya, dengar. Aku baru kembali dari menemui pimimpin daerah. Dia bilang, retakan di langit ini akan mendatangkan banyak monster ke daratan.”
“Apa itu berarti, kita harus melawan monster-monster itu?”
“Sepertinya begitu.”
Terdengar suatu lolongan mengerikan dari retakan di langit.
Ekorku langsung bergerak tak terkendali saat aku mendengar lolongan itu. Sangat menakutkan.
“Apa kita akan baik-baik saja?”
“Hm….”
“H…Hei! Kita sedang dalam bahaya! Semua monster itu telah menyerbu desa yang lain! Pemandangan di sana seperti di neraka!”
Seorang pria tua memberitahukan berita itu pada kami.
Wajahnya terlihat pucat.
“Tapi...Kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana bisa pasukan monster itu tiba secepat ini?!”
“Pemimpin daerah telah memerintahkan, agar kita mengungsi secepat mungkin! Dia bahkan telah meminta balabantuan dari ibukota!”
“Apa yang terjadi dengannya?”
“Aku tidak tahu, tapi dia memerintahkan kita agar mengungsi sesegera mungkin!”
“Ugh...”
Para orang dewasa terlihat kecewa, selagi mereka berbicara.
“Para pemburu sedang pergi berlayar, dan Sadina juga belum kembali...”
“Ada badai besar juga di lautan. Apa mungkin mereka bisa kembali dengan selamat?”
Langitnya terlihat semakin mencekam.
Tidak lama, terdengar suara yang keras dan aneh. Semua orang melihat ke arah asal suara itu.
“Makhluk... apa itu?!”
Ada sesuatu di sana, seperti... seperti seseorang yang terbuat dari tulang.
Makhluk itu terseok-seok menyeret kakinya, saat mendekat ke arah kami.
Dan makhluk itu menggenggam semacam senjata dengan kedua tangan tulangnya, yang kilauannya redup.
Aku ketakutan saat melihatnya. Sampai rasa takut itu seakan menusuk ke tulangku. Makhluk itu adalah monster. Hanya kata itu yang paling cocok, untuk menggambarkan makhluk itu.
“Uh… aaaaaahhhhhh!”
Orang-orang dewasa mulai berteriak, dan melarikan diri.
Semua penduduk desa pun ikut menjerit histeris.
Ayahku melompat ke depan monster itu untuk menghadangnya.
“Aku perintahkan inti terdalam dari kekuatan Cahaya! Habisi monster di depanku! [First Holy] !”
Sebuah bola cahaya sihir yang berkilauan, terbang dari tangan yang ayahku rentangkan, dan merubuhkan monster itu.
“Semuanya, tolong tenanglah dan dengarkan aku. Kita harus mengungsi secepat mungkin. Walaupun suku kita memiliki sihir yang kuat, tapi kita masih takkan mampu menghadapi jumlah monster sebanyak itu.”
“Dia benar.”
Ibuku menyetujui perkataan ayahku sembari melempar sebilah Hatchet[1] pada salah satu prajurit skeleton.
Tapi masih ada banyak skeleton yang bergerak menuju desa.
Bagian 3
“Kami akan menahan pasukan monster itu. Kalian semua, larilah!”
“Uh... baik.”
“Y... Ya.”
“Baiklah, kalau kalian berkata begitu...”
Semuanya menghela napas sebelum mulai melakukan pengungsian.
Mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah kota pelabuhan.
Walaupun masih ada badai, mereka mungkin masih bisa kabur lewat jalur laut.
“AAAHHHHHH!”
Tapi, kenyataannya tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan.
“Monster-monster sialan!”
Seekor binatang berkepala tiga sedang berlari ke arah desa.
Ayah dan ibuku bertarung dengan seluruh kemampuan mereka, tetapi mereka masih kesulitan melawannya. Monster itu terlalu cepat; dan terus menghindari serangan sihir ayah, dan lemparan kapak ibuku.
“Gaahhhh!”
Monster itu dengan beringas mengayunkan cakarnya, untuk menyerang ayahku dan warga desa lain, hingga mereka terlempar ke udara. Mereka berdua jatuh ke tanah, dan sendi mereka patah.
Huh? Apa? Aku tidak bisa mempercayainya...
“Wh… WHAAAAAAAAA!!”
“AAAAAHHH!”
Para penduduk desa mulai panik, dan berlarian secepat yang mereka bisa.
Mereka tidak mengikuti perkataan ayahku, dan berlarian ke arah pantai.
Mereka yang masih panik saling berdesakan, dan membuatku terdorong hingga jatuh ke tanah.
“Semuanya, tunggu!”
“Apa kau baik-baik saja, Raphtalia?”
Ibuku mendekatiku dan memelukku.
Tapi wajahnya begitu pucat.
Anjing berkepala tiga itu terus memburu para penduduk, dan menyerang mereka dengan taring dan cakarnya.
“Aku... takut... bu...”
Ibuku membelai rambutku dengan jari-jarinya.
“Tidak apa-apa. Kita akan baik-baik saja, jangan khawatir.”
“Um... Um...”
Kalau ibuku bilang kami akan baik-baik saja... kita tidak perlu khawatir... kan?
“Kita akan pergi.”
Ayahku mulai berlari, setelah semua penduduk keluar dari desa.
Aku dan ibuku terus mengikutinya.
Para penduduk yang sampai di tebing mulai melompat ke arah lautan. Anjing itu masih mengejar mereka. Lalu...
Anjing itu melompat ke laut, dan melahap semua penduduk yang masih berenang di sana! Air laut pun segera berubah menjadi merah.
“Wahhhhhhh!”
“Sialan, kita terlambat!” seru ayahku.
Ayah dan ibuku berlari dan menyerang anjing itu, untuk melindungi para penduduk yang tersisa. Aku masih bersembunyi di belakang kedua orangtuaku.
“Aaaaah!”
Anjing raksasa berkepala tiga itu melompat dari laut, dan menghadang kami. Monster itu melolong, dan terus menyudutkan kami hingga ke ujung tebing, hingga kami tidak bisa lari lagi.
“Grrr…”
Anjing berkepala tiga itu melompat lagi untuk mencakar kami.
Ayahku masih bisa menahan serangan cakar anjing itu dengan sihirnya, tapi darah langsung menyembur dari bahunya.
Huh?
“Suamiku, kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja... Tapi...”
Kami semakin dipojokkan sampai ujung tebing. Penduduk yang lain sudah berada di lautan, tapi separuh jumlah penduduk desa sudah... sudah...
“Ahhh...”
Aku sangat takut. Aku terus memeluk punggung ibuku.
Semua orang di bawah sana, terus berenang demi bertahan hidup, tapi mereka terus terombang-ambing oleh arus gelombang yang kuat, hingga terbawa ke tengah laut.
Mereka hampir tenggelam.
“Kalau kita tidak menghabisinya, monster ini akan melompat ke laut, dan membunuh mereka semua.”
“Aku tahu...”
“Maafkan aku, sayang...”
“Aku tahu hal ini akan terjadi.”
Kemudian kedua orangtuaku menoleh ke arahku.
“Raphtalia.”
“I...iya, bu?”
Ibuku mengelus-elus punggungku untuk menenangkanku.
“Jangan lupa untuk terus tersenyum. Bersikap baiklah kepada orang lain.”
“Ibumu benar. Saat kau tersenyum, mereka pun akan tersenyum juga.”
Ayahku mengusap kepalaku.
“Raphtalia... mulai sekarang, kau akan menemui keadaan yang menyakitkan. Kalau kau tidak berhati-hati, mungkin kau juga tidak akan selamat.”
“Tapi kau tahu, Raphtalia? Kami berdua ingin kau bisa terus bertahan hidup... karena itu, tolong maafkan keegoisan kami.”
Jantungku berdegup kencang... Seakan... Seakan aku takkan pernah bertemu dengan ayah dan ibuku lagi.
“Tidaaak! Ayah! Ibu!”
Aku tidak ingin berpisah dari mereka.
Ibuku mendorongku dengan keras, agar aku jatuh dari tebing menuju lautan. Masih melihat kedua orangtuaku di atas tebing, aku tercebur dan melihat banyak gelembung air yang menyeruak ke permukaan. Aku buru-buru berenang ke permukaan air. Dan... aku melihatnya. Aku melihat anjing berkepala tiga itu, dengan brutal masih menyerang ayah dan ibuku.
“TIDAAAAAAAAAAAK!!”
Bagian 4
Aku terus melawan arus, tapi tetap terbawa hanyut dan akhirnya pingsan. Saat aku sudah sadar setelah terbawa sampai ke tepi pantai, langitnya sudah berwarna gelap.
“Huff... Huff...”
Di sini juga ada beberapa warga desa yang selamat, tapi penduduk yang mati di laut, ikut terbawa ke sini.
Langit pun kembali seperti semula.
Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Tapi aku hanya ingin bertemu dengan ayah dan ibuku lagi. Aku segera kembali ke tebing, di mana aku berpisah dari mereka.
Di sekitar sini, ada banyak tulang-belulang yang berserakan. Sepertinya balabantuan dari ibukota sudah menumpas pasukan monster itu.
Saat aku tiba di sana, aku menemukan robekan daging, dan kerangka tulang monster itu. Para ksatria dan petualang sedang mengangkutnya.
Aku bisa memperkirakan apa yang sudah terjadi di sini.
“Yah, untung saja monster itu sudah cukup sekarat.”
“Kalau tidak, mungkin kita takkan bisa menghabisinya.”
Petualang dan ksatria itu masih berbincang sampai mereka melihatku.
“Apa-apaan bocah tengik ini? Apa kita harus membawanya?”
“Tunggu. Kita sedang berada di wilayah Demi-human.”
“Kau ini bicara apa? Pemimpin mereka sudah mati, kan?”
“Oh, iyakah?”
“Selain itu, biarkan saja bocah ini. Kita lihat apa yang terjadi nanti.”
Mereka memisah dan memberiku jalan.
Lalu aku melangkah menuju tebing, dan melihat tubuh ayah dan ibuku yang sekarang. Aku mulai gemetar dan terisak.
“TIDAAAAAAAAAAK!”
Sudah berapa lama sejak kejadian itu?
Dan saat ini aku tahu yang harus kulakukan, yaitu membuat pemakaman untuk kedua orangtuaku.
“Jangan lupa untuk tersenyum. Bersikap baiklah pada semua orang.”
“Ibumu benar. Saat kau tersenyum, orang lain juga akan ikut tersenyum.”
“Itu benar...”
Kedua orangtuaku telah mengorbankan hidup mereka, untuk melindungi warga desa yang lain, dan telah mempercayakan nasib mereka padaku.
Akan kubuktikan... Aku akan bersikap baik pada semuanya! Takkan kusia-siakan pengorbanan mereka...
Aku pun mulai berjalan menuju desa.
“Uhuuuuhh….”
“Papa... Mama …”
Para penduduk yang terbawa hanyut dari laut, sekarang sedang berkumpul.
Lebih banyak anak-anak daripada orang dewasanya.
“Apa itu Raphtalia?!”
“Iya.”
“Apa ayah dan ibumu selamat?”
Seorang pria tua tetangga kami, menanyakan itu padaku. Dia terlihat khawatir.
Aku mencoba sekuat mungkin untuk tidak menangis. Aku menggelengkan kepalaku untuk menjawabnya.
“Oh... Aku...”
Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia pasti tahu kalau ucapannya diteruskan, akan membuatku menangis.
“Tidak apa-apa. Ayah dan ibuku bilang aku harus menyemangati semua penduduk desa.”
“Mereka berkata begitu? Kau sungguh seorang gadis yang kuat.”
“Hee hee.”
Apa aku tadi tertawa?
Tidak apa-apa. Kalau aku menangis, ayah dan ibuku akan memarahiku.
“Semuanya!”
Aku berteriak kepada semua orang, dan anak-anak yang masih menangis, agar memperhatikanku.
“Aku tahu kalian sedang berduka. Aku juga sama. Tapi apakah orangtua kita, saudara kita, dan teman-teman kita yang telah tiada, ingin melihat kita terus menangis seperti ini?”
Semuanya terlihat terbebani mendengar kata-kataku. Raut wajah mereka berubah.
Aku menyentuhkan tanganku di dadaku, dan mengambil langkah ke depan.
“Kepada semua orang, yang keluarga dan kerabatnya masih hidup di luar sana, aku ingin bertanya, bagaimana perasaan mereka nanti, saat tiba di desa kita dengan keadaan yang sekarang?”
Itu benar. Ini adalah desa bagi semuanya. Kami tidak bisa begitu saja membiarkan desa ini terbengkalai.
Ayahku, dan pemimpin daerah kami, selalu bilang kalau semua penduduk desa ini seperti satu keluarga.
Karena itu, aku akan melakukannya juga. Aku akan menjaga mereka semua, seperti yang selalu dikatakan ayahku.
“Benar, kan? Aku mohon, kita semua saling membantu...”
Aku mencoba sebisa mungkin untuk tersenyum.
“Raphtalia…”
“Raphtalia, bukannya kau juga merasa sedih?”
“Kenapa kau malah tersenyum? Ayahmu juga sudah meninggal!”
Senyumanku memudar setelah mendengar seruan mereka.
Aku takkan menangis… Kalau aku mulai menangis, aku takkan bisa menghentikannya…
“Itu benar… Aku… tidak… sedih.”
Aku tidak bisa menangis. Kalau aku mulai menangis, takan ada seorangpun yang bisa menenangkanku.
“Oh…”
“Lihatlah betapa kerasnya gadis ini mencoba tetap tegar! Ayo semuanya. Kalau dia bisa, kita juga pasti bisa!”
“Yaah!”
“Baiklah!”
“Kau benar, Raphtalia! Aku juga akan berusaha sekuat mungkin!”
Keel yang tadinya menangis, sekarang melihat ke arahku dengan penuh semangat.
“Ya!”
Bagian 5
- ↑ Hatchet adalah kapak yang sisi lainnya berbentuk logam datar, yang berfungsi seperti palu. (dikutip dari Wikipedia)