Tate no Yuusha Jilid 4 Bab 2 (Indonesia)
Bab 77 : Dogeza[1][edit]
Bagian 1[edit]
“Tidak ada seorangpun yang tahan dipermalukan seperti itu!”
“Hanya seorang iblis yang tega berbuat begitu!”
Wajah si jalang menjadi ‘semakin buruk’ saat dia marah.
Wow... sungguh melegakan. Aku tidak percaya bisa melihat pemandangan seperti ini.
“Hahahahaha! Aku sangat ingin melihat wajah kalian yang sekarang!”
“Bajingan------------!”
Sekarang, nama Sampah dan Jalang telah diresmikan.
“ ‘Balas dendam hanya akan menciptakan dendam yang baru. Kau harus mengikhlaskannya...’ Sungguh pepatah yang bijak. Kau juga harus mencoba mempraktekkannya... Jalang.”
“Diam kau! Aku takkan pernah memaafkanmu!”
Si jalang mencoba menyerangku, namun para bawahan sang ratu segera menahannya.
“Karena nama Jalang bisa digunakan sebagai nama samaran, apa panggilan lain yang akan kau pilih untuknya?”
“Pelacur.”
“Kalau begitu, nama yang kau pilih akan menjadi panggilannya sebagai petualang. Selain dari dua nama itu, kau dan kalian semua tidak diperbolehkan memanggilnya dengan nama lain.”
“Akan kubunuh kau! Jika kesempatan itu tiba, aku pasti akan membunuhmu!”
Wow, meski sedang menghadapi hasrat membunuh si jalang, tiada perasaan lain yang kurasakan selain kebahagiaan.
Oh, terserahlah!
“Hahaha! Coba saja kalau kau bisa. Jika kau berani menyentuhku, maka bisa dipastikan kau akan dihukum mati!”
“Ya, dan akan kucabut hakmu untuk memilih hukuman atas mereka berdua.”
Aku mengerti. Jika aku yang membunuh anggota keluarga kerajaan, maka itu akan merusak martabat dan kewenangan sang ratu. Karena itu, sang ratu akan mencabut kembali hak khusus yang diberikannya padaku. Yah, semacam itulah.
“Ini sangat menyenangkan!”
“Baiklah, ada urusan yang kuharap Tuan Iwatani mau bekerja sama denganku.”
“Apa itu?”
“Saat insiden yang sebelumnya terjadi, bukankah Tuan Iwatani meminta padaku agar si Sampah bersujud dan menjelaskan kejadian sebenarnya?”
Para Shadow dan ksatria sang ratu memaksa si Jalang dan si Sampah untuk berlutut.
“Hentikan! Kalian pikir aku ini siapa--“
“Itu benar! Diri ini--”
“Bukankah kalian berdua hanyalah seorang ‘petualang’ dan seorang ‘jenderal’?"
Sang ratu mengingatkan posisi mereka sekarang, untuk menghentikan sikap memprotes mereka.
“Bersujud, kalian berdua!"
“Apa?? Ratuku! Diri ini--Hentikan--Diri ini tidak akan sudi bersujud! Diri ini takkan pernah mau bersujud pada iblis itu! Tidaaaaaaaaaaaak!”
“Jangan bercanda! Aku takkan pernah mau bersujud pada bajingan ini! Tidaaaaaaaaak!"
Si Sampah dan si Jalang dikepung oleh beberapa ksatria dan Shadow, dan dipaksa bersujud hingga kepala mereka ditekan ke lantai.
Sesosok Shadow muncul di antara mereka berdua dan berkata.
“Cepat bersujud.”
“Tidaaaaaaaaaaaak!”
“Aaaaaaaaaaaaah!”
Si Sampah dan si Jalang memekik dengan keras.
“Buat mereka diam!”
Sesuai perintah sang ratu, mulut si Jalang dan si Sampah disumpal dengan kain.
“Hmmmmmmmmph!”
“Mmmmmmmmmph!"
Mereka berdua mencoba memberontak semampu mereka, tapi mereka kalah jumlah dan kalah kuat.
“Kumohon, Tuan Pahlawan Perisai! Pinjamkan kami kekuatanmu!”
“Tuan Pahlawan Perisai, kumohon lindungilah negeri ini!”
Shadow tersebut berkata begitu, dengan meniru suara si Sampah dan si Jalang.
“Bagaimana menurutmu?”
“Entahlah...”
Ditanya begitu saat melihat mereka berdua dipaksa bersujud di lantai... Memang terasa memuaskan, tapi...
Rasanya masih ada yang kurang...
“Mungkin kau ingin sekalian menginjak kaki mereka?”
“ Oh!”
Oh sial, itu tidak terpikirkan olehku.
“Tuan Naofumi...!”
Kuabaikan Raphtalia, dan menginjak kepala si Sampah dan si Jalang. Mungkin Raphtalia ingin aku menjadi seorang Pahlawan, yang menjadi panutan semua orang. Sayangnya, aku ini hanyalah salah satu dari kalangan rakyat biasa.
Akan terasa merepotkan jika aku dianggap sebagai seorang yang suci. Yah... lagipula di mana kau bisa menemukan seorang rakyat jelata yang menginjak kepala seorang raja?
Tapi aku tidak mengerti dengan pola pikir Raphtalia. Hukuman sekecil ini bukanlah apa-apa, dibandingkan saat aku dipermalukan sedemikian rupa oleh mereka berdua. Karena itu, setidaknya jangan larang aku untuk melakukan ini.
Ngomong-ngomong, aku tetap menginjak kepala mereka berdua, meski Raphtalia memohon padaku untuk berhenti. Ada juga saat-saat di mana aku menganggap Raphtalia sebagai sosok si Jalang yang lainnya.
Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membantu si Sampah dan si Jalang, apalagi mereka telah membuat kita menderita hingga sekarang. Ini masih termasuk pembalasan yang wajar.
“Hmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmph!”
“Mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmph!"
Meski si Sampah dan si Jalang telah dipermalukan dan ditahan pergerakannya, mereka masih mencoba melawan.
Setelah beberapa saat si Sampah tidak lagi melawan, karena itu dia dilepaskan. Tapi... Matanya terlihat seperti mata seorang wanita yang telah diperkosa, air matanya terlihat bercucuran. Sebenarnya sebesar apa kau merasa dipermalukan saat dipaksa bersujud padaku?
Si Jalang masih berusaha melawan.
“Wah wah, ‘siksaan’ sebanyak ini harusnya sudah cukup, bukankah begitu?”
Sang ratu melambaikan tangannya untuk memberi perintah.
“Bawa dan lempar mereka ke luar ruangan singgasana.”
“Baik, Yang Mulia Ratu!”
Dan mereka berdua benar-benar dilempar ke luar ruangan.
Whoa... pemandangan menakjubkan lainnya...
Selain Filo yang terlihat senang, Raphtalia dan Melty menatapku dengan ekspresi kecewa. ...Rasanya wibawaku semakin jatuh.
Meski mereka berdua tidak mengatakannya, tapi aku tahu aku sudah berbuat keterlaluan.
“Ngomong-ngomong, aku memberi mereka berdua hukuman ini, demi meminta kerjasama Tuan Iwatani.”
“Yah...”
Aku tidak bisa menolak lagi, karena sang ratu telah mengikuti kemauanku.
Mustahil bisa menolak permintaan seseorang, yang sanggup berbuat begini pada keluarganya sendiri. Salahku juga telah mengikuti permainan sang ratu.
Bagian 2[edit]
“Sebelum itu, apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Aku ingin menanyakan tentang pemanggilan Pahlawan dan Kepercayaan Empat Pahlawan, lalu kisah para Pahlawan Legenda dan sejarah negeri ini, kemudian bagaimana anda bisa ‘mengarahkan’ku agar aku membeli Raphtalia, dan alasan anda tidak pernah muncul hingga sekarang."
Masih ada hal lainnya yang ingin kutanyakan, tapi pertanyaan yang kusebutkan tadi yang paling membuatku penasaran.
“Aku mengerti. Kalau begitu, haruskah kuceritakan kisah mengenai para Pahlawan Legenda?”
Sang ratu pun mulai bercerita.
“Kisah Empat Pahlawan adalah kisah yang kusukai. Walau di setiap negara, kisahnya memiliki versi yang berbeda-beda.”
“Kenapa bisa berbeda?”
“Aku kira Tuan Iwatani sudah tahu kemungkinan jawabannya, benar?”
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan sang ratu.
“Kau sudah tahu bahwa di negeri ini, kisah mengenai Pahlawan Perisai telah ditiadakan. Semua kisah tentangnya telah dihapus dengan sengaja.”
“...Begitu ya.”
Dalam buku yang kubaca sebelum terpanggil ke dunia ini, Pahlawan Perisai memang pernah disebut dalam cerita, tapi tidak ada penjelasan lebih rinci tentangnya.
Kupikir cerita itu menjadi patokan keadaan di dunia ini... Buku itu mungkin menjelaskan tentang sejarah negeri ini yang telah dirubah.
“Pencapaian Pahlawan Perisai yang terbesar adalah, dia berhasil menjadi penengah bagi ras Manusia dan Demi-human, namun catatan tentang pencapaian tersebut telah dihilangkan. Dan dampak yang Pahlawan Perisai terima adalah, sikap bermusuhan ketiga Pahlawan lain terhadapnya.”
Aku mengerti, jadi alasan Demi-human mempercayai Pahlawan Perisai sepenuhnya, karena mereka menganggapnya sebagai sekutu?
“Seperti yang bisa kau lihat, peraturan di negeri ini mengutamakan ras Manusia. Kau pun pasti tahu, seperti apa para Demi-human diperlakukan di sini.”
“...Yah.”
Aku sudah berada di negeri ini selama tiga bulan lebih, tentu aku juga sadar kalau para Demi-human di negeri ini diperlakukan sebagai budak.
“Karena situasi tersebut, kami memiliki hubungan yang buruk dengan negeri Silt Welt. Negeri kami dan Silt Welt telah bertikai untuk waktu yang lama.”
Silt Welt, negeri dengan kekuasaan mutlak bagi ras Demi-human. Kedua negara ini bagaikan minyak dan air.
Tentu saja, berdamai dengan mereka menjadi tujuan yang dibutuhkan negeri ini.
“Ngomong-ngomong, Tuan Iwatani... Para penduduk negeri Silt Welt juga mengikuti ajaran Kepercayaan Empat Pahlawan, namun mereka hanya mempercayai Pahlawan Perisai.”
“Dugaanku juga seperti itu, tapi ternyata memang itulah yang terjadi di sana, huh...”
“Ya... Baiklah, aku yakin Tuan Iwatani paham dengan apa yang Gereja Tiga Pahlawan lakukan, hingga insiden itu terjadi...”
Negeri Silt Welt dan Melromarc bagaikan minyak dan air. Agama yang mereka ikuti berasal dari ajaran Kepercayaan Empat Pahlawan, hingga mereka memisahkan diri menjadi Gereja Tiga Pahlawan dan Kepercayaan Perisai.
Menurut penjelasan sang ratu, mereka pun saling bertikai sejak dulu. Yang berarti...
“Jadi, aku terpanggil ke dalam wilayah musuh.”
Aku mengerti, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. Negeri ini akan kesulitan jika Pahlawan dari negeri musuh diperlakukan sebagai Pendeta Mistik di sini.
Dalam ajaran Gereja Tiga Pahlawan, Pahlawan Perisai digambarkan sebagai sosok yang brutal dan kejam. Bahkan di duniaku juga sama. Setiap dewa yang berbeda dari yang kau percaya, akan dianggap sebagai iblis. Itu adalah hal yang biasa.
Apa sebelumnya si Sampah ikut bertempur melawan negeri Silt Welt? Karena itu kah dia memandangku sebagai musuh?
“Kembali ke pembahasan awal. Setelah Gelombang Bencana melanda negeri kami, pertemuan antar semua negara di dunia telah mencapai kesepakatan bersama, bahwa para Pahlawan harus dipanggil ke dunia ini.”
Saat itu, sang ratu sedang berada di luar negeri untuk menghadiri pertemuan tersebut, sebagai perwakilan dari negeri Melromarc. Dan telah diputuskan, bahwa Melromarc mendapatkan giliran keempat untuk melaksanakan ritual pemanggilan Pahlawan.
Menurut tradisi di masa lalu, para Pahlawan Legenda dipanggil oleh beberapa negeri terkuat, dan perundingan ini memutuskan bahwa pemanggilan Pahlawan akan dilaksanakan di negeri Faubley.
Aku tidak tahu berapa banyak Pahlawan yang dipanggil. Di samping itu, negeri manapun yang berhasil memanggil mereka, akan mendapatkan keunggulan lebih dibanding negeri-negeri lain. Meski begitu, ritual di negeri Faubley tidak berhasil dalam memanggil para Pahlawan Legenda.
Dan setelah melakukan penyelidikan, ternyata dibutuhkan sebuah relik suci untuk memanggil keempat Pahlawan Legenda. Dan tidak disangka, negeri Melromarc memiliki relik tersebut.
Bahkan kabar tersebut ikut mengejutkan sang ratu. Negeri Melromarc telah melanggar persetujuan yang diputuskan pada pertemuan dunia, dengan menggunakan relik suci untuk segera memanggil para Pahlawan.
“Kita bisa kesampingkan dulu semua yang telah kulakukan di luar negeri. Setelah memastikan hasil dari penyelidikan itu, ditemukan bahwa pelanggaran tersebut dilakukan oleh Gereja Tiga Pahlawan.”
“Aku ikut prihatin.”
“Aku hargai pengertianmu.”
“Jadi, relik suci apa yang mereka gunakan?”
“Jika dilihat sekilas, relik itu hanya sebuah potongan logam. Tapi berapa kalipun kami mencobanya, kami tetap tidak bisa menemukan informasi tentang benda tersebut...”
“Dengan kata lain, terpanggilnya kami berempat ke sini disebabkan oleh relik suci itu?”
“Ya...”
Jika pemanggilan Pahlawan di negeri ini tidak berhasil, akankah relik suci itu digunakan di negeri lain, hingga ritual-nya berhasil?
“Dan masalah terbesarnya adalah, relik suci tersebut telah memanggil keempat Pahlawan Legenda sekaligus ke negeri ini.”
“...Apa hanya empat orang saja yang bisa dipanggil?”
“Ya... Karena itu, relik tersebut menjadi benda yang sangat penting.”
“Jika masalahnya sebesar itu, apa negeri-negeri lain menyalahkan Melromarc?”
“Setelah aku berunding dengan mereka, sepertinya mereka tidak akan terlalu menyalahkan kami. Tuan Iwatani dan ketiga Pahlawan lain memiliki keterlibatan yang besar dengan peristiwa ini. Setelah pembicaraan kita sekarang, mungkin masalah ini harus dibahas juga dengan mereka.”
“Lalu, kenapa Gereja Tiga Pahlawan tidak membunuhku sedari awal?”
“Kau harus terus hidup untuk menghindari terjadinya peperangan antar negara. Mungkin... mereka berharap kau mati dalam serangan Gelombang Bencana.”
Tentu saja, Gelombang Bencana adalah musuh dari semua negara. Jika serangan gelombang membuatku terbunuh, Gereja Tiga Pahlawan tidak akan dicap bersalah oleh negeri lain.
“Apa mereka sengaja menunggu ketiga Pahlawan lain menjadi lebih kuat?”
“Kemungkinan itu pun bisa menjadi alasannya.”
Jika aku segera terbunuh, maka peperangan menjadi takkan terelakkan. Atau saat kami berempat baru dipanggil ke dunia ini, mereka tidak bisa mempengaruhi ketiga Pahlawan lain?
“Yah, ketiga Tuan Pahlawan yang lain, mereka sedikit... Mereka tidak paham dengan akibat dari perbuatan mereka.”
“Yah, aku pun berpikir begitu.”
Mereka masih percaya kalau dunia ini adalah sebuah game. Mereka baru mencurigai kejahatan yang terlihat jelas, tapi tidak mencurigai teman dan rekan mereka sendiri.
“Tentu saja, ada beberapa pihak lain yang ikut mengambil tindakan. Ada banyak undangan yang dikirim dari negeri lain, khususnya undangan untuk Tuan Iwatani. Juga ada banyak kiriman sumbangan untuk membantu Pahlawan, tapi kau telah menolak mereka semua.”
“Apa!?”
“Apa kau tidak ingat semua yang telah kau lakukan? Itu terjadi saat hari ketiga setelah kau terpanggil ke dunia ini...”
“Apa?”
Referensi :[edit]
- ↑ Dogeza (土下座 yang berarti "duduk langsung di tanah") adalah sebuah kode etik di Jepang yang melibatkan sikap berlutut di tanah/lantai, dan membungkuk (bersujud) hingga menyentuhkan kening ke tanah/lantai. Sikap tersebut digunakan untuk menunjukkan rasa hormat pada seseorang dengan status lebih tinggi, sebagai bentuk permintaan maaf, dan sebagai bentuk permohonan kepada orang yang bersangkutan. (dikutip dari Wikipedia)