Boku Wa Tomodachi Ga Sukunai:Jilid1 Kodaka Hasegawa

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
The printable version is no longer supported and may have rendering errors. Please update your browser bookmarks and please use the default browser print function instead.

Kodaka Hasegawa

Aku sedang membaca buku di perpustakaan; sebelum kusadari, matahari sudah terbenam di ufuk barat.

Sudah waktunya pulang. Aku berjalan keluar dari perpustakaan, dan aku teringat kalau seragam olahraga ku tertinggal di kelas, jadi aku berjalan ke sana.

Karena kebanyakan murid sudah pulang atau sedang melakukan aktivitas klub, hanya sedikit murid yang terlihat di lorong sekolah.

Aku berjalan sendirian melewati lorong yang disinari cahaya matahari terbenam.

Ketika aku sampai di pintu kelas 2-5, kelasku, kudengar suara tawa dari dalam ruangan.

“Haha, berhenti bergurau denganku, itu tidak benar.”

...Sepertinya masih ada orang di dalam kelas.

Suara itu suara perempuan.

Suaranya sangat merdu.

Nada nya tidak terlalu tinggi tapi tidak terlalu rendah pula- suaranya mengalir ke telingaku dan merembes ke otakku, dimana suara itu perlahan-lahan menyebar; memberiku perasaan yang mengagumkan.

Tapi aku tidak ingat pernah mendengar suara ini sebelumnya.

Meski baru sebulan sejak aku pindah sekolah ke sini, harusnya aku sudah pernah mendengar suara semua teman sekelasku. Tidak mungkin aku melupakan pemilik dari suara seindah ini.

Hal lain yang kusadari adalah hanya satu suara yang bisa kudengar.

Mungkin dia sedang menelpon seseorang.

Kupikir kalau aku masuk ke kelas ketika dia sedang menelpon, dia tidak akan terlalu kaget kan?

Tapi, sepertinya lebih baik kalau aku tidak mengagetkan dia.

Aku ingin menghindari situasi semacam itu.

Jadi apa yang mesti kulakukan sekarang... apa harus kutunggu sampai dia selesai dan meninggalkan kelas?

Tidak, tunggu dulu. Niatku kan tidak jahat. Bukannya aku bisa masuk ke kelas seperti orang biasa dan mengambil barang-barangku? Bukannya itu lebih baik?

Di dalam kelas ada seorang murid perempuan.

Dia duduk di ambang jendela yang terbuka. Kakinya yang cantik, disinari cahaya merah kekuningan oleh matahari terbenam, teruntai di dinding. Dia sedang mengobrol dengan riang.

Ketika angin sepoi bertiup, terlihat kilai kebiruan dari rambutnya yang tergerai lembut.

Dia tidak tinggi tapi juga tidak pendek, dan dia memiliki tubuh yang langsing.

Dia bahkan sangat manis- bisa dibilang, dialah yang disebut oleh orang-orang normal sebagai ‘bishoujo’ [1].

Seingatku namanya adalah Yozora Mikadzuki.

Biasanya aku sangat payah dalam mengingat nama dan wajah seseorang. Selain murid laki-laki, aku cuma bisa mengingat sedikit nama perempuan di kelasku; meski demikian, aku tahu sekilas tentang dirinya.

Dia salah satu teman sekelasku di kelas 2-5.

Yozora Mikadzuki, siswi Sekolah Santo Chronica kelas 2-5 tahun kedua... meskipun itu yang kuingat, sekarang aku jadi heran.

“Ahaha, kan sudah kubilang sebelumnya, itu tidak benar. Oh kamu tau guru itu...”

Sejauh ingatanku, aku tidak pernah melihat dia ngobrol dengan normal layaknya siswi SMA.

Mikadzuki selalu memasang wajah cemberut. Selalu ada aura kekesalan menyelimuti dirinya. Saat jam istirahat, aku tidak pernah melihatnya pergi kemana-mana atau nongkrong dengan yang lain.

Di kelas Bahasa Inggris, kadang ada latihan dialog dengan murid lain. Dia hanya akan duduk di kursinya dan menatap keluar jendela. Kelihatannya dia sudah seperti itu sejak tahun pertama, jadi guru Bahasa Inggris pun sudah menyerah dengan kelakuannya sejak lama.

Selain itu, ketika dia diminta untuk menjawab pertanyaan di mata pelajaran lain, dia selalu menjawab dengan tepat namun dengan suara yang sangat muram, tidak seperti suara ceria yang barusan kudengar. (Kelihatannya dia murid yang rajin; Aku tidak pernah melihatnya memberikan jawaban yang salah).

“Eeh? Serius? Ahaa, itu sangat menyenangkan...”

Tanpa wajah cemberut dan sikapnya yang dingin, Mikadzuki tertawa seperti orang yang berbeda. Dia...benar-benar manis.

...Apa dia benar-benar Yozora Mikadzuki?

Dengan sangat serius aku merenungkan hal tersebut.

Baru kemudian aku menyadari hal yang lebih aneh.

...Dia tidak sedang memegang telepon genggam.

Tidak ada orang lain di kelas selain dirinya, dan aku tidak mendengar suara lain selain miliknya.

Dia sedang menatap ruang kosong dan mengobrol dengan riang seolah-olah ada orang di sana.

Sendirian di kelas yang disinari cahaya matahari terbenam, seorang bishoujo sedang berbicara dengan makhluk tak terlihat.

...Anehnya, intro dari novel yang barusan kubaca di perpustakaan kurang lebih seperti itu juga.

Rupanya ini yang sedang terjadi ya?

Tidak sengaja aku mengetahui rahasianya, dan terpaksa ambil bagian dalam pertempurannya dengan hantu dan monster dan segala hal yang ‘tidak-seharusnya-ada-di-dunia-ini’. Dengan keberhasilanku dan si bishoujo bertahan hidup melewati banyak pertarungan dan kesulitan, kami pun saling jatuh cinta. Apa aku ditakdirkan untuk mengalami cerita se-klise ini?

Tapi kalau kupikir lagi, skenario seperti itu tidak mungkin terjadi. Di kepalaku masih tersisa ilustrasi dari novel yang barusan kubaca, itu saja. Hanya karena kehidupan sekolahku sangat datar, tanpa sadar aku jadi membayangkan cerita supernatural macam itu.

Bagaimanapun juga, aku mulai merasa risih.

Tanpa kusadari, aku memutar gagang pintu kelas-

Garagara [2]

Pintu terbuka perlahan.

“Ngomong-ngomong, waktu Tomo-chan bilang-”

Aku melakukan kontak mata dengan Yozora Mikadzuki.

Untuk sesaat dia terlihat kehilangan kata-kata. Namun dengan cepat dia kembali ke dirinya yang biasa dengan ekspresi kesal...dan pipinya merona dengan warna yang lebih merah daripada cahaya matahari terbenam.

Ini sangat gawat.

Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah bersikap seolah tidak melihat apa-apa, bilang kalau ada barangku yang tertinggal, ambil- terus keluar dari sini secepatnya.

Tapi karena kebetulan yang tidak menyenangkan, mejaku berada tepat di depan mejanya.

Tidak ada cara lain, aku harus mendekatinya. Aku tersenyum lemah kepadanya sambil berjalan dengan hati-hati ke arahnya (secara teknis aku berjalan ke mejaku).

Saat itu juga terlihat raut ketakutan di wajah Mikadzuki.

“...Kamu kaya elang yang nemuin mangsa sambil menjilat lidah saking senangnya...!”


Tanpa basa-basi, dan seperti yang kuduga, matanya membelalak ke arahku.

Dia jadi sangat waspada dengan kehadiranku disini.

“Ah, itu...”

Kalau aku mendekatinya sekarang tanpa mengatakan apa-apa, dia akan terus bersikap seperti itu. Sepertinya aku harus buka mulut dan mengatakan sesuatu.

“...Apa?”

Sambil tetap membelalak dia bertanya padaku. Suaranya berubah 180 derajat dibandingkan dengan beberapa saat lalu. Suaranya sangat rendah, tampaknya dia memang benar-benar ingin menunjukkan sikap tak bersahabat.

“...Itu...”

Sayangnya aku bukan polisi atau negosiator. Malah dari dulu aku jarang bersosialisasi. Aku tidak tahu topik macam apa yang harus kugunakan di situasi semacam ini.

“Kamu, kamu bisa lihat hantu atau semacamnya?”

Boku wa tomodachi ga sukunaiVol1 chp1.jpg

...Toh aku mesti mengatakan sesuatu. Jadi kukatakan saja.

Mikadzuki merespon dengan mengatakan “Apa?” Dia menatapku dengan pandangan seolah-olah aku idiot.

“Memangnya ada hantu di sini?”

“Engga, tapi barusan aku lihat kamu lagi ngobrol dengan sesuatu...”

Dalam satu sambaran, wajah Mikadzuki langsung menjadi merah padam.

“Jadi kamu melihatnya...”

Setelah mengerang kesal, dia memalingkan wajahnya kembali ke arahku dan menatap langsung wajahku. Dengan sikap tegap dan bangga dia mengatakan,

“Aku cuma sedang ngobrol dengan temanku. Dengan teman 'udara' ku!”

...?

Butuh hampir setengah menit untuk mencerna maksud ucapannya.

Dan akhirnya aku mengerti – dia baru saja mengatakan hal yang tidak akan pernah bisa kupahami sepanjang hidupku.

“...Teman udara?”

Sambil memasang wajah cemberut, Mikadzuki mengangguk dengan jengkel.

“Apaan tuh?”

“...Teman udara itu artinya ya teman udara! ‘Air friend’! Kamu pernah dengar tentang ‘Air guitar’? Itu sama aja kaya air friend, cuma bedanya ini versi ‘teman’!”.

“...Hmm...”

Kutaruh telapak tangan di dahi untuk memberiku kesempatan berpikir sejenak.

“Jadi maksudnya kamu punya teman khayalan dan kamu lagi ngobrol sama dia? Jadi kenapa-”

“Bukan khayalan. Tomo-chan itu benar-benar ada! Lihat, dia ada di sini.”

Dan tentu saja, aku tidak melihat siapa-siapa di tempat yang dia tunjuk.

“Ngobrol dengan Tomo-chan selalu menyenangkan. Aku selalu lupa waktu. Punya teman itu asyik banget...”

Mikadzuki mengatakannya dengan sungguh-sungguh; dia bahkan sedikit tersipu ketika mengatakannya.

“Kami sedang ngobrol tentang waktu kami pergi ke taman bermain ketika SMP, dan beberapa cowok menggoda kami, dan bagaimana kami bertemu dengan guru baru yang keren – itu settingnya.”

“Setting! Barusan kamu bilang setting!”

“Aku tidak pernah mengatakannya! Kejadian itu benar-benar pernah terjadi.”

“...Jadi bagian mana dari ceritamu yang benar-benar terjadi?”

“Ketika SMP.”

“Artinya ceritamu 100% rekayasa kan?! Seenggaknya bagian ‘pergi ke taman bermain’ harusnya betulan terjadi....!”

“Apa serunya pergi ke taman bemain sendirian?”

“Jadi kamu mengakui kalau kamu pergi ke sana sendirian.”

“Ah, yang itu ga dihitung. Soalnya Tomo-chan sangat manis. Kalau kami berdua pergi ke taman bermain, kami pasti bakal digangguin cowok brengsek. Makanya kami cuma pergi ke taman bermain dalam pikiranku.”

“Kamu baru aja bilang kalau teman udaramu pergi ke taman bermain dalam pikiranmu...”

...Dia sudah gila...kalau tidak ditolong secepatnya...

“...Apa maksudnya ekspresi wajahmu itu?”

Mikadzuki menatap wajahku.

“Engga, itu...”

Aku melangkah mundur dengan cepat.

“...Kalau kamu ingin punya teman ngobrol, kenapa kamu ga mencari teman?...Maksudku teman betulan, bukan teman udara...”

Aku tidak ingin basa-basi dan langsung mengangkat permasalahan utamanya.

Tapi Mikadzuki mendengus mendengar saranku.

“Huh, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.”

Waah.

Karena dia sangat blak-blakan tentang hal ini, aku jadi kehabisan kata-kata.

Dan kemudian Mikadzuki menatapku lebih tajam.

“Hei, kalau kuperhatikan lebih dekat, bukannya kamu murid pindahan yang selalu sendirian di kelas?”

Kamu baru sadar dengan siapa kamu bicara sekarang?!

“Kamu ga pantas menceramahiku soal mencari teman, murid pindahan.”

“...Sudah sebulan sejak aku pindah ke sini. Berhenti memanggilku murid pindahan.”

Mikadzuki terdiam setelah mendengar komplain dariku.

“... Namamu?”

Dia bahkan tidak tahu namaku. Sial.

“...Kodaka Hasegawa.”

Dengan sedih kuberitahukan namaku.

“Kodaka, ya?...Huh. Kamu ga berada di posisi buat menceramahiku soal mencari teman, Kodaka.”

“Kamu memanggilku dengan nama depan?...”

“Hah? Memang kenapa?”

Mikadzuki kelihatannya tidak terlalu perduli.

“...Gapapa”

Teman-teman di sekolahku sebelumnya lah yang terakhir kali memanggilku Kodaka . Sudah lama aku tidak dipaggil dengan nama itu oleh teman sebayaku. Aku merasa sedikit senang.

Sementara itu, Mikadzuki kembali bicara. Sekarang dengan wajah iba.

“...Sudah sebulan dan kamu masih belum punya teman. Kodaka pasti sangat kesepian.”

“Aku gak mau mendengarnya dari orang yang punya teman udara.”

Mikadzuki menggeram perlahan.

“Kamu menghina Tomo-chan ya? Tomo-chan itu cantik, pintar, atletis, ramah, suka bergaul, pendengar yang baik, dan...dia tidak akan pernah mengkhianatiku.”

Bisa kulihat dia mengucapkan bagian akhir kalimatnya dengan sedikit emosional.

“Teman udara itu menyenangkan, bagaimana kalau kamu membuatnya juga?”

“Tidak, terima kasih. Aku rasa aku akan melangkah keluar dari dunia manusia kalau aku sampai melakukannya.”

“Caramu mengatakannya, seolah-olah aku sudah bukan manusia.”

Diam-diam kualihkan pandanganku dari Mikadzuki.

Wajah Mikadzuki kembali merona merah, kemudian dia menggumam

“...Aku tahu. Aku lari dari kenyataan, aku tahu itu. Tapi aku ga tahu harus bagaimana lagi; Aku ga tahu caranya berteman...”

Katanya sambil merajuk.

Tidak tahu caranya berteman- aku sendiri merasakan hal yang sama, jadi aku tetap diam.

“...Apa yang mesti kita lakukan supaya punya...teman.”

Gumamku sambil menghela napas.

Mikadzuki menghela napas juga..

“...Jadi Kodaka, kamu juga tidak punya teman di sekolah sebelumnya?”

Aku menggelengkan kepala.

“Aku punya.”

“Hah?”

Kelihatannya dia tidak percaya.

“Sungguh. Kebetulan aku duduk di sebelah anak yang gaul. Dia populer banget, jadi wajar kalau aku jadi bagian dari grupnya. Dan kita selalu main bareng.”

“Fuhuh...apa kamu masih berhubungan dengan teman-teman itu setelah pindah sekolah?”

“...”

Pandanganku melayang jauh.

“...Di hari terakhirku disana, kami semua pergi ke restoran untuk mengadakan pesta perpisahan. Waktu itu mereka semua seperti ‘kalau kamu mampir ke sini, jangan lupa kasih tahu kita’ atau ‘kirimi kami pesan ya’...mereka semua bilang hal-hal kaya gitu.”

“Dengan kata lain, setelah kamu pindah, kamu dibuang sama mereka.”

Mikadzuki mengatakan faktanya tanpa ragu-ragu.

“...Mungkin kamu bisa bilang kalau mereka temanmu, tapi kayanya itu cuma anggapan Kodaka saja.”

Dia terus menamparku dengan perkataannya. Aku menjadi sedih.

“...Ngomong-ngomong, waktu bon-nya diantar, kami bayar sendiri-sendiri; mereka bahkan tidak mentraktirku di pesta perpisahanku.”

Bahkan Mikadzuki tampak iba padaku.

Jadi aku mengatakan,

“Tapi apa yang terjadi di masa lalu tidak penting; yang penting adalah sekarang dan masa depan!”

“...Jadi bagaimana?”

“...Jadi...”

“...”

“...”

Hening lagi.

“...Bagaimana kalau kita minta yang lain menjadi teman kita, seperti orang normal?”

Sebagai respon, Mikadzuki mendengus lagi mendengar saranku.

“Hal semacam itu cuma ada di TV, aku bahkan tidak tahu kenapa. Apa orang lain dengan ajaib menjadi teman kita hanya karena mereka menerima permintaan kita? Meskipun kita orang asing bagi mereka? Terus apa yang terjadi setelah kita berteman, apa kita tetap bisa menjadi teman meski tidak punya bahan obrolan yang sama-sama kita suka?”

“...Yah, aku setuju denganmu.”

“Betul kan? Oh iya.”

Mikadzuki menepukkan tangan.

“Kamu punya ide?”

“Iya.”

Dia mengangguk dengan percaya diri.

“Bagaimana kalau kita membayar mereka untuk menjadi teman? Barang fisik jauh lebih memikat dibanding sekedar persetujuan lisan.”

“Itu terlalu menyedihkan!”

“Teruslah didekatku ketika di sekolah dengan bayaran 1000 yen, termasuk makanan dan minuman.’ Bagaimana?”

“Kontrak cinta... eh bukan, Kontrak pertemanan?!”

“Kamu cepat tanggap. Lucu kan? Ya, seperti sebuah kontrak.“

Tapi Mikadzuki terlihat tidak tertarik dengan idenya sama sekali. Dia mengatakan,

“...Kalau uang tidak mempan, bagaimana dengan game?”

“Game?”

“Kalau kamu punya video game terbaru di rumahmu, mungkin kamu bisa menarik perhatian yang lain supaya menjadi temanmu. Kamu juga butuh VirtualBoy dan NeoGeo.”

“VirtualBoy dan NeoGeo? Apaan tuh?”

Aku tidak familiar dengan istilah asing ini.

“Aku cuma nyebutin beberapa nama konsol game yang aku tahu. ‘Virtual‘ dan ‘Neo’, kalau kamu mendengar istilah ini kamu jadi bersemangat kan?’”

“Namanya bagus juga sih, tapi... Aku belum pernah dengar. Perduli setan. Lagian juga cuma bocah SD yang tertarik dengan game, ya kan?”

“...Kupikir begitu.”

Mikadzuki terlihat kesal, kemudian berkata,

“...Tapi sebenarnya aku ga butuh teman kok.”

“Apa?”

“...Aku ga merasa sedih meski ga punya teman. Hanya saja, aku gak mau dipandang rendah sama anak-anak lain yang bilang ‘Anak itu ga punya teman, kasihan sekali.’”

“Oh, begitu.”

Masyarakat menyimpulkan kalau ‘punya teman = hal yang baik’ adalah hal yang benar, karena itu mereka menganggap kebalikannya ‘tidak punya teman = hal yang buruk’ juga benar.

Tapi aku merasa ada yang salah dengan pemikiran semacam itu.

“Aku tidak keberatan kalau selalu sendirian. Di sekolah, aku cukup bicara dengan yang lain kalau aku punya keperluan.”

Cara dia mengatakannya, memberiku firasat kalau dia bersikap keras kepala tanpa alasan yang jelas.

“Setidaknya itu lebih baik daripada menjalin persahabatan semu.”

Dia melanjutkan dengan nada mengejek.

“Semua orang seperti itu kan? Kamu pikir ada berapa orang di dunia ini yang saling terikat, bukan oleh persahabatan yang dangkal, melainkan dengan persahabatan sesungguhnya yang tulus?”

“...”

Aku, yang kehilangan kontak dengan teman-temanku hanya karena pindah sekolah, tidak bisa menyangkal perkataannya.

“...Meski begitu, aku tetap ingin punya teman.”

“Fuuhuh”

Aku bersikeras, namun Mikadzuki memberiku respon dengan sangat ramah.

“...Jadi menurutmu apa yang harus kamu lakukan? Cara cepat supaya punya teman.”

“Eh, aku?”

Aku berpikir dalam diam, dan dengan ragu-ragu aku menjawab,

“...Bagaimana kalau kita ikut klub?”

“Klub?”

“Kalau kita menjalani aktivitas bersama anggota lain, kita pasti bisa menemukan ketertarikan yang sama. Mengenal lebih dekat satu sama lain lewat aktivitas klub kedengarannya tidak buruk.”

Aku pikir ideku cukup bagus dan realistis.

Mikadzuki sendiri, karena dia selalu sendirian di sini seusai sekolah, kemungkinan besar juga tidak ikut klub apapun.

“Ditolak.”

Mikadzuki menjadi kesal dan menolak usulku.

“Kenapa?”

“Itu memalukan.”

“.........Hei!”

Aku menatapnya; dia menatap balik dan melanjutkan,

“Coba pikir, ini sudah bulan Juni di tahun kedua kita. Kebanyakan klub sudah punya hubungan internal yang kuat. Apa kamu ga malu kalau tiba-tiba datang dan minta bergabung?”

“Ada benarnya sih.”

“Iya kan?”

Entah kenapa Mikadzuki terlihat senang.

“Meski begitu, aku ga akan bisa punya teman kalau aku ga mencobanya.”

Kataku.

“Jadi apa kamu punya keahlian khusus Kodaka?...... Keahlian apapun yang sudah kamu asah sejak tahun pertama, dimana tidak ada orang lain yang bisa mengalahkanmu?”

Tiba-tiba Mikadzuki bertanya.

Aku berpikir sejenak.

“...Tidak, aku tidak punya.”

Dengan samar-samar aku menjawab. Senyum kecil muncul di wajah cemberut Mikadzuki.

“Kalau kamu bergabung dengan sebuah klub, kamu cuma akan mengacaukan kondisi internal klub. Semua itu karena kamu sekedar ingin ‘punya teman’, dan untuk alasan itu kamu mengacaukan kerjasama tim. Ditambah lagi kamu masih pemula tanpa kemampuan khusus... klub mana yang mau menerima orang seperti itu?”

“Urgh....”

Aku mengerang.

Aku tidak bisa membantah.

Motivasi yang salah, tidak punya keahlian khusus, dan mengacaukan kerjasama tim. Efeknya diperparah dengan fakta bahwa aku murid pindahan.

Dan kemudian Mikadzuki menggumam,

“...Tapi aktivitas klub...aktivitas klub...”

Tampaknya Mikadzuki sedang berpikir keras.

“-Itu dia, aktivitas klub!”

Dan kemudian dia berteriak.

“...?”

Aku keheranan; Mikadzuki tersenyum padaku penuh percaya diri.

Dia sangat manis waktu tersenyum, tapi hanya waktu tersenyum.

Setelah itu, Mikadzuki berjalan meninggalkan kelas.

Aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi aku tahu kalau berdiri sendirian di ruang kelas tidak ada gunanya. Jadi aku mengambil seragam olahragaku dan pulang ke rumah.



Setelah sampai di rumah dan menyelesaikan makan malam, aku mengambil buku catatan dari tasku.

“Haaah...”

Aku menghela napas sembari membuka buku Bahasa Inggris.

Aku benci Bahasa Inggris.

Bukan karena aku payah.

Ibuku orang Inggris, jadi Bahasa Inggris malah merupakan bidang yang paling kukuasai.

Lebih tepatnya, aku benci dengan isi kelasnya. Kadang di kelas Bahasa Inggris kamu harus ‘melakukan dialog Bahasa Inggris dengan teman dekatmu’ atau ‘berlatih dengan temanmu’, dan aku membencinya.

Bagi orang yang tidak punya teman, aku menjadi murung setiap kali berada di situasi itu.

Ngomong-ngomong, karena alasan yang sama, aku juga benci kelas olahraga.

Aku, Kodaka Hasegawa, sudah pernah berpindah sekolah ke hampir seluruh penjuru Jepang karena pekerjaan ayahku. Namun, sebulan yang lalu ayahku pergi bekerja ke luar negeri. Berkat hal itu, di pertengahan bulan Mei di tahun kedua, aku kembali ke kota asalku di Kota Tooyo. Sudah sepuluh tahun aku meninggalkan kota ini.

Orangtuaku adalah teman lama Kepala Sekolah Santo Chronica, karena itu aku disekolahkan di sana.

Dan sejak saat itu aku memulai kehidupan di sekolah baruku.

Berandalan? Gangster? Begitulah orang lain melihatku.

Penyebab utamanya adalah penampilanku.

Seperti yang sudah kubilang, ibuku orang Inggris. Dia punya rambut pirang yang indah.

Sebagai anaknya, rambutku juga pirang- tapi tidak seindah rambut ibuku. Rambutku dipenuhi corak kecoklatan, seperti habis terbakar. Dan warna yang menyedihkan ini sukses membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Tidak pernah ada yang berpikiran kalau warna rambutku alami.

Kalau tidak kuberitahu, orang-orang yang melihatku akan mengira kalau aku adalah salah satu contoh dari ‘remaja berandalan yang ingin pergi ke salon untuk mencat pirang rambutnya tapi tidak punya uang. Karena itu dia membeli pewarna rambut di pinggir jalan dan mencat sendiri rambutnya, dan gagal.’

Sebagai tambahan, selain warna rambut, fitur wajahku sangat mirip dengan ayahku yang orang Jepang. Pupilku hitam, dan semua bagian wajahku sama seperti wajah orang Jepang pada umumnya. Mataku juga agak menakutkan.

Dulu ketika SMP, entah sudah berapa kali orang-orang menanyaiku kenapa aku melotot kepada mereka, padahal aku hanya bersikap biasa.

Santo Chronica dikenal memiliki murid-murid yang disiplin. Rumor itu memang benar, dibanding sekolah-sekolah sebelumnya, murid-murid di sini sangat tentram. Apa karena mereka tidak pernah diganggu berandalan, atau memang tidak ada berandalan di sekitar sini? Aku cuma bisa menerka-nerka.

Dan kemudian ada kejadian dimana...Aku terlambat di hari pertama sekolah. Kurasa kesalahan dungu yang kubuat ini salah satu alasan kenapa aku dianggap berandalan.

Itu terjadi sebulan lalu.

Sebagai murid pindahan, aku mengerti kalau kesan pertama itu sangat penting, karena itu aku tidak boleh terlambat. Jadi aku berangkat dari rumah dua jam (jam 6 tepat) sebelum kelas dimulai.

Butuh 10 menit untuk sampai ke stasiun bus; kalau aku naik bus, butuh waktu 25 menit untuk sampai ke sekolah. Waktu aku sampai di stasiun bus sebelum jam 6.30, akulah satu-satunya orang yang memakai seragam Santo Chronica.

Aku berangkat pagi sekali, pikirku. Lalu aku menaiki bus yang menuju Sawara Kita [3](tempat sekolahku berada).

Dan kemudian aku berada di dalam bus selama hampir empat jam- dengan kata lain, bus yang kutumpangi tidak pernah sampai ke stasiun bus Santo Chronica. Aku tahu ada yang tidak beres, tapi karena bus penuh sesak dengan orang kantoran, aku tidak sempat bertanya ke supirnya. Dan aku juga malu bertanya ke orang asing di dalam bus. Jadi aku terus berada di bus sampai stasiun terakhir.

Ketika semua penumpang sudah turun, akhirnya aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya ke supir bus. Baru setelah itu aku mengetahui kalau tujuan bus yang kutumpangi adalah ‘Sagara Kita’, bukan ‘Sawara Kita’. Selain namanya yang mirip, dua tempat tadi sama-sama ada di arah utara. Sulit membedakannya.

Aku langsung menaiki bus ke arah rumahku, menempuh satu jam perjalanan, sampai di pemberhentian dekat rumahku, dan menunggu bus yang benar (Lagi-lagi tidak ada satupun murid Santo Chronica disekitar situ tapi kali ini karena sudah kelewat siang. Aku bahkan harus menunggu 20 menit sebelum busnya datang.)

Aku terlambat di hari pertamaku masuk sekolah. Waktu sampai di gerbang depan, aku ingin menangis.

Karena wali kelas sudah pergi mengajar ke kelas lain, aku tidak punya pilihan selain masuk ke kelas disaat jam pelajaran sedang berlangsung. Jadi disitulah aku, berdiri sendirian di tengah kelas; semua teman sekelasku memandang keheranan.

Mataku agak merah karena air mata dan tubuhku gemetar hebat. Kucoba menyembuyikan kegugupanku dengan menyipitkan mata dan merendahkan suaraku. Dengan keren aku berkata ‘Saya murid pindahan. Nama saya Kodaka Hasegawa.’ Teman sekelasku terlihat ketakutan mendengar perkenalanku. Guru sosial, yang kelihatannya agak rapuh, juga telihat terguncang. Dia menyuruhku duduk di meja yang kosong.

...Setelah pelajaran pertama selesai, tidak ada yang datang menyapaku.

Biasanya ketika ada murid baru di kelas, kamu akan menanyainya hal-hal seperti ‘rumahmu dimana’,’apa kesukaanmu’, dan ‘ukuran tubuh’. Aku bahkan capek-capek menyiapkan jawaban kocak sebelumnya, sehingga aku bisa meninggalkan kesan ‘cowok humoris’ di benak semua orang (Aku yakin bisa menjawab pertanyaan mereka dengan baik, bahkan pertanyaan bodoh seperti ukuran tubuh. Sampai sekarang pun aku masih ber-hehehe setiap kali mengingat jawabanku). Semuanya sia-sia sekarang.

Dan ini berlanjut selama sebulan.

Aku, yang menghancurkan sendiri kesan pertamaku, belum menemukan kesempatan untuk menebusnya kembali.

Di kelas Bahasa Inggris aku selalu berpasangan dengan guru (orang Amerika, dia tampak tertarik dengan pelafalan ku yang baik). Di kelas olahraga aku selalu berkelompok dengan sisa-sisa anak dari kelas lain yang belum dapat kelompok (jelas bagiku kalau sebenarnya mereka juga takut sekelompok denganku). Ketika latihan mengoper dalam latihan sepak bola, jarang ada yang mengoper bola padaku. Tidak ada yang memanggil namaku dan mengoper padaku. Kadang ada anak yang tidak sengaja mengoper padaku, anak itu akan ketakutan dan minta maaf padaku. Setiap kali itu terjadi aku juga merasa tidak enak, aku mengangguk ke anak itu dan bilang ‘Aah...’ Ketika aku hendak tersenyum dan bilang ‘Ga masalah’, anak itu akan megap-megap dan terlihat ketakutan. Besoknya waktu istirahat makan siang, anak itu membelikanku segelas jus dan memohon ampun.

Aku selalu makan siang sendirian di kelas.

Di lain waktu, ketika aku sedang pergi ke kantin membeli roti, ada cewek dari kelas lain yang duduk di kursiku. Waktu aku kembali, dia, dan teman-temannya yang makan bersama dengannya, langsung lari terbirit-birit keluar kelas. Bagi cowok remaja, ‘melihat cewek-cewek melarikan diri darinya’ bisa menjadi trauma yang sangat mendalam. Malam itu, di kamar mandi, aku menangis.

Kejadian seperti ini sudah terulang beberapa kali. Setiap kali aku mengingatnya, aku menjadi trauma. Sedikit lagi aku akan mencapai batasku.

Aku mencoba membaca buku dan belajar di perpustakaan dan di kelas untuk membangun image ‘murid yang pintar’, dan tampaknya tidak terlalu berguna.

Sambil menangis aku menyelesaikan PR ku (kalau ada cell phone novel [4] tentang ‘Cerita Tragis Kehidupan Remaja’, pengalaman tragisku pasti laku keras).

Saat itu, aku teringat percakapanku dengan Mikadzuki Yozora seusai sekolah.

Teman sekelas menyedihkan yang dengan riangnya ngobrol dengan teman udaranya.

Padahal dia sangat cantik... sayang sekali.

... ...Teman udara ya... ...dia kelihatannya benar-benar bahagia.......

Tidak!

Barusan aku serius mempertimbangkan membuat teman udara! Kucubit pipiku dan berkata ke diri sendiri,

“Ga, ga akan pernah! Kalau sampai kulakukan, aku tamat.”

Aku perlu memikirkan solusi yang bagus untuk mengubah situasi ini.

...Awalnya kupikir bergabung ke klub itu ide yang bagus.

Jujur, aku sudah memikirkannya sebelum bertemu dengan Mikadzuki.

Tapi seperti yang dia bilang, aku tidak punya keberanian untuk masuk ke klub yang sudah solid. Dan jika ditambah dengan perkataannya hari ini, aku akan menjadi orang yang mengacaukan pertemanan di klub. Wajar kalau karena hal itu aku tidak akan disukai yang lain. Malah, kalau mereka menolak pendaftaranku (aku tidak berani membayangkannya) kupikir aku tak kuat lagi bertahan di sekolah ini.

“Haaah.......”

Membayangkannya saja sudah cukup untuk menyiksaku.

Karena PR ku sudah selesai, aku pergi mandi dan tidur lebih awal...



Besoknya saat istirahat makan siang.

Tepat ketika aku sedang makan sendirian di kelas, tiba-tiba Mikadzuki datang menghampiri dan berdiri di depanku.

“Kodaka, ikut aku.”

Dia masih memasang wajah kesalnya. Tanpa menunggu responku dia berjalan keluar kelas.

“Apa? Hei?! Tunggu!”

Dengan malu-malu aku mengikutinya.

Tepat ketika aku melangkah keluar kelas, tiba-tiba suasana terasa lebih gaduh.

Dengan aku mengikuti di belakangnya, dia berjalan dengan cepat ke ujung bangunan sekolah, ke pelantaran yang sepi.

Setelah sampai, tiba-tiba dia berbalik dan mengatakan,

“Semua persyaratan sudah beres.”

Apa yang sedang dia bicarakan?

“...Persyaratan?”

“Persyaratan untuk memulai klub baru.”

“Klub baru?”

“Aah, jadi begini, kalau kamu ga bisa gabung ke klub yang sudah ada, kenapa kamu ga bikin klub yang baru saja?”

Aku baru sadar kalau ini lanjutan dari perbincangan kemarin.

“...Ah, obrolan tentang mencari teman kemarin. Kurasa itu solusi yang bagus. Kalau klub nya masih baru, ga ada masalah soal hubungan internal.”

Tapi sama aja bohong kalau tidak ada orang di klub untuk dijadikan teman.

Karena kamu tidak mau menganggu hubungan internal klub yang sudah ada, jadi kamu membuat klub baru sendiri. Bukannya itu malah berlawanan dengan tujuan awal?

“...Sebentar, Barusan kamu bilang ’Semua persyaratan sudah selesai.’”

“Memang itu yang kubilang.”

“...Klub macam apa yang kamu buat?”

Aku bertanya dengan cemas. Mikadzuki mengumumkan dengan bangga,

“’Klub Tetangga’”

“Klub Tetangga?”

Dia mengangguk.

“’Seperti yang diajarkan oleh ke-Kristenan, mereka yang belajar di satu sekolah yang sama seharusnya meperlakukan murid lain sebagai teman yang baik- dengan semangat persahabatan, ketulusan, dan kasih sayang’ itulah tujuan dari Klub Tetangga.”

“Sangat, sangat mencurigakan......”

Aku menambahkan.

Aku tidak bisa membayangkan apa tujuan klub ini!

“Dan dengan tujuan konyol semacam itu, permohonanmu diterima?”

“Tidak perduli sebaik apapun atau senakal apapun seorang murid, sekolah ini selalu melihat sisi positif mereka. Di pikiran para guru, asalkan kamu membumbui kata-katamu dengan semangat ke-Kristenan, atau ajaran Yesus, atau kebaikan Maria, biasanya mereka akan salah menafsirkan tujuanmu yang sebenarnya. Kadang agama bisa sangat ceroboh.”

Kupikir Mikadzuki baru saja mengatakan hal yang bisa membuat seluruh umat Kristen di dunia ini murka.

“...Kamu menyelesaikan persyaratannya dalam satu hari? Benar-benar hebat.”

Aku mengomentarinya dengan nada takjub.

Kalau kamu bisa seaktif ini, kenapa dari dulu tidak bergabung saja dengan klub yang normal?

“Aku memang berbakat dalam hal-hal membosankan dan monoton seperti mengisi formulir, atau menulis proposal; hal-hal yang bisa ditinggalkan setelah diselesaikan.”

“Apa itu termasuk bakat?”

“Ya. Aku juga berbakat dalam urusan channel shopping di TV.”

Karena suatu hal Mikadzuki tampak puas dengan dirinya. Dia pun mengangguk setuju dengan kehebatan dirinya.

Apa ada orang yang bisa punya bakat dalam channel shopping?

...Meskipun aku sendiri takut kalau harus menelpon orang lain.

“Jadi, Klub Tetangga mu itu, apa tujuan aslinya?”

Mikadzuki menjawab pertanyaanku dengan blak-blakan.

“Untuk mencari teman tentunya.”

“...Tak terpikir olehku.”

“Dan kemudian kita bisa mulai berteman dengan anak-anak yang memandang rendah kita sebelumnya karena kita tidak punya teman, dan mungkin suatu hari nanti kita bisa menemukan apa yang orang sebut ‘sahabat sejati’!”

Aku pintar kan? kata Mikadzuki dengan bangga.

Aku menghela napas.

“......Terserah deh... Lakukan sesukamu aja.”

Tapi Mikadzuki tampak heran dengan reaksiku dan berkata,

“Kok kamu bicara seolah-olah ini bukan urusanmu? Kamu kan anggota klub juga!”

“Apaa?!”

Ku tinggikan suaraku saking terkejutnya; Mikadzuki tidak menggubrisnya dan melanjutkan,

“Soalnya Kodaka pulang duluan kemarin, jadi aku yang mengisikan formulir keanggotaanmu. Jangan lupa bilang terima kasih padaku.”

“Apa?!”

“Guru-guru juga sangat prihatin dengan Kodaka. Waktu aku bilang ‘Kodaka Hasegawa ingin menjadi anggota klub’, mereka sangat senang. Salah satu guru berkata ‘Aku berdoa agar dia bisa merasakan semangat kasih sayang ke-Kristenan lewat aktivitas klub. Semoga dia bisa menyadari jalannya yang sesat dan bertobat.’”

“Apa maksudnya ‘jalannya yang sesat’!? Aku bukan berandalan!’”

Bahkan guru-guru mengira aku berandalan. Hatiku terasa remuk.

“Seperti yang kubilang, anggota baru Kodaka, kita akan melaksanakan aktivitas klub mulai hari ini.”

Dia berbalik dan berjalan pergi.

Yah, setidaknya aku paham satu hal- salah satu alasan kenapa Mikadzuki tidak punya teman adalah karena dia tidak mau mendengarkan orang lain, sama sekali.

... ...Jadi itu dia.

Itulah bagaimana aku, Kodaka Hasegawa, dan seorang anak aneh bernama Yozora Mikadzuki, menjadi terlibat dalam aktivitas aneh Klub Tetangga.


Referensi

  1. Gadis cantik/manis
  2. SFX
  3. Sawara "Utara"
  4. Novel yang ditulis di telepon genggam


Mundur ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Maju ke Yozora