Difference between revisions of "Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-10876 kali"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
 
Line 114: Line 114:
 
Daiya tidak memperdulikan ucapan gadis berkuping tajam itu dan melanjutkan kata-katanya,
 
Daiya tidak memperdulikan ucapan gadis berkuping tajam itu dan melanjutkan kata-katanya,
   
"Kazu, ayo ganti topik dari cewek yang sama kelkali tidak ada hubungannya - Kau tahu hari ini kita akan kedatangan murid pindahan ?"
+
"Kazu, ayo ganti topik dari cewek yang sama sekali tidak ada hubungannya - Kau tahu hari ini kita akan kedatangan murid pindahan ?"
   
 
"Murid pindahan?"
 
"Murid pindahan?"

Latest revision as of 09:44, 19 June 2021

Ke-10,876 kali[edit]

Hari ini «2 Maret». Seharusnya hari ini adalah «2 Maret».

Kenapa aku memastikan tanggalnya?

...Mungkin karena langitnya masih mendung, meskipun sudah bulan maret. Mungkin begitu. Gara-gara cuaca mendung, aku menjadi sedikit murung, mengingat akhir-akhir ini langit biru selalu bersembunyi di balik awan.

Geez. Kapan ya cuacanya cerah lagi?

Aku sudah berada di kelas sebelum bel berbunyi, sambil memandang ke luar jendela.

Mungkin aku murung begini karena aku merasa tidak enak. Bukannya karena tidak enak badan, tapi, aku hanya... Tidak tenang, aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Aku merasa 'Ada sesuatu yang salah'.

...Aneh. Aku tidak bisa menemukan penyebabnya. Kemarin biasa saja, tidak terjadi sesuatu yang aneh. Pagi ini aku sudah sarapan, mendengarkan lagu baru yang dirilis oleh artis favoritku di kereta, dan keberuntunganku biasa saja menurut acara ramalan yang kutonton tanpa sengaja.

Memutuskan untuk tidak memaksakan otakku, aku mengambil sebuah Umaibo dari tasku. Hari ini rasa daging babi. Aku mulai menggigitnya. Tidak peduli berapa banyak aku memakannya, aku tidak pernah bosan dengan rasanya.

"Umaibo lagi--? Kau benar-benar tidak bosan dengan itu, ya kan? Kalau kau makan umaibo setiap saat, tahu tidak kalau warna darahmu bisa berubah menjadi seperti warna umaibo?"

"...Err, Warna apa itu?"

"Entahlah!!"

Gadis yang bercanda denganku ini adalah teman sekelasku yang bernama Kokone Kirino. Dia memiliki rambut panjang berwarna coklat dan diikat Ponytail. Kokone selalu mengganti gaya rambutnya, tapi sepertinya dia agak menyukai gaya yang satu ini. Atau sepertinya begitu, soalnya aku merasa akhir-akhir ini dia tidak mengubah gaya rambutnya.

Kokone seenaknya duduk di kursi di sebelahku dan mulai memakai make-upnya di kotak make-upnya yang berwarna biru dengan alat yang aku, sebagai pria tidak tahu apa alat-alat itu. Kuharap dia bisa berusaha sekeras itu tidak hanya untuk make-up saja, tapi juga untuk belajar dan yang lainnya.

"Kalau dipikir-pikir, kau punya banyak benda yang berwarna biru, ya kan?"

"Yah, karena aku suka warna biru. Oh, iya, Kazu-kun! Apa kau sadar ada yang berbeda denganku hari ini?"

Tiba-tiba Kokone bicara begitu dengan mata yang bersinar-sinar.

Hm...?

Bagaimana aku bisa tahu? Mustahil aku bisa tahu jika kau tiba-tiba bertanya seperti itu.

"Kuberi satu petunjuk! Yang berubah itu daya tarikku!"

"Eh?"

Secara refleks aku melihat ke arah dadanya.

"Whoah, hey! Kenapa kau melirik ke arah dadaku?!"

Yah, itu kan karena kau selalu menyombongkan dadamu yang akhirnya melewati D-cup, jadi kukira...

"Tentu saja daya tarikku adalah mataku! Lagi pula, tidak mungkin dada tumbuh besar secara tiba-tiba! Apa itu yang kau harapkan? Dasar mesum!!"

"...Maaf."

Tidak mungkin aku bisa tahu daya tarik yang kau akui sendiri seperti itu, tapi untuk sekarang lebih baik aku minta maaf.

"...Jadi?"

Kokone memandang mataku dengan penuh harapan. Harus kuakui memang matanya agak besar, aku jadi merasa canggung begitu menyadarinya.

"...Aku pikir wajahmu sama seperti biasanya."

Aku berkata begitu sambil memalingkan mataku dari wajahnya.

"Eh? Apa? Kau bilang wajahku imut seperti biasanya...?"

"Aku nggak bilang begitu."

"Kalau begitu katakan!"

Oah... dia mulai memaksaku.

"Sejujurnya Aku memakai maskara hari ini. Bagaimana? Bagaimana?"

Aku tidak melihat ada perbedaan dari wajahnya dibandingkan kemarin.

"...Ugh, nggak mungkin aku bisa membedakan hal seperti itu."

Aku berkata sejujurnya. Tapi itu malah berefek buruk.

"'Hal seperti itu' kau bilang?"

Dia memukulku.

"Ow..."

"Cih! Membosankan!"

Dia berkata begitu dengan suara yang agak keras... Ahh, dia pasti benar-benar marah. Kokone bergaya seperti gaya meludah ke arahku, lalu dia menghampiri teman sekelas lainnya untuk memamerkan maskaranya.

"Haa..."

Sekarang aku lelah. Kokone memang menyenangkan diajak bercanda, tapi emosinya itu susah dikendalikan.

"Sudah selesai pertengkaran suami-istrinya?"

Hal pertama yang kulihat ketika menengok adalah tiga buah anting di telinga kanan. Hanya ada satu orang di sekolah ini yang memiliki gaya seperti itu.

"Daiya... Itu bukan pertengkaran suami-istri. Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?"

Dia, Daiya Oomine, menyeringai mendengar kata-kataku barusan. Yah, dia memang angkuh seperti biasa. Justru akan terlihat aneh jika yang menggunakan aksesoris seperti itu, tidak hanya mengabaikan peraturan sekolah tapi malah memprovokasi sekolah, merendahkan dirinya sendiri.

"Tapi benar kau tidak sadar dengan maskaranya? Aku saja mengetahuinya. Yah, meski aku sama sekali tidak tertarik padanya."

"...Serius?"

Mereka sebenarnya bertetangga dan sepertinya sudah berteman sejak TK. Tidak mungkin kalau dia sama sekali nggak tertarik padanya. Tapi, menyadari sesuatu pada diri orang lain sementara orang sepertiku yang duduk di sebelah Kokone saja tidak, bisa jadi masalah. Soalnya, dia kan Daiya, yang bahkan menurutku tidak pernah melirik ke orang lain.

"...Tapi, kau tahu."

Aku juga merasa kalau Kokone juga memakai maskara yang sama kemarin.

"Oh, aku mengerti, Kazu. Jadi maksud dari ucapanmu yang bilang padanya 'aku tidak tertarik padamu'. Aku sangat setuju denganmu! Aku pasti mengambil sikap yang sama, tapi aku akan lebih berterus terang!"

"Dasar kau ketua kelas jahat!! Aku bisa mendegarmu dengan jelas tahu!!"

Daiya tidak memperdulikan ucapan gadis berkuping tajam itu dan melanjutkan kata-katanya,

"Kazu, ayo ganti topik dari cewek yang sama sekali tidak ada hubungannya - Kau tahu hari ini kita akan kedatangan murid pindahan ?"

"Murid pindahan?"

Aku memastikan lagi -- Hari ini tanggal «2 Maret». Memangnya ada ya orang yang pindah setelat ini?

"Murid pindahan? Benarkah??"

Sudah kuduga, Kokone pasti mendengar pembicaraan kami dan mengeraskan suaranya untuk bertanya.

"Kiri! Aku tidak bertanya padamu! Jangan asal menyela pembicaraan orang, apalagi dari situ! Oh, tapi jangan dekat-dekat! Wajamu yang ditutupi make-up yang super menyedihkan itu tidak baik buat kondisi mentalku..."

"A-apa!? Bisa-bisanya kau bilang seperti itu, Daiya! Perbaiki sifat ketidakjujuranmu itu! Oh, mungkin kita harus menggantungmu terbalik selama 24 jam supaya darah bisa mengalir ke otakmu supaya bisa berbicara dengan benar."

Aku buru-buru menyela pembicaraan kasar mereka, mengeraskan suaraku sedikit dan kembali ke topik.

"Murid pindahan, kan? Sepertinya aku pernah mendengar sesuatu tentang hal itu,"

Daiya menutup mulutnya, seperti sudah seharusnya dan memelototiku,

"Siapa yang sudah mengatakan hal itu kepadamu?"

Daiya bertanya dengan wajah serius,

"Eh? Kenapa?"

"Jangan jawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya!"

"Err..Siapa ya? Bukannya itu kau sendiri?"

"Mustahil. Aku sendiri baru dengar saat pergi ke ruang guru karena ada urusan. Tidak ada kesempatan bagiku untuk mengatakannya padamu."

"Benarkah?"

"Gosip seperti ini memang cepat menyebar. Tapi, bahkan si cerewet Kiri belum mengetahuinya."

Benar, melihat reaksinya barusan, bukan cuma dia. Sepertinya tidak ada satupun di kelas 1-6 yang tahu tentang ini.

"Makanya aku menyimpulkan kalau informasi ini dirahasiakan sampai hari kepindahannya, yaitu hari ini. Tapi, bagaimana kau bisa tahu?"

"...Hah?"

Akupun heran.

"Terserahlah. Tapi bukannya ini tidak wajar, Kazu? Kenapa ada orang yang pindah sekarang? Yah, mungkin saja ada suatu masalah sampai mesti pindah sekolah. Contohnya, bagaimana kalau dia adalah seorang putri dewan yang dikeluarkan dari sekolah asalnya? Jika itu benar, wajar jika kepindahannya dirahasiakan."

"Daiya, tidak baik berprasangka seperti itu. Maksudku, mungkin dia sudah dalam posisi yang mencurigakan meski tanpa prasangkamu barusan. Lagi pula, semua murid di sini diam-diam mendengarkan."

Murid-murid lain memang mendengar semua perkataan kami, dan setelah mendengar pernyataanku, mereka tersenyum canggung.

"Ah, masa bodoh!"

Uwaa...

Ketika aku mengeluarkan keluhan terhadap sifat cueknya Daiya, bel tanda masuk kelas berbunyi. Seluruh murid kembali ke bangku masing-masing.

Kokone yang kursinya berada di dekat jendela, membuka jendela lalu menengok lewat jendela tersebut. Rupanya dia ingin cepat-cepat melihat murid pindahan itu.

"Ooh!"

Sepertinya Kokone sudah melihat murid pindahan itu. Setelah berkata 'ooh' dia kembali duduk ke kursinya dengan wajah kaku, padahal sebelumnya wajahnya ceria saat dia masih melihat ke luar jendela.

Aku heran apa yang salah.

Kokone tersenyum dan bergumam 'Ini menakjubkan!'. Mungkin bukan cuma aku saja, bahkan semuanya ingin bertanya kepadanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi wali kelas sudah terlanjur memasuki ruang kelas. Bayangan seorang gadis dapat terlihat di balik kaca pintu. Itu pasti si murid pindahan yang dibicarakan itu. Melihat sekeliling ruang kelas, wali kelas kami pasti berpikir semuanya sedang mengira-ngira, seperti apa orang yang berada di balik pintu, dan segera memanggil si murid pindahan tersebut.

Bayangan yang berada di belakang pintu bergerak,

Dan kemudian aku melihatnya

Dalam sekejap--

Aku seperti didorong dari tebing, pemandangannya berubah seketika.

Pertama, aku mendengar suara. Suara dari pemandangan yang mengerikan, satu persatu pemandangan lain menerobos ke dalam pikiranku. Pemandangan itu terus-menerus muncul. Aku merasa seperti pikiranku akan meledak. Deja vu. Deja vu. Ya, Deja vu.

"Aku Aya Otonashi," Aku dengar.

"Aku Aya Otonashi," Aku dengar.

"Aku Aya Otonashi," Cukup! Aku sudah tahu!

Aku menolak kumpulan-kumpulan informasi yang mencoba menginvasi pikiranku. Sudah jelas, tidak mungkin semua informasi ini bisa masuk ke dalam pikiranku. Otakku pasti kelebihan beban. Aku tidak dapat memprosesnya sama sekali.

"Ah..."

Apa,

Sungguh tidak dapat dimengerti, aku ini...?

Aku menyadari bahwa aku memikirkan sesuatu yang tidak dapat kumengerti dan memutuskan untuk berhenti berpikir. Lalu...

...Eh? Apa yang baru saja kupikirkan?

Melupakan hal tersebut, aku menghadap ke depan dan melihat wajahnya lagi. Aku melihat ke arah si murid pindahan, Aya Otonashi, yang namanya belum kuketahui.

"Aya Otonashi."

Si murid pindahan hanya mengatakan kalimat yang sangat singkat. Dengan suara pelan dia tidak peduli apakah kami bisa mengerti kata-katanya barusan.

Aya Otonashi meninggalkan tempat dia berdiri,

Karena perkenalannya sangat singkat, seisi kelas pun menjadi ribut.

Dia tidak peduli sedikit pun terhadap teman sekelasnya yang penasaran dan berjalan ke arahku.

Melihat tepat ke wajahku,

Dia duduk di kursi kosong di sampingku, seperti tempat duduk itu sudah disiapkan untuknya sejak awal.

Otonashi-san mengerutkan dahinya kepadaku ketika aku melihatnya tanpa melakukan sesuatu.

Kupikir aku harus mengatakan sesuatu,

"...Err, senang berkenalan denganmu."

Dahinya yang mengerut tidak berubah sama sekali.

"Hanya itu?"

"Eh...?"

"Kutanya, cuma itu?"

Apakah ada yang lain? Meski kau bilang begitu, aku tidak dapat memikirkan apa pun. Lagi pula, ini kan pertemuan pertama kita.

Tapi suasananya memaksaku mengatakan sesuatu,

"...Err, seragammu. Apa itu seragam asalmu?"

Otonashi-san tidak bereaksi sama sekali terhadap perkataanku barusan dan tetap memandangku dengan tatapan yang menakutkan.

"...Eh??"

Melihat kebingunganku, entah kenapa Otonashi-san menghela napas panjang dan tersenyum. Ya, tersenyum seperti sedang melihat anak kecil yang penakut.

"Aku akan memberi tahu sesuatu yang bagus kepadamu, Hoshino."

...Eh? Aku bahkan belum memberitahu namaku padanya.

Bukan cuma itu. Otonashi-san mengatakan sesuatu padaku yang membuatku duduk terdiam selama 5 detik penuh.

"Kasumi Mogi mengenakan celana dalam warna biru muda hari ini."





Pakaian yang dikenakan Kasumi Mogi saat pelajaran olahraga bukanlah pakaian olahraga, tapi malah seragam sekolahnya.

Hari ini, dia menonton pertandingan sepak bola antar laki-laki dengan mengenakan seragamnya, dan tanpa ekspresi seperti boneka hiasan.

Kaki putihnya yang terlihat keluar dari roknya kelihatan sangat lemah dan rapuh. Terlihat seperti bisa rusak kapanpun.

Dan aku, karena suatu alasan, tidur dengan kepalaku di pangkuannya.

Ah, ya. Aku tidak punya petunjuk sama sekali tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku tidak dapat menikmati sensasi kebahagiaan yang mestinya kurasakan saat ini karena aku sedang mati-matian menahan mimisanku dengan tisu. Kalau aku tidak menahannya, hal ini tidak akan berakhir baik.

Aku mengingat bagaimana kejadian sebelumnya. Saat aku tidak dapat konsentrasi karena perkataan Otonashi-san sebelumnya, sebuah bola mengenai mukaku dan kemudian hidungku mulai mengeluarkan darah. Sesaat kemudian, Mogi-san datang ke arahku dengan cemas dan entah kenapa membiarkanku tidur di pangkuannya.

Kaki Mogi tidak lembut sama sekali, dan sejujurnya, malah membuat kepalaku sedikit sakit.

Aku heran kenapa dia begitu peduli padaku. Aku melihat ke arah Mogi-san, tapi aku tidak dapat memikirkan apa pun saat melihat wajahnya yang tanpa ekspresi itu,

Tapi itu membuatku bahagia.

Sangat, sangat bahagia.

Perkataan Otonashi-san tentang celana dalam.

Tentu saja aku terkejut dengan pernyataannya yang tidak terduga sama sekali. Maksudku, Otonashi-san mengatakan 'Aku akan memberitahu sesuatu yang bagus kepadamu'. Singkatnya, dia menyatakan kalau informasi tentang <<Kasumi Mogi>> adalah <<Sesuatu yang bagus>> untukku.

Aku bahkan belum memberitahu Kokone maupun Daiya tentang perasaanku terhadap Mogi. Jadi, tidak mungkin Otonashi-san yang baru saja kutemui hari ini bisa tahu tentang hal itu. Meski begitu, dia tetap mengatakannya.

"...Mogi-san,"

"Ada apa?"

Mogi-san menjawab dengan pelan. Suaranya seperti seekor burung kecil yang cocok dengan penampilannya yang mungil dan imut.

"Hari ini, um, apa Otonashi-san berbicara sesuatu kepadamu?"

"...Murid pindahan itu? Tidak..."

"Kau tidak punya hubungan khusus dengan dia kan?"

Mogi-san menegaskannya dengan mengangguk,

"Apakah dia melakukan sesuatu yang mencurigakan kepadamu?"

Dia berpikir sejenak dan kemudian menggelengkan kepalanya. Rambutnya yang sedikit bergelombang bergoyang.

"Kenapa kau menanyakan hal ini?"

Dia memiringkan kepalanya dan bertanya.

"Ah, tidak... Kalau memang tidak ada, tidak masalah."

Ketika aku mengalihkan pandanganku ke lapangan olahraga, Otonashi-san berdiri sendirian di tengah lapangan sekolah dengan pose yang tidak bersemangat, seolah tidak menunjukkan ketertarikan terhadap bola maupun para gadis yang mengejar bola. Ketika bola tersebut mengarah kepadanya, dia menendangnya kembali dengan pelan... Er, bukannya dia baru saja menendang ke arah tim lawan?

"Mmhh..."

Mungkin aku terlalu memikirkannya, berpikir bahwa dia menyadari perasaanku terhadap Mogi-san.

Pengaruh dari Otonashi-san memang agak kuat karena penampilan dan sikapnya. Yah, normal saja aku memikirkannya kalau orang seperti dia tiba-tiba berkata seperti itu saat di kelas tadi. Sebuah logika yang semua orang pun dapat mengerti.

Dan lagi -- kenapa aku tidak bisa mempercayai hal tersebut?

Otonashi-san memandang ke arahku,

dia mengarahkan pandangannya ke arahku, hanya ke arahku, tidak memandang ke arah yang lainnya.

Memandang lurus ke arahku. Dia dengan berani menaikkan ujung mulutnya. Meskipun pelajaran belum berakhir, dia berjalan ke arahku,

Tanpa sadar, aku berdiri, meninggalkan posisiku semula, di pangkuan Mogi-san, yang mestinya merupakan sumber kebahagiaanku yang terbesar. Aku merasa ngeri. Ini bukan kiasan, aku benar-benar merasakan kengerian yang luar biasa.

Mogi-san yang terlihat menyadari keberadaan Otonashi-san, menegang karena kegelisahan dan berdiri sepertiku.

Masih dengan senyumannya yang terlihat mengejek, Otonashi-san menunjuk ke arahku... tidak, ke arah Mogi-san,

Saat itu,

angin tiba-tiba berhembus. Angin yang tiba-tiba berhembus. Angin yang tidak mungkin seorang pun dapat mengetahuinya.

Hembusan angin yang tiba-tiba itu pun mengangkat rok Mogi-san.

"Kya...!!"

Mogi-san segera mendorong roknya ke bawah. Tapi hanya bagian depannya saja. Aku berdiri di belakangnya. Segera setelah angin berhenti bertiup, Mogi-san berputar dan melihat ke arahku. Dia memang terlihat tanpa ekspresi seperti biasanya, tapi menurutku pipinya memerah.

Tanpa bersuara dia seperti membentuk kalimat 'Apakah kamu melihatnya?' dengan mulutnya. Tidak, dia mungkin benar-benar berbicara. Tapi aku tidak dapat mendengar suaranya yang pelan. Aku dengan takut menggelengkan kepalaku. Yah, sebenarnya aku melihatnya. Tapi Mogi-san tidak melakukan apa pun, hanya memandang ke bawah.

Sekarang Otonashi-san berdiri tepat di sampingku.

Aku melihat sekilas ekspresinya,

"Ahh---"

Sekarang aku mengerti alasan kenapa aku bergetar seperti itu. Aku tahu arti di balik ekspresinya. Sebuah perasaan yang belum pernah diarahkan kepadaku seumur hidupku,

--permusuhan.

Kenapa? Kenapa perasaan itu diarahkan ke orang sepertiku?

Otonashi-san menaikkan ujung mulutnya dan melotot ke arahku. Saat aku hanya bisa bergetar dan tidak bisa bergerak, dia memegang bahuku, mendekatkan tubuhnya ke arahku, dan membisikkan sesuatu dengan bibirnya yang halus di dekat telingaku,

"Benarkan, biru muda?"

Otonashi-san sudah tahu semuanya, perasaanku terhadap Mogi-san, hembusan angin yang memperlihatkan celana dalam Mogi-san kepadaku, dia tahu semuanya.

Pernyataan barusan bukanlah sebuah lelucon. Itu adalah sebuah ancaman untuk menegaskan bahwa dia mengetahuiku dengan sempurna, mengetahui cara berpikirku, dan dia dapat mengendalikanku.

"Hoshino, seharusnya kau sudah mengingatnya sekarang, kan?"

Otonashi-san memperhatikanku ketika aku terdiam. Kami tetap seperti ini selama beberapa saat, tetapi tidak lama kemudian, dia menghela napasnya dan memandang ke arah bawah.

"Jadi ini sia-sia saja, padahal aku sudah susah-susah melakukan sejauh ini...Malah kulihat kau satu level lebih bodoh hari ini."

Dia menggerutu.

"Jika kau lupa, ingat ini baik-baik. Namaku «Maria»."

...<<Maria>>? Tidak, err... bukannya dia «Aya Otonashi»?

"...A-apa itu nama samaranmu atau sejenisnya?"

"Diam."

Dia melotot ke arahku, bahkan tanpa menutupi kekesalannya.

"Baiklah, kau yang seperti ini sih tidak menantang sama sekali, kalau begini aku akan bertindak sesuka hatiku."

Otonashi-san berkata seperti itu dan membalikkan badannya.

"Ah, tunggu..."

Tanpa sadar aku mencoba menghentikannya. Dia berbalik ke arahku, terlihat kesal.

Aku tidak begitu yakin, tapi melihat sikap Otonashi-san, mungkin--

"Apakah kita pernah bertemu di masa lalu?"

Mendengar perkataanku, Otonashi-san menyeringai.

"Ya, kita adalah kekasih di kehidupan sebelumnya. Oh, Hathaway-ku yang tercinta, betapa malangnya keadaanmu yang sekarang! Kau tidak sebodoh itu dulu ketika kau memujiku, sang putri dari negara musuh."

"...Um, apa?"

Aku tidak dapat berkata apa pun. Otonashi-san terlihat puas melihatku seperti itu dan untuk pertama kalinya, dia menunjukkan senyuman yang terlihat seperti senyumannya yang asli.

"Aku cuma bercanda."





Keesokan harinya,

Aku melihat mayat Aya Otonashi.



Balik ke Ke-13,118 kali Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Ke-8,946 kali