Hakomari (Indonesia):Jilid 2 18 Mei

From Baka-Tsuki
Revision as of 10:04, 12 August 2013 by Meis-Mean (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Sambil meremas sebungkus Umaibou [1] rasa lidah sapi, aku melihat ke sekitar ruang kelas. Teman-teman sekelasku tidak terlalu memikirkanku secara khusus lagi. Mereka hanya terlihat sedikit gugup karena tes midsemester yang akan dimulai besok.

"Yo, Kazu-kun!"

"Aduh."

Kokone memukul kepalaku sembari menyapa.

"......Pagi."

"Kau tahu, aku sebenarnya cuma jalan-jalan. Di Shibuya."

"Hah?"

Kokone mendadak mulai berbicara dengan bangga.

"Aku cuma mau pergi ke Marui atau mendengarkan musik di HMV. Tapi sepertinya dunia ini memang tidak bisa mengabaikan pesonaku! Dan E-Cup-ku ini!"

Sekarang satu ukuran lebih besar...

Dia meletakkan sebuah majalah fashion di atas mejaku dan menunjuk ke atasnya. Di sana ada foto Kokone berdiri di kota sambil tersenyum.

"Ah, wow."

Itu kesan jujurku. Kokone menjadi semakin gembira.

"Hohoho, ngomong-ngomong, hanya dalam dua jam aku sudah dipanggil sebanyak lima kali, termasuk godaan. Aku menolak mereka tapi kemudian aku malah diintai sebagai seorang model... Yaah... masyarakat sepertinya tidak mau melepaskanku. Jadi, kau suka foto ini? Gimana?"

"......Yah, bagus, mungkin?"

"Kamu juga berpikir begitu? Dan lihat komentarku! «Aku hanya salah mengambil earphoneku dengan tali jaket parkaku dan memasangnya di telingaku!☆» Sungguh komentar yang sopan dari seorang gadis manis yang kikuk. Moe sekali."

"Moe, ya."

Karena mungkin masalah akan menjadi panjang jika aku mengatakan hal yang tidak perlu, aku menjawab asal saja.

Kokone kemudian berkata dengan suara marah pada Haruaki, yang melihat dengan mata setengah terpejam:

"...Apa, Haru?"

"Tidak, bukan apa-apa. Aku cuma berpikir kalau menyanyikan pujian diri sendiri itu menjijikkan."

"...cowok yang cuma punya jersey di rumah itu menjijikkan."

"Apa!? Jangan mengolok-olok jersey-jersey Adidasku!"

"Aku tidak mengolok-olok Adidas, kok. Aku mengolok-olok kamu."

Melihat percakapan ini, aku tanpa sadar tersenyum.

Untunglah. Ini artinya kehidupan sehari-hariku telah kembali sehingga percakapan tersebut bisa terjadi.

Faktanya, aku nyaris saja tidak bisa lagi menyaksikan kejadian ini. "Sevennight in Mud" mungkin telah hancur, namun yang yang terjadi selama itu belum sirna. Fakta bahwa aku menyatakan cinta pada Kokone tidak menghilang.

Berkat kecerdikan Maria, hubungan kami bisa kembali seperti ini.

Aku mengingat suatu percakapan berbahaya yang terjadi di bangsal rumah sakit Mogi-san.



Siang hari tanggal 9 Mei.

Mogi-san duduk di kasur putihnya, mengenakan piyama yang sudah kulihat berkali-kali di kulihat dalam foto di layar ponselku. Kokone berdiri di sebelahnya dengan rambut tergerai.

Keduanya membersut padaku.

Tentu saja aku sudah menyadari tatapan mereka, jadi aku memandang ke arah kasur tempat tidur untuk menghindari kontak mata dengan mereka. Di sudut pandanganku aku dapat melihat kaki Maria.

...Inikah yang disebut "medan perang"?

"Aku akan menghargai penjelasan darimu, Hoshino-kun."

Tubuhku kaku saat mendengar suara Mogi-san, yang setajam silet sekaligus tenang pada waktu yang sama.

"Jadi kau menembak Koko-chan meski Otonashi-san sudah jadi pacarmu? Apa artinya ini? Aku tidak tahu kalau kau cowok sesembrono ini...?"

Kokone sudah berkonsultasi dengan teman baiknya, Mogi-san, tentang pernyataan cinta itu.

Akibatnya, kami dipanggil olehnya, dan kini kami berada di tempat ini.

"Koko-chan sudah memberitahuku kalau kau kelihatan akrab dengan Otonashi-san... tapi menilai dari apa yang kudengar, aku cuma bisa menyimpulkan kalau kalian sudah pacaran. Benar?"

"Err..."

"......Kenapa tidak bilang saja kalau kalian pacaran?... Aku jadi kelihatan bodoh karena mengira kita semakin akrab akhir-akhir ini..."

Ketajaman perlahan-lahan sirna dari suara Mogi-san. Raut mukanya jelas muram.

"Jelaskan pada kami, Kazu-kun!"

Kata Kokone dengan marah.

"A-Anu, emm... mula-mula, k-kami-tidak saling m-menc-ngg-c-cintai."

"Kalian tidak... apa?! Saling 'mengintai'?! B-Bukan itu yang kutanyakan! Dasar stalker..."

"Nggak ada orang yang bisa salah dengar seperti itu! Kamu salah paham!"

"Aku tidak bisa percaya denganmu lagi! Aku heran kamu bisa mengatakan hal seperti itu di depan Otonashi-san! Meskipun kalian memanggil satu sama lain dengan nama awal!"

Karena keberisikan kami di bangsal rumah sakit, banyak tatapan mata yang tertuju pada kami. Bahkan para perawat pun tidak berani mendekat dan hanya mengawasi kami dari kejauhan. ...Bisakah kalian datang dan mengomeli kami saja?

Kokone menarik nafas dalam-dalam dan melihat Maria dengan tampang serius.

"...Apa kau tidak punya masalah dengannya? Padahal Kazu-kun menembakku. Kenapa kamu tenang sekali?"

"Mh. ...Begini."

Maria menyilangkan lengannya mendengar pertanyaan Kokone. Ia melihatku sekilas dan sedikit mengerucutkan mulutnya. ...Aku punya firasat buruk.

"Gangguan karena pernyataan cintanya pada Kirino?... Tentu saja tidak ada."

"...Kenapa?"

"Karena aku yang menyuruhnya."

Semuanya terkejut. Tentunya, termasuk aku.

Emm, apa yang barusan Maria katakan?

"...........Apa artinya ini? Otonashi-san merayu Kazu-kun untuk menembakku?"

"Tepat sekali."

"...K-Kazu-kun, apa-apaan ini?!" "Hoshino-kun, apa maksudnya ini?!"

Tidak, aku sendiri juga ingin tahu.

"Karena Kazuki tidak bisa memberi penjelasan dengan baik, aku yang akan menjelaskan."

Mulut Maria masih mencibir saat ia mengatakannya.

Jelas dia menikmati situasi ini...

"Pertama , fakta yang harus kukatakan sekarang juga, aku ditolak Kazuki."

Kokone dan Mogi-san melihatku dengan mata melebar. Ti-Tidak, sumpah, aku juga tidak mengerti!

"Kalau diingat-ingat, dia mengatakan hal seperti «Aku tidak menganggap of ikan teri seperti dirimu»."

Mana mungkin aku mengatakan hal seperti itu, ‘kan?!


"Apa-ap... itu kelewat sombong, 'kan? Kazu-kun harus mati."

"A-Aku barusan juga merasa kalau itu menjijikkan, sih."

"Nggak, err......"

Aku ingin membuat alasan, tapi karena aku tidak tahu apa yang Maria rencanakan, aku tidak bisa mengatakan apa-apa.

"Aku tidak bisa menerima penolakan yang kasar itu dengan lapang dada. Nah, tapi kalau dia punya orang lain yang dia sukai, aku tentu tidak akan menyerah, tapi aku akan menerima penolakannya. Jadi aku tanya. Apa ada orang yang dia sukai."

"Da-Dan dia menjawab dengan C-I-N-T-A-nya padaku!"

"Yah, begitulah, setelah cukup lama ragu-ragu, dia menyebutkan namamu."

Kokone perlahan memerah sembari bergumam-gumam "Ee, emm", setelah mendengar kata-kata Maria. Di sebelahnya, Mogi-san kontras putih pucat. ...ini jadi kelihatan seperti bendera.

"Tapi dengar, setelah mendengar nama Kirino, aku masih belum sepenuhnya percaya padanya. Karena bagiku mereka terlihat seperti teman biasa. Itulah mengapa aku mendesaknya untuk menembaknya di depan mataku dan aku akan menerima penolakannya jika ia melakukan itu."

"Lalu, Hoshino-kun menembak Koko-chan..."

Mogi-san berbisik, tampak nyaris meneteskan air mata. Kokone masih memerah dan melirik Mogi-san dengan cemas.

...hei, Maria, apa yang kau rencanakan...?

"Begitulah, tapi Kazuki baru saja menarik pernyataan bahwa dia mencintai Kirino."

"EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEHHHHH"

Kokone berteriak.

"K-Kokone, ini rumah sakit!"

"Diam, dasar bajingan plin-plan brengsek."

"......"

"Singkat cerita, akhirnya, soal dia menyukai Kirino hanya kebohongan asal yang dia katakan padaku supaya aku menyingkir. Setelah kuancam untuk menembak, dia sudah tidak bisa mundur lagi."

"Mmh... aku mengerti situasinya. Tapi... Tapi, tapi! Rasanya ini tetap agak kejam buatku!"

"Bukannya ini menandakan seberapa besar rasa percayanya padamu? Bukankah dia percaya bahwa kau, sebagai teman yang baik, akan memaafkannya jika dia meminta maaf?"

"Mmmmmmh..."

"Apa mungkin, dia tidak keberatan kalau kau salah paham padanya?"

"Eh?!"

Kokone memerah lagi.

...Tidak, sungguh, kenapa kau menambahkan kalimat yang tidak perlu, Maria?

"Tapi ini tidak mengubah fakta bahwa kami melibatkanmu, Kirino. Aku dan Kazuki menyesali apa yang sudah kami lakukan. Tolong maafkan kami."

"A-Aku benar-benar minta maaf..."

Aku merasa kesempatan untuk meminta maaf ada di sini. Pipi Kokone masih merah samar saat ia memicingkan matanya dan melihatku.

".....Apa kau sudah merenungkan kelakuanku?"

"I-Iya. Maafkan aku."

Melihatku mengucapkan permintaan maaf, Kokone mengerucutkan bibirnya dan berkata.

"Oke! Aku maafkan. Tapi jangan lakukan untuk kedua kalinya! Seberapapun aku terbiasa ditembak, aku juga kaget, tahu! Aku galau sekali soal apa yang harus kulakukan sampai nggak bisa tidur malam itu, tahu!"

"Jadi kamu sudah biasa ditembak."

"Hah! Dalam satu tahun sejak masuk SMA aku dengan mudah mencapai angka puluhan! ...Ah, itu bukan masalahnya sekarang! Apa kau sudah merenungkannya baik-baik?!"

"M-Maaf. Sudah, dengan baik-baik..."

Kokone menaikkan suara kerasnya lagi, dan tersenyum lega.

Ia juga berharapkan hubungan kami kembali seperti semula.

Jika kami mempertahankan kehidupan sehari-hari yang semua orang harapkan seperti ini, hal ini tidak akan hancur dengan mudah.

"Oke kalau begitu, aku pulang dulu."

Aku berkata demikian dan berusaha meninggalkan bangsal, setelah mengedip pada Maria. ...sejujurnya, aku ingin cepat-cepat pergi karena tatapan-tatapan yang tertuju pada kami terasa memalukan.

"Tunggu sebentar."

"...Ada apa, Mogi-san?"

"Umm, err... kau menolak Otonashi-san, ‘kan? Jadi, aku penasaran kenapa kalian masih bersama-sama...? Kalian benar-benar tidak pacaran, ‘kan?"

Mogi-san bertanya dengan suara bergetar.

"Err... yah, begitulah."

Ia melihat aku dan Maria secara bergantian, dan menunduk.

"......Uuh, lihat saja! Aku akan segera keluar dari rumah sakit! Aku harus cepat-cepat kembali ke sekolah. Aku kuatir... kuatir sekali..."

"J-Jangan khawatir, Kasumi! Aku akan mengawasinya!"

Mogi-san menghembuskan nafas lega mendengar kata-kata Kokone.

"...Koko-chan. Kau kelihatan lumayan senang waktu dia bilang «Mungkin dia tidak keberatan meski kau salah paham dengannya by any chance»."

"A-Aku tidak senang!"

Entah mengapa Mogi-san membersut padaku dengan mata berkaca-kaca.

"Hoshino-kun, kau bodoh!"

"Uh..."

"Kenapa kau lakukan penembakan palsu ini pada Koko-chan, bukan padaku?!"

Uuuh... apa di situ masalahnya?



Istirahat makan siang.

Aku dan Maria saling berhadapan di sebuah meja di kafeteria sekolah. Maria tak menunjukkan ekspresi ketika menyeruput ramen yang rasanya seperti karet.

Walaupun dulu ia terlihat senang sekali saat memakan strawberry tart. Yah, tapi saat aku hampir tidak sengaja memotretnya, ia memukulku dengan serius, dan kembali makan sembari menyeringai.

"Kazuki, apa kau mau datang ke rumahku hari ini juga?"

Seorang siswa yang duduk di sebelahnya menyemburkan nasi gorengnya.

"Aku mau ke ruang perpustakaan hari ini. Bagaimana menurutmu?"

"Aku tidak keberatan."

Aku mengunjungi kamar Maria dua hari terakhir ini. Ini sungguh bukan untuk bersenang-senang, ia hanya mengajariku untuk ujian yang akan datang, karena hingga saat ini ia adalah siswa unggulan di sekolah kami.

Tapi tetap saja, murid kelas dua yang diajari kelas satu itu...

"Mh, tapi dia tidak akan datang, ya. Apa boleh buat, nanti kumakan semur yang tersisa. Meski porsinya lumayan banyak, sih."

"...enak kok, sebenarnya."

"Aku tidak tanya pendapatmu."

Ia berkata dengan dingin, meskipun aku mencoba memujinya.

"Tapi, tetap saja—"

Saat pergi ke kamar Maria; kalau «dia» mendengar tentang percakapan kami, ia pasti jadi murung.

Saat memikirkan tentang ini, aku mengingat bagaimana «dia» selalu makan di sebelah Maria sampai dua minggu yang lalu.

Ini hampir sama seperti sebelumnya. Mogi-san mulai ngambek di rumah sakit dan Daiya masih mogok bicara denganku, tapi kupikir aku sudah mendapatkan kembali kehidupanku yang nyaman.

Tapi, Riko Asami dan Ryuu Miyazaki sudah tidak ada di kehidupan sehari-hari ini lagi.

Golden Week kami telah diperpanjang empat hari, jadi sekolah tidak dimulai sampai tanggal 11 Mei. Hal ini karena tersangka kasus pembunuhan terdaftar di sekolah kami. Selama kami beristirahat, kepala sekolah kami muncul di TV dan mengatakan sesuatu tentang Miyazaki-kun sebagai murid yang pandai dan bersungguh-sungguh.

Hari pertama setelah liburan terjadi keributan besar. Benar-benar ribut sampai beberapa cewek menangis dan media mengejar-ngejar kami dengan kamera-kamera mereka. Ini sama sekali tidak tampak seperti pemandangan kelas yang biasa lagi.

Namun setelah satu minggu, kelas kembali seperti sebelumnya.

Teman-teman sekelas kami menyatakan bahwa menyebut nama «Ryuu Miyazaki» adalah tabu, karena namanya tentu akan terus dihubungkan dengan kasus pembunuhan itu, yang akan menyebabkan suasana menjadi canggung. Demi mempertahankan kehidupan sehari-hari, bahkan namanya pun tidak boleh terdengar.

Tentu saja aku akan mengingat Miyazaki-kun. Aku tidak akan bisa melupakannya. Namun, Miyazaki-kun tetap tidak akan muncul dalam percakapan di antara anggota-anggota kelas ini.

Miyazaki-kun tidak bisa kembali ke hari-hari kehidupan ini lagi.

Dan itu tidak berbeda untuk saudara perempuannya, Riko Asami.

Ketika insiden ini diumumkan, tempatnya menghilang dari sini. Meski teman-teman sekelasnya pun tidak tahu bahwa Riko Asami adalah saudara Ryuu Miyazaki, sekarang hal itu sudah diketahui seantero negara ini. Foto serta alamatnya terpampang di papan buletin raksasa, dan ia selalu dikejar-kejar oleh media maupun orang-orang yang penasaran, meski sebenarnya ia termasuk korban dari anggota keluarganya.

Asami-san mengundurkan dari sekolah tanpa kami ketahui.

"Kazuki, ada apa? Kau seperti sedang melamun."

Maria menanyaiku setelah menghabiskan mie ramennya.

"Ah, tidak, bukan apa-apa..."

"Kau sedang mengingat Asami, 'kan? ...Ya ampun, di pikiranmu cuma ada cewek."

"Jangan mengatakannya dengan cara yang bikin salah paham..."

Maria tersenyum puas melihat ketergangguanku. Sekarang aku yakin. Ia adalah tipe sadis. Tidak juga sih, aku sudah tahu hal ini sejak lama.

"Kau tidak perlu cemas soal Asami. Kau sudah tahu, ‘kan?"

Kata Maria sambil tersenyum.

Aku pun, diam-diam tersenyum dan mengangguk mendengar kata-kata itu.

Ya, aku tidak khawatir dengannya.

Aku mengambil ponselku dan membuka file suara terbaru.

«Selamat pagi, Kazuki Hoshino-kun. Atau harus kubilang, selamat berjumpa kembali?»

Sapaan ini sama persis dengan kali pertamanya. Kecuali, ini bukan suara dari Kazuki Hoshino, melainkan milik seorang perempuan.

Suara Riko Asami.

Menurut keterangan file, waktu pembuatan file ini adalah pukul 02.00 tanggal 6 Mei. Hanya sekitar saat aku dan Maria meninggalkan restoran keluarga. Aku tidak tahu kapan ia mencuri ponselku, tetapi Maria diam-diam mempercayakan ponsel ini padanya.

Agar ia dapat meninggalkan pesan ini.

«Apa yang harus kukatakan? Apa mungkin : Maaf untuk semua masalah ini? Jika kau memaafkanku hanya dengan kata-kata itu, aku akan mengatakannya sebanyak yang kau mau. Tapi kurasa itu tidak mungkin. Kau tidak akan memaafkanku, dan itu pun memang salahku.»

Itu sama sekali tidak benar. Lagipula, dendam adalah halangan dalam kehidupan sehari-hari.

«Sama halnya, kupikir dosa Nii-san juga tidak akan pernah terampuni, tak peduli sebanyak apapun hukuman yang dia jalani. Dia mungkin saja berada di dalam penjara 10 tahun, 20 tahun, atau lebih lama lagi, namun dosanya tidak akan termaafkan meski ia sudah bebas nanti. Keputusannya, meskipun itu demi diriku, tetap tidak benar. Aku yakin pelan-pelan dia akan sadar berat dari dosanya. Kupikir hatinya juga akan patah untuk beberapa kali. Tapi, kau tahu? Dia pasti baik-baik saja! Lagipula, Nii-san bilang «aku melakukannya tepat pada waktunya» saat mengetahui semua ini.»

Suaranya cerah dan sama sekali tidak terkesan berpura-pura.

Tak diragukan lagi, itu adalah perasaan Asami-san yang sebenarnya.

«Aku juga baik-baik saja. Aku akhirnya sadar. Aku tidak akan melupakan hal ini lagi.»

Ia tahu bahwa ia akan harus melewati masalah-masalah yang besar. Ia sudah tahu bahwa ia tidak akan kembali ke sekolah ini untuk kedua kalinya.

Dan meskipun demikian, ia berkata:

«Aku adalah Riko Asami.»

Pesan berakhir di sini.

Aku tidak tahu penderitaan seperti apa yang harus ditanggungnya. Tapi dia tidak akan pernah menyebut dirinya "bukan siapa-siapa" lagi.

Jadi, dia akan baik-baik saja.

Pasti.

Asami-san tidak memberitahu siapapun ke mana ia pergi—bahkan Maria pun tidak ia beritahu. Jadi, aku tidak memiliki suatu dasar, kecuali sebuah rumor yang kudengar beberapa kali.

Konon, Riko Asami tinggal dan bekerja di sebuah peternakan di Hokkaido.

Kuharap itu benar. Kuharap dia membangun sebuah tempat kembali bagi Miyazaki-kun di sana.

Mungkin aku yakin bahwa dia mampu melakukannya karena aku optimis. Meski begitu, aku bisa percaya.

Aku bisa percaya bahwa mereka akan mendapatkan kembali sebuah kehidupan di mana mereka bisa tertawa bahagia bersama-sama lagi.


"Aah, jadi kau sedang bersama Otonashi."

Lamunanku buyar ketika aku mendengar kata-kata itu. Aku mengangkat kepalaku ke arah suara yang kurindukan.

Daiya berdiri di depanku.

Meskipun belum berbicara denganku sejak dia memukulku, ia duduk di sebelah Maria seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

...A-Ada apa? Apa mungkin dia ingin berdamai denganku? Semoga saja, tapi aku tidak berpikir dia bisa menyampaikannya dengan jujur.

"Kazuki."

"Y-Ya?"

"Aku sudah dengar alasan tentang kelakuanmu yang tidak masuk akal itu."

Apa Kokone memberitahunya apa yang kami bicarakan di rumah sakit?

Daiya menyeringai lebar padaku, yang keheranan. Dalam sekilas, aku menyadari suatu hal. Tindikan yang awalnya hanya tersemat di telinga kirinya kini juga dapat terlihat di telinga kanannya.

Daiya kemudian berkata:

"Kau punya hubungan dengan 'O', ‘kan?"



Sebelumnya 5 Mei (Selasa) Hari Anak Kembali ke Main Page Selanjutnya Catatan Pengarang