Difference between revisions of "Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 2"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 61: Line 61:
 
Ini memang benar sebuah formulir pendaftaran klub. Ketika melihat nama dari klub yang tertulis, Satoshi mengangkat alisnya.
 
Ini memang benar sebuah formulir pendaftaran klub. Ketika melihat nama dari klub yang tertulis, Satoshi mengangkat alisnya.
   
"Klub Klasik?"
+
"Klub Sastra Klasik?"
   
 
"Kau pernah mendengarnya?"
 
"Kau pernah mendengarnya?"
   
"Tentu saja, tapi, kenapa Klub Klasik? Apakah kau tiba-tiba menemukan minat pada sastra klasik?"
+
"Tentu saja, tapi, kenapa Klub Sastra Klasik? Apakah kau tiba-tiba menemukan minat pada sastra klasik?"
   
 
Sekarang bagaimana aku harus menjelaskan ini? Aku menggaruk kepala dan mengambil lembaran kertas yang lainnya dari dalam sakuku. Itu adalah sebuah surat dengan tulisan tangan yang terlihat tergesa-gesa, yang lalu aku berikan kepada Satoshi.
 
Sekarang bagaimana aku harus menjelaskan ini? Aku menggaruk kepala dan mengambil lembaran kertas yang lainnya dari dalam sakuku. Itu adalah sebuah surat dengan tulisan tangan yang terlihat tergesa-gesa, yang lalu aku berikan kepada Satoshi.
Line 76: Line 76:
 
Kenapa ia terlihat begitu riang gembira? Meskipun, ia sadar bahwa aku menunjukan ekspresi yang pahit. Surat yang sejak tadi pagi datang dari India ini berusaha untuk membuat sebuah penyesuaian terhadap gaya hidupku. Oreki Tomoe memang selalu seperti itu, mengirim surat untuk menggeser jalur hidupku keluar.
 
Kenapa ia terlihat begitu riang gembira? Meskipun, ia sadar bahwa aku menunjukan ekspresi yang pahit. Surat yang sejak tadi pagi datang dari India ini berusaha untuk membuat sebuah penyesuaian terhadap gaya hidupku. Oreki Tomoe memang selalu seperti itu, mengirim surat untuk menggeser jalur hidupku keluar.
   
'Houtarou, selamatkan Klub Klasik, tempat kakakmu menghabiskan masa muda.'
+
'Houtarou, selamatkan Klub Sastra Klasik, tempat kakakmu menghabiskan masa muda.'
   
 
Ketika aku membuka amplop dan membacanya dengan singkat pada pagi ini, aku menjadi sadar akan sifat egoisnya yang tertulis. Aku tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kenangan masa muda kakakku, tapi...
 
Ketika aku membuka amplop dan membacanya dengan singkat pada pagi ini, aku menjadi sadar akan sifat egoisnya yang tertulis. Aku tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kenangan masa muda kakakku, tapi...
Line 94: Line 94:
 
"... Tidak, bukan itu yang kumaksud."
 
"... Tidak, bukan itu yang kumaksud."
   
Setelah menengadahkan pandangannya dari surat itu, Satoshi mengatakannya dengan nada yang riang namun aneh. Ia menepuk surat itu dibalik telapak tangannya dan berkata, "Saat ini Klub Klasik tidak ada anggotanya, kan? Artinya hanya kau sendiri yang akan menjaga ruangan klubnya. Bagus kan? Sebuah markas pribadi dalam lingkungan sekolah milikmu sendiri."
+
Setelah menengadahkan pandangannya dari surat itu, Satoshi mengatakannya dengan nada yang riang namun aneh. Ia menepuk surat itu dibalik telapak tangannya dan berkata, "Saat ini Klub Sastra Klasik tidak ada anggotanya, kan? Artinya hanya kau sendiri yang akan menjaga ruangan klubnya. Bagus kan? Sebuah markas pribadi dalam lingkungan sekolah milikmu sendiri."
   
 
Sebuah markas pribadi?
 
Sebuah markas pribadi?
Line 118: Line 118:
 
"... Fight! Fight! Fight!..."
 
"... Fight! Fight! Fight!..."
   
Aku tidak ingin melibatkan diriku untuk membuang energi yang kupakai untuk hal semacam itu. Jangan salah paham, aku tidak berkata jika menghemat energi yang kumaksud adalah kehendak yang superior<ref>Maksudnya "superior" disini adalah bersifat seperti orang yang lebih tinggi kedudukannya.</ref>, jadi aku sama sekali tidak menganggap mereka yang selalu aktif adalah orang bodoh. Aku melangkah menuju ruangan Klub Klasik sambil mendengar mereka melanjutkan seruannya.
+
Aku tidak ingin melibatkan diriku untuk membuang energi yang kupakai untuk hal semacam itu. Jangan salah paham, aku tidak berkata jika menghemat energi yang kumaksud adalah kehendak yang superior<ref>Maksudnya "superior" disini adalah bersifat seperti orang yang lebih tinggi kedudukannya.</ref>, jadi aku sama sekali tidak menganggap mereka yang selalu aktif adalah orang bodoh. Aku melangkah menuju ruangan Klub Sastra Klasik sambil mendengar mereka melanjutkan seruannya.
   
Aku berjalan di sepanjang lorong yang berubin dan naik ke lantai 3. Ketika kulihat penjaga sekolah yang membawa tangga yang besar, aku bertanya kepadanya dimana ruangan Klub Klasik berada, dan diarahkan menuju Ruang Pembelajaran Geologi di lantai 4 Blok Kejuruan.
+
Aku berjalan di sepanjang lorong yang berubin dan naik ke lantai 3. Ketika kulihat penjaga sekolah yang membawa tangga yang besar, aku bertanya kepadanya dimana ruangan Klub Sastra Klasik berada, dan diarahkan menuju Ruang Pembelajaran Geologi di lantai 4 Blok Kejuruan.
   
 
Sekolah ini, SMA Kamiyama, baik jumlah siswa maupun luas area kampus, sama-sama memiliki angka yang sangat besar.
 
Sekolah ini, SMA Kamiyama, baik jumlah siswa maupun luas area kampus, sama-sama memiliki angka yang sangat besar.
   
Jumlah seluruh siswa ada sekitar seribu. Meskipun sekolah ini menyediakan kurikulum untuk mengikuti ujian ke universitas, bidang akademik bukanlah satu-satunya hal yang dinilai. Dengan kata lain, ini adalah sekolah SMA biasa. Disamping itu, sekolah ini mempunyai jumlah klub yang luar biasa banyak (seperti Klub Melukis atau Klub A Capella, seperti halnya Klub Klasik), karena itu sekolah ini sangat dikenal mempunyai Festival Budaya yang diselenggarakan setiap tahun.
+
Jumlah seluruh siswa ada sekitar seribu. Meskipun sekolah ini menyediakan kurikulum untuk mengikuti ujian ke universitas, bidang akademik bukanlah satu-satunya hal yang dinilai. Dengan kata lain, ini adalah sekolah SMA biasa. Disamping itu, sekolah ini mempunyai jumlah klub yang luar biasa banyak (seperti Klub Melukis atau Klub A Capella, seperti halnya Klub Sastra Klasik), karena itu sekolah ini sangat dikenal mempunyai Festival Budaya yang diselenggarakan setiap tahun.
   
Dalam wilayah kampus terdapat tiga gedung besar. Blok Umum yang merupakan ruang kelas reguler, Blok Kejuruan untuk ruang kelas kejuruan, dan Gimnasium. Ini sangat normal, sungguh. Terdapat pula Dojo Seni Bela Diri dan Ruang Penyimpanan Peralatan Olahraga. Lantai empat Blok Kejuruan dimana ruangan Klub Klasik berada, relatif terpencil.
+
Dalam wilayah kampus terdapat tiga gedung besar. Blok Umum yang merupakan ruang kelas reguler, Blok Kejuruan untuk ruang kelas kejuruan, dan Gimnasium. Ini sangat normal, sungguh. Terdapat pula Dojo Seni Bela Diri dan Ruang Penyimpanan Peralatan Olahraga. Lantai empat Blok Kejuruan dimana ruangan Klub Sastra Klasik berada, relatif terpencil.
   
 
Sementara aku mengutuk perilaku yang memboroskan energi, aku berjalan melintasi lorong penghubung dan naik ke lantai empat, di mana aku dapat menemukan dengan cepat Ruang Geologi. Tanpa ragu aku segera menggeser pintunya agar terbuka, namun pintunya terkunci. Tidak heran, kabanyakan ruang kejuruan memang biasanya terkunci. Kuambil kunci yang telah kupinjam sebelumnya agar aku bisa menghemat energi, dan kubuka pintunya.
 
Sementara aku mengutuk perilaku yang memboroskan energi, aku berjalan melintasi lorong penghubung dan naik ke lantai empat, di mana aku dapat menemukan dengan cepat Ruang Geologi. Tanpa ragu aku segera menggeser pintunya agar terbuka, namun pintunya terkunci. Tidak heran, kabanyakan ruang kejuruan memang biasanya terkunci. Kuambil kunci yang telah kupinjam sebelumnya agar aku bisa menghemat energi, dan kubuka pintunya.
Line 134: Line 134:
 
Apa tadi kubilang kosong? Tidak, itu tidak sesuai dengan apa yang aku sangka.
 
Apa tadi kubilang kosong? Tidak, itu tidak sesuai dengan apa yang aku sangka.
   
Dalam sinar matahari senja yang menyelimuti seluruh Ruang Geologi, yang juga ruang Klub Klasik, ada seseorang di dalamnya.
+
Dalam sinar matahari senja yang menyelimuti seluruh Ruang Geologi, yang juga ruang Klub Sastra Klasik, ada seseorang di dalamnya.
   
 
Seorang siswa sedang berdiri disamping jendela dan menatapku. Tidak, dia seorang gadis, lebih tepatnya dia adalah seorang siswi.
 
Seorang siswa sedang berdiri disamping jendela dan menatapku. Tidak, dia seorang gadis, lebih tepatnya dia adalah seorang siswi.
Line 142: Line 142:
 
Ia bukanlah gadis yang kukenal.
 
Ia bukanlah gadis yang kukenal.
   
Namun ketika ia melihatku, dia tersenyum dan berkata, "Halo. Kamu pasti Oreki-san dari Klub Klasik, benar?"
+
Namun ketika ia melihatku, dia tersenyum dan berkata, "Halo. Kamu pasti Oreki-san dari Klub Sastra Klasik, benar?"
   
 
"... Siapa ya?" <!-- aku berfikir 'kamu siapa?' atau 'siapa kamu' kedengaran lebih sopan, tapi aku tidak yakin houtaro menggunakan bahasa sopan atau tidak di novel aslinya -Tony --> <!-- dalam versi anime Oreki mengatakan 'Dare da?' jadi saya pikir lebih sesuai diganti dengan 'Siapa ya?' -Gin -->
 
"... Siapa ya?" <!-- aku berfikir 'kamu siapa?' atau 'siapa kamu' kedengaran lebih sopan, tapi aku tidak yakin houtaro menggunakan bahasa sopan atau tidak di novel aslinya -Tony --> <!-- dalam versi anime Oreki mengatakan 'Dare da?' jadi saya pikir lebih sesuai diganti dengan 'Siapa ya?' -Gin -->
Line 182: Line 182:
 
Tetap saja, bisa jadi ini semua hanya kebetulan. Lagi pula, orang yang berbeda akan menafsirkan arti yang berbeda dari membaca artikel koran yang sama. Aku membangkitkan kembali akal sehatku dan bertanya, "Jadi, Chitanda-san. Kenapa ada di Ruang Geologi ini?"
 
Tetap saja, bisa jadi ini semua hanya kebetulan. Lagi pula, orang yang berbeda akan menafsirkan arti yang berbeda dari membaca artikel koran yang sama. Aku membangkitkan kembali akal sehatku dan bertanya, "Jadi, Chitanda-san. Kenapa ada di Ruang Geologi ini?"
   
Ia dengan cepat memjawab, "Saya telah bergabung dengan Klub Klasik, jadi kupikir saya harus menyambutmu."
+
Ia dengan cepat memjawab, "Saya telah bergabung dengan Klub Sastra Klasik, jadi kupikir saya harus menyambutmu."
   
Telah bergabung dengan Klub Klasik, dengan kata lain, seorang anggota.
+
Telah bergabung dengan Klub Sastra Klasik, dengan kata lain, seorang anggota.
   
Di saat itu aku berharap agar dia mengerti perasaanku. Jika dia bergabung dengan klub, itu berarti akhir dari markas pribadiku dan kewajiban kepada kakakku. Aku tidak punya alasan lagi bergabung dengan Klub Klasik. Aku mengeluh dalam hati... Usahaku telah sia-sia. Sementara memikirkannya, aku bertanya, "Kenapa kamu bergabung dengan Klub Klasik?"
+
Di saat itu aku berharap agar dia mengerti perasaanku. Jika dia bergabung dengan klub, itu berarti akhir dari markas pribadiku dan kewajiban kepada kakakku. Aku tidak punya alasan lagi bergabung dengan Klub Sastra Klasik. Aku mengeluh dalam hati... Usahaku telah sia-sia. Sementara memikirkannya, aku bertanya, "Kenapa kamu bergabung dengan Klub Sastra Klasik?"
   
Aku tidak ingin bergabung dengan Klub Klasik! Aku berusaha menyampaikan pesan tersirat ini pada pertanyaanku, tapi sepertinya ia sama sekali tidak mengerti.
+
Aku tidak ingin bergabung dengan Klub Sastra Klasik! Aku berusaha menyampaikan pesan tersirat ini pada pertanyaanku, tapi sepertinya ia sama sekali tidak mengerti.
   
 
"Emm, saya memiliki alasan pribadi untuk bergabung."
 
"Emm, saya memiliki alasan pribadi untuk bergabung."
Line 214: Line 214:
 
... Hmmm, tanpa izin ya?
 
... Hmmm, tanpa izin ya?
   
"Saya Oreki Houtarou dari kelas 1-B. Oh ya, pak, ini adalah ruang Klub Klasik, dan saya khawatir Anda mengganggu aktivitas klub kami,"
+
"Saya Oreki Houtarou dari kelas 1-B. Oh ya, pak, ini adalah ruang Klub Sastra Klasik, dan saya khawatir Anda mengganggu aktivitas klub kami,"
   
"Klub Klasik...?"
+
"Klub Sastra Klasik...?"
   
 
Tanpa menghilangkan kecurigaannya, ia melanjutkan, "Kupikir itu sudah dibubarkan."
 
Tanpa menghilangkan kecurigaannya, ia melanjutkan, "Kupikir itu sudah dibubarkan."
Line 284: Line 284:
 
"Pintunya tidak terkunci ketika aku masuk. Kupikir sudah ada yang masuk sebelum aku datang, jadi aku tidak membutuhkan kunci untuk masuk."
 
"Pintunya tidak terkunci ketika aku masuk. Kupikir sudah ada yang masuk sebelum aku datang, jadi aku tidak membutuhkan kunci untuk masuk."
   
Begitu. Karena ia tidak menerima surat dari mantan anggota seperti yang aku punya, dia tidak tahu bahwa tidak ada anggota lain yang ada di Klub Klasik.
+
Begitu. Karena ia tidak menerima surat dari mantan anggota seperti yang aku punya, dia tidak tahu bahwa tidak ada anggota lain yang ada di Klub Sastra Klasik.
   
 
"Benarkah? Saat aku masuk pintunya telah terkunci."
 
"Benarkah? Saat aku masuk pintunya telah terkunci."
Line 332: Line 332:
 
| Kembali ke [[Hyouka (Bahasa Indonesia)|Halaman Utama]]
 
| Kembali ke [[Hyouka (Bahasa Indonesia)|Halaman Utama]]
 
| Kembali ke [[Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 1|1 - Surat dari Benares]]
 
| Kembali ke [[Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 1|1 - Surat dari Benares]]
| Lanjut ke [[Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 3|3 - Aktifitas-aktifitas Klub Klasik yang Bergengsi]]
+
| Lanjut ke [[Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 3|3 - Aktifitas-aktifitas Klub Sastra Klasik yang Bergengsi]]
 
|-
 
|-
 
|}
 
|}

Revision as of 04:49, 28 October 2013

Sering dikatakan bahwa kehidupan di masa SMA itu berwarna seperti mawar. Dengan tibanya akhir dari tahun 2000, kedatangan hari yang cocok dengan deskripsi seperti yang di definisikan pada kamus Jepang tersebut sudah tidak jauh lagi.

Namun, tidak berarti bahwa semua siswa SMA mengharapkan hal semacam kehidupan yang berwarna mawar itu. Apakah itu dalam belajar, olahraga atau percintaan, akan selalu ada beberapa orang yang lebih menyukai kehidupan yang berwarna abu-abu daripada semua itu; aku tahu beberapa orang dalam perhitunganku. Tetap saja, itu sebuah cara yang kesepian untuk menjalani sebuah kehidupan.

Disini, aku telah memulai sebuah percakapan dengan topik semacam itu bersama teman lamaku Fukube Satoshi dalam ruangan kelas yang disinari cahaya matahari senja. Seperti biasanya, Satoshi menampilkan senyum di wajahnya dan berkata, "Begitulah yang kupikirkan. Ngomong-ngomong, aku tidak pernah tahu kalau kau begitu masokhistis[1]."

Betapa salahnya dia. Karenanya aku memprotes, "Apa kau mengatakan kalau hidupku berwarna abu-abu?"

"Apa aku berkata seperti itu? Tapi Houtarou, apakah itu dalam belajar, olahraga, atau apa tadi yang lainnya? Percintaan? Aku tidak pernah berpikir kau akan memandang ke depan hal-hal tersebut."

"Tentunya aku tidak memandang ke belakang juga."

"Ya, benar."

Senyuman Satoshi semakin lebar.

"Lagi pula kau hanya 'menghemat energi'."

Aku menyetujuinya dengan mendengus. Tidak apa selama kau mengerti bahwa aku tidak benar-benar benci membuat diriku aktif. Aku cuma tidak suka menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang merepotkan. Gaya hidupku adalah untuk menghemat energi untuk kemajuan planet ini. Dengan kata lain, "Jika aku tidak harus melakukannya, aku tidak akan melakukannya. Jika aku harus melakukannya, lakukan secepat mungkin."

Selagi aku mengucapkan motoku, Satoshi mengangkat bahunya seperti biasa.

"Apapun itu menghemat energi atau sinisme, itu adalah hal yang sama, kan? Pernahkah kamu mendengar tentang instrumentalisme[2][3]?"

"Tidak."

"Singkatnya, itu berarti untuk orang sepertimu yang tidak mempunyai ketertarikan tertentu, cuma dengan melihat fakta bahwa kau tidak mengikuti klub mana pun di sini, di SMA Kamiyama, Tanah Suci-nya aktivitas klub SMA, membuatmu menjadi seorang yang berwarna abu-abu."

"Apa? Apa kamu mengatakan kalau kematian karena pembunuhan itu tidak berbeda dari kematian karena kelalaian?"

Satoshi menjawab tanpa keraguan, "Dari sebuah perspektif tertentu, iya. Meskipun itu masalah yang berbeda sepenuhnya jika kamu mencoba meyakinkan orang mati bahwa kematiannya dikarenakan kelalaianmu agar bisa menenangkan jiwanya."

"..."

Dasar muka tebal sialan. Sekali lagi aku melihat orang di depanku. Fukube Satoshi, teman lamaku, lawan yang pantas dan rival yang mematikan, ia mempunyai badan yang agak pendek untuk seorang lelaki. Bahkan sebagai seorang siswa SMA, dia bisa saja dikelirukan dengan seorang yang terlihat feminim dan lemah, tapi dia sangat berbeda di dalam. Sungguh sulit untuk menjelaskan apa perbedaannya—bagaimanapun, dia hanya berbeda. Disamping tersenyum sepanjang waktu, dia selalu terlihat dengan sebuah tas bertali, sebagaimana ia adalah seorang yang bermuka tebal. Dia juga seorang anggota Klub Kerajinan Tangan, jangan tanya padaku kenapa.

Berdebat dengannya hanya membuang tenaga saja. Aku melambaikan tangan untuk menandakan akhir dari percakapan ini.

"Yah, terserah. Sudahlah pulang duluan saja sana."

"Ya, kau benar. Aku tidak punya kegiatan klub apapun hari ini... mungkin aku akan pulang duluan."

Selagi ia meregangkan pinggangnya, tiba-tiba ia menyadari sesuatu dan menatapku.

"'Pulang duluan saja'? Sangat jarang mendengar kata itu darimu."

"Apa?"

"Kalau pulang ke rumah, bukankah kau biasa melakukannya terlebih dahulu sebelum mengatakan kalimat itu? Urusan apa yang akan kau lakukan sepulang sekolah ketika kau tidak mengikuti klub manapun?"

"Ah."

Aku mengangkat alisku dan mengambil selembar kertas dari dalam saku jaket seragamku. Setelah dengan tenang memberikannya kepada Satoshi, matanya terbuka lebar dalam ketakjuban. Tidak, ia memberi reaksi yang berlebihan. Ini tidak seperti jika ia benar-benar terkejut, walaupun benar bahwa matanya terbuka lebar. Lagi pula ia memang selalu bereaksi secara berlebihan.

"Apa?! Bagaimana bisa?!"

"Satoshi, tenangkan dirimu."

"Bukankah ini formulir pendaftaran klub? Aku terkejut. Ada apakah gerangan yang terjadi? Untuk Houtarou benar-benar bergabung dengan sebuah klub..."

Ini memang benar sebuah formulir pendaftaran klub. Ketika melihat nama dari klub yang tertulis, Satoshi mengangkat alisnya.

"Klub Sastra Klasik?"

"Kau pernah mendengarnya?"

"Tentu saja, tapi, kenapa Klub Sastra Klasik? Apakah kau tiba-tiba menemukan minat pada sastra klasik?"

Sekarang bagaimana aku harus menjelaskan ini? Aku menggaruk kepala dan mengambil lembaran kertas yang lainnya dari dalam sakuku. Itu adalah sebuah surat dengan tulisan tangan yang terlihat tergesa-gesa, yang lalu aku berikan kepada Satoshi.

"Bacalah."

Dengan segera Satoshi mengambil surat itu dan membacanya, dan seperti yang diharapkan, ia mulai tertawa. "Haha, Houtarou, pasti itu menyusahkanmu. Sebuah permintaan dari kakakmu, hah? Tidak ada cara yang bisa kaulakukan untuk menolaknya."

Kenapa ia terlihat begitu riang gembira? Meskipun, ia sadar bahwa aku menunjukan ekspresi yang pahit. Surat yang sejak tadi pagi datang dari India ini berusaha untuk membuat sebuah penyesuaian terhadap gaya hidupku. Oreki Tomoe memang selalu seperti itu, mengirim surat untuk menggeser jalur hidupku keluar.

'Houtarou, selamatkan Klub Sastra Klasik, tempat kakakmu menghabiskan masa muda.'

Ketika aku membuka amplop dan membacanya dengan singkat pada pagi ini, aku menjadi sadar akan sifat egoisnya yang tertulis. Aku tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kenangan masa muda kakakku, tapi...

"Apa keahlian kakakmu? Jujutsu?"

"Aikido dan Taiho-jutsu[4]. Itu bisa sangat menyakitkan jika ada salah satunya yang ingin menyakiti."

Ya, kakakku, seorang mahasiswi yang pandai secara akademis maupun dalam seni bela diri, tidak berhasrat untuk menaklukkan Jepang saja, dan telah memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan menantang dunia. Tidaklah bijak untuk mendatangkan kemarahannya.

Ditambah lagi, di saat aku bisa melawan dengan sedikit kebanggaan yang kumiliki, memang benar aku punya alasan kecil untuk menentangnya. Memang kakakku telah tepat sasaran dengan menujukkan bahwa aku tidak punya apapun yang bisa kulakukan dengan lebih baik. Aku telah memutuskan bahwa mungkin aku menjadi anggota klub yang semu daripada siswa yang tidak berafiliasi, dan juga tanpa keraguan, "aku sampaikan surat pendaftaran ini tadi pagi".

"Kau tahu apa artinya ini, Houtarou?"

Ucap Satoshi sambil melirik surat Kakak dengan sepintas. Aku berkata dengan nada mengeluh, "Yah, ini semua terlihat tidak ada manfaatnya."

"... Tidak, bukan itu yang kumaksud."

Setelah menengadahkan pandangannya dari surat itu, Satoshi mengatakannya dengan nada yang riang namun aneh. Ia menepuk surat itu dibalik telapak tangannya dan berkata, "Saat ini Klub Sastra Klasik tidak ada anggotanya, kan? Artinya hanya kau sendiri yang akan menjaga ruangan klubnya. Bagus kan? Sebuah markas pribadi dalam lingkungan sekolah milikmu sendiri."

Sebuah markas pribadi?

"... Sebuah cara yang bagus dalam memandang hal ini."

"Bukankah kau menyukainya?"

Jalan pikiran yang aneh. Pada dasarnya Satoshi mengatakan bahwa aku bisa memiliki markas pribadi di sekolah. Bisa saja aku tidak pernah mempunyai ide seperti itu. Sebuah ruang rahasia, hah? Bukannya aku menginginkannya dan akan berusaha untuk itu... Tapi tidak begitu buruk jika digunakan untuk tempat bersantai. Kuambil kembali surat itu dari tangan Satoshi dan menjawab, "Kupikir tidak terlalu buruk. Aku mungkin akan melihatnya."

"Bagus. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk tidak mencobanya."

Mencoba kesempatan yang ada, begitu ya? Yah, sepertinya ini tidak terlalu berlawanan dengan kepribadianku, jadi aku tersenyum dengan pahit dan mengangkat tas bahuku.

Aku masih tetap percaya kepada motoku sendiri.



Dari jendela yang terbuka, bisa terdengar seruan dari Tim Atletik.

"... Fight! Fight! Fight!..."

Aku tidak ingin melibatkan diriku untuk membuang energi yang kupakai untuk hal semacam itu. Jangan salah paham, aku tidak berkata jika menghemat energi yang kumaksud adalah kehendak yang superior[5], jadi aku sama sekali tidak menganggap mereka yang selalu aktif adalah orang bodoh. Aku melangkah menuju ruangan Klub Sastra Klasik sambil mendengar mereka melanjutkan seruannya.

Aku berjalan di sepanjang lorong yang berubin dan naik ke lantai 3. Ketika kulihat penjaga sekolah yang membawa tangga yang besar, aku bertanya kepadanya dimana ruangan Klub Sastra Klasik berada, dan diarahkan menuju Ruang Pembelajaran Geologi di lantai 4 Blok Kejuruan.

Sekolah ini, SMA Kamiyama, baik jumlah siswa maupun luas area kampus, sama-sama memiliki angka yang sangat besar.

Jumlah seluruh siswa ada sekitar seribu. Meskipun sekolah ini menyediakan kurikulum untuk mengikuti ujian ke universitas, bidang akademik bukanlah satu-satunya hal yang dinilai. Dengan kata lain, ini adalah sekolah SMA biasa. Disamping itu, sekolah ini mempunyai jumlah klub yang luar biasa banyak (seperti Klub Melukis atau Klub A Capella, seperti halnya Klub Sastra Klasik), karena itu sekolah ini sangat dikenal mempunyai Festival Budaya yang diselenggarakan setiap tahun.

Dalam wilayah kampus terdapat tiga gedung besar. Blok Umum yang merupakan ruang kelas reguler, Blok Kejuruan untuk ruang kelas kejuruan, dan Gimnasium. Ini sangat normal, sungguh. Terdapat pula Dojo Seni Bela Diri dan Ruang Penyimpanan Peralatan Olahraga. Lantai empat Blok Kejuruan dimana ruangan Klub Sastra Klasik berada, relatif terpencil.

Sementara aku mengutuk perilaku yang memboroskan energi, aku berjalan melintasi lorong penghubung dan naik ke lantai empat, di mana aku dapat menemukan dengan cepat Ruang Geologi. Tanpa ragu aku segera menggeser pintunya agar terbuka, namun pintunya terkunci. Tidak heran, kabanyakan ruang kejuruan memang biasanya terkunci. Kuambil kunci yang telah kupinjam sebelumnya agar aku bisa menghemat energi, dan kubuka pintunya.

Setelah pintunya tak terkunci, aku menggesernya sampai terbuka. Dalam Ruang Geologi yang kosong, matahari terbenam dapat terlihat dari jendelanya yang menghadap ke arah barat.

Apa tadi kubilang kosong? Tidak, itu tidak sesuai dengan apa yang aku sangka.

Dalam sinar matahari senja yang menyelimuti seluruh Ruang Geologi, yang juga ruang Klub Sastra Klasik, ada seseorang di dalamnya.

Seorang siswa sedang berdiri disamping jendela dan menatapku. Tidak, dia seorang gadis, lebih tepatnya dia adalah seorang siswi.

Meski "anggun" dan "rapi" bukanlah kata-kata pertama yang tepat tersirat dalam pikiranku ketika aku melihatnya, kupikir tidak ada kata-kata yang lain untuk menggambarkan dirinya dengan baik. Rambut panjangnya melambai melewati kedua pundaknya, dan seragam pelautnya sangat cocok dikenakan olehnya. Dia cukup tinggi untuk seorang gadis, mungkin dia lebih tinggi dari Satoshi. Ketika aku mengetahuinya dengan jelas bahwa ia adalah seorang siswi SMA, bibir tipis dan sosoknya yang seperti penuh dengan pengharapan, memperkuat pandanganku tentang bagaimanakah kelihatannya seorang siswi SMA yang bergaya zaman dulu. Yang membedakannya adalah kedua pupil matanya yang begitu besar, dan dibanding terlihat anggun, keduanya terlihat begitu bersemangat.

Ia bukanlah gadis yang kukenal.

Namun ketika ia melihatku, dia tersenyum dan berkata, "Halo. Kamu pasti Oreki-san dari Klub Sastra Klasik, benar?"

"... Siapa ya?"

Kutanya dengan terus terang. Walau aku tidak pernah berinteraksi dengan baik terhadap orang-orang, aku tidak bermaksud untuk memperlakukan dengan dingin orang yang pertama kali kutemui. Di saat ketika aku tidak mengenalinya, untuk beberapa alasan, ia terlihat seperti mengenaliku.

"Tidakkah kamu mengingatku? Namaku Chitanda, Chitanda Eru."

Chitanda Eru. Meskipun ia telah memberitahukan namanya, aku masih belum mendapat petunjuk. Bagaimana pun, Chitanda adalah nama belakang yang cukup jarang, begitu pula dengan nama depannya, Eru. Rasanya mustahil bagiku untuk melupakan nama semacam itu.

Aku melihat lagi gadis yang dipanggil Chitanda itu. Setelah memastikan bahwa aku tidak mengenalnya, aku menjawab, "Maaf, kurasa aku tidak ingat siapa kamu."

Sambil mempertahankan senyumannya, dia memiringkan kepalanya, seperti kebingungan.

"Kamu Oreki-san, kan? Oreki Houtarou dari Kelas 1-B?"

Aku mengangguk.

"Saya dari kelas 1-A."

Jadi apakah kau mengingatnya sekarang? Apakah dia terlihat seperti mengisyaratkan bahwa... Begitu buruknya ingatanku ?

Tunggu dulu. Aku dari Kelas B dan dia dari Kelas A, apakah ada kesempatan bagi kami untuk bertemu sebelumnya?

Meski sesama kelas 1, sama sekali tidak mungkin untuk para siswa yang berbeda kelas untuk saling berinteraksi. Kesempatan yang ada hanya melakukannya lewat kegiatan klub atau hubungan dengan teman. Aku tidak punya kedua penghubung itu. Maka hal ini pasti melibatkan seluruh siswa, namun kejadian semacam itu yang muncul di benakku hanyalah upacara pembukaan semester awal di sekolah. Lagi pula, aku tidak pernah merasa dikenalkan kepada orang lain di luar kelas.

Tidak, tunggu. Aku ingat. Itu dia, ada satu kesempatan bagi kita untuk berinteraksi dengan kelas lain selama pelajaran. Jika saat pelajaran harus menggunakan suatu ruang atau berbagai peralatan, maka akan lebih efisien untuk mengajar lebih dari satu kelas sekaligus. Hal itu berarti selama penjas, atau pelajaran yang berhubungan dengan kesenian. Saat SMP, ada juga kelas kejuruan, tetapi mengingat SMA ini adalah sebuah sekolah yang mengutamakan bidang akademik, ini tidaklah sama. Dan saat penjas siswa dan siswi dipisahkan, itu berarti...

"Mungkinkah kita di kelas yang sama saat pelajaran musik?"

"Ya, itu dia!"

Chitanda menganggukkan kepalanya dengan kuat-kuat.

Meski telah kupikirkan dengan hati-hati, aku masih terkejut. Demi harga diriku yang masih tersisa, harus kuakui bahwa aku hanya hadir sekali dalam beberapa pelajaran seni yang tidak wajib itu semenjak aku medaftar di sekolah ini. Jadi mustahil aku bisa mengingat wajah atau nama!

Tetapi di sisi lain, gadis bernama Chitanda ini bisa mengingatku hanya dengan sekali melihat sebelumnya, jadi ini adalah bukti nyata bahwa itu tidak terlalu mustahil... Biar kuberi tahu, dia pasti mempunyai tingkat kemampuan yang mengerikan dalam meneliti dan mengingat.

Tetap saja, bisa jadi ini semua hanya kebetulan. Lagi pula, orang yang berbeda akan menafsirkan arti yang berbeda dari membaca artikel koran yang sama. Aku membangkitkan kembali akal sehatku dan bertanya, "Jadi, Chitanda-san. Kenapa ada di Ruang Geologi ini?"

Ia dengan cepat memjawab, "Saya telah bergabung dengan Klub Sastra Klasik, jadi kupikir saya harus menyambutmu."

Telah bergabung dengan Klub Sastra Klasik, dengan kata lain, seorang anggota.

Di saat itu aku berharap agar dia mengerti perasaanku. Jika dia bergabung dengan klub, itu berarti akhir dari markas pribadiku dan kewajiban kepada kakakku. Aku tidak punya alasan lagi bergabung dengan Klub Sastra Klasik. Aku mengeluh dalam hati... Usahaku telah sia-sia. Sementara memikirkannya, aku bertanya, "Kenapa kamu bergabung dengan Klub Sastra Klasik?"

Aku tidak ingin bergabung dengan Klub Sastra Klasik! Aku berusaha menyampaikan pesan tersirat ini pada pertanyaanku, tapi sepertinya ia sama sekali tidak mengerti.

"Emm, saya memiliki alasan pribadi untuk bergabung."

Bahkan dia mengelak dari pertanyaanku. Tidak kusangka, Chitanda Eru ini cukup mencurigakan.

"Bagaimana dengan kamu, Oreki-san?"

"Aku?"

Sekarang jadi rumit. Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku rasa dia tidak akan mengerti jika kuberi tahu aku datang kesini karena perintah dari kakakku. Tapi setelah aku memikirkannya, aku sadar bahwa dia tidak perlu mengetahui alasanku juga.

Tiba-tiba pintu terbuka dan terdengar suara nyaring ke dalam ruangan, "Hei! Apa yang kalian lakukan disini?"

Hanya seorang guru. Mungkin sedang patroli setelah pulang sekolah. Dengan tubuh tegap dan kulit berwarna coklat, sepertinya dia guru penjas. Walau dia tidak membawa pedang bambu, tidak terlihat terlalu dibuat-buat untuk membayangkannya. Meski ia telah melewati masa usia prima, ia masih tetap memiliki wibawa semacam itu.

Chitanda mengelak sedikit ke kebelakang ketika diteriaki secara begitu tiba-tiba, tetapi segera ia kembali pada senyumannya yang menenangkan. Lalu ia menyapa guru itu.

"Selamat sore, Morishita-sensei."

Ia membuat salam yang sempurna dari caranya membungkukkan kepala dengan kecepatan dan sudut yang benar. Melihat bagaimana ia mempertahankan sopan santun tanpa menghiraukan keberadaannya, aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali iri kepadanya. Guru yang dipanggil Morishita ini menjadi terdiam sesaat karena sikap hormatnya, tapi segera ia kembali berbicara dengan keras.

"Aku melihat pintunya tidak terkunci, jadi aku kesini untuk memeriksa apa yang terjadi. Apa yang kamu lakukan dengan masuk ke kelas tanpa izin? Siapa namamu dan dari kelas mana?"

... Hmmm, tanpa izin ya?

"Saya Oreki Houtarou dari kelas 1-B. Oh ya, pak, ini adalah ruang Klub Sastra Klasik, dan saya khawatir Anda mengganggu aktivitas klub kami,"

"Klub Sastra Klasik...?"

Tanpa menghilangkan kecurigaannya, ia melanjutkan, "Kupikir itu sudah dibubarkan."

"Yah, sebelumnya memang. Tapi sudah diaktifkan lagi pagi ini. Anda bisa mengkonfirmasinya dengan guru pembina kami, emm..."

"Ooide-sensei,"

"Ya, Anda bisa mengkonfirmasinya dengan Ooide-sensei."

Sebuah penjelasan yang tepat disaat yang tepat. Morishita segera merendahkan volume suaranya.

"Oh. Begitu. Yah, kalau begitu lanjutkan saja."

"Tapi Anda baru saja melihat kami."

"Dan jangan lupa mengembalikan kuncinya jika sudah selesai."

"Baik, pak."

Morishita menatap kami lagi sebelum menutup pintu dengan kasar. Chitanda kembali mengejutkan tubuhnya terhadap suara keras, namun dengan lembut berbisik, "Dia..."

"Hmm?"

"Dia cukup berisik untuk seorang guru."

Aku tersenyum.

Bagaimana pun.

Rasanya aku tidak mempunyai urusan lagi disini.

"Baiklah. Sekarang kita telah selesai dengan perkenalannya, bisakah kita pulang?"

"Hah? Kita tidak melakukan kegiatan apapun hari ini?"

"Yah, aku mau pulang."

Aku mengangkat tas bahuku, yang tidak berisi banyak barang, dan membalikkan punggungku di depan Chitanda.

"Nanti kamu yang harus mengunci pintunya. Tidak mau lagi dimarahi seperti tadi, kan?"

"Eh?"

Lalu aku meneruskan untuk meninggalkan Ruang Geologi.

Atau lebih tepatnya, aku hampir meninggalkannya, ketika aku dihentikan oleh suara Chitanda yang tajam.

"Kumohon tunggu dulu!"

Aku berbalik melihat Chitanda, yang terlihat seperti telah diberitahukan hal yang mustahil, dan yang berbicara dengan polos, "Aku, aku tidak bisa menguncinya."

"Kenapa tidak?"

"Karena aku tidak punya kuncinya."

Oh, ya. Kuncinya ada padaku. Sepertinya tidak banyak kunci cadangan yang tersedia untuk dipinjamkan. Jadi kuambil kuncinya dari saku dan memberikannya.

"Ini, jaga baik-baik... Maaf, maksudku, tolong jaga ini baik-baik, Chitanda-san."

Namun Chitanda tidak menanggapi. Dia menatap dengan polos pada kunci yang tergantung di jariku, dan sebelumnya ia memiringkan kepalanya dan bertanya, "Oreki-san, mengapa kamu membawanya?"

Apa ia kehilangan beberapa sekrup di kepalanya?

"Tentu, aku tidak bisa masuk tanpa kunci... Tunggu dulu, bagaimana bisa kau... maaf, bagaimana tadi kamu bisa masuk ke ruangan ini, Chitanda-san?"

"Pintunya tidak terkunci ketika aku masuk. Kupikir sudah ada yang masuk sebelum aku datang, jadi aku tidak membutuhkan kunci untuk masuk."

Begitu. Karena ia tidak menerima surat dari mantan anggota seperti yang aku punya, dia tidak tahu bahwa tidak ada anggota lain yang ada di Klub Sastra Klasik.

"Benarkah? Saat aku masuk pintunya telah terkunci."

Menjadi sebuah kesalahan bagiku dengan mengucapkannya secara acuh tak acuh, saat ekspresi di kedua bola mata Chitanda yang berubah dengan cepat dan tatapannya yang menjadi tajam. Apakah hanya perasaanku atau kedua pupilnya benar-benar membesar? Tidak peduli dengan ekspresi terkejutku, perlahan ia bertanya padaku, "Saat kamu bilang pintunya terkunci, apakah maksudmu pintu yang tadi kamu masuki?"

Di saat merasa bingung dengan sebuah perubahan ekspresi semacam itu untuk gadis yang lemah gemulai seperti dia, aku mengangguk. Entah itu secara sadar atau tidak, Chitanda maju satu langkah padaku.

"Jadi itu berarti bahwa tadi aku terkunci di dalam, kan?"


Suara pukulan yang dicetak oleh Tim Baseball bisa terdengar jernih dari luar. Sementara aku tidak punya lagi urusan apapun di ruangan ini, Chitanda terlihat seperti ingin bicara sedikit lebih lama lagi. Aku mengeluh dan mengiba, dan meletakkan tasku di meja terdekat.

Terkunci di dalam, itulah yang dikatakan Chitanda. Apa benar begitu? Aku berpikir sedikit. Kuncinya ada padaku, ketika Chitanda ada didalam ruangan. Aku tidak punya ingatan jika aku pernah mengunci pintunya. Jadi jawabannya sederhana.

"Apakah sebelumnya kamu yang mengunci pintunya dari dalam?"

Namun Chitanda menggelengkan kepalanya dan menolaknya dengan tegas.

"Aku tidak pernah melakukannya."

"Yah, kuncinya ada padaku. Siapa lagi yang bisa mengunci pintunya selain kamu?"

"..."

"Nah, adakalanya orang lupa kalau mereka sudah mengunci pintunya atau belum,"

Namun Chitanda tidak terlihat begitu memperhatikan penjelasanku, dan tiba-tiba menunjuk sesuatu di belakangku.

"Ngomong-ngomong, bukankah yang disana itu adalah temanmu?"

Aku berbalik, dan menemukan pandangan sekilas kerah seragam hitam di balik celah pintu yang terbuka sedikit. Tatapannya langsung berhadapan dengan tatapanku. Aku ingat ketika melihat mata berwarna coklat itu yang terlihat seolah-olah sedang tersenyum, jadi kutinggikan suaraku dan memanggilnya, "Satoshi! Buruk sekali kegemaran yang kau lakukan, menguping percakapan orang lain!"

Pintunya telah terbuka, dan seperti yang kuduga, orang yang masuk adalah Fukube Satoshi. Sama sekali tidak merasa malu, dia berkata dengan kurang ajar, "Yah, maaf. Aku tidak bermaksud untuk menguping."

"Mungkin kau memang tidak bermaksud, tapi bagaimanapun tetap saja kau berakhir dengan melakukannya."

"Mungkin memang begitu. Tapi aku hanya tidak bisa menyela ketika melihat Houtarou yang biasanya tidak aktif menghabiskan waktu berharganya dengan seorang gadis di ruang kelas khusus saat senja. Aku tidak ingin mengacaukannya."

Catatan penerjemah dan referensi

  1. Masokhis = Orang yang senang disakiti
  2. http://en.wikipedia.org/wiki/Instrumentalism
  3. http://4diskusi.wordpress.com/2011/03/20/instrumentalisme-john-dewey/
  4. http://en.wikipedia.org/wiki/Taiho_Jutsu
  5. Maksudnya "superior" disini adalah bersifat seperti orang yang lebih tinggi kedudukannya.


Kembali ke Halaman Utama Kembali ke 1 - Surat dari Benares Lanjut ke 3 - Aktifitas-aktifitas Klub Sastra Klasik yang Bergengsi