Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

6 – Masa Lalu Klub Sastra Klasik yang Gemilang

Akhir Juli, dan liburan musim panas sudah dimulai. Seperti biasanya, hari ini aku naik sepadaku menuju SMA Kamiyama. Butuh 20 menit berjalan kaki untuk mencapai sekolah dari rumahku, tapi aku juga tidak tahu butuh berapa lama untuk mencapai sekolah menggunakan sepeda. Sambil beristirahat, aku mampir untuk membeli sekaleng kopi hitam dari sebuah mesin penjual otomatis. Aku lalu mengikuti tepian sungai dan berbelok di rumah sakit sebelum akhirnya sampai di depan SMA Kamiyama. Dan disana, aku berdiri terkagum.

Liburan musim panas seharusnya sudah dimulai.

Tapi lapangan olahraga dipenuhi dengan peralatan dan siswa yang berpakaian seragam musim panas. Aku bisa mendengar music yang dimainkan berbagai alat music tiup, gitar listrik, dan seruling bambu. Meskipun Blok Kelas Khusus agak jauh dari sini, aku tahu disana juga ada banyak siswa. Mereka semua, pastinya, disini utuk mempersiapkan Festival Kanya. Sisi enerjik dari SMA Kamiyama baru mulai lebih aktif sekarang karena memasuki liburan musim panas. Kerumunan orang bergerombol seperti sekelompok semut seakan berkata “Oke, semuanya, festival akan segera datang! Sekarang setelah kelas-kelas yang menyebalkan sudah menyingkir, ayo berjuang!”

Aku memandangi orang-orang yang penuh energy ini sambil melihat ada seseorang yang berlari ke arahku. Fukube Satoshi, berbaju casual dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek, sambil membawa tas gendong kecil yang terlihat sporty di punggungnya.

“Hey,”

“Maaf, nungguin?”

Aku dengan gembira mendengarkan Klub Acapella latihan bernyanyi di lapangan tengah, dan Satoshi membuatku harus menoleh dengan suara yang mengerikan. Aku berpikir untuk memutar sepedaku dan pulang, namun aku berubah pikiran dan berlanjut berjalan ke arahnya dan bergerak seperti akan menendangnya.

“Woah, Houtarou! Kenapa tiba-tiba kau anarkis?”

“Memangnya kau bisa bicara begitu! Apa kamu tidak punya malu, tidak tahu kapan tidak boleh mengganggu ketenangan orang?”

Satoshi mengangkat kedua bahunya.

Sepertinya memang dia tidak punya.

“Maaf, maaf, kumpul Klub Kerajinan Tangan nya agak ngaret”

“Memangnya apa sih yang kalian bicarakan?”

“Kami akan merajut Karpet Mandala seperti milik orang Buddha untuk Festival Kanya. Tapi kami menemui beberapa masalah, jadi kita kumpul untuk membicarakan kemungkinan yang lainnya tadi.”

Well, Kau sudah bekerja keras. Tidak hanya kamu, tapi juga Toogaito, atau bahkan seisi sekolah untuk hal ini.

“Jadi, Kau sudah menyiapkan catatanmu?”

Saat aku bertanya datar, Satoshi hanya melempar balik pertanyaan itu padaku.

“Bagaimana denganmu? Bukan hal yang biasa kau lakukan kan. Sudah ada yang kau pikirkan?”

Aku merasa agak malu untuk menjawab pertanyaannya, jadi ku jawab, “Yaa begitu deh”

“Oh? Jarang-jarang nih. Biasanya kau akan mencoba mencari alasan dan menghindari pertanyaan semacam itu… Yah terserahlah, aku ambil sepedaku dulu, jadi tunggu disini sebentar.”

Kemudian Satoshi dengan seenaknya membuatku menunggu sementara dia berlari menuju tempat parkir sepeda.


Untuk kenapa aku menunggu Satoshi disini ketika semestinya aku sedang tidur seakan tidak ada hari esok selama Libur Musim Panas yang berharga, kita harus kembali ke satu minggu yang lalu, hari dimana kami hampir saja menemukan kebenaran tentang Sekitani Jun, yang seharusnya tertulis di Volume pertama buku antologi “Hyouka”, hanya untuk menemukan bahwa volume tersebut tidak ada. Karena kami tidak bisa maju tanpa volume pertama itu, aku memberitahu diriku untuk tidak bekerja keras untuk mencari jawabannya. Tapi ternyata sudah terlambat, karena aku tanpa sadar sudah menyebrangi sungai Rubicon[1].

Aku tahu tidak ada gunanya membujuk Chitanda untuk melepaskan kasus ini, jadi aku mengajukan jalan tengah. Kalau kita akan menginvestigasi masa lalu, hanya kita berdua tidak cukup. Seperti kata pepatah, “3 berarti ramai”. Mungkin agak sulit baginya, tapi aku menjelaskan padanya kalau kita memiliki kemungkinan yang lebih baik dalam menyelesaikan kasus ini dengan bantuan Satoshin dan Ibara.

Setelah itu, Chitanda mengangguk setuju.

“Kurasa kita tidak punya pilihan lain kalau begitu.”

Meskipun ia meminta untuk menjaga rahasia ini hnaya diantara kami berdua di Café Pineapple Sandwich, aku akhirnya mengecewakannya. Aku tidak tahu apakah karena Chitanda benar-benar menyadari bahwa dia akan membutuhkan semua bantuan yang bisa dia dapat, atau karena dia tidak lagi menganggap penting petunjuk yang ia dapatkan sebelumnya, atau bisa juga karena nona kita ini hanya senang bertindak semaunya; pokoknya, ia mengadakan pertemuan mendadak dengan Klub Sastra Klasik esok harinya.

Disana, Chitanda mengulangi apa yang dia katakan padaku dan menutupnya,

“Saya sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada paman saya 33 tahun yang lalu.”

Ibara langsung menerima tantangan itu.

“Ilustrasi halaman depannya menarik. Kalau kita bisa memecahkan kasus ini dan menemukan latar belakang ceritanya, aku bahkan bisa menggunakannya sebagai materi untuk publikasi di Klub Penelitian Manga.”

Satoshi menambahkan, “Kisah Fiksi Heroik dipecahkan oleh junior mereka 33 tahun kemudian, ya? Aku juga kebetulan sedang meneliti hal-hal dari periode itu.”

Dan setuju dengan kedua tangan terangkat. Sementara aku tidak ada keinginan untuk bicara, karena aku juga tidak punya kekuatan veto, aku memnutuskan untuk bicara saja mumpung kami sedang membicarakan kasusnya.

“Karena kita juga masih mencoba memutuskan apa yang akan kita tulis untuk essai antologi kita, kenapa tidak kita gunakan saja cerita Chitanda untuk mengisi halamannya… um, maksudku, supaya sekali dayung dua tiga pulau terlewati… maaf, maksudku, menulis sesuatu yang bermakna didalamnya?”

Usulan Menghemat-Energi milikku, meskipun lumayan kelihatan jelas, diterima dengan suara penuh. Kemudian, Investigasi insiden Klub Sastra Klasik SMA Kamiyama 33 tahun yang lalu menjadi prioritas Klub Sastra Klasik.


Satoshi mengendarai sepeda gunung. Karena dia mengenakan celana pendek, kau bisa melihat otot-otot yang kokoh, yang tidak sesuai dengan posturnya yang pendek, pada kakinya. Untuk seseorang yang lebih tertarik pada bahasa, satu-satunya olahraga yang aku ketahui ia tertarik adalah bersepeda. Ngomong-ngomong, sepedaku adalah semacam sepeda kumbangm jadi tidak banyak yang bisa dijelaskan.

Kami bersepeda sepanjang pinggir sungai dan menjauh dari jalan raya. Perlahan-lahan jarak antara rumah-rumah digantikan oleh sawah-sawah yang luas. Demi bersembunyi dari teriknya matahari, kami berhenti di sebuah toko tembakau, aku mengambil handuk kecil dari tasku untuk menyeka keringat yang terus menerus menetes.

Oh, keringat sehat.

Bukanlah sesuatu yang bakal pernah aku katakan. Malahan, aku heran kenapa orang harus bergerak untuk mencapai tempat tujuan mereka. “Revolusi Informasi belum berhasil. Kawan-kawan, kalian harus terus berjuang!”

“Satoshi, apa kita sudah dekat?”

Satoshi menaruh kembali sapu tangannya ke dalam kantong dan menjawab, “Yup. Kita hampir sampai. Kalau mengikuti kecepatanmu tentunya.”

Dia lalu tersenyum.

“Kau akan kaget kalau kau melihat rumah mereka. Keluarga Chitanda merupakan salah satu pemilik perkebunan terbesar di Kota Kamiyama.”

Kurasa aku menantikannya kalau begitu. Aku akan sangat senang untuk mendengar bagaimana mereka melakukan bersih-besih di musim semi mereka di tempat seluas itu. Setelah kembali menyeka keringat dengan handuk, aku meletakkan kakiku di pedal dan melanjutkan perjalanan.

Ketika kami mulai beranjak, Satoshi mengambil alih di depan dan menunjukkan jalan. Setelah melewati beberapa lampu merah, kami sampai di sebuah jalanan lurus yang panjang, dimana sepeda kami bisa berjajar. Sepanjang jalan ini tidak ada apa-apa selain lading perkebunan dan sawah di kedua sisi jalan.

Satoshi memutar pedalnya dan mulai bersenandung dengan riang. Tersenyum adalah semacam wajah resminya, tapi hari ini dia terlihat lumayan senang. Aku memutuskan untuk bertanya, “Satoshi,”

“Ya?”

“Kau lagi senang ya?”

Satoshi menoleh padaku dan menjawab ceria, “Tentu saja. Karena aku suka bersepeda. Lihatlah langit yang biru! Dan awan yang putih! Tidak peduli seberapa biasanya mereka terlihat, rasa gembira ketika melihatnya sambil bersepeda dengan kecepatan tinggi seperti…”

Aku segera menyela niat Satoshi untuk bercanda.

“Kupikir kehidupan SMAmu biasa saja.”

Tiba-tiba terlihat suram, Satoshi menjawab, “Oh… maksudmu soal Warna Mawar itu…”

Ingatan yang bagus, terutama karena terakhir kali kita membicarakannya hampir tiga bulan yang lalu. Entah kenapa Satoshi melambat dan melihat ke depan sambil berkata, “Kau tahu, kurasa kehidupan SMA ku lumayan berwarna bagai mawar.”

“tidak, rasanya lebih mirip shocking pink.”

“Haha, itu juga bagus. Kalau begitu, kehidupanmu berwarna abu-abu.”

“Kau sudah pernah mengatakannya padaku.”

Karena suaraku hampir sama sekali tidak meninggi, Satoshi tidak menertawakannya.

“Masa? Jangan salah paham ya, aku tidak bermaksud untuk mengejekmu waktu bilang kehidupan SMA mu berwarna abu-abu.”

“…”

“Contohnya, kalau hidupku warna shocking pink, maka tidak ada yang akan bisa mewarnainya seperti warna mawar. Aku tidak akan membiarkannya.”

Aku langsung mengejek wajahnya yang tersenyum.

“Masa? Kupukir sudah diwarnai.”

“Tentu saja belum!”

Kata Satoshi dengan jawaban, yang secara mengejutkan, tegas dan melanjutkan, “Belum, Houtarou. Aku sudah sibuk dengan panitia OSIS dan Klub Kerajinan Tangan, menurutmu aku akan bilang begitu? Kau pasti bercanda. Mau membantu mengatur jadwal kegiatan untuk Festival Kanya , atau merajut karpet Mandala, aku menikmati setiap momennya. Kalau tidak, memangnya siapa yang akan mengorbankan bersepeda yang menyenangkan atau Liburan Musim Panas Cuma untuk pergi ke sekolah?”

“Tidak ada orang seperti itu?”

“Ada waktu dimana seseorang harus meminjamkan kemampuan dan hadir demi kepentingan masyarakat yang lebih besar. Meski begitu, kau tipe yang tidak akan tergerak ‘kan? Untuk orang yang ‘berwarna abu-abu’ sepertimu, seandainya seorang pemimpin bilang ‘semua orang berwarna seperti mawar’, kau akan melambaikan tanganmu dan bilang ‘jangan ajak aku’.”

Setelah mengatakan itu semua dalam satu tarikan napas, dia mulai sedikit tenang dan melanjutkan, kalau aku mau benar-benar mengejekmu, aku akan menyebutmu tidak berwarna.”

Satoshi terdiam setelah mengatakan itu. Aku merenungkan jawabannya sambil membiarkan kulitku terbakar matahari.

“…”

Dan membuat wajah suram.

“Aku tidak akan bilang aku ingin jadi sepertimu atau sejenisnya, tahu.”

“Bukan, bukan itu maksudku.”

Satoshi meninggikan suaranya dan tertawa. Dia lalu mengatakan, “Lihatlah, Houtarou, kita sudah sampai di kediaman keluarga Chitanda!”


Sesuai dengan penggambarannya, ‘Kediaman’ Chitanda dibangun di tengah-tengah padang sawah yang luas. Dibangun dalam bentuk bungalo bergaya Jepang dikelilingi oleh pagar. Suara air mengalir menandakan adanya kolam di tamannya, yang dikelilingi oleh pepohonan pinus yang dipangkas dengan baik. Dan di depan pintu gerbang besar yang terbuka, terlihat orang-orang sedang melakukan ritual menyiramkan air[2]. “Bagaimana? Lumayan hebat ‘kan?”

Kata Satoshi sambil membusungkan dadanya, meskipun aku bukan ahli arsitektur atau gardening Jepang. Meski aku tidak tahu seberapa hebatnya kediaman ini, aku merasa ada kesan anggun dan berwibawa dari kediaman tersebut.

Saat kami sedang mengagumi kompleks tersebut, aku melirik jam tanganku. Kami lumayan tepat waktu… Tidak, sepertinya kami agak telat.

“Ayo, Chitanda dan Ibara sudah menunggu,”

“Oh, iya… ngomong-ngomong, Houtarou,”

“Apa lagi sekarang?”

“Bukannya kita harusnya menunggu pelayan-pelayan untuk datang menjemput kita?”

Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Aku melangkah ke beranda depan dan membunyikan bel.

“…Ya~”

Setelah menunggu beberapa saat, pintunya dibuka oleh Chitanda sendiri. Flu musim panasnya sepertinya sudah sembuh karena ia berbicara dengan suara yang biasanya lagi. Ia membiarkan rambutnya yang panjang menjuntai ke bahunya tanpa mengikatnya, dan memakai baju terusan berwarna hijau muda.

“Maaf membuat kalian menunggu.”

Aku mendengar Satoshi berdecak, seakan kecewa karena tidak ada pelayan yang menyambut kami.

Setelah melepas sepatu kami di pintu masuk yang di beton, Chitanda memandu kami melewati koridor yang terbuat dari kayu.

“Dimana kalian memarkir sepeda kalian?”

“Kita boleh parker dimana?”

“Dimana saja boleh”

Lalu kenapa bertanya?

Tak lama kemudian, kami dipandu menuju sepasang pintu geser tradisional, dan angin sepoi yang sejuk keluar setelah membukanya. Karena langit-langitnya tinggi, ruangannya terasa sejuk dan menyegarkan. Ukuran ruangannya sekitar… 15 meter persegi. Besar.

“Kalian terlambat.”

Ibara sudah datang. Sepertinya ia ada sedikit urusan di sekolah sebelumnya, karena ia datang sambil mengenakan seragam. Ada meja berwarna coklat gelap yang memantulkan cahaya temaram, dan di atasnya berserakan lembaran-lembaran kertas. Pasti catatannya Ibara. Dia lumayan bersemangat soal ini.

“Duduklah dimanapun kalian suka.”

Aku duduk dihadapan Ibara setelah dipersilahkan. Setelah Chitanda duduk di tengah, tempat duduk sisanya diduduki oleh Satoshi. Adalah pemandangan yang jarang untuk melihat seseorang dengan tas ransel duduk di dalam ruang tamu bergaya tradisional Jepang[3]. Membuka tasnya, Satoshi mengeluarkan berlembar-lembar kertas. Ibara terlihat sangat siap sambil memainkan pulpennya, sementara Chitanda menumpuk lembaran kertas diatas meja.

“Baiklah…”

“Mari kita mulai pertemuan penyelidikan kita.”

Kami semua membungkuk dan memberi salam.


Tentu saja, pertemuan ini dipimpin oleh Chitanda, karena ia-lah ketua klubnya.

“Mari kita konfirmasi agenda pertemuan hari ini. Semuanya dimulai dari kenangan saya. Lalu, saat kita menemukan bunga rampai Hyouka, saya menyadari apapun yang terjadi dengan Klub Sastra Klasik 33 tahun yang lalu ada hubungannya dengan kenangan saya ini. Tujuan pertemuan hari ini adalah untuk menebak apa yang terjadi 33 tahun yang lalu. Selanjutnya, fakta apapun yang telah dikonfirmasi akan digunakan sebagai materi untuk esai dalam bunga rampai Klub Sastra Klasik tahun ini.”

Meskipun Ibara lebih tertarik pada desain ilustrasi cover Hyouka, ia tidak terlihat begitu kecewa dengan proklamasi dari Chitanda. Mungkin ia menyadari ilustrasi itu ada hubungannya dengan insiden itu sendiri, atau Chitanda sudah memberitahunya?

“Selama seminggu terakhir ini, kita sudah mengumpulkan berbagai bahan untuk diteliti, dan karenanya kita akan melaporkan penemuan kita dan menyimpulkan kesimpulan yang paling mungkin.”

Eh? Memangnya pertemuan hari ini soal itu? Terakhir kali aku dengar, Chitanda hanya memberi tahu kami untuk membawa materi apa saja yang bisa kami temukan. Aku tidak ingat ada soal membuat kesimpulan… Tapi karena Satoshi dan Ibara tidak terlihat kaget sedikit pun, ini berarti memang aku yang tidak memperhatikan. Sial, sepertinya aku harus melewatinya entah bagaimana, tapi perutku masih terasa tidak enak.

Tanpa membawa selembarpun agenda bersamanya, Chitanda menatap kami satu per satu dan menjelaskan dengan lancar, “Kita akan bergiliran melaporkan penemuan kita, diikuti oleh pertanyaan dari anggota yang lain, membuat hipotesa, dan meninjau ulang hipotesa yang dikeluarkan. Tidak boleh bertanya selama melaporkan… ini untuk mencegah kata-kata kita bercampur aduk. Kalau begitu, sekarang kita dengarkan laporan pertama.”

Oh, ia pemimpin yang lumayan bagus. Siapa yang tahu, ia mungkin memiliki bakat untuk hal seperti ini.

Tidak, bukan, dia memang memberi tahu aku kalau dia tipe orang yang akan mencari tahu keseluruhan system, jadi tidak mengejutkan kalau dia begitu ahli dalam aturan memimpin pertemuan.

“Bisakah kita mulai laporan pertama… oh?”

“Chi-chan, memangnya siapa yang akan lapor pertama?”

“Umm, siapa ya?”

… Dan ia bicara aneh lagi. Aku heran apakah ia hanya mudah dimengerti atau keteraturannya hanya terbatas pada tindakannya sendiri. Aku bicara pada Chitanda yang kebingungan.

“siapa saja boleh. Bagaiman kalau kamu mulai duluan?”

Karena biasanya pemimpin yang mulai bicara pertama kali, kan? Toh, bukannya Chitanda juga tidak akan melaporkan apapun. Dan karena ia yang menentukan cara melaporkannya, sekalian saja ia juga yang memulai pertama dan membaut pertemuan berjalan lancar. Ia mengangguk dan berkata, “Oh, kamu benar. Kalau begitu, sekarang… kita akan melaporkan satu persatu berurutan sesuai arah jarum jam dimulai dari saya.”

Ia mulai membagikan catatannya di atas meja setelah berkata begitu.

Hanya selirik dan aku tahu kalau ini adalah sumber dari penyelidikan ini, kata pengantar dari “Hyouka volume 2”. Jadi begitu, ia mulai dari awal mulanya ya? Walau aku tidak akan bilang kalau ini adalah gayanya yang biasa. Aku sekali lagi membaca paragraph yang pernah aku lihat sebelumnya.



Kata Pengantar

Dan akhirnya, kami melakukan Festival Kebudayaan lagi tahun ini.


Telah setahun berlalu, sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami.

Selama tahun ini, Senpai telah menjadi legenda dan menjadi seorang pahlawan. Sebagai hasilnya, 5 hari Festival Kebudayaan akan berlangsung seperti biasanya.

Akan tetapi, sembari legenda itu menyebar, aku berpikir dalam. Apakah orang-orang sepuluh tahun dari sekarang akan tetap mengingat sang pejuang yang pendiam dan pahlawan yang baik hati? Yang ditinggalkan senpai hanyalah bunga rampai ‘Hyouka’ ini, yang ia pilihkan sendiri namanya.

Sebagai pengorbanan dari konflik itu, bahkan senyuman senpai akan berakhir pada arus waktu menuju keabadian.

Tidak, mungkin lebih baik jikalau kita tidak mengingatnya. Karena kisahnya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kisah pahlawan.

Sekali subjektivitasnya dihilangkan, cerita ini akan menjadi sastra klasik karena melampaui semua perspektif sejarah.

Akankah datang sebuah waktu dimana kisah kami menjadi cerita klasik untuk seseorang di masa yang akan datang?


13 Oktober 1968, Kooriyama Youko



Berdeham, Chitanda mulai menjelaskan, “Ini diambil dari bunga rampai ‘Hyouka’. Untuk mengetahui artikel seperti apa yang diterbitkan Hyouka setiap tahunnya, seseorang harus membaca kata pengantarnya dan menemukan topik apa saja yang dibahas. Sayangnya, meskipun begitu, paragraf ini adalah satu-satunya yang menyebutkan tentang insiden 33 tahun yang lalu. Mungkin saja sebenarnya dituliskan di tempat lain, tapi kita tidak memiliki jilid pertamanya… Lalu, saya sudah meringkas poin-poin utama dari kata pengantar ini di dalam catatan disini,”

Ia lalu membagikan fotokopi untuk halaman kedua.


Catatan Penerjemah dan Referensi

  1. Saya tidak tahu apa sudah disebutkan sebelumnya. ‘menyebrangi sungai Rubicon’ berasal dari idiom bahasa Inggris “Crossing the Rubicon”, yang artinya “melalui titik yang tidak ada jalan kembali/ tidak bisa ditarik lagi”. Crossing the Rubicon diambil dari sejarah Itali dimana pasukan militer yang dipimpin Caesar yang menyebrangi Sungai Rubicon demi mengejar Pompeius – saya tidak hapal nama lengkapnya – waktu itu diberlakukan larangan pada pasukan militer untuk menyebrangi sungai Rubicon untuk mencegah perang internal di kekaisaran Romawi.
  2. Uchimizu, semacam ritual dimana orang-orang menyiramkan/ menyipratkan air ke jalanan atau taman untuk mengurangi debu dan mendinginkan jalan terutama di hari-hari musim panas. Selengkapnya bisa lihat di Wiki 
  3. Tokonoma. Ruangan dalam desain rumah tradisional jepang yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu. Dalam tokonoma biasanya dipajang benda-benda seni seperti lukisan, kaligrafi, ikebana, dan bonsai.



Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 7