Mondaiji-tachi ga isekai kara kuru soudesu yo (Indonesia):Jilid 6 Bab 8

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 8[edit]

— Saat ini, apa yang sebenarnya terjadi, pikir Izayoi.

Meski Izayoi memiliki deduksi luar biasa, butuh beberapa waktu baginya memahami situasi tragis yang terbentang di hadapannya. Terlihat Willa dan Asuka tidak terlalu terluka. Tapi Jack, Yō dan Kuro Usagi terluka serius di tribun penonton.

Biasanya, orang akan berpikir telah terjadi keributan di antara para penonton.

Namun, Izayoi yang tahu benar potensi asli kekuatan Kuro Usagi lalu bisa membuatnya terluka sehebat itu, rasanya akan sangat sulit. Sangat mustahil jika hanya perkelahian biasa.

Tersisalah satu pilihan pasti untuk menjelaskan skenarionya — orang yang melukai Kuro Usagi dengan sengaja.

Dari pemindaian pertama kondisi mereka, Yō, Jack, dan Asuka juga ikut andil dalam pertarungan.

“—!”

Terus, siapa yang menyerang?

Mata Izayoi menyusuri area gelanggang sekali lagi.

Yang bisa membuat situasi menjadi seperti itu kemungkinan besar adalah Willa sang Ignis Fatuus. Itu adalah spekulasi kasar saat ia masih dalam keadaan linglung—tapi ketika matanya melewati anak lelaki berambut putih bermata emas, pikiran itu terpental.

Menatap Yang Mulia tanpa emosi terlihat di matanya, Izayoi bertanya pada Jin yang berdiri di dekatnya.

". . . Oi, Raja mungil."

“I, iya?"

“Dia yang melukai Kuro Usagi dan Kasukabe, kan?" Izayoi menyatakan kesimpulan beraninya.

Dia bicara tanpa intonasi. Nada suaranya begitu dingin sampai-sampai membuat merinding mereka yang mengenal Izayoi. Baik Asuka maupun Yō, baru pertama kali ini mendengar Izayoi bicara seperti itu.

Izayoi melangkah mendekat setapak demi setapak sambil terus menatap Yang Mulia tanpa ekspresi dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama.

". . . Kau kan yang menyakiti Kuro Usagi?"

Dia menunduk melihat Yang Mulia yang lebih pendek dan lebih muda darinya, masih bertanya dengan nada dingin.

Saling bertatapan, Yang Mulia menganggukkan kepala tenang.

"Yeah, aku yang merobohkan kelinci itu."

“Aku paham."

—Dalam sekejap,

Mata Izayoi terbelalak lebar.

"Jadi—Aku gak perlu alasan buat mengasihanimu, bocah Rambut Putih—!!!"

Sambil meraung, Izayoi menendang bagian belakang kepala Yang Mulia dengan kekuatan yang mampu menghancurkan gunung dan sungai.

“Gya…!!?”

Tangan yang digunakan untuk bertahan terdorong ke samping dan mengenai kepalanya. Bukan berarti Yang Mulia memiliki kewaspadaan rendah, namun serangan dari luapan kemarahan besar Izayoi hampir mustahil ditahan secara sempurna.

Walaupun serangannya hampir merobohkan Yang Mulia, dia masih mampu berdiri tegap dengan meletakkan seluruh kekuatan dan tekadnya ke tubuh agar tetap sadar.

Sayangnya, itu adalah langkah terburuk juga penilaian fatal yang akan menuntun nasibnya pada kekalahan.

Yang Mulia seharusnya melompat mundur mengikuti gerakan tendangan ketika menyerap benturan.

Sedikit kurang jauh dan — Sakamaki Izayoi tidak akan bisa meraihnya.

"Bajingan. . ."

Yang Mulia memegang pergelangan tangan Izayoi sambil menekannya. Sayangnya pergelangannya sama sekali tidak goyang.

Izayoi juga memegang pergelangan tangan Yang Mulia untuk melempar tubuhnya kuat-kuat.

Benturan yang cukup kuat untuk menggemparkan Surga, menyebabkan lantai gelanggang hancur dan tanahnya menurun. Kerusakannya juga sangat dalam sehingga cukup untuk menghancurkan terowongan bawah tanah.

Kehilangan kontrol akibat muntab[1], Izayoi terus memberi rangkaian serangan pada Yang Mulia secara membati buta: tanpa memikirkan akibatnya pada bangunan sekitar. Dia yang biasanya menahan diri, saat ini sama sekali tak kenal ampun.

Alasannya melepas kepercayaan dan menahan diri hanya karena satu alasan saja.

Seolah menghapus keberadaan selain dia—Izayoi meraung layaknya hewan saat menatap sosok penuh darah Kuro Usagi sambil bertarung jarak dekat melawan Yang Mulia.

“Yahoho. . .? Ini. . . Buruk!"

Agar perawatan pada Kuro Usagi dapat terus berlanjut, Jack bergegas membawa Kuro Usagi kabur ke langit. Asuka juga menarik Yō, namun hatinya masih kalut.

Baru kali ini dia melihat Izayoi muntab; Asuka tidak mampu menahan nafas beratnya saat mengamati.

"Dia. . . Benar-benar. . ."

". . . Muntab."

Mereka berdua sudah lama kehilangan perasaan terdesak. Kemarahan Izayoi sudah lebih dari cukup untuk menghadapi anak lelaki berambut putih bermata emas atau bahkan lebih dari itu.

Pukulan ketiga menghancurkan lebih dari sekedar area gelanggang dan kerusakannya menjalar hingga Gang Pajangan. Tenaga pukulannya bahkan meratakan bangunan kota yang terbuat dari batu-bata. Hanya butuh tiga pukulan untuk memberi kerusakan setara dengan hantaman angin topan dahsyat.

Dipukuli ketika dalam posisi berdiri —bagian belakang kepala, dada, dan samping— Yang Mulia tersungkur ke tanah degan bermuntahkan darah. Tubuhnya masih utuh adalah hal luar biasa dan masih tersadar adalah sesuatu yang menakutkan.

Izayoi berjalan maju untuk melanjutkan serangan dengan wajah yang masih penuh guratan marah.

Yang Mulia medongakkan kepala menatap Izayoi— tiba-tiba menyeringai.

". . . Terlalu lamban. Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan?"

Dengan sedikit menyamakan laju ayunannya, Izayoi akan mampu menyalakan atmosfer dengan kecepatan pukulannya.

Mengayunkan tinju yang ia yakini sebagai yang terakhir, pukulannya mengenai udara. Ketika tinjunya hampir mengenai Yang Mulia, dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

"Menghilang? Jangan-jangan si bangsat hari itu?"

"Oh, seperti yang kau ucapkan." Diikuti suara tawa mengejek yang meniru drama FTV.

Suara yang terdengar seperti pemabuk datang dari atas puing-puing yang awalnya merupakan gelanggang.

Sosok-sosok itu menghadap [Kota Kouen] yang berwarna kuning malam. Namun, bukan hanya satu atau dua sosok saja.

[Tiga Kepala Naga yang Menggigit Ekornya]—Pasukan kuat telah berkumpul di bawah Bendera Aliansi [Ouroboros] dengan kilatan mata nampak berbahaya.

"Ah, maafkan aku. Bagimu yang mampu menemukan kesamaan dengan insiden pagi ini, matamu sangat tajam hingga mampu melihat rincian beserta perkiraannya. Kecerdasan inilah yang perlu kami waspadai kan, Tuan Pemberi Nasihat."

“Stop ngebacot. Jangan bicara padaku."

Rin menegur dengan suara seperti berpadu saat dia berlutut di depan Yang Mulia.

“Aura, Bagaimana keadaan Yang Mulia?”

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meski lukanya parah, tidak ada yang fatal. Seluruh dampaknya tidak mengenai bagian vital."

"Itu wajar. Lagipula, dia adalah pemimpin kita. Tidak mungkin dia bisa dikalahkan pion asing dari pihak mereka."

Di belakang gadis cantik yang rambutnya tergerai sebahu — Rin, anggota kuat telah berkumpul.

Gryphon hitam legam dengan satu tanduk.

Penyihir yang mengenakan jubah panjang aneh.

Dan seorang lelaki yang berdiri menjauh dengan pakaian dramatis—pakaian dengan jubah luar cantik dengan desain warna kontras merah dan biru. Lelaki yang terlihat seperti badut, keberadaannya menyalakan ancaman dengan menuntut waspada tertinggi.

Merasa pernah menghadapi mereka, Asuka dan Yō segera mengenali mereka.

"Wanita berkudung itu. . . ada pada penyerangan [Underwood]."

“Gryphon hitam itu juga. Sepertinya anak lelaki berambut putih itu. . ."

Mereka berdua menatap sekumpulan pasukan utama Aliansi Raja Iblis saat masih berada di langit.

Kemenangan di [Underwood] tidak ditentukan melalui kemampuan. Itu karena para anggotanya memiliki kekuatan hebat dan bukan langkah baik untuk langsung menyerbu mereka.

Bahkan Izayoi yang sudah menghajar Yang Mulia hingga seperti itu, hanya menatap dengan mata penuh dendam. Melihat musuh yang akan mereka lawan di masa depan, Asuka dan Yō tidak mampu menyembunyikan perasaan merinding.

"Mereka. . . Adalah Komunitas yang memimpin para Raja Iblis."

Mondaiji-tachi ga isekai kara kuru soudesu yo v06 241.jpg

"Aliansi Raja Iblis dan para pemimpin komplotan. . ."

Mereka berdua melayang di udara saat melihat situasi terbuka di bawah.

Memahami jika kekuatan mereka sangat kurang tidak mengurangi tekad mereka untuk bertarung.

Mereka menguatkan hati untuk bertarung jika orang-orang itu bergerak duluan.

Aliansi Raja Iblis juga mewaspadai kedua orang di atas mereka saat mengobati luka Yang Mulia dengan tenang. Setelah Aura menghapus jejak darahnya, Yang Mulia meluruskan pakaiannya ketika berdiri di depan kelompok Aliansi Raja Iblis.

". . . Rin, apa dia yang mengalahkan Ras Terkuat?"

"Ya. Dia orangnya."

“Aku mengerti. Jadi orang itu juga kandidat [Asal], ya?"

Darah masih menetes di sudut bibirnya saat menatap Izayoi di atas reruntuhan.

Izayoi sudah menurunkan amarahnya namun terus menatap kelompok yang membelakangi matahari yang terbenam.

Ketika tatapan dendam mereka bertemu, Yang Mulia mendadak tertawa terbahak-bahak.

“. . . Hahaha, sungguh kebetulan. Bagi [Pohon Genome] dan kandidat [Asli] berada dalam satu Komunitas? Sepertinya aku tidak butuh banyak usaha karena semua yang kuinginkan muncul satu per satu."

"Itulah yang disebut bukti kuasa sombongmu yang menyebabkan Surga akan tunduk padamu. Jadi apa rencananya? Jika kamu berkenan, kami dari Aliansi bisa melakukannya sekarang."

"Tahan. Cukup untuk hari ini lalu mundur. Pasukan utama [Salamandra] juga akan segera tiba." Yang Mulia menunjuk Istana—Wilayah teritori Komunitas [Salamandra], dimana beberapa Naga berukuran besar mulai beterbangan keluar dari wilayah Istana.

Terlebih, pasukan polisi militer yang diberitahu Mandra tentang keributan yang pecah di stadion telah bergerak menuju tempat kejadian.

"Meski pertarungan cukup menarik dengan keadaan ini, akan sia-sia karena sudah mendapatkan [Raja Iblis Kekacauan] di sisi kita. Lain kali ayo main lagi dengan rencana yang lebih baik. . . Bagaimana dengan kerjaanmu, Rin?"

“Heem. Raja Iblis Kekacauan siap menjalankan Permainan kapanpun."

“Begitu ya? Yang tersisa. . . Hanya itu hah." Yang Mulia memberikan tawa dingin yang serak.

Seolah sudah waktunya mereka bergerak, tumpukan puing terdekat mulai bergetar lalu keluarlah Percher dari bawah tumpukan, dan Jin yang ia lindungi dari guncangan. Mereka akhirnya muncul setelah terkubur beberapa saat.

"Terimakasih Percher. Kau memang penyelamat."

“. . . Bukan apa-apa. Lagipula, kita terhubung antara master dan pelayan, ini masih menjadi bagian tugasku."

*Fui* Percher memalingkan wajah ketika menjawab.

Melihat mereka berdua, Yang Mulia menggunakan suara bersahabat sebelum memanggil mereka berdua:

"Hey sepertinya kalian baik-baik saja. Jin dan Percher!"

“Uhh. Yang Mulia. . .!"

Keduanya bergegas mendongakkan kepala sedang Percher dan sebagian Aliansi Raja Iblis segera memasuki mode tempur.

Namun, Yang Mulia memberi sinyal tangan untuk menahan diri.

Tersenyum menyegarkan, Yang Mulia yang berdiri di atas reruntuhan meningkatkan sedikit suaranya.

Seolah ingin agar yang lainnya mendengar dengan jelas ucapannya, kemudian berkata—

"Ah, menyenangkan bisa bersama kalian hari ini! Akan kusimpan baik-baik kenangan hari ini! Permintaanku tadi—Tentang undangan untuk bergabung dengan Aliansi Raja Iblis, pikirkan baik-baik ya?!"

“Ha...." Mereka berdua menelan ludah menyadari situasi buruk di sekeliling mereka.

Ketika sekeliling mereka sudah dipenuhi pasukan polisi militer, jendral musuh meneriakkan kata-kata itu. Terlebih, ada banyak saksi mata yang melihat mereka mengabiskan waktu dengan Yang Mulia.

Jika terus berlanjut, mereka akan dicap sebagai mata-mata lalu pergerakan mereka akan dibatasi.

"Yang Mulia. . . Kau. . ."

“Hoho, aku selalu ingin memainkan ini. Bagaimana? Lagi-lagi aku yang memimpin kan, Jin?"

Yang Mulia menunjukkan kegembiraan dan senyum tulus yang menyembunyikan isyarat kejahilan licik. Layaknya senyuman anak kecil yang berhasil berbuat jahil, senyumnya sama sekali tidak ada maksud jahat.

Jin akhirnya memahami balasan dari yang ia perbuat sebelumnya pada Yang Mulia.

Menghadapi senyuman murni dan polos itu, Jin mulai merasakan keringat dingin menjalar dari pundaknya.

"Kau. . . Sangat menjijikkan."

“Heem. Aku tahu itu." Yang Mulia tidak mampu menahan tawa cekikikannya.

Rin yang berdiri di samping juga tersenyum saat menatap Percher.

"Percher, aku serius loh. Aku yakin kamu pasti akan berdiri di sisi kami di bawah bendera yang sama. Akan kunantikan hari itu."

“. . . Emang gitu? Tapi, maaf, aku secara resmi menolak undanganmu."

Percher kali ini menolak tanpa keraguan.

Alasannya karena dia melihat secercah harapan dari Masternya, Jin. Meski Jin belum cukup dewasa, dia pun sama saja. Terlebih, Jin pernah mengungkapkan aspirasinya—Jika ada sesuatu yang kuinginkan, akan kulatih diriku untuk menggapainya, tanpa bergantung pada yang lain sebanyak yang kubisa.

Tanggungjawab memimpin seratus dua puluh nasib membuatnya berkembang hingga membuatnya seperti ini.

Lalu baginya, yang membawa roh delapan puluh juta jiwa pendendam, tidak ada alasan baginya untuk tidak mampu berubah.

"Aku secara resmi memutuskan hubungan dengan Aliansi Raja Iblis. Kita akan bertemu lagi di medan perang. . . Aku juga tidak akan menahan diri. Jika kamu ingin mencariku, lebih baik kau bersiap diri."

Percher mengucapkannya dengan lantang.

Mendengar jelas deklarasi perang itu, Rin akhirnya menghapus senyum imut di wajahnya.

"Aku mengerti. . . Mari kita lihat nanti. Suara roh delapan puluh juta, mampukah mengubah nasib yang sudah tertulis pada bintang? Atau sebelum mimpimu menjadi nyata—Sekali lagi kamu akan lahir sebagai Raja Iblis. Tidakkah kamu menyesalinya, Percher?"

Usai meninggalkan kata-kata mendalam itu, Rin memberi salam perpisahan.

Saat dia kembali ke samping Yang Mulia, pusaran angin ribut es mengelilingi Aliansi Raja Iblis.

Menyadari adanya teknik sama yang digunakan ketika Raja Iblis Kekacauan menghilang, Izayoi menatap wajah sambil menyimpan penampilan mereka dalam ingatannya.

“……”

"Tidak perlu menatapku begitu. Akan tiba saatnya untuk menunjukkan siapa yang terbaik. . . Itu sudah pasti."

Sesaat sebelum menghilang, Yang Mulia menatap Izayoi dengan mata emasnya.

Izayoi juga menatap Yang Mulia hingga dia menghilang.


Aku—Pada akhirnya pasti akan bertarung mati-matian melawan bocah itu, huh.

Itulah perasaan yang ia rasakan tentang melawan takdir dan terus melilit dadanya untuk jangka waktu lama.



Translator’s notes[edit]

  1. marah tak terkendali


Kembali Ke Halaman Utama