Omae wo Onii-chan ni Shite Yarouka (Indonesia): Jilid 1 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Senin, 8 April.

Upacara Masuk. Teman Masa Kecil. Adik Perempuan Pertama.[edit]

Setelah upacara masuk di Akademi Shichiyou selesai, aku terkejut dengan reuni yang tak terduga.

Teman masa kecil yang sudah aku kenal sejak kelas tiga Sekolah Dasar dan pindah rumah karena pekerjaan ayahnya berada di kelas yang sama denganku.

Gadis yang dulu terkenal dengan tubuh tingginya-- --Sonobe Mariko, kelihatanya sekarang dia sudah pada batas dimana tidak bisa tumbuh lagi dan kini menjadi gadis yang kurus. Karena dulu tubuhku sangat kecil, aku harus mendongak saat menatapnya, entah kenapa sekarang rasanya sedikit canggung.

Yang lebih mengejutkannya lagi adalah hasil ujian masuk miliknya. Dia mendapat peringkat teratas tahun ini. Di Akademi Shichiyou terdapat program beasiswa yang diberikan pada murid yang mendapat peringakat sepuluh besar.

Setelah dia sadar nama belakangku sudah berubah, Mariko terkejut. Mengetahui bahwa sudah tidak asing satu sama lain, kami merasa lega. Berkat dirinya yang mendapat peringkat teratas, dia menjadi pusat perhatian di kelas.

Namun, hal itu hanya bertahan lima menit. Di saat aku memperkenalakan diri, semua orang menatapku.

Selesai homeroom, aku dikelilingi teman kelas. Mereka mengatakan hal seperti ‘Ayo gabung klub bareng.’ Atau ‘Yuk kita berteman.’ Dulu saat nama belakangku ‘Domon’, hal ini tidak pernah terjadi.

Oleh sebab itu, aku keluar dari kelas. Aku ingin mengobrol dengan Mariko, tapi tak ada kesempatan.

Sejujurnya, aku cukup tertarik dengan klub sekolah.

Selama SMP aku menjabat sebagai anggota OSIS. Mulanya saat di bangku kelas satu aku hanyalah tukang bantu-bantu, lalu di tahun ke dua periode musim gugur dan tahun ketiga musim panas aku menjadi wakil ketua OSIS.

Karena diwajibkan masuk dalam suatu klub, akhirnya aku masuk tapi hanya sebagai anggota bayangan. Bukannya mengikuti kegiatan klub, justru aku membantu pekerjaan OSIS.

Pekerjaan itu sungguh melelahkan, tapi juga menyenangkan dan memuaskan. Berkat interaksi yang kulakukan dengan adik kelas, aku mengerti bagaimana cara mengurus orang yang lebih muda meski hanya anak tunggal.

Itu boleh juga, tapi kembali ke aktivitas klub itu agak... . Karena bergabung dengan klub olahraga untuk kali pertama di SMA kelihatan cukup berat. Akan lebih baik jika itu klub budaya.

Tetap saja... jika seorang Taishido masuk ke sebuah klub pasti akan mendapat perlakuan khusus, dan jumlah anggotanya akan bertambah dua kali lipat. Kalau itu benar-benar terjadi pasti akan sangat mengerikan. Dilihat dari Akademi Shichiyou yang dikelola oleh perusahaan Taishido.

Dan juga, ada hal yang harus kulakukan sebelum memikirkan tentang aktivitas klub.

Sepulang sekolah aku memutuskan untuk makan siang di kedai gyudon dan pulang ke kediaman Taishido sedikit terlambat dari biasanya.

Selagi aku berdiri di depan pintu ruangan 701 aku bingung. Pintunya tidak mau terbuka.

Aku mengeluarkan kunci pintar dari dompet. Meski aku sudah memutar kenop pintu itu ke kanan, pintu tidak kunjung terbuka.

Coba aku pikir sebentar, apa benar kunci ini yang asli?

“Ini tidak mungkin terjadi, ‘kan? Tapi untuk jaga-jaga... open sesame.”[1]

Sepertinya bukan itu kata kuncinya. Pintu apartemen tidak terbuka. Meski kemarin masih aku gunakan seperti biasa, apa sekarang sudah rusak?”

Ini sia-sia. Aku harus menelpon Murasaki-san.

Tetapi panggilanku tidak terhubung. Mungkin sekarang dia ada di tempat yang tidak memliki sinyal, atau mematikan telepon miliknya. Untuk jaga-jaga aku kirim SMS saja, dan e-mail untuk lebih yakin.

Dilihat darimana pun ini terlalu cepat untuk bisa rusak. Pintu ini dilengkapi teknologi canggih...dan, saat aku memeriksa kunci pintar, aku sadar akan sesuatu.

Nomor ruangan yang muncul pada layar LCD... sudah berubah. Terlihat nomor 101 yang seharusnya 701.

“Eh? Apa-apaan ini?”

Setelah beberapa saat, aku sadar bahwa kunci pintar yang diberikan Murasaki-san akan memutuskan ruangan mana yang harus aku masuki secara otomatis, tanpa mempedulikan kehendakku.

Pemilihan adik perempuan, rupanya sudah dimulai.

Melintasi aula depan di lantai bawah, ruangan 101 adalah yang paling jauh dari koridor depan.

Tidak ada pelat pengenal di depan pintu. Aku mendekat dan kunci terbuka dengan sendirinya. Kunci ini tidak rusak, justru dia memanggilku untuk masuk ke dalam.

Rasanya canggung seakan aku sedang menerobos tanpa ijin, tapi aku tetap membuka pintu dan masuk ke dalam.

Dalam ruangan ini, kelihatan seolah badai baru saja menerjang. Tersebar di lantai, terlihat kaos, celana, dan bra.

Pada tempat cuci piring dan dapur, terdapat banyak piring kotor. Dengan adanya tempat sampah yang sudah penuh, aku bisa merasakan keberadaan seorang pemalas. Sampah tertumpuk ke atas dengan keseimbangan yang luar biasa dan menjadi sebuah seni avant garde.[2] Terlihat sebuah seragam tergantung pada gantungan pakaian. Itu bukan seragam Akademi Shichiyou, tapi blazernya didesain dengan rinci dan terbungkus plastik. Karena terdapat karakter 「Tengah中」pada logonya, sepertinya itu merupakan seragam SMP.

Di tengah ruangan, rambut hitam yang panjang terurai di karpet...

Seorang gadis terbaring di sana. Telanjang.

“H-hey! Apa kau baik-baik saja!”

Saat aku memanggilnya, gumpalan rambut hitam bereaksi dengan suara ‘nuaaaahhhh’, lalu bangkit perlahan.

Rambut miliknya cukup panjang hingga bisa menutupi punggungnya, kontras dengan ruangan kapal pecah ini, dirinya terawat, cantik, dan memikat.

Dia memiliki wajah putih seakan dirinya dibuat dari keramik dan kedua tangannya sangat ramping. Gadis mirip boneka ini berbicara padaku dengan nada datar.

“...Onii-chan, ‘kan?”

“Ah, benar. Daripada itu, apa kau benar-benar sudah sadar?! Apa kau terluka?!”

“... Aku baik-baik saja.”

Walaupun dia berbicara seperti orang linglung, suaranya kuat. Aku mendesah dengan perasaan lega dalam hatiku.

“Ba-Bagus kalau begitu... selanjutnya kenakan pakaianmu. Aku akan menoleh kebelakang.”

Rambut panjang membungkus seluruh tubuhnya, namun dia masih telanjang.

Aku mengalihkan pandanganku dan memperkenalkan diri.

“Eh, umm... Namaku Taishido Yoichi.”

“... Tamiya Selene. Dua belas tahun. Murid SMP kelas satu.

OOSY v01 027.jpg


Dari belakang terdengar suara. Apa dia sedang memakai baju?

“Be-Begitu ya. Umm Tamiya-san...”

“...tolong panggil namaku dengan kesan yang mencerminkan bahwa kau seorang kakak.”

“Tapi kita baru saja bertemu.”

“...aku juga tidak pernah mengira akan menjadi adik perempuan orang lain. Kalau begitu kita sama.”

Seperti kata Tamiya-san... Selene-san pasti juga terkejut mengetahui ‘Onii-chan’ yang tiba-tiba muncul dihadapanya.

“Selene-san.”

“...tidak perlu pake –san. Aku akan berpakaian sekarang, jadi cepat alihkan pandanganmu.”

Dia duduk di lantai yang berantakan, lalu mengenakan kaos dan celana pendek. Pada kaos miliknya tertulis kalimat ‘I Am Innocent’, dengan bentuk tulisan tangan. Beli dimana kaos kaya gitu...”

“Kenapa Selene tiba-tiba berbaring di tengah lantai?”

“...aku mandi dan mengeringkan rambutku lalu berbaring di lantai, seperti itulah.”

“Kau sering melakukannya?”

“...untuk hari ini saja. Saat tahu akan bertemu Onii-chan, aku jadi terlalu memikirkan banyak hal, oleh karena itu aku ketiduran.”

Aku menatap pada sekeliling ruangan dan mendesah. Walaupun dia mengatakan mandi, tapi apa maksudnya dari keadaan ruangan yang berantakan ini?

Ruangan ini sangat berantakan untuk ditinggali sampai-sampai tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk berpijak.

“Kau tidak pernah membersihkan ruangan ini?

“...ini merupakan bentuk sempurnanya. Aku tahu dimana letak semua barang-barang bahkan dengan mata tertutup.”

“Meski ruangan ini begitu berantakan dimataku, tapi kau dapat menemukannya?”

“...ya. dan, aku bisa menemukan pakaian mana yang akan kukenakan.”

Aku perlahan menyentuh dahinya dengan jari tengah.

“Tidak, tidak, tidak, Aku bilang kau harus membersihkan ruanganmu sendiri. Meski datang kesini tanpa ijin membuatku merasa bersalah, tapi tempat ini sungguh tidak nyaman.

Selene menggembungkan pipinya.

“...sekilas memang berantakan, tapi ini fungsional. Tolong jangan nilai aku sebagai wanita yang tidak bisa merawat diri.”

“Dari sudut pandang orang lain, bukankah mereka akan berpikiran sama.”

Saat aku mengetahui bahwa Selene yang sangat buruk dalam bersih-bersih menjadi adik perempuanku, itu sangatlah sulit diterima. Meski begitu, aku berpikir akan lebih baik untuk tetap membiarkanya.

“Bagaimana dengan upacara masuk?”

“...aku bolos. Namaku sangat mencolok. aku yakin jika masuk ke sekolah pasti akan dirundung

Apa dia seorang hikikomori dan anthropophobia?[3]

Di hari pertama saat aku masuk sekolah, nama Taishido juga membuat kegaduhan. Mungkin nama Selene juga menimbulkan hal yang serupa.

“Jadi kau pernah dirundung saat SD?”

“...aku selalu takut kalau mungkin akan ditundung."

Itu artinya dia tidak pernah di-bully!

“Kau tidak akan dirundung

“...meski begitu, aku tidak membutuhkan teman... di dunia nyata.”

Matanya berlinang, kemudian menarik sebuah laptop dari tumpukan kaus.

“...Onii-chan. Jika kau punya koneksi internet, kau bisa berbelanja tanpa harus pergi ke luar. Pesanan makananmu juga bisa dikirim. Kau bahkan bisa mendapat teman tanpa harus pergi ke sekolah. Nama asli juga tidak diperlukan. Anonimitas di internet akan membuatku aman.”

Ini adalah perkumpulan komputer pribadiku. Selene mengeluarkan suara ‘ehen’, membusungkan dadanya dan mulai browsing.

Jumlah orang yang mengikutinya di twitter terpampang di layar, jumlahnya lebih dari sepuluh ribu. Sudah se-level artis. Kesampingkan hal itu, nama akun miliknya adalah -- -- ‘Undying Cicada’, aku rasa pernah melihat nama ini di re-tweet sebelumnya.

Dia adalah seorang hikikomori, tapi masih ada keinginan untuk bersosialisasi dalam dirinya. Selena mungkin mirip sepertiku...

“Mendapat banyak teman memang luar biasa. Tapi itu berbeda. Kenapa kau tidak mencoba berbicara dengan orang di luar daripada berkomunikasi melalui internet. Juga, jika kau mampu melakukan ini di internet, berbicara dengan orang di dunia nyata pasti bukan perkara sulit untukmu, ‘kan?”

Selene menggelengkan kepalanya. *sshh* sambil bergeser, rambut hitam yang berkilauan menari di udara tercium aroma bunga dari shampoo. Ini buruk, barusan hatiku bedegup kencang.

“...aku baik-baik saja meski tidak berbicara langsung dengan orang lain. Juga, aku bisa menonton anime favoritku di internet.”

“Kau mungkin benar, tapi... hey Selene, apa kau berencana untuk tinggal di sini selamanya?”

“...aku adalah anak masa kini.”

Dia adalah gambaran anak masa kini, anak yang berubah menjadi pemalas karena perkembangan teknologi. Walaupun aku sendiri tidak bisa membayangkan hidup tanpa smartphone... tetapi untuk Selene hal itu akan menjadi jauh lebih buruk.

“Hanya dengan lahir di zaman seperti sekarang ini tidak ada kaitannya dengan menjadi hikikomori, ‘kan? Juga... apa kau sudah mendengarnya dari Murasaki-san?”

“...dengan keadaan seperti sekarang ini, aku... akan mati dan menghilang. Jika Onii-chan tidak memilihku, aku akan ditendang keluar dari surga ini.”

Kelihatanya dia sudah memahaminya, dia menaikan alisnya dengan cemas.

“Meski begitu, kau tetap saja menunjukan sikap malasmu didepanku.”

“...aku ingin kau menerimaku apa adanya.”

“Walaupun kata-katamu tadi terdengar positif, sayangnya itu sama sekali tidak mengubah penilaianku.”

“...aku hanya bisa menjadi diriku sendiri, tidak bisa yang lain.”

Selene menggumamkan kata itu dengan murung.

Coba pikirkan saja, Selene tetap duduk di lantai sejak dia berpakaian tadi.

Aku harus membuatnya mandiri, ‘kan? Sebagai seorang kakak.

“Kalau begitu, untuk mengawalinya, coba berdiri.”

Sembari tersipu, Selene meregangkan kedua tanganya seolah dia adalah seorang pemandu sorak.

“Umm, apa-apaan gerakan itu?”

“...tolong angkat aku.”

“Jadi begitu. Ya ampun. Mau gimana lagi.”

Dia memegang kedua lengan Selene dan mengangkat tubuhnya.

“Kuangkaaat!”

“...hauaaaaaaaaa”

Begitu dia berdiri, lututnya mengeluarkan bunyi ‘krek’. Air mata muncul di matanya menyerupai mutiara hitam dan kedua kakinya terhuyung seperti bayi rusa. Jika hanya berdiri saja sudah menimbulkan masalah, aku jadi khawatir dengan masa depanya.

Masa depan? Masa depan bersama anak ini? Aku bahkan belum bisa memutuskan Selene menjadi adik perempuanku.

Dengan air mata yang keluar, Selene mengambil langkah kedepan.

“...kyaa.”

Teriakan tanpa nada terdengar lalu Selene jatuh ke arahku, aku berhasil menangkapnya.

Selene membenamkan wajahnya pada dadaku. *munyu* ketika kami bersentuhan, aku merasakan pelukan lembut khas wanita disekitar perutku. ...apa yang barusan kulakukan dengan adik perempuanku (kandidat).

“K-Kau baik-baik saja?”

“...jadi seperti ini ya bau Oni-chan.”

“Meski kau bilang begitu, aku tidak pernah berpikir bahwa seorang kakak memiliki bau khusus.”

“...cium cium huum huum.”

Perlahan kusingkirkan Selene dari tubuhku. Dia kelihatan tidak senang, dan saat aku menatapnya, dia menggumamkan sesuatu.

“...Onii-chan apakah aku sudah boleh duduk lagi sekarang?”

“Bukankah kau baru saja berdiri. Untuk sekarang kita bersihkan kamar ini bersama.”

“...kenapa?”

“Jika kau mau membersihkannya... umm, aku akan mempertimbangakan dirimu menjadi adik perempuanku.”

Aku tidak ingin menggunakan hakku seperti ini, tapi aku tidak punya kepercayaan diri untuk memerintah Selene.”

“...baik. aku akan berusaha.”

Dia menatapku dengan hampa lalu bergumam. Aku lega dia mau melakukannya.

“...tarik.”

Selene dengan cepat menarik sampah dari sekumpulan majalah.

“Baiklah. Kumpulkan barang yang kau perlukan, dan yang tidak. Pisahkan sampah-sampah dari barang lainnya. Aku juga akan membantumu, jadi teruslah berusaha.”

“...dengan ini, apakah kita menjadi saudara yang sah?”

“Mustahil! Tapi... setidaknya, aku akan menilaimu lebih jika meneruskannya.”

Dia merespon dengan anggukan. Keimutannya mengingatkanku pada seekor tupai. Maksudku imut sebagai adik perempuan tentunya.

Kemudian, kami terus membersihkan ruangan dalam diam. Karena kami bekerja sama, pekerjaaan ini menjadi lebih cepat dari perkiraan. Dari ruangan tanpa tempat untuk berpijak, menjadi lantai kayu yang dapat terlihat dengan jelas.

Kemudian di bawah tumpukan kardus, aku menemukan sebuah mesin yang memiliki bentuk seperti cakram.

“...itu adalah... kapal tempur penggali.”

“Tidak, tidak, jangan ngaco.”

“...meski dulu hilang... pasti sekarang itu sudah kehabisan daya, takdir yang sungguh kejam.”

“Itu bisa terjadi karena seseorang mengacaukan tempat ini, takdir yang kejam apanya coba.”

“...membersihkan kekacauan ini adalah pekerjaan kapal tempur penggali.”

Aku bersimpati pada robot pembersih yang sudah tidak bisa bergerak lagi.

Aku harus melakukan sesuatu untuk kapal tempur penggali ini. Lain kali, aku yang akan membereskan tumpukan baju itu.

Putih bersih dan bejumbai, itu sungguh lembut. Bentuknya mirip seperti sapu tangan... ini, ‘kan.

“...Onii-chan, apa kau tertarik dengan celana dalam adikmu sendiri?”

“U-uwaaa! Bu-Bukan seperti itu! Kau hanya salah paham! Aku benar-benar tidak sengaja!”

“...Onii-chan mesum.”

Dia menggumamkan itu dengan ekspresi serius. Aku menaruh kembali celana dalam pada tumpukan baju lalu menggelengkan kepala.

“Hey! Daripada menjadikan aku sebagai kakakmu, bukankah kau lebih ingin menjaga kehidupanmu yang seperti ini?”

“...kenapa kau menanyakan hal seperti itu?”

“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan itu, tapi yang kau butuhkan hanya uang warisannya, ‘kan?”

“...jika ada uang, aku akan bahagia.”

Entah dia sangat buruk dalam berbohong, atau dia tidak ingin merahasiakannya, Selene mengutarakan secara jujur apa yang ada dipikirannya. Bisa jadi dia tidak ingin berbohong, justru berpikir bahwa hal itu sungguh merepotkan.

Menurunkan bahu, aku memasukan setumpuk majalah kedalam kantong plastik. Setelah mengikatnya, aku bertanya pada Selene “Ditaruh dimana ini? Lalu mendapat balasan “...di sana.”

Aku curiga bahwa dia bermaksud untuk membuatku membersihkan ini dari awal, itu adalah rencana dimana semuanya sudah dipersiapkan dan dirancang dengan matang.

“Apakah tidak apa-apa jika aku membuang semua majalah ini?”

“...singkirkan semua buku yang tipis.”

“Apa itu buku tipis?”

“...itu rahasia seorang gadis.”

Pipi putihnya memerah. Baiklah. Aku memang tidak paham, tapi aku akan berhenti bertanya. Setelah aku mengumpulkan semua majalah, aku menemukan sebuah buklet.

“Selene, apa ini juga dibuang?”

“...kalo itu... umm...ya.”

Pada sampul terdapat fon sederhana dengan background berwarna putih... daripada itu, sepertinya buku ini tidak masuk dalam peredaran.

Lebih mirip sebuah panduan. Judulnya-- -- Data Taishido Yoichi.

Di sana juga terdapat tulisan rahasia. Walaupun hanya ada tiga puluh halaman, semua isinya mengenai diriku.

Karena masakan enak nenek, masakan jepang menjadi favoritku. Di bawah pengaruh kakek, aku terbiasa menonton drama sejarah.

Bahkan data pertumbuhanku juga dijelaskan. Selesai membaca buklet ini, semua tentang diriku dapat dengan mudah dipahami. Sungguh detil hingga membuatku malu.

“Buklet apa ini?”

“...aku dapat dari Murasaki-san.”

“Aku mengerti. Mungkin kandidat adik peremuan yang lain juga mendapatkannya.”

“...kurasa.”

“Juga, apa kau tidak keberatan? Mengatakan padaku tentang keberadaan buku ini.”

“...kenapa tidak?”

“Umm, bagaimana menjelaskannya ya... setelah mempelajari buku ini dengan cermat, bisa saja salah satu dari mereka akan memerankan karakter adik perempuan yang ideal untuk mendapat perhatianku, ‘kan?”

OOSY v01 001.jpg

“...tidak mungkin aku melakukan hal seperti itu.”

“Maaf sudah menyinggungmu. Aku juga tidak berpikir Selene salah satunya.”

Selene meregangkan tubuhnya lalu membusungkan dadanya dengan bangga.

“...baguslah kalau kau sudah mengerti.”

“Jangan sombong... tapi, jika kau menggunakan panduan ini, kau bisa terlihat lebih menarik sebagai adik perempuan dimataku, kenapa kau tidak melakukannya?”

“...memang benar jika tidak mempunyai uang itu merepotkan, bahkan hanya dengan menyenangkanmu aku akan lebih mudah mendapatkannya, tapi tetap saja aku tidak ingin bekerja.”

“Bisa-bisanya mengatakan itu dengan bangga meski kau hanyalah seorang hikikomori dan pemalas.”

“...aauuu.”

Selagi kami meneruskan perbincangan sia-sia ini, waktu berlalu dan menunjukan pukul 6 petang.

Ruang tamu, dapur, dan ruang makan begitu bersih dan rapi itu terasa kekacauan yang barusan hanyalah mimpi. Selene bergumam sembari meraba-raba perutnya.

“...menyelesaikan pekerjaan ini membuatku lapar.”

“Kau benar. Waktunya makan malam.”

“...hari ini aku yang akan mentraktirmu.”

Begitu selesai mengatakan itu, dia mengambil mie kemasan dalam kardus di dapur. Sepertinya dia memborong mie itu sekaligus kardusnya. Juga terlihat kardus yang belum terbuka menumpuk bagaikan piramid.

“...seafood atau kari, mana yang kau suka?”

Meski aku juga menyukai mie kemasan, tapi itu hanya sebagai cemilan. Jika aku hidup seperti ini, aku pasti akan mati. Mata Selene tiba-tiba bersinar.

“...aku suka seafood.”

“Kalo gitu aku yang kari... ehh ...haa?”

Seraya menyenandungkan sebuah lagu dengan nada yang datar, Selene menuangkan air panas dari termos ke dalam mie kemasan. Air panas memenuhi mie kemasan rasa seafood.

“...aku juga akan menuangkannya untuk bagian Onii-chan... oh... air panasnya habis.”

“Terus gimana dong?”

“...umm, dengan air dingin juga bisa, ‘kan?”

“Mana mungkin!”

Aku berlari menuju dapur dan menaruh ceret yang penuh air ke atas kompor.

Bahkan caranya membuat mie kemasan sangat mengkhawtirkan hingga membuatku cemas akan masa depannya.

Beberapa saat kemudian, air mendidih dan aku selesai menyeduhnya, tapi tekstur mie ini sangat kaku, Selene menyipitkan kedua matanya.

“...makan bersama memang menyenangkan.”

“Mm? Kau benar.”

Ngomong-ngomong, sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku berpisah dengan kakek dan nenek. Sudah lama sekali rasanya aku tidak makan bersama dengan orang lain.

“Apa Selene selalu sendirian?”

“...Mama meninggalkanku demi mencari burung biru kebahagiaan dan sejak itulah aku menjadi sendirian.”

“Maaf aku tidak bermaksud untuk membahasnya...”

“...jangan minta maaf. Menjadi tidak berdaya karena takdir, bukankah Onii-chan juga sama?”

“Tidak berdaya, huh. Iya itu sudah jelas.”

Ketika aku tersenyum getir, dia ikut tersenyum.

Selesai kami menghabiskan mie kemasan, kelihatanya semua menjadi lebih tenang.

“Selene punya kemampuan komunikasi yang cukup baik untuk seorang hikikomori.”

“...itu tidak mungkin! Aku mengidap antropophobia.”

“Tapi bukankah kau sedang bicara denganku sekarang?”

“...Oni-chan...itu spesial. Juga, aku...bekerja keras hari ini.”

Jadi seperti ini yang dinamakan ‘kerja keras’ baginya. Bukan, Selene harus lebih dulu dipaksa hingga mau melakukannya.

“Itu hebat, Selene. Meski kau baru saja mendapat informasi tentang diriku, kau melakukan yang terbaik dalam pertemuan pertamamu dengan Onii-chan.”

“...sama. Onii-chan juga hebat walaupun tidak mengetahui apapun tentangku, selamat untuk kerja bagusnya.”

“Terima kasih atas pujiannya. Aku senang bisa mengobrol seperti ini dengan Selene, juga tentang bersih-bersihnya.”

Selene menunduk sembari tersipu lalu bergumam.

“...luar biasa! Onii-chan rela membersihkan ruangan ini sendirian layaknya maid.”

“Jangan buat aku marah. Juga, bukan hanya aku yang melakukannya. Kita berdua bekerja sama, ‘kan? Bahkan hingga sempat menata semua figur ini.”

Di atas meja. Terdapat figur anime yang berjejer. Semua yang tadi terlihat dimana-mana, sekarang berkumpul disatu tempat.

Ada banyak figur wanita cantik dengan seragam maid dan baju gothic lolita.

Favorit Selene adalah gadis berambut pirang dengan model rambut twin-tail dan pakaian tempur berwarna kuning-- -- namanya Pine-chan.

“Rela mengumpulkan ini semua, apa Selene menyukai figur?”

“...dia juga pakai celana dalam. Lihat? Celana dalam bergaris. Lipatan rok-nya juga sangat detil, kusut bajunya juga terlihat jelas.”

“A-Aku gak mau liat! Namun, kau sungguh memperhatikan detil-detilnya. Apa Selene suka baju?”

Seragam yang tergantung di dinding juga cukup manis.

“...ya.”

“Apa kau memilih sekolahmu tergantung seberapa imut seragamnya?”

“...bagaimana kau bisa tahu?”

Terkejut, Selene membiarkan mulutnya terbuka sebagian. Mungkin ini merupakan kesempatan. Entah nantinya dia akan menjadi adikku atau tidak, dia tidak boleh terus seperti ini. Kecuali dia mau berubah... kurasa dia bahkan tidak mau melangkahkan kakinya di luar.

“Baiklah! Lain kali kita akan pergi keluar dan membeli beberapa baju bersama.”

Selene menatapku dengan mata memohon dan mulai gemetar dengan imutnya.

“...pergi membeli baju, aku tidak punya baju yang bisa dikenakan.”

“Apa..?”

“...dilihat dari evolusi, manusia sudah lama membuang ekor yang tidak diperlukan. Sama halnya dengan diriku, karena aku sudah tidak lagi pergi keluar, aku membuang semua pakaian rapi milikku.”

Ketika aku kira dia akan gemetaran, dia berdeham dan dengan bangga membusungkan dadanya.

“Tidak ada yang bisa dibanggakan. Juga, bukankah kau punya seragam.”

Saat menunjukan jariku ke arah seragam, Selene menundukan kepalanya dengan ekspresi sedih.

“...itu bukan...apa-apa. Seragam itu bagus selama menjadi hiasan.”

“Meski seragam itu imut, akan sia-sia jika kau tidak mengenakannya.”

“...aku tidak akan pernah mau mengenakannya.”

Dia meringkuk dan memeluk lututnya. Pose seperti itu membuat dirinya lebih kecil.

“Baiklah...tidak masalah. Bisakah kau nyalakan laptop-mu?”

“...apa yang ingin kau lakukan.”

“Mari belanja online bersama. Apakah ada situs yang biasa kau kunjungi.”

“Ya. Ada satu situs favoritku.”

“Kalau begitu, kita belanja di situ.”

Selene membuka website dengan cepat lalu belanja dimulai.

“...kemudian, ini dan ini, ini juga imut. Tidak lupa, rok ini... karena aku tidak bisa memilih satu jenis, kita masukan semuanya saja ke dalam cart.

Meski penampilan dirinya tampak seperti hewan kecil, dia begitu gesit seperti karnivora yang sedang memburu mangsa. Selene dengan cepat meneruskan belanja.

“Bukankah itu terlalu cepat? Apa kau memilih semua bajunya dengan benar?”

“...aku sangat hati-hati memilih mereka semua. Aku tidak tahu apa pakaian indah ini akan cocok denganku atau tidak... tapi baju bagus tetap saja baju bagus. Desainer profesionalnya juga sangat hebat.”

Waktu berlalu, aku terus menatap dirinya yang terus melanjutkan belanja. Selene kembali memilih bermacam pakaian dengan desain yang detail, dan memang benar semua pakaian itu dibuat dengan rinci.

Model pakaian itu disebut gothic lolita. Karena Selene memiliki rambut hitam yang panjang dan ada sedikit aura kelabu dalam dirinya, jenis pakaian itu akan cocok dengannya.

“...pilih-pilih selesai. Klik... eh? Kok tidak bisa dibeli.”

“Tidak bisa dibeli... itu pasti karena sudah melebihi batas kartu kredit-mu.”

Nama yang tertampil pada layar peringatan saldo adalah Murasaki-san. Dia pasti sudah melewati berbagai tahapan resmi demi mengubahnya. Wajah Selene menyiratkan kalau dia bisa menangis kapan saja.

“...setelah memilih barang yang kuinginkan... dunia begitu kejam kepadaku.”

Pencabutan bantuan keuangan sudah ditetapkan, namun tetap saja hal itu pasti akan terjadi di masa mendatang.

Daripada itu, Untuk kartu kredit yang telah mencapai batasnya meski ini baru minggu kedua di bulan April...

“Tunggu, tunggu. Bukan dunia yang kejam, melainkan Selene yang sudah menghabiskan uangnya, ‘kan? Apa sih yang kau beli?”

“...aku tidak menghabiskannya.”

Selene menutup laptop-nya, berdiri dan menunjuk ke arah ruangan belakang.

“Ada apa di dalam ruangan itu?”

“...Milikku yang berharga.”

Dia mengatakan itu dengan ekspresi yang serius dan membuka ruangan belakang. Aku ingin menutup mataku. Jadwal pembersihan yang berlanjut hingga pukul delapan malam., tolong selamatkan aku.

“...masuklah.”

Setelah Selene menyalakan lampu ruangan. Yang kutemukan di sana adalah...ruang kerja.

Terdapat mesin jahit berukuran besar yang ditaruh di depan. Itu benar-benar terlihat seperti mesin industri, dengan adanya benda itu, kehadian sesuatu yang lebih besar terasa.

Gulungan kain tertata dan disusun berdasarkan pola dan warna. Ketika aku membuka lemari pakaian, terlihat laci-laci kecil di dalam.

Walaupun ruangannya dipenuhi barang seperti ini, semuanya terorganisir dengan rapi.

“Ruangan... apa ini?”

“...ruangan menjahit. Ini mesin penjahit utama. Itu kunci mesin jahitnya. sistem kedap suara di apartemen sangat baik jadi tidak ada suara yang terdengar bahkan ketika tengah malam.”

“Sungguh luar biasa. Alat-alatnya terlihat mutakhir. Apa Selene mahir dalam menjahit?”

“...aku suka men-desain, memotong kain sesuai pola lalu menyatukannya di mesin jahit. Aku juga suka memilih renda, kancing, dan pita. Aku juga berlatih menyulam meski aku masih buruk dalam melakukannya.”

“Bolehkah aku melihat laci-nya?”

Selene mengangguk perlahan.

Ketika aku membuka laci, aku menemukan kancing dekoratif. Juga, dalam laci sebelahnya terdapat kancing dengan berbagai jenis. Semua kancingnya bersinar bagaikan kotak permata.

“...aku membeli kancing, renda dan manik-manik dari luar negeri...lalu semua uangnya habis.”

“Bisakah kau tunjukan pakaian yang kaubuat?”

Tiba-tiba aku mendengar dering nada panggilan. Pada mesin jahit, tergeletak sebuah smartphone. Meski dia seorang hikikomori, dia menggunakan laptop dan smartphone sekaligus.

“...Sempurna. Pengiriman lainnya sudah sampai tujuan.”

Dia memeriksa isi pesan pada smartphone sambil bergumam.

“Pengiriman? Maksudmu kau menjual pakaian yang kau buat?”

“...menjual sepertinya terlalu berlebihan. Aku membuat itu untuk temanku. Hope-chan.”

“Yang kau beri itu...”

“...pakaiannya.”

Selene memperlihatkan contoh pakaian yang dia buat dengan smartphone.

Mungkin ini satu-satunya kostum buatan sendiri yang ada di dunia. Begitu banyak renda pada gaun hijau yang indah itu.

Aku tidak tahu berapa harga untuk pakaian seperti ini, namun aku merasa bahwa bahan-bahannya sangat mahal.

“Memberikan... tidak mungkin kau memberi pakaian ini secara gratis?”

“...aku menerima biaya pengirimannya.”

“Hanya biaya pengiriman?”

“...dia begitu senang.”

Dia menampilkan pesan ucapan terima kasih pada layar dan menunjukan itu kepadaku dengan ekspresi bangga.

“Hmm, mm... apa kau tidak masalah dengan harga ini? Meski jika aku membelinya, bukankah ada dua angka nol yang hilang? Hey orang yang membelinya juga khawatir denganmu.”

Jika biaya pengiriman berjumlah seribu yen, dan klien sadar ada dua angka nol hilang, itu artinya jumlahnya seratus ribu yen... seratus ribu yen?!

“Ngomong-ngomong, berapa biaya yang dikeluarkan ‘Toko Selene-san’ untuk membuat semua bajunya?”

“...untuk bahan hanya sekitar dua puluh ribu yen.”

“Kau benar-benar bangkrut. Berapa lama waktu yang kau habiskan untuk membuatnya?”

“...seminggu... tapi saat mengerjakannya, aku sampai lupa waktu. Selama orang-orang suka pakaian yang aku buat, aku bahagia.”

Entah kenapa aku mengerti kenapa Selene mempunyai banyak pengikut di Twitter. Review yang ditulis temannya dan berita tentang tarif menyebar, lalu menarik banyak orang.

Ruang tamu bisa berantakan karena dia fokus dengan kemampuan dan usahanya menata ruang jahit. Dia sengaja memotong pengeluaran makanan sebab dia tidak memliki cukup uang untuk membeli bahan.

“Tidak apa-apa menjual baju dengan harga yang tinggi, ‘kan?”

“...baju-baju ini aku buat karena hobi, sebab baju ini dibuat oleh penggiat hobi sederhana... menjual mereka akan menjadi penghinaan bagi desiner profesional.”

Hobi yang tanggung...bukan? seperti yang dia katakan. Baju yang dia tunjukan padaku bukanlah sembarang baju yang biasa dikenakan sehari-hari.

Banyak kostum karakter anime sekelas kostum peragaan. Rumbai-nya begitu banyak. Namun, aku berpikir bahwa baju-baju itu mempunyai daya tarik tersendiri.

“Aku punya satu pertanyaan, apa yang kau gunakan sebagai referensi saat membuat pakaiannya? 『Aku ingin orang itu mengenakan ini』atau semacamnya?”

“...ada. aku membayangkan gadis dari anime favoritku. Jika Orange-chan mungkin rok pendek akan bagus, karena dia tipe gadis bersemangat. Jika Grape-chan maka butuh aura dewasa dan menonjolkan bagian dada.”


Mungkin, jika dia keluar rumah dan melihat pakaian yang dikenakan gadis di luar sana, imajinasi Selene akan lebih berkembang?”

Dia bisa membuat pakaian yang tidak hanya cocok untuk karakter anime, tapi juga bisa dikenakan gadis lain. Selene masih belum serius dalam hal ini.

Jika saja dia berani keluar, dia mungkin bisa menjadi desiner yang hebat.

Aku merasa dengan memiliki bakat hebat yang terus terkubur di sini akan menjadi sia-sia.

“Sekarang sudah terlalu larut... tapi bagaimana dengan minggu depan?”

“...mustahil. jika pergi keluar... meski ayam terus mengepakan sayapnya, dia tidak akan pernah bisa terbang.”

“Aku akan tetap membuatmu keluar apapun caranya, siapkan baju untuk luar ruangan. Jika tidak bisa beli, kau buat saja. Jika kau masih belum mempersiapkan apa-apa, kau harus mengenakan seragam itu.”

“...apakah aku memang harus pergi keluar?”

“Pastinya.”

“...aku akan muntah. Aku akan muntah karena cemas.”

“Untuk hal itu, kau lebih baik kosongkan dulu perutmu.”

“...aku akan memuntahkan asam lambung. Oh, aku juga punya sakit kepala yang parah.”

“Kau tidak bisa pergi sekolah jika tidak keluar, ‘kan? Seragam imut ini akan sia-sia. Bukankah Selene ingin ke sekolah dengan memakainya?”

“...meski aku tetap tidak mau, apa kau akan membuatku keluar dengan paksa?”

Pertahanan dirinya berubah menjadi pembelaan.

“Pergi ke sekolah bukanlah hal yang buruk. Jika kau mempunyai teman, kau mungkin bisa membuat pakaian yang cocok dengan kepribadian temanmu.”

“...mu-mungkin tapi tetap saja, untukku itu terlalu...”

Masalah penarikan dirinya semakin memburuk. Aku akan coba cara lain.

“Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?”

“...bukannya tidak ada. Namun, tingkat kesulitannya terlalu tinggi. Aku tidak bisa naik kereta Yamamoto. Begitu ramai, kematian menantiku.”

“Kau tidak perlu naik saat jam sibuk. Meski begitu, saat kau bilang kereta Yamamoto, itu terlalu spesifik. Kau ingin pergi ke mana?”

“...Nippori.”

“Jadi bukan Shibuya atau Harajuku.”

“...Nippori memiliki daerah grosir benang. Bukan hanya benang saja, banyak sekali bahan untuk membuat pakaian.”

“Aku mengerti. Jika Selene berperilaku baik, aku akan membawamu ke sana dan melakukan apapun yang kau inginkan, membawa koper atau semacamnya. Itu tidak ada kaitanya apakah aku akan menjadikanmu adik perempuanku atau tidak. Ini adalah janji antara kau dan diriku.”

“...su-sungguh? Janji?”

“Ya, aku berjanji. Itulah mengapa kau harus bersiap untuk pergi minggu depan.”

Selesai mengatakan itu, Selene masuk ke kamar mandi dengan terburu-buru. Aku bisa membayangkan berapa banyak tekanan yang ada diperutnya.

“Haa...”

Ketika aku mendesah, bunyi nada panggilan terdengar. Sebuah mail masuk di smartphone-ku, itu dari Murasaki–san.

Jadwal pengingat tentang interaksi dengan adik perempuan... atau lebih tepatnya sebuah konfirmasi.

Selama dua minggu dari sekarang, aku menghabiskan akhir pekan (Senin hingga Jumat) dengan adik perempuan berbeda tiap harinya.

Nomor ruang pada kunci pintar akan berubah kembali menjadi 701 pukul 12 malam. Dengan kata lain, aku menghabiskan waktu dengan adik perempuan setiap hari hingga tengah malam.

Walaupun begitu, untuk email yang mengingatkan interaksi selanjutnya saat yang sebelumnya akan segera selesai, apakah ini ada dalam perjanjian?”

Kertika aku memikirkannya, Selene kembali dari toilet. Dia kelihatan lebih segar.

“Karena dari tadi yang kulakukan hanya menuntut Selene, apa ada yang ingin kau minta dariku?”

“...aku ingin bermalas-malasan bersama Onii-chan.”

Kami menghabiskan waktu yang tersisa menonton anime favoritnya. Lima gadis bertarung melawan kejahatan, Pretty Girls Rangers Mono.

Orange, Apple, Grape, Peach, Pine-- --Pretty Girl Rangers digambarkan menurut atribut buah-buahan, itu adalah anime yang ditujukan untuk gadis muda.

Aku bertanya-tanya apakah aku bisa membuat Selene mandiri. Jika hanya dia mungkin saja aku bisa memperbaiki penarikan sosial dalam dirinya sedikit demi sedikit.

Tetapi, kesampingkan dia, masih ada empat kandidat adik perempuan. Dengan jumlah ini mereka bisa saja membentuk Pretty Girl Rangers.

Karena batas waktu yang terbatas, aku mungkin harus memberikan perhitungan lebih untuk Selene.

  1. open sesame adalah referensi dalam cerita 'Ali Baba dan empat puluh pencuri'. Dengan mengucapkan itu para pencuri dapat membuka gua yang berisi harta.
  2. Avant garde adalah frase dari bahasa prancis yang memiliki arti 'garda depan'. Seni di dalamnya merupakan hasil dari eksperimen dan bersifat radikal.
  3. secara harfiah artinya takut akan manusia. Informasi tambahan ada di sini:https://en.wikipedia.org/wiki/Anthropophobia