Overlord (Indonesia):Volume 5 Chapter 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Part 1[edit]

Bulan Api Bawah (Bulan ke 9), Hari ke 3, 4:01

Segera setelah dia memasuki kediaman Gazef, lelah yang menumpuk di dalam tubuhnya menusuknya semua sekaligus dan Brain menghabiskan hampir seluruh harinya dalam tidur. Ketika dia bangun, dia memakan makanan ringan dan lagi, kembali tidur.

Meskipun dia tidak ingin mengakuinya, alasan dia bisa mendapatkan istirahat sebanyak ini di rumah Gazef adalah karena perasaan aman. Meskipun dia adalah musuh di masa lalu sekaligus rival, itulah alasan yang membuat dia mempertimbangkan sebagai tempat teraman di dunia, sehinga memberikan ketenangan pikiran kepada Brain dan membuatnya bisa beristirahat.

Cahaya yang bersinar menembus kelambu jatuh ke wajah Brain. Cahaya matahari yang masuk ke dalam kelopak matanya dan membuatnya terbangun dari tidurnya yang dalam dan tanpa mimpi.

Dia membuka matanya dan menutupnya lagi karena cahaya matahari yang membutakan, menghalanginya dengan tangannya.

Brain duduk dan memeriksa sekitarnya seperti seekor tikus. Ruangan sederhana yang hanya berisi prabotan yang diperlukan. Perlengkapannya tergeletak di sudut ruangan.

"Ini adalah kamar tamu dari Kapten Prajurit Kingdom?"

Dengan helaan nafas lega, Brain berbicara dengan sarkasme saat dia meregangkan badan. Dengan suara retakan, tubuhnya yang kaku mengendur saat aliran darahnya kembali.

Dia menguap lebar-lebar.

"....Dia pasti membiarkan prajurit-prajuritnya tidur disini dari waktu ke waktu. Bukankah mereka akan kecewa dengan rumah yang seperti ini?"

Alasan para bangsawan hidup dalam kemewahan bukan semata-mata karena kesenangan mereka dengan kemewahan. Itu untuk memamerkan dan menjaga penampilan.

Demikian juga, jika pimpinan mereka di kelilingi oleh perabotan mewah, itu akan menyalakan api ambisi para prajurit dan membuat mereka bekerja lebih keras.

"...Tidak, itu hanya ikut campur tidak ada gunanya."

Brain bergumam dan mendengus lalu tertawa, bukan kepada Gazef, tapi kepada dirinya sendiri.

Karena sekarang adalah yang kedua kalinya hatinya menemukan ketenangan setelah rasa terkejut yang cukup besar untuk membuatnya putus asa. Pastinya, karena pikirannya telah tenang sehingga bisa memikirkan hal remeh seperti itu.

Brain memikirkan penampilan dari monster yang kuat itu dan tidak bisa menghentikan tangannya yang gemetar.

"Seperti yang kuduga..."

Dia tidak bisa menyingkirkan terror di hatinya.

Shalltear Bloodfallen.

Brain Unglaus, seorang pria yang telah memberikan segalanya untuk pedang, bahkan tidak bisa menjangkau kaki Shalltear. Dia adalah wujud kekuatan yang absolut, seorang monster di antara para monster yang penampilannya seakan kecantikan di seluruh dunia ini berkumpul di satu tempat. Dia adalah yang memiliki kekuatan sejati.

Hanya membayangkan saja rasanya seakan terror telah menusuk sekujur tubuhnya.

Terjerat oleh ketakutan atas monster yang sedang mengejarnya itu, dia kabur hinggga ke ibukota tanpa bisa tidur atau istirahat. Ketakutan akan Shalltear yang muncul di depannya saat dia tidur, akan cakarnya yang menembus kegelapan saat dia berlari di jalanan.... Brain sudah didominasi oleh rasa tidak nyaman itu dan bergerak tanpa mendapatkan tidur malam yang layak.

Meskipun alasan dia kabur ke ibukota adalah karena dia berharap bahwa tempat dengan banyak orang akan membuatnya bisa bersembunyi diantara mereka, meskipun dia sendiri tidak menduga bahwa cobaan berat yang mengerikan saat dia kabur akan membuat pikirannya lemah hingga titik dimana dia sendiri ingin bunuh diri.

Juga bisa dikatakan bahwa pertemuannya dengna Gazef juga di luar perkiraannya. Mungkin harapan kecil bahwa Gazef mungkin bisa melakukan sesuatu untuknya membuat Brain secara tidak sadar memutar kakinya ke arah Gazef. Jawabannya adalah tidak diketahui.

"Apa yang harus kulakukan sekarang."

Tidak ada apapun.

Di tangannya yang terbuka, tidak ada apapun.

Dia lalu memutar pandangannya ke arah perlengkapan miliknya yang ada di sudut kamar.

Katana yang dia peroleh untuk mengalahkan Gazef Stronoff, tapi apa untungnya meskipun dia bisa mengalahkan Gazef? Dengan mengetahui ada wujud disana yang jauh lebih kuat dari dirinya, apa artinya dengan pertikaiannya yang tidak signifikan?

"Mungkin aku harus bekerja di ladang...setidaknya itu mungkin masih berarti sesuatu."

Saat menertawakan pahit kepada dirinya sendiri, Brain merasakan kehadiran seseorang yang berdiri di luar pintu.

"Unglaus, ternyata kamu sudah bangun."

Suara milik tuan dari rumah ini.

"Yeah, aku sudah bangun, Stronoff."

Pintu tersebut terbuka dan Gazef melangkah masuk. Dia sedang memakai perlengkapannya.

"Kamu tidur sangat nyenyak sekali. Aku terkejut."

"Yeah, terima kasih banyak. Maaf."

"Tidak usah dipikirkan. Tapi sekarang aku harus menuju istana. Katakan padaku apa yang terjadi padamu ketika aku kembali."

"... Itu adalah cerita yang mengerikan. Kamu mungkin akan berakhir menjadi sepertiku."

"Tetap saja, aku harus mendengarnya. Mungkin minuman akan membuatnya lebih mudah didengar... Sampai saat itu, anggaplah seperti rumah sendiri dan buatlah dirimu senyaman mungkin. Untuk makanan atau apapun yang lainnya yang kamu perlukan, mintalah kepada pelayan rumah dan itu akan dipersiapkan. Dan jika kamu ingin pergi ke kota.. Apakah kamu punya uang?"

"..Tidak..tapi jika memang perlu aku bisa saja menjual barang di tanganku."

Brain mengangkat tangannya yang sedang mengenakan cincin untuk menunjukkan kepada Gazef dengan baik.

"Apakah kamu tidak apa dengan itu? Kelihatannya itu sangat mahal."

"Apapun."

Pada dasarnya, item ini juga adalah sesuatu yang dia peroleh untuk mengalahkan Gazef. Sekarang dia menyadari bahwa itu adalah sia-sia, apakah ada alasan lain untuk menyimpannya?

"Akan sulit untuk menjual item yang mahal dan juga perlu waktu untuk harga pembeliannya bisa dipersiapkan. Ambil ini untukmu."

Gazef melemparkan kantung kecil. Suara logam yang berdenting terdengar dari kantung yang mendarat di tangan Brain.

"...Maaf, aku akan meminjam ini kalau begitu."

Part 2[edit]

Bulan Api Bawah (Bulan ke 9), Hari ke 3, 10:31

Sebas berjalan sambil berpikir bagaimana menghadapi lima orang yang sedang membuntutinya setelah dia meninggalkan rumah itu. Dia tidak memiliki tujuan tertentu di otaknya. Dia hanya percaya bahwa menggerakkan tubuhnya dan merubah pemandangan akan membantunya mendapatkan ide yang bagus.

Akhirnya, dia menemukan ada sebuah kerumunan di depan sana.

Disana, sebuah suara terdengar seperti marah dan tawa, bersama dengan suara dari sesuatu yang dihajar. Di dalam kerumunan, orang-orang berkata tentang bagaimana seseorang akan dibunuh, dan bahwa seseorang seharusnya memanggil penjaga.

Meskipun Sebas tidak bisa melihat menembus kerumunan itu, sebuah kekerasan pasti sedang terjadi.

Sebas berpikir untuk mengambil jalan yang berbeda, tapi saat dia akan merubah arahnya, dia ragu... dan berlanjut ke depan.

Dia sedang menuju ke tengah kerumunan.

"Maaf."

Dengan sebuah frase, Sebas bergerak di antara kerumunan dan melangkah ke dalam.

Seakan mereka terperangah dengan gerakan aneh si pak tua yang sedang mencoba menembus mereka, semua yang ada di jalan Sebas minggir darinya ketika dia lewat. Kelihatannya seperti ada orang lain selain Sebas yang sedang menuju jauh ke dalam kerumunan. Dari suaranya yang meminta untuk lewat, dia terdengar bingung karena tidak bisa lewat.

Setelah tiba di tengah-tengah kerumunan tanpa banyak kesulitan, Sebas memastikan dengan matanya sendiri apa yang sedang terjadi.

Beberapa pria dengan pakaian lusuh sedang menendang sesuatu sekaligus.

Sebas tanpa bicara melanjutkan perjalanannya. Dia mendekati pria hingga cukup dekat untuk mengulurkan tangannya dan menyentuh mereka.

"Ada apa ini pak tua?!"

Salah satu dari lima pria itu melihat Sebas dan bertanya dengan kasar.

"Aku kira ini sedikit berisik."

"Kamu ingin diajari sopan santun juga?"

Para pria itu bergerak mengelilingi Sebas, menunjukkan sesuatu yang sedang mereka tendang. Itu adalah seorang bocah. Entah dari mulut atau hidung, darah mengalir dari wajahnya saat bocah itu tergeletak. Dia tidak sadar karena ditendang dalam waktu yang lama tapi masih bisa bernafas.

Sebas menatap para pria itu. Bau alkohol menggantung di udara sekitar mereka, begitu juga dengan nafas mereka. Wajah mereka merah dan itu bukan karena latihan. Mungkin mereka tidak bisa mengendalikan kekerasan karena mereka sedang mabuk.

Sebas berbicara kepada mereka dengan ekspresi yang datar.

"Meskipun aku tidak tahu apa alasan kalian, aku yakin kalian sudah cukup."

"Ahn? Dia mengotori pakaianku dengan makanannya. Apakah aku seharusnya membiarkan saja?"

Di tempat yang ditunjuk pria itu, memang ada sedikit noda. Namun, pakaian mereka kotor dari awalnya. Dengan melihatnya seperti itu, noda itu bukan tidak diketahui.

Sebas memutar matanya kepada seseorang yang terlihat seperti pimpinan dari kelompok tersebut. Meskipun perbedaannya tidak mencolok, hampir tidak mungkin terlihat oleh manusia, Sebas bisa merasakannya dengan inderanya yang luar biasa sebagai seorang warrior.

"Memang benar... kota ini benar-benar memiliki ketertiban umum yang buruk."

"Ahn?"

Dari perkatan Sebas yag kelihatannya memastikan sesuatu yang jauh, salah satu pria itu merasa bahwa dia sedang mengabaikan mereka dan mengeluarkan suara yang penuh dengan kemarahan.

"...Menyingkirlah dari hadapanku."

"Apa? Kakek, apa kamu bilang?"

"Aku akan bilang sekali lagi. Menyingkirlah dari hadapanku."

"Dasar brengsek!"

Wajah pria yang terlihat seperti pimpinan mereka menjadi merah. Dia mengangkat tinjunya untuk menyerang dan - roboh.

Suara terkejut terdengar dari berbagai arah, dan tentu saja, dari empat pria yang tersisa pula.

Apa yang dilakukan Sebas memang sederhana. Dia menggunakan tinjunya untuuk memukul dagu pria itu dengan akurasi yang tepat - dengan kecepatan yang sangat luar biasa dan hampir tidak bisa terlihat oleh mata manusia - dan membuat bingung otak pria yang ada di tengkoraknya itu. Meskipun Sebas bisa saja membuatnya terlempar dengan kecepatan yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia, tapi dia tidak akan bisa membuat ketakutan kepada yang lainnya. Itulah kenapa dia menahan kekuatan miliknya.

"Apakah kalian mau meneruskan?"

Sebas bertanya dengan lirih.

Seakan ketenangan dan kekuatan membuat mereka tersadar, pria-pria itu mundur beberapa langkah sambil meminta maaf secara bersamaan. Sebas berpikir bahwa yang harusnya mereka minta maaf itu adalah adalah orang lain tapi tidak mengucapkannya.

Sebas memutar matanya dari pria itu saat mereka membantu rekan mereka bangun dari tanah. Dia lalu mencoba mendekati bocah tersebut tapi mengurungkannya di tengah jalan.

Apa yang sedang dia lakukan?

Sekarang ini, dia memiliki masalah sendiri yang harus ditangani segera. Tapi dia sedang mencoba untuk memikul beban lain. Betapa bodohnya. Ketika memang sudah begitu, bukankah ini adalah tipe tindakan yang tanpa dipikir lagi tepatnya dan kebaikan yang menjadi alasan mengapa dia sedang berada dalam masalah ini pada awalnya?

Bocah itu terlihat selamat; dia sudah puas dengan hal itu.

Meskipun berpikir demikian, Sebas mendekati bocah yang sedang terbaring di tanah. Dia menyentuh punggung bocah itu dengan pelan dan mengalirkan Ki miliknya. Kesembuhan yang sempurna bisa saja di lakukan jika dia menggunakan kekuatan penuh, tapi itu akan menjadi sangat mencolok.

Setelah memutuskan bahwa dia harus berhenti saat hampir sedikit lagi, Sebas bergerak ke arah orang yang kebetulan berada pada pandangannya.

"...Tolong bawa anak ini ke kuil. Sangat mungkin tulang rusuknya patah. Berhati-hatilah karena ini dan tolong bawa dia dengan hati-hati agar dia tidak terlalu banyak bergerak."

Melihat pria yang diberi instruksi itu menganggukkan kepala, Sebas bergerak lagi. Tidak perlu baginya untuk menembus kerumunan. Kemanapun dia berjalan, kerumunan itu terpisah di depannya.

Saat Sebas akan pergi, dia merasakan sejumlah orang yang mengikutinya telah bertambah.

Namun, ada sebuah masalah. Itu adalah identitas dari penguntitnya yang baru.

Lima orang yang mengikutinya dari rumah tidak diragukan lagi, orang-orang Succulent. Lalu siapa dua orang yang mulai mengikutinya setelah insiden dengan bocah tersebut?

Dari langkah kaki mereka dan suaranya, mereka seperti pria dewasa. Tapi dia tidak bisa menduga siapa itu.

"Memikirkannya tidak akan mendapat jawaban. Maka aku seharusnya menangkap mereka dahulu."

Sebas memutar di jalan dan berjalan semakin dalam dan dalam ke dalam kegelapan. Tetap saja, dia sedang diikuti.

"...Ini membuatku penasaran apakah mereka benar-benar memiliki niat untuk menyembunyikan diri."

Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda menyembunyikan langkah kaki mereka. Sebas penasaran apakah itu karena mereka tidak cukup pandai melakukannya, ataukah jika ada alasan lain. Bagaimanapun juga, dia bisa memastikannya sendiri. Saat kehadiran dari orang yang sedang lewat semakin samar, Sebas akan membuat gerakan ketika - seakan menyamai timingnya - suara dari seorang pria yang masih muda mengalir dari salah satu pengikutnya.

"-Permisi."

Part 3[edit]

Bulan Api Bawah (Bulan ke 9), Hari ke 3, 10:27

Dalam perjalanannya pulang ke istana, Climb melamun saat dia melangkahkan kakinya.

Di dalam kepalanya, dia memikirkan adu pedang dengan Gazef dan berulang kali membayangkan bagaimana pertarungan bisa menjadi lebih baik. Saat dia memutuskan gerakan mana yang harus dicoba jika dia mendapatkan kesempatan lain, sebuah teriakan terdengar. Ada kerumunan orang. Dua prajurit berdiri di samping mereka dan memandang dengan canggung.

Suara gaduh bisa terdengar dari tengah kerumunan. Dari suaranya, itu bukan pertanda baik.

Wajah Climb semakin keras saat dia mendekati para prajurit.

"Apa yang kalian berdua lakukan?"

Dari suara yang tiba-tiba datang dari belakang, prajurit itu berputar dan melihat ke arah Climb dengan terkejut.

Mereka dilengkapi dengan kaos rantai dan tombak. Mereka memakai mantel luar (surcoat) dengan mantel lengan kerajaan di luar kaos rantai mereka. Meskipun itu adalah perlengkapan standar untuk seorang penjaga, dua orang ini kelihatannya terlatih dengan baik.

Untuk awalnya, tubuh mereka kelihatannya tidak terbentuk. Mereka tidak mencukur dengan bersih dan kaos rantai mereka sangat parah perawatannya dan terlihat kotor. Secara keseluruhan, mereka mengeluarkan hawa kurang disiplin.

"Siapa yang..."

Melihat Climb yang lebih muda darinya berbicara tiba-tiba, penjaga itu berbicara dalam suara kebingungan dengan sebuah isyarat jengkel.

"Aku sedang tidak bertugas."

Saat Climb berbicara dengan tegas, kebingungan dalam suara penjaga menyebar ke wajahnya. Bocah yang lebih muda dari mereka ini sedang bicara kepada mereka seakan dia adalah atasan mereka.

Saat mereka memutuskan akan lebih bijak untuk bersikap rendah hati, penjaga itu mengencangkan punggung mereka.

"Kami kira ada semcam keributan."

Climb menekan hasrat untuk menegur mereka yang jelas terlihat, tak seperti para prajurit yang ditempatkan di dalam istana, para penjaga yang berpatroli ke sekeliling ditarik dari orang biasa dan tidak menerima banyak latihan. Dengan kata lain, mereka seperti penduduk yang belajar bagaimana cara mengayunkan senjata.

Climb memalingkan matanya dari penjaga yang canggung kepada kerumunan. Daripada mengandalkan dua orang ini, akan lebih cepat baginya untuk bertindak.

Meskipun dia telah melangkahi otoritasnya dan ikut campur dengan pekerjaan dari petugas patroli, jika dia mengabaikan penduduk yang butuh pertolongan, maka dia sendiri tidak akan mampu menunjukkan muka di depan tuannya yang suka menolong.

"Kalian tunggu disini."

Tanpa menunggu balasan, Climb mencoba untuk memaksa masuk menembus kerumunan. Meskipun ada beberapa celah, dia tidak bisa menembusnya. Tidak, jika manusia manapun bisa menembus disini maka itu akan aneh.

Sambil mencoba memaksa berjalan meskipun dia didorong, Climb mendengar sebuah suara.

"...Menyingkirlah dari hadapanku."

"Apa?"

"Aku akan berkata sekali lagi. Menyingkirlah dari hadapanku."

"Dasar brengsek!"

Ini gawat. Mereka akan menyerang si pak tua.

Wajah Climb semakin merah saat dia mati-matian mencoba untuk memaksa masuk ke dalam. Apa yang masuk ke dalam penglihatannya adalah penampilan seorang pak tua dan pria yang mengelilinginya. Seorang bocah lusuh yang ada di kaki pria-pria tersebut.

Pak tua yang berpakaian sangat rapi mengeluarkan hawa elegan yang membuatnya terlihat seperti bangsawan, atau seseorang yang melayani mereka. Masing-masing pria yang mengelilinginya memiliki penampilan yang kasar dan kelihatannya mabuk. Jelas sekali pihak mana yang salah.

Pria yang paling besar dari orang-orang itu memukulkan tinjunya. Ketika membandingkannya dengan pak tua, perbedaannya sangat jauh sekali. Ukuran tubuh mereka, ukuran otot mereka, temperamen keras yang tidak ragu untuk menumpahkan darah; jika dia menyerang pak tua itu, pak tua itu akan dengan mudah dikirim terbang. Orang-orang di sekitar mereka yang menyadari ini membayangkan tragedi yang akan terjadi kepada pak tua dan mengeluarkan teriakan kecil.

Namun, Climb yang sedang berada di tengah kerumunan merasakan sebuah perasaan bahaya yang kecil.

Tidak diragukan lagi, sisi dari pria itu kelihatannya lebih tangguh. Namun malahan, dia merasa seakan pak tua itu mengeluarkan atmosfir kekuatan absolut.

Saat itu Climb yang sedang linglung tidak dapat menggunakan peluang untuk menghentikan tinju kekerasan dari pria tersebut. Dia mengangkat tangannya dan -

-roboh.

Suara yang dipenuhi rasa terkejut datang dari sekeliling Climb.

Pak tua itu dengan akurant memukul dagu pria tersebut. Bukan hanya itu, dia melakukannya dengan kecepatan yang menakjubkan. Sangat cepat sehingga orang seperti Climb yang terlatih penglihatan dinamik mereka hampir tak bisa menangkapnya.

"Apakah kalian ingin melanjutkan?"

Ketenangan dan skill yang tidak bisa kamu ketahui dari penampilan luar. Digabungkan, hal itu membuat sadar pria-pria tersebut dari mabuk mereka. Para pria itu benar-benar kehilangan hasrat bertarung.

"Ti..Tidak, itu adalah kesalahan kami."

Saat mereka mundur beberapa langkah sambil meminta maaf berbarengan, pria itu memegang pemimpin mereka dan kabur. Climb tidak ada niat untuk mengejar mereka. Seakan hatinya telah dicuri oleh pak tua dengan punggung lurus tersebut, Climb tidak bisa bergerak.

Sebuah postur tubuh yang selurus pedang, itu adalah penampilan yang lama diimpikan warrior manapun.

Pak tua itu menyentuh punggung si bocak seakan memeriksa kondisinya. Dia lalu meminta seseorang yang ada di dekat situ untuk merawatnya dan pergi. Gerombolan itu membelah dengan garis lurus untuk membuat jalan bagi pak tua. Tak ada yang bisa memalingkan mata mereka dari punggungnya, sebuah penampilan yang tidak ada kurangnya.

Climb cepat-cepat berlari ke bocah yang roboh dan mengambil potion yang dia terima dari Gazef selama latihan.

"Apakah kamu bisa meminumnya?"

Tidak ada balasan. Dia benar-benar pingsan.

Climb membuka penutup botolnya dan menuangkan isinya ke tubuh si bocah. Meskipun bisa dengan mudah menganggap potion sebagai obat untuk diminum, tidak ada masalah dalam menuangkannya ke tubuh. Itu adalah kehebatan dari magic.

Potion tersebut meresap ke tubuh si bocah, seakan kulitnya menghisap cairan tersebut. Melihat kulit wajah si bocah kembali berwarna, Climb merasa lega dan menganggukkan kepalanya.

Orang-orang di sekitar melihat Climb yang menggunakan item mahal seperti potion dan sama terkejutnya saat mereka melihat kemampuan pak tua tadi. Namun, tak usah dikatakan lagi, Climb tidak menyesalinya. Selama para penduduk membayar pajak, itu adalah tugas dari mereka yang hidup dari pajak untuk melindungi mereka dan memastikan keselamatan mereka. Kaena dia tidak bisa memenuhi tugasnya, Climb merasa bahwa dia setidaknya harus melakukan ini.

Meskipun potion itu seharusnya memastikan bahwa tidak akan ada lagi masalah dengan si bocah, akan lebih baik untuk membawanya ke kuil untuk berjaga-jaga. Climb memberikan sinyal kepada para penjaga yang sedang berdiri. Kelihatannya mereka sedang memanggil lebih banyak lagi; dua orang penjaga ditambah dengan tiga orang lagi.

Orang-orang di sekitar melihat ke arah penjaga yang baru saja tiba dengan menghina. Para penjaga itu terlihat gugup saat Climb bicara dengan salah satu dari orang-orang itu.

"Bawa anak ini ke kuil."

"Apa yang terjadi disini? Sebenarnya..."

"Ada kekerasan. Aku menggunakan potion healing jadi seharusnya tidak ada masalah apapun, tapi bawa dia untuk jaga-jaga."

"ya, mengerti!"

Meninggalkan para penjaga untuk menyelesaikannya, Climb menilai bahwa tidak ada lagi yang perlu dilakukannya disini. Tak ada hal bagus yang akan datang dari prajurit yang bekerja di istana ikut campur lebih jauh dengan pekerjaan orang lain.

"Aku asumsikan kamu bisa mencari tahu apa yang terjadi disini dari saksi mata yang melihatnya dari awal."

"Saya akan melakukan apa yang anda katakan."

Setelah menerima perintah mereka, para penjaga menemukan kepercayaan diri dan cepat-cepat bergerak. Climb lalu berdiri dan berlari, mengabaikan suara dari para penjaga yang menanyakan kemana dia akan pergi.

Setelah tiba di belokan jalan dimana pak tua itu berputar, Climb melambatkan langkahnya.

Dia lalu mengikutinya.

Matanya jatuh ke punggung pak tua yang sedang berjalan di belakangnya.

Meskipun dia ingin berbicara langsung kepadanya, kapanpun dia menemukan keberanian untuk melakukan hal itu, Climb menurunkan kepalanya. Rasanya seakan sebuah tekanan mengalahkannya - seperti sebuah dinding tebal yang tak terlihat.

Pak tua itu berputar ke jalan ini dan itu dan jalannya semakin gelap. Climb mengikutinya dari belakang tanpa mampu berkata apapun.

Ini sama dengan menguntit pak tua itu.

Climb merasa seperti mencabut rambutnya sendiri melihat dari apa yang sedang dia lakukan. Tak perduli seberapa kerasnya bicara dengan pak tua itu. Ini tidak benar. Climb mencoba mencari cara terbaik seakan situasinya berbalik saat mengikuti pak tua itu.

Akhirnya, mereka berputar ke dalam jalan lorong dengan tak ada satupun yang melihat. Climb menghirup nafas dalam-dalam dan, seperti seorang pria yang akan menyatakan cinta kepada gadis yang dia sukai, memeras seluruh keberaniannya dan bicara.

"-Permisi."

Merespon suaranya, pak tua itu berbalik.

Baik rambut dan jenggotnya berwarna putih, tapi punggungnya yang tegap mengingatkannya dengan sebuah pedang ditempa oleh baja. Roman yang jelas dari wajahnya dihiasi oleh kerutan dan meskipun itu membuatnya terlihat lembut, matanya sangat tajam, seperti seekor elang yang menatap mangsanya.

Dia bahkan mengeluarkan aura seorang bangsawan yang tinggi.

"Ada apa?"

Meskipun entah bagaimana dia bisa merasakan usia dari pak tua itu melalui suaranya, kedengarannya memaksakan dan penuh dengan kehidupan. Merasakan tekanan yang tak kasat mata dari mata pak tua tersebut, Climb menelan ludahnya.

"Uh, uh--."

Climb terdorong oleh energi pak tua tersebut dan tak bisa bicara. Lalu, pak tua itu muncul untuk melepaskan energi yang berkumpul di dalam tubuhnya.

"Siapa kamu?"

Nadanya menjadi lembut. Climb akhirnya terlepas dari tekanan dan tenggorokannya sekarang bisa bergerak seperti biasa.

"..Nama saya adalah Climb, seorang prajurit negeri ini. Saya disini untuk memberikan rasa terima kasih yang tulus karena telah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan."

Saat Climb membungkuk rendah, pak tua itu memicingkan matanya seakan berpikir dan bergumam lirih "Ahh" akhirnya dia mengerti apa yang dia maksud.

"...Tidak usah dipikirkan. Kalau begitu."

Saat pak tua itu mencoba untuk mengakhiri percakapan dan berjalan pergi, Climb mengangkat wajahnya dan bertanya.

"Tolong tunggu sebentar. Sebenarnya... meskipun saya malu untuk mengakuinya, saya mengikuti anda. Sebenarnya, saya tidak keberatan meskipun anda tertawa atas permintaan saya, tapi jika tidak apa bagi anda, bisakah anda mengajari saya teknik yang anda gunakan tadi?"

"...Apa maksudmu?"

"Saya sedang melakukan latihan untuk menjadi lebih kuat dan ingin bejalar meskipun satu porsi kecil dari gerakan menakjubkan dan teknik yang anda tunjukkan tadi."

Pria itu memeriksa Climb dari atas ke bawah.

"Hmmm.... tolong tunjukkan kedua tanganmu."

Climb mengulurkan tangannya dan pak tua itu menatap lengannya dengan tatapan yang menusuk. Rasanya agak canggung. Pak tua itu membalikkan tangan Climb lagi dan memeriksa kuku-kukunya, lalu mengangguk puas.

"Tangan-tangan itu sangat tebal dan keras, tangan yang bagus untuk seorang warrior."

Mendengar kalimat yang dia katakan dengan senyuman ini, Climb merasa hatinya semakin tambah hangat. Dia merasakan kebahagiaan yang mirip ketika Gazef memujinya.

"Tidak, seseorang seperti saya ini... adalah warrior yang remeh."

"Aku kira kamu tidak perlu serendah hati seperti itu.. boleh aku minta kepadamu untuk menunjukkan pedangmu selanjutnya?"

Pak tua itu menggenggam pedang di tangannya dan menatap mata pisaunya dengan mata yang tajam.

"Aha... apakah ini pedang terbalik?"

"Bagaimana anda bisa tahu?!"

"Seperti yang kuduga, apakah kamu melihat irisan di mata pedang sebelah sini?"

Melihat ke arah tempat yang ditunjuk memang ada sedikit retak pada satu sisi dari mata pedang. Dia pasti telah mengacaukan tebasannya ketika berlatih.

"Saya telah menunjukkan sesuatu yang memalukan!"

Rasa malu membuatnya ingin menghilang kemanapun. Climb tahu bahwa dia sangat tidak berpengalaman dan sangat waspada, bahkan hingga gugup, tentang keadaan senjatanya, seluruhnya untuk usaha meningkatkan peluangnya dalam kemenangan meskipun hanya sedikit jumlahnya. Tidak, dia mengira dia melakukannya hingga saat ini.

"Ternyata begitu. Aku mendapatkan pandangan umum tentang kepribadianmu. Tangan dari seorang warrior dan senjatanya adalah cermin yang memantulkan pemiliknya. Kamu adalah orang yang memberikan kesan yang cukup menyenangkan."

Telinganya menjadi merah, Climb menatap ke arah pak tua itu.

Itu adalah senyuman yang lembut dan anggun.

"Aku mengerti. Aku akan memberimu sedikit latihan. Namun-"

Saat Climb akan mengutarakan rasa terima kasihnya, pak tua itu menghentikannya dan melanjutkan.

"Aku memiliki sesuatu yang ingin aku minta padamu. Kamu bilang bahwa kamu adalah prajurit, benarkah? Sebenarnya, beberapa hari yang lalu aku menolong seorang gadis tertentu..."

Mendengar seluruh cerita dari pak tua yang memperkenalkan diri sebagai Sebas, Climb merasakan kemarahan yang kuat.

Fakta bahwa seseorang sedang menyalahgunakan kebebasan budak yang diumumkan oleh Renner dalam cara seperti itu, menyadari bahkan sekarang, tak ada yang berubah sejak itu, dia tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

Tidak, bukan itu. Climb menggelengkan kepalanya.

Pasar budak telah dilarang oleh hukum di kerajaan. Namun, meskipun itu bukanlah perbudakan, tidak jarang mendengar orang yang harus bekerja di dalam lingkungan yang parah karena hutang. Ada banyak dari mereka yang mencari celah mengenai hukum itu. Tidak, itu karena para pencari celah itulah sehingga hukum melarang pasar budak yang bisa dilewati pada awalnya.

Hukum yang dikeluarkan oleh Renner hampir tidak ada gunanya. Meskipun pemikiran menyedihkan itu berlari menembus akalnya, dia mengesampingkannya. Apa yang harus dia pikirkan sekarang adalah situasi Sebas.

Climb mengerutkan dahi.

Itu adalah posisi yang benar-benar tidak menguntungkan. Meskipun menyelidiki kontrak pekerjaan gadis itu bisa membuat mereka membalas dendam, sulit dibayangkan bahwa mereka akan meninggalkan titik lemah seperti itu dalam persiapan mereka. Jika dia mengajukan banding kepada hukum, Sebas pastinya akan kalah.

Alasan musuh mereka tidak memilih untuk menyelesaikan secara legal adalah karena mereka menilai bahwa melakukannya dengan cara mereka sendiri akan lebih menguntungkan.

"Apakah kamu tahu seseorang yang bisa menghentikan korupsi atau meminjamkan bantuan kepada kita?"

Climb hanya tahu satu orang, tuannya. Dia bisa bilang dengan percaya diri bahwa tidak ada bangsawan yang lebih murni dan bisa dipercaya daripada Renner.

Namun, dia tidak bisa memperkenalkannya.

Yang bisa melakukan apa yang mereka lakukan pasti memiliki berbagai macam koneksi dengan orang-orang yang kuat. Tidak diragukan lagi, para bangsawan yang berteman dengan mereka akan memiliki otoritas yang signifikan. Jika sang putri, yang merupakan bagian dari fraksi kerajaan, menggunakan otoritasnya untuk memerintahkan penyelidikan dan menolongnya sehingga membuat hal itu melukai fraksi bangsawan, bisa membuat konflik skala penuh antara dua kelompok.

Menggunakan kekuatan tidak mudah, terutama dalam kasus seperti Kingdom dimana tidak ada jaminan bahwa dua fraksi yang sedang berkonflik tidak akan menjadi perang saudara.

Renner tidak bisa karena itu akan membuat kerajaan roboh.

Itu adalah alasan mengapa topik yang muncul dalam diskusi dengan Lakyus dan kelompoknya. Itulah kenapa Climb tidak melakukan apapun. Tidak, dia tidak bisa berkata apapun.

Menafsirkan sesuatu dari diamnya Climb yang lahir dari kebingungannya, Sebas bergumam bahwa dia mengerti dan mengatakan hal yang mengejutkan.

"..Menurut gadis itu, tempat tersebut memiliki banyak orang lain disamping dia, tak perduli jenis kelaminnya."

Tidak mungkin, meskipun itu dijalankan oleh organisasi perdagangan budak, sebuah tempat pelacuran seperti itu masih ada? Atau.. mungkin saja tempat pelacuran itulah yang mereka bicarakan?

Climb bicara.

"Jika hanya untuk menolong mereka kabur... Saya bisa meminta tuan saya. Dia memiliki teritori sendiri sehingga jika mereka meminta perlindungan disana..."

"Apakah itu mungkin?... Dan gadis itu bisa dilindungi disana pula?"

"...Maafkan saya, Sebas-sama. Saya tidak bisa bilang pada anda dengan pastinya tanpa meminta kepada tuan saya. Tapi tuan saya adalah orang yang baik, orang itu akan menyetujui tanpa ragu!"

"Hoh. Jika tuanmu begitu dapat diandalkan... dia pasti orang yang memang sangat menakjubkan."

Atas pertanyaan Sebas, Climb mengangguk dalam-dalam. Tak ada yang lebih hebat, dia mengklaimnya.

"Meskipun ini dianggap masalah yang berbeda, apa yang terjadi jika ada bukti bahwa pelacuran itu juga termasuk dalam perdagangan budak dan oleh karena itu melawan hukum? Apakah ini akan ditutupi pula?"

"Meskipun itu mungkin, jika bukti diberikan kepada tangan yang benar... Aku ingin percaya bahwa kerajaan ini tidak akan sekorup itu sehingga mengabaikannya."

"...Aku mengerti. Kalau begitu biarkan aku bertanya kepadamu pertanyaan yang berbeda. Mengapa kamu ingin menjadi kuat?"

"Eh?"

Pada topik yang tiba-tiba, Climb tidak sengaja membuat suara aneh.

"Tadi, kamu memintaku mengajarimu teknikku. Meskipun aku memutuskan bahwa kamu adalah orang yang bisa dipercaya, aku ingin tahu alasan dibalik mengapa kamu mencari kekuatan."

Climb memicingkan matanya terhadap pertanyaan Sebas.

Mengapa dia ingin menjadi lebih kuat?

Climb adalah anak yang dibuang yang tidak tahu wajah dari orang tuanya. Cerita seperti ini bukan hal yang langka di Kingdom. Mati di lumpur bukanlah hal yang langka pula.

Climb juga salah satu dari mereka yang nasibnya harus mati di tengah hujan.

Namun -  di hari itu, Climb bertemu dengan matahari. Wujud yang sedang merangkak di dalam kotoran, di dalam kegelapan, terpana akan cahaya itu.

Ketika dia masih muda, dia sangat menginginkannya. Dan saat dia tumbuh besar, perasaannya berubah bentuk tanpa ragu.

-itu adalah cinta.

Dia harus menyingkirkan perasaan ini. Keajaiban yang dinyanyikan oleh para penyanyi keliling takkan pernah terjadi di dalam kenyataan. Seperti bagaimana dia tidak bisa menyentuh matahari, keingingan Climb takkan pernah terpenuhi. Tidak, itu harus terpenuhi.

Wanita yang dicintai oleh Climb, nasibnya pada akhirnya adalah dinikahkan oleh orang lain. Seorang putri tidak bisa dinikahkan kepada orang yang latar belakangnya tak diketahui seperti Climb, seseorang yang lebih rendah daripada rakyat biasa.

Jika sang raja harus mati dan pangeran pertama harus mewarisi takhta, Renner akan menikah langsung dengan bangsawan yang memiliki kelas yang tinggi. Kelihatannya pembicaraan itu sudah berjalan antara pangeran dan bangsawan tinggi. Dia mungkin akan dikirim ke kerajaan tetangga sebagai alat untuk pernikahan politik.

Sebaliknya, meskipun sudah berusia yang cukup untuk menikah, kenyataan bahwa Renner bahkan tidak memiliki seorang tunangan satupun, jangankan menikah, adalah hal yang aneh.

Baginya, saat ini adalah waktu yang seperti emas. Seberharga itu sehingga dia akan rela untuk membayar dengan apapun untuk menghentikan waktu. Jika dia tidak menuangkan seluruh waktunya untuk latihan, maka dia bisa menikmati saat itu meskipun sedikit lebih lama.

Climb memang sederhana, orang biasa yang tak memiliki bakat. Meskipun begitu, di akhir latihannya, dia memiliki kemampuan yang tinggi jika dibandingkan dengan prajurit lain. Maka bukankah lebih baik untuk memuaskan dirinya dan menghentikan latihan disini sehingga dia bisa melayani Renner di sampingnya sedikit lebih lama lagi?

Namaun - apakah itu benar-benar cukup?

Climb sangat mengingikan cahaya matahari. Itu bukan sebuah kebohongan atau salah pengertian. Itu adalah pemikiran yang lahir dari kebenaran yang sejati dari Climb.

Namun-

"Karena aku adalah seorang pria."

Climb tersenyum.

Benar sekali. Climb ingin selalu di sisinya. Matahari yang bersinar dengan terang di langit, seorang pria yang tak pernah bisa berdiri di sampingnya. Meskipun begitu, dia ingin naik lebih tinggi agar dia bisa menjadi perwujudan yang bisa lebih dekat dengan matahari, tak perduli apapun batasannya.

Dia tidak ingin berharap untuk selalu tetap menjadi seseorang yang harus mengangkat wajahnya untuk melihat dia.

Ini adalah pemikiran sepele dari seorang anak laki-laki, tapi bagaimanapun sangat cocok untuk seorang anak laki-laki.

Dia ingin menjadi seorang pria yang cocok dengan wanita yang sangat diinginkannya, meskipun mereka tak pernah bisa bersama.

Pemikiran ini adalah mengapa dia mampu menahan kehidupan tanpa teman, latihan yang keras, dan pelajarannya yang harus memotong waktu tidurnya.

Jika seseorang ingin menyebutnya orang bodoh dan menghinanya, maka biarkan saja mereka.

Mereka yang benar-benar tidak mencintai orang lain takkan pernah bisa mengerti perasaannya.


Sebas memicingkan matanya saat dia mengamati dengan tulus. Seakan jika dia mencoba untuk memahami segudang makna dibalik jawaban pendek Climb. Dia lalu menganggukkan kepala puas.

"Aku sudah memutuskan bagaimana melatihmu dari balasanmu."

Dia menghentikan Climb saat dia mencoba untuk mengutarakan rasa terima kasihnya.

"Namun, maafkan aku harus bilang bahwa kamu tidak memiliki bakat. Melatihmu dengan sungguh-sunggu akan memakan banyak waktu, waktu adalah yang tidak aku punya. Aku ingin melatihmu agar hasilnya bisa terlihat jelas tapi... ini akan berat."

Climb menelan ludah. Kilauan di mata Sebas membuat punggungnya gemetar.

Alasan dia tidak langsung merespon karena dia merasakan kekuatan di mata itu. Itu adalah kekuatan yang tidak mungkin ada, kekuatan yang melebihi bahkan Gazef yang sedang serius.

"Aku akan bilang padamu dengan jujur, kamu mungkin bisa mati."

Itu bukan candaan.

Climb merasakan firasat bahwa dia berbicara yang sebenarnya. Dia tidak perduli apakah dia mati atau tidak. Namun, itu hanya masalah jika itu adalah untuk Renner. Dia tidak ingin kehilangan nyawa hanya karena masalah yang egois.

Itu bukan karena dia menjadi ketakutan. Tidak, mungkin itu adalah alasan yang sebenarnya.

Climb menelan air ludahnya lalu ragu-ragu. Keadaan sekitar didominasi oleh keheningan sesaat, cukup hening sehingga bisa mendengar suara di kejauhan.

"Apakah kamu selamat atau tidak itu terserah padamu.. Jika kamu memiliki sesuatu yang kamu sayangi, sebuah alasan untuk merangkak maju dan mempertahankan hidupmu, kamu akan baik-baik saja."

Bukankah dia akan mengajarinya martial art?

Mesipun pertanyaan itu muncul di otaknya, itu bukan masalah saat ini. Memahami apa arti ucapan Sebas, dia menerima itu dan memberikan balasan.

"Aku sudah siap. Aku serahkan pada anda."

"Apakah maksudmu kamu memiliki kepercayaan diri untuk tidak mati?"

Climb menggelengkan kepala, bukan itu.

Itu karena di hatinya, Climb selalu membawanya sebagai alasan untuk bertahan hidup, meskipun dia harus merangkak di lantai.

Sebas mengangguk dalam-dalam, seakan dia telah membaca apa yang ada di dalam hati Climb dengan melihat ke matanya.

"Aku mengerti. Kalau begitu aku akan mulai latihannya disini."

"Disini?"

"Ya, hanya akan memakan waktu beberapa menit. Tolong angkat senjatamu."

Apa yang coba dia lakukan? Dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegelisahan dan kebingungan terhadap hal yang tidak diketahui dan secercah samar harapan dan rasa ingin tahu, Climb menghunus pedangnya.

Suara dari pedang yang bergeser dari sarungnya terdengar ke seluruh lorong sempit.

Sebas diam-diam menatap saat Climb mengambil sikap menengah.

"Kalau begitu aku akan mulai. Berkonsenstrasilah."

Dan pada langkah selanjutnya-

-Dengan Sebas sebagai pusatnya, kelihatannya seakan pedang es keluar di segala penjuru.

Overlord vol 05 ch 4 01.jpg

Climb tidak bisa bicara lagi.

Sebuah pusaran nafsu membunuh berputar di sekeliling dengan Sebas sebagai pusatnya.

Energi yang sangat padat dan warnanya yang menjadi kelihatan menabraknya seperti ombak yang mengamuk, membuat hatinya serasa seperti akan meledak dalam sekejap. Dia mengira bahwa dia mendengar sebuah suara seperti teriakan jiwa saat dihancurkan. Kedengarannya seakan datang tepat dari sampingnya, sebuah tempat yang jauh, atau mungkin dari mulutnya sendiri.

Saat dia digulung oleh arus hitam nafsu membunuh, Climb merasa kesadarannya menjadi putih. Ketakutannya sangat besar bahwa otaknya akan melepaskan kesadarannya agar bisa mengabaikan situasi ini.

"...apakah hanya ini nilai dari seorang 'pria'? Ini baru pemanasan."

Di dalam kesadaran Climb yang semakin hilang, suara kecewa Sebas terdengar sangat keras.

Arti dari kalimat ini masuk dalam-dalam jauh ke otak Climb, jauh lebih dalam dari pisau apapun. Itu sudah cukup untuk membuat dia melupakan ketakutan untuk sesaat yang telah menabraknya dari depan.

Thump. Detak jantung semakin keras.

"Haaa!!"

Climb melepaskan udara nafas yang besar.

Matanya basah dengan air mata dan meskipun sudah sangat ketakutan sehingga ingin lari, dia menahannya. Tangan yang menggenggam pedang itu gemetar dan pucuk dari pedang itu berguncang seakan sudah menjadi gila. Getaran yang mengalir melalui sekujur tubuhnya menyebabkan kaos rantainya berbunyi dengan keras.

Namun, Climb menggeretakkan gigi-giginya yang gemetaran dan mencoba untuk bertahan dari Sebas yang haus darah.

Melihat penampilan yang tidak mengenakkan, Sebas menyeringai dan pelan-pelan membentuk sebuah tinju dengan tangan kanannya yang tepat di depan mata Climb. Setelah beberapa kali berkedip, tinju yang seperti bola itu sempurna.

Seperti memasang sebuah anak panah pada benang, tinju itu pelan-pelan ditarik ke belakang.

Meskipun dia berdiri disana gemetaran, Climb menyadari bahwa apa yang akan terjadi dan menggetarkan kepalanya dari sisi ke sisi. Tak usah dikatakan lagi, tanda yang dia berikan tidak berefek kepada Sebas.

"Kalau begitu... matilah."

Seperti sebuah anak panah yang meledak dari benang yang tegang, tinju Sebas melayang kepadanya dengan suara yang membelah udara.

- Ini akan menjadi kematian dalam sekejap.

Climb menyadari ini saat waktu menjadi pelan. Kelihatannya seakan sebuah bola baja yang besar yang bahkan lebih tinggi daripada dirinya meluncur kepadanya pada kecepatan yang ganas. Pikirannya dipenuhi dengan gambar dari kematian yang lengkap dan absolut ini. Meskipun jika dia ingin mengangkat pedangnya dan menggunakannya sebagai tameng, akan mudah dihancurkan dengan tinju ini.

Tubuhnya bahkan tidak bergeming. Kegelisahan yang besar membuatnya benar-benar kaku.

-Tidak mungkin bisa lepas dari kematian yang ada di depan matanya.

Climb menyerahkan nasibnya dan di waktu yang sama, menjadi marah dengan dirinya sendiri.

Jika dia tidak bisa memberikan hidupnya untuk Renner, mengapa dia tidak mati saja sekarang? akan lebih baik baginya untuk mati sendirian, gemetar di dalam dinginnya hujan.

Di dalam matanya, dia melihat wajah cantik Renner.

Ada yang berkata jika seseorang sudah mendekati kematian, mereka akan melihat hidup mereka selama ini di depan mata. Itu adalah efek dari otak yang mencari ingatan masa lalu untuk keluar dari situasi ini. Tetap saja, dia menemukan itu sedikit menghibur karena hal terakhir yang dia lihat adalah senyuman dari tuannya yang sangat dia cintai dan hormati.

Benar sekali. Apa yang Climb lihat adalah senyuman Renner.

Segera setelah dia menyelamatkan hidup Climb, Renner yang masih muda tidak menunjukkan senyumannya. Kapan dia mulai tersenyum?

Dia tidak bisa mengingatnya. Namun, dia memang teringat dia tersenyum dengan malu-malu.

Jika dia tahu kematian Climb, bukankah senyum itu akan hancur? Seperti sebuah awan gelap yang menghalangi matahari?

-Jangan membuatku tertawa!

Kemarahan yang muncul dari lubuk hati Climb.

Dia adalah orang yang menyelamatkan hidupnya yang telah dia buang ke sisi jalanan. Jika begitu, nyawanya bukanlah miliknya lagi. Tubuh ini adalah untuk Renner, untuk memberikan meskipun sedikit sekali bentuk kebahagiaan.

Pasti ada cara untuk keluar dari sini-!

Rantai ketakutan telah hancur dengan emosi kuat yang mulai muncul.

Tangannya bergerak.

Kakinya juga bergerak pula.

Mata yang akan tertutup terbuka lebar. Dia mencoba mati-matian dengan mata telanjang untuk mendeteksi tinju berkecepatan ultra tinggi yang menuju ke arahnya.

Seluruh indera di tubuhnya ditekan hingga batas mereka, hingga titik dimana dia bahkan bisa merasakan getaran udara.

Seperti bagaimana seseorang menunjukkan kekuatan super pada kebakaran, ketika gawat darurat, otak melepaskan keamanan yang ditempatkan di otot dan membuat mereka bisa menunjukkan kekuatan yang sebelumnya tidak mungkin.

Otak yang mengeluarkan cairan kimia dalam jumlah banyak dan fokusnya otak seluruhnya kepada cara untuk selamat. Dengan cepat memproses informasi dalam jumlah banyak dan memilih tindakan yang paling optimal.

Dalam sesaat, Climb melangkahkan kaki ke dalam dunia warrior kelas satu. Namun, bahkan hal itu telah dilewati oleh kecepatan dari serangan Sebas. Sangat mungkin bahwa ini sudah terlambat, sehingga tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk menghindari tinju Sebas. Meskipun begitu, dia harus bergerak. Bagaimana dia bisa menyerah?

Dalam kompresi waktu yang cepat itu, gerakannya sendiri terlihat selambat kura-kura. Meskipun begitu, Climb mati-matian menggerakkan tubuhnya.

Dan-

Boom. Dengan sebuah teriakan, tinju Sebas melewati wajah Climb. Tekanan angin yang datang dari serangan itu telah merontokkan beberapa helai rambut dari kepalanya.

Dia mendengar suara lirih.

"Selamat. Bagaimana rasanya melewati rasa takut akan kematian?"

-

-Tak mampu mengerti apa yang dia katakan, Climb menunjukkan ekspresi bodoh di wajahnya.

"Bagaimana rasanya menghadapi kematian? Dan bagaimana rasanya melewatinya?"

Climb sangat terengah-engah dan menatap Sebas dengan ekspresi linglung. Wajahnya terlihat seakan dia memiliki beberapa skrup yang kendor. Haus darah tadi menghilang tanpa jejak. Hanya ketika ucapan Sebas yang pada akhirnya masuk ke dalam kepalanya sehingga dia bisa merasakan suatu perasaan lega.

Seakan rasa haus darah yang kuat seluruhnya telah ditahan, Climb roboh seperti boneka yang terputus benangnya.

Sambil berada di tangan dan lututnya, dia dengan rakus menghirup udara segera ke dalam paru-parunya.

"...Untungnya kamu tidak mati karena kaget. Ada waktunya ketika tubuhmu sangat percaya bahwa kematian yang membuat kemampuan untuk mendukung hidup menyerah.

Masih ada hal yang pahit di tenggorokan Climb. Ini pasti rasa dari kematian itu sendiri, pikirnya.

"Mengulang ini berkali-kali akan membuatmu bisa melewati ketakutan yang paling besar. Tapi kamu harus hati-hati. Ketakutan adalah yang memicu insting untuk menyelamatkan diri. Jika rasa takut itu menjadi tumpul sepenuhnya, maka tidak akan bisa mengenali bahkan bahaya yang paling jelas. Kamu harus bisa membedakan diantara mereka."

"Meskipun aku tidak sopan, Sebas-sama, siapa anda?"

"Apa maksudmu?"

"Rasa haus darah itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh orang biasa. Siapa sebenarnya.."

"Saat ini aku hanyalah orang tua biasa yang percaya diri akan kemampuannya."

Climb tidak bisa memalingkan matanya dari wajah senyuman Sebas. Meskipun dia kelihatannya tersenyum dengan lembut, itu juga terlihat seperti senyum yang menakutkan dari kekuatan yang luar biasa jauh melebihi Gazef.

Dia adalah perwujudan yang mungkin lebih kuat dari Gazef itu sendiri, warrior terkuat di antara negara tetangga.

-Climb memutuskan bahwa rasa penasarannya sudah cukup sampai disitu. Dia merasa bahwa tidak ada hal yang baik yang akan datang jika menggali lebih dalam.

Namun, satu hal yang terbakar di pikirannya adalah pertanyaan bahwa siapa orang tua yang bernama Sebas ini sebenarnya. Dia bahkan mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia adalah salah satu dari tiga belas pahlawan dari masa lalu.

"Kalau begitu mari kita coba sekali lagi-."

"Tu..Tunggu! Aku punya pertanyaan!"

Sebuah suara ketakutan dari seorang pria terdengar dari belakang, memotong ucapan Sebas.

Part 4[edit]

Bulan Api Bawah (Bulan ke 9), Hari ke 3, 9:42

Brain melangkah keluar dari kediaman Gazef.

Dia melihat ke samping dan mengingat tampilan luar rumah Gazef agar dia bisa tahu jalan pulang. Dia tidak bisa mengingat bagaimana bentuknya dulu ketika Gazef menyeretnya kemari; pikirannya sedikit kabur karena hipotermia.

Dia setidaknya tahu lokasi dari rumah Gazef karena dia berencana untuk mengunjunginya agar bisa menantang Gazef bertarung. Namun, karena dia hanya pernah mendengarnya dari mulut ke mulut, ada sedikit kesalahan dalam informasinya.

"Di atap rumah itu tidak ada pedang yang tertancap."

Dia mengamati dengan teliti rumah tersebut mengutuk pemberi informasi yang telah memberinya informasi yang salah. Rumah itu lebih kecil bila dibandingkan dengan rumah-rumah bangsawan yang ada di sana. Jika seseorang membandingkannya, rumah tersebut terlihat seakan jika seorang penduduk yang kaya layak tinggal disana. Bagaimanapun juga, sudah lebih dari cukup bagi tiga orang: Gazef dan sepasang pelayan yang tinggal di sana.

Memasukkan ke dalam ingatannya, Brain melanjutkan perjalanannya.

Dia tidak menuju tujuan manapun secara khusus.

Dia tidak lagi ingin berkeliling mencari item magic, senjata-senjata, atau armor.

"Apa yang harus kulakukan...."

Gumamannya menghilang ke ruang kosong.

Tidak masalah jika dia hanya pergi kemanapun dan menghilang. Bahkan sekarang, otaknya sangat tertarik sekali dengan ide tersebut.

Meskipun dia telah mencari di hatinya atas apa yang ingin dia inginkan, dia hanya menemukan sebuah lubang kosong di tempat itu. Bahkan tak ada sedikitpun sisa dari tujuan yang sudah hancur dulu.

Lalu mengapa-

Melihat ke bawah, katana ada di tangan kanannya. Di balik bajunya, dia sedang mengenakan baju rantai (chain shirt).

Alasan mengapa dia menggenggam katana sebelum tiba di ibukota adalah rasa takut. Meskipun jika dia tahu bahwa itu tidak akan ada apa-apanya bagi monster yang disebut Shalltear yang telah menahan serangan kekuatan penuh miliknya hanya dengan kuku dari jari kelingkingnya, kegelisahan tanpa adanya pedang itu terlalu besar dirasakan.

Lalu mengapa dia masih tetap memegangnya? Tidak masalah meskipun dia meninggalkan pedang itu. Seperti yang diduga, apakah itu karena dia gugup?

Memikirkannya lagi, Brain memiringkan kepalanya.

Tidak.

Namun, kenapa dia membawa katana itu bersamanya, tak ada jawaban yang datang.

Brain berjalan sambil mengingat ibukota waktu dulu ketika dia mengunjunginya untuk pertama kali. Sementara bangunan seperti istana dan guild Magician masih tetap tidak berubah, dia melihat banyak bangunan yang baru. Saat Brain mencoba untuk menikmati jarak di ingatannya, ada sebuah keributan di jalan depan sana.

Dia mengerutkan dahi melihat keributan itu. Suara yang datang dari depannya dipenuhi dengan rasa kekerasan yang tajam.

Saat dia akan berputar untuk mengambil jalan berbeda, matanya menjadi tertarik oleh seorang pak tua. Pak tua itu kelihatannya seperti meluncur menembus kerumunan itu saat dia menuju jauh ke dalam.

"..A-Apa? Gerakan apa itu?"

Matanya berkedip beberapa kali saat kalimat itu tak sengaja keluar. Gerakan-gerakan itu benar-benar terlalu luar biasa. Itu membuatnya seakan-akan dia baru saja melihat mimpi di siang bolong, atau mungkin hasil dari semacam mantra.

Masih diragukan apakah Brain bisa mengikuti gerakan pak tua itu atau tidak. Teknik seperti itu hanya mungkin bisa dilakukan jika seseorang bisa membaca aliran dari dorongan dan tarikan yang tercipta baik dari individu tersebut dan seluruh kerumunan.

-Apa yang dia lihat adalah sebuah keahlian dari tubuh.

Kakinya bergerak ke arah pak tua itu tanpa ragu.

Setelah mendorong minggir orang lain dan tiba di tengah kerumunan, apa yang Brain lihat adalah saat ketika pak tua itu menyerang dagu pria tersebut dengan kecepatan yang tinggi.

Lalu bagaimana? Serangan yang tadi itu... Jika itu adalah aku, bisakah aku menghindarinya? Itu mungkin sulit. Apakah dia menipu indera pria tersebut? Apakah aku hanya terlalu banyak berpikir? Lagipula, itu adalah serangan yang sangat bersih, tak ada satupun gerakan yang sia-sia...

Dia bisa merasakan kekaguman yang keluar dari mulutnya saat dia merenungkan serangan yang saja dia lihat tadi.

Bukan hanya dia tidak bisa melihatnya dengan jelas, sangat sulit membandingkan seorang pemakai pedang dan seorang ahli beladiri yang menggunakan unit pengukuran yang sama. Namun, meskipun dalam waktu sekejap itu sudah lebih dari cukup untuk bisa memahami bahwa pak tua itu sangat kuat.

Pak tua itu mungkin bahkan lebih kuat dari dirinya.

Sambil menggigit bibir bawahnya, Brain membandingkan sisi samping dari wajah pak tua itu dengan data dari lawan-lawan yang ahli yang ada di dalam ingatannya. Namun, dia berbeda dari mereka semua.

Siapa dia sebenarnya?

Dalam satu kedipan, pak tua itu bergerak keluar dari kerumunan. Seorang bocah juga menjauh, seakan mengikuti pak tua itu. Bertindak karena dorongan, dia seperti ditarik ke dalam, Brain mulai mengikuti si bocah.

Rasanya pak tua itu seperti memiliki mata di punggungnya, membuatnya sulit bagi Brain untuk mengikutinya dari dekat. Tapi dengan bocah itu, itu bukan masalah. Dan meskipun jika bocah itu ditemukan, Brain sendiri masih akan aman.

Sesaat setelah dia mulai mengikuti mereka, Brain merasakan kehadiran beberapa orang lain yang mengikuti. Namun, apakah mereka mengikuti pak tua atau si bocah bukanlah urusannya.

Akhirnya, dua orang itu berbelok ke sudut dan jalan mereka berlanjut semakin gelap. Brain merasa gugup, itu seperti dia sedang dipancing.

Apakah si bocah itu tidak berpikir curiga? Saat Brain mulai penasaran, bocah itu bicara kepada pak tua tersebut.

Karena mereka baru saja berbelok dari sudut, Brain mampu bersembunyi di dalam lorong dan mendengarkan pembicaraan mereka.

Untuk meringkas percakapan mereka, bocah itu ingin belajar dari pak tua itu.

Omong kosong. Pak tua itu tidak akan menerima bocah yang masih hijau sepetinya sebagai seorang murid.

Ketika membandingkan kemampuan dari mereka berdua, jika si bocah adalah batu kerikil, maka pak tua itu seperti permata yang besar. Mereka hidup dalam dunia yang benar-benar berbeda.

....Sayang sekali. Aku tidak mengira bahwa mengetahui perbedaan dalam kemampuan antara dirimu dengan orang lainnya akan semenyedihkan ini. Sudah cukup, bocah.

Brain berpikir sendiri tanpa mengatakannya dengan keras.

Sementara yang dia maksud adalah bocah itu, juga diarahkan kepada dirinya sendiri di masa lalu yang masih cukup bodoh untuk percaya bahwa dia adalah yang terkuat.

Saat dia melanjutkan menguping - dia tidak sedikitpun memberi perhatian tentang rumah bordil - Kelihatannya sudah diputuskan bahwa pak tua itu akan melatihnya mungkin sekali atau dua kali. Pak tua sekaliber itu, kepada bocah sepertinya, Brain tidak bisa berpikir apapun yang layak diajarkan.

Apa yang terjadi? Apakah mataku kabur lagi? Tidak, bukan itu. Kemampuan bocah itu tidak spesial dan dia bahkan tidak memiliki bakat apapun!

Latihan macam apa yang akan dia berikan? Tapi dari posisi ini, dia hanya bisa mendengar, tidak bisa melihat. Tak mampu menahan rasa penasarannya, Brain mematikan kehadirannya dan pelan-pelan bergerak untuk mencoba mengintip dari sudut. Saat itu-

Sebuah energi yang menakutkan menusuk seluruh tubuhnya.

Teriakannya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Seluruh tubuhnya benar-benar membeku.

Rasanya seperti binatang karnivora raksasa sedang bernafas dalam jarak satu inchi dengan hidungnya. Dunia dipenuhi dengan rasa haus darah yang luar biasa. Itu membuatnya penasaran apakah jantungnya sudah berhenti berdetak atau tidka.

Udara ini bahkan mungkin setara dengan Shalltear Bloodfallen, pikir Brain, yang dia percayai sebagai makhluk terkuat di dunia ini.

Jika ada orang yang lemah pikiran, jantung mereka pasti akan benar-benar berhenti. Kakinya gemetar, dia terjatuh ke tanah dengan suara gedebuk.

Jika aku seperti ini, mungkinkah bocah itu sudah tewas?

Jika dia beruntung, maka dia hanya akan pingsan.

Tertekuk lututnya, gemetar saat dia menopang diri dengan lengannya, Brain mencari kehadiran dua orang itu dan menyaksikan pemandangan yang tidak mungkin. Meskipun hanya dalam sekejap, goncangan itu membuatnya melupakan ketakutannya.

Bocah itu masih berdiri.

Seperti Brain, kedua kakinya gemetar karena terror. Meskipun begitu, dia masih berdiri.

A-Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin bocah itu masih bisa berdiri?

Dia tidak mengerti bagaimana bocah itu masih berdiri sementara dirinya sendiri lutut dan tangannya sudah bersikap memalukan.

Apakah bocah itu memiliki item magic yang bisa menahan rasa takut atau tahu sebuah martial art yang sama efeknya? Ataukah dia memiliki semacam bakat spesial?

Dia tidak bisa mengatakannya dengan yakin bahwa kemungkinan itu tidak ada. Namun, sambil menatap punggung si bocah yang tak dapat diandalkan, Brain tahu secara intuitif bahwa itu bukan masalahnya. Meskipun tidak mungkin, hanya itu yang bisa dia pikirkan.

Bocah itu lebih kuat dari Brain.

Menggelikan! Bagaimana mungkin bisa begitu!

Meskipun kelihatannya dia telah melatih tubuhnya, dia masih kurang berisi. Dari saat melihat bagaimana dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sambil mengikutinya, bocah itu kelihatannya tidak memiliki bakat sedikitpun. Meskipun begitu, hasilnya berbeda.

A-Apa yang terjadi? Apakah aku selemah itu?

Helaan nafasnya semakin suram.

Brain tahu bahwa air mata sudah jatuh dari matanya. Namun, dia tidak bisa memanggil energi untuk mengusapnya.

"Uuu, ugh...kuh..."

Dia mencoba sebisa mungkin untuk tidak menangis keras-keras. Meskipun begitu, air matanya mengalir tanpa akhir.

"Me..Mengapa..Mengapa."

Brain menggenggam tanah dan memfokuskan kekuatannya untuk berdiri. Tapi rasa haus darah itu masih menabrak tubuhnya membuatnya tidak mampu bergerak walaupun hanya satu inchi. Hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah mengangkat wajanya dan melihat ke arah bocah dan pak tua itu.

Dia melihat punggungnya.

Bahkan sekarang, bocah itu masih berdiri.

Bahkan sekarang, bocah itu masih berdiri berhadapan dengan pak tua tersebut dengan rasa haus darahnya. Punggung yang dia kira lemah terlihat luar biasa jauhnya.

"Apakah aku..."

Selalu selemah ini?

Dia merasa marah dengan dirinya, bahkan setelah rasa haus darah itu sudah menghilang, hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah berdiri.

Latihan mereka kelihatannya masih tetap berlanjut. Tak mampu menahan lagi, Brain memerah seluruh keberaniannya dan berteriak saat dia melompat keluar dari sudut itu.

"-Tu..Tunggu! Aku mau tanya!"

Dia tidak lagi berpikir bahwa dia tidak seharusnya ikut campur dengan latihan mereka atau bahwa dia seharusnya menemukan timing yang tepat untuk muncul.

Bahu si bocah melompat saat suara putus asa itu terdengar dan membuatnya berbalik, menunjukkan ekspresinya yang terkejut. Jika posisi mereka dibalik, Brain juga, akan muncul dengan reaksi yang sama.

"Pertama, aku benar-benar minta maaf sudah menyela kalian berdua. Maafkan aku. aku tidak tahan lagi untuk menunggu."

"...Apakah dia adalah orang yang anda kenal, Sebas-sama?"

"Tidak, aku tidak kenal. Ternyata begitu, jadi kamu juga tidak mengenalnya..."

Mereka saling melihatnya dengan curiga. Namun, itu adalah hal yang memang bisa diduga.

"Pertama dan yang paling awal, nama saya adalah Brain Unglaus. Sekali lagi, biarkan saya meminta maaf karena sudah menyela kalian berdua. Saya minta maaf."

Dia membungkuk lebih dalam dari sebelumnya. Dia bisa merasakan mereka berdua sedikit bergerak.

Setelah dia merasa sudah cukup lama menunjukkan ketulusannya, Brain mengangkat wajahnya dan melihat ekspresi mereka yang mengandung kecurigaan yang lebih sedikit dari sebelumnya.

"Dan apa keperluanmu dengan kami?"

Dari pertanyaan pak tua, Brain menatap si bocah.

"Ada apa?"

Saat si bocah bertanya-tanya, Brain mengajukan pertanyaan, seperti batuk-batuk mengeluarkan darah.

"Mengapa...bagaimana kamu masih bisa berdiri setelah menerima rasa haus darah seperti itu?"

Mata bocah itu sedikit melebar. Karena wajahnya memang tidak ada ekspresinya, gerakan sekecil itu terasa seperti perubahan besar dalam emosinya.

"Aku ingin mendengarnya. Rasa haus darah itu jauh melebihi ketahanan dari manusia biasa. Bahkan tubuhku ini... maaf, bahkan aku tak bisa menahannya. Tapi kamu berbeda, kamu menahannya. Kamu masih berdiri. Bagaimana bisa kamu melakukannya?! Bagaimana hal itu mungkin?"

Dia tidak bisa berbicara seperti biasanya karena kegirangannya. Namun, sulit untuk menahannya. Dia yang telah menyerah dengan rasa takutnya dan kabur di hadapan kekuatan yang luar biasa dari Shalltear Bloodfallen, dan bocah yang menerima rasa haus darah bisa setara dengannya dan tetap berdiri, dimana perbedaan mereka datangnya?

Dia harus tahu tak perduli bagaimana.

Seakan pemikiran ini tersalurkan kepadanya, meskipun si bocah terlihat bingung, dia memikirkannya dan membalas.

"...Entahlah. di dalam pusaran yang dipenuhi dengan rasa haus darah sebanyak itu, aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan. Tapi mungkin ... itu karena aku sedang memikirkan tuanku."

"...Tuan?"

"Ya. Ketika aku memikirkan orang yang aku layani....kekuatan meningkat dari dalam tubuhku."

Bagaimana mungkin kamu bisa bertahan dengan hal seperti itu?

Meskipun Brain ingin meneriakkannya, sebelum dia bisa melakukannya, pak tua itu bicara dengan lirih.

"Itu artinya kesetiaannya lebih besar dari rasa takutnya. Unglaus-sama, manusia bisa menunjukkan kekuatan yang luar biasa jika itu untuk orang yang penting bagi mereka. Seperti bagaimana seorang ibu yang mengangkat sebuah tiang untuk menyelamatkan anaknya yang terjebak di dalam rumah, seperti bagaimana seorang suami yang mengangkat istrinya dengan satu tangan ketika sang istri akan roboh, aku yakin itu adalah kekuatan manusia. Orang yang ada disini juga, dia menunjukkan kekuatan itu. Dan dia tidak sendiri dalam hal ini. Jika anda memilikinya anda tidak akan menukarnya dengan apapun, maka Unglaus-sama akan mampu menunjukkan sebuah kekuatan yang lebih besar daripada yang diduga dari diri sendiri."

Brain tidak bisa membuat dirinya percaya pada kata-kata itu. Hal yang tidak ingin dia tukar dengan apapun, 'keingingannya terhadap kekuatan' akhirnya jadi percuma. Terlalu mudah, mudah dihancurkan. Apakah dia menjadi semakin ketakutan dan kabur?

Saat ekspresinya semakin gelap dan wajahnya menunduk ke bawah, kalimat berikutnya dari pak tua itu membuat wajahnya terangkat.

"...Apa yang ditingkatkan sendiri akan menjadi lemah. Lagipula, itu akan berakhir ketika dirimu sendiri hancur. Namun, jika kamu membangun dirimu dengan orang lain, jika kamu bisa memberikan seluruh apa yang kamu punya untuk orang lain, maka meskipun jika kamu hancur kamu tidak akan jatuh."

Brain memikirkan dirinya sendiri. Apakah dia memiliki hal semacam itu?

Namun, tidak ada. Dia telah membuangnya ke samping, berpikir bahwa hal itu tidak berguna dan tidak perlu untuk pengejarannya dalam hal kekuatan. ternyata mereka benar-benar penting.

Brain tertawa keras. Hidupnya tidak dipenuhi melainkan dengan hanya kesalahan. Sebelum dia tahu, kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar seperti pernyataan.

"Aku telah membuat semua itu. Apakah masih telat bagiku untuk mencoba lagi?"

"Tidak apa. Bahkan orang sepertiku yang tidak punya bakat apapun mampu melakukannya. Jika itu adalah Unglaus-sama, aku tidak ragu bahwa anda akan bisa melakukannya! Pasti belum terlambat!"

Kalimat bocah itu tidak memiliki bukti. Namun, anehnya, Brain merasakan sensasi hangat mengalir ke seluruh jantungnya.

"Kamu memang baik dan kuat... Maafkan aku."

Bocah itu menjadi berdebar karena permintaan maaf yang tiba-tiba. Seseorang dengan keberanian seperti ini, dia telah mengejeknya dan menyebutnya bocah.

Dasar bodoh. Aku sangat, sangat bodoh...

"Tapi jika anda bilang bahwa anda adalah Brain Unglaus... jangan-jangan anda yang bertarung melawan Stronoff-sama di masa lalu?"

"...Jadi kamu teringat... Apakah kamu melihat pertarungannya?"

"Ah, saya tidak bisa melihatnya. Saya hanya mendengarnya dari orang lain yang melihatnya. Orang itu bilang bahwa Unglaus-sama adalah ahli pedang menakjubkan dan orang-orang dengan kemampuan seperti itu di Kingdom hanya bisa dihitung dengan jari. Sekarang setelah aku melihat sendiri postur anda dan bagaimana anda membertahankan pusat gravitasi tubuh anda saat bergerak, aku tahu bawah orang itu memang bicara benar!"

Mendorong kembali pujian asli dari Climb, Brain tergagap dan membalas.

"..Erhm.tr-trims. Aku-Aku sama sekali tidak berpikir sehebat itu, tapi... aku sedikit gembira bahwa kamu memberiku pujian sebanyak itu."

"Hmm.. Unglaus-sama."

"Tetua, panggil saja saya Unglaus. Saya tidak layak diberi kehormatan orang orang seperti anda, Tetua!"

"Kalau begitu karena namaku adalah Sebastian, silahkan panggil aku Sebas... Kalau begitu Unglaus-kun."

Meskipun dia merasa sedikit canggung dengan tambahan -kun yang menempel pada namanya, tidak aneh ketika mempertimbangkan perbedaan usia mereka.

"Bagaimana kalau anda mengajarkan pedang kepada Climb-kun ini? Aku yakin itu akan terbukti menguntungkan bagi Unglaus-kun juga."

"Ah, maafkan saya! Nama saya Climb, Unglaus-sama."

"Kalau begitu tetua...maaf, Bukankah Sebas-sama yang akan mengajarinya? Kelihatannya anda tadi mendiskusikan hal itu sebelum saya menyela"

"Ya, itu adalah niat saya pada awalnya. Tapi aku merasa bahwa perlu untuk menghadapi tamu-tamu saya-ah, ini dia mereka. Kelihatannya mereka sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan mereka."

Brain terlambat memutar matanya ke arah yang dilihat oleh Sebas.

Tiga orang menunjukkan diri. Mereka masing-masing memakai baju rantai (Chain Shirt) dan memegang senjata pedang pada sarung tangan kulit tebal mereka.

Mereka benar-benar mengeluarkan nafsu membunuh yang melebihi sikap permusuhan biasa. Meskipun rasa haus darah mereka hanya diarahkan kepada pak tua itu, mereka kelihatannya bukan tipe yang mengampuni dan melepaskan saksi.

Melihat orang-orang tersebut, Brain tanpa sengaja mengeluarkan suara cempreng yang dipenuhi dengan keterkejutan.

"Tidak mungkin! Mereka datang kemari meskipun setelah menerima haus darah tadi? Apakah mereka sekuat itu?!"

Maka dia bisa membayangkan bahwa masing-masing dari mereka adalah para ahli - tidak, bahkan lebih kuat dari Brain sendiri. Apakah alasan menguntit mereka agak ceroboh karena mereka terlalu terfokus dalam menyempurnakan skill mereka sebagai gantinya?

Namun, ketakuan Brain ditolak oleh Sebas.

"Rasa haus darah tadi hanya diarahkan kepada kalian berdua."

"..Apa?"

Bahkan Brain sendiri berpikir bahwa suara mereka terdengar diam.

"Bagi Climb, itu adalah latihan baginya. Bagimu, karena kamu kelihatannya tidak ada niat untuk menunjukkan muka, aku mengirimkannya untuk mencoba dan menarikmu keluar untuk mengetahui rasa permusuhan apapun yang mungkin kamu bawa dengan semangatmu dalam bertarung. Aku tidak melakukannya kepada orang-orang itu karena aku tahu bahwa mereka adalah musuh sejak awal. Akan merepotkan bagiku jika mereka ketakutan dengan haus darahku dan kabur malahan."

Sebas menyelipkan sesuatu yang menakutkan dalam penjelasannya. Brain bahkan tidak bisa lagi lebih terkejut. Tidak mengira bahwa dia bisa mengendalikan haus darah dengan skala sebesar dan keakuratan seperti itu, itu bukan lagi sesuatu yang bisa dipahami dalam batasan hal yang masuk akal.

"Te..Ternyata begitu. Maka anda tahu identitas orang-orang itu?"

"Aku bisa membuat sebuah dugaan tapi aku tidak yakin. Itulah kenapa aku berniat untuk menangkap satu atau dua untuk infomrasi. Namun-"

Sebas membungkukkan kepalanya.

"Aku tidak ingin kalian berdua ditarik dalam hal ini. Bisakah kalian segera meninggalkan tempat ini?"

Mendengar kalimat ini, Climb bertanya kepadanya.

"Sebelum itu, saya punya pertanyaan yang ingin saya ajukan. Apakah orang-orang itu ... apakah mereka kriminal?"

"...Kelihatannya begitu. Aku tidak mengira mereka sebagai orang dengan tipe yang menjalani kehidupan dengan benar."

Setelah mendengar jawaban Brain, api membakar mata Climb.

"Mungkin aku hanya akan menghalangi saja, tapi aku juga ingin bertarung. Sebagai seseorang yang melindungi keamanan ibukota, sudah jelas aku harus melindungi penduduknya."

Di dalam pikirannya, Brain berpikir bahwa tidak ada jaminan jika Sebas adalah satu-satunya dalam situasi ini. Yah, tidak diragukan lagi siapapun yang membandingkan orang-orang yang baru saja muncul dengan Sebas yang mengeluarkan kesan integritasnya akan percaya bahwa dia adalah sisi kebaikan. Tapi meskipun begitu, tidak ada jaminan.

Masih hijau...

Namun, dia bersimpati dengannya. Ketika membandingkan seseorang yang menyelamatkan bocah tadi dari pemabuk dengan orang-orang ini, sangat jelas sisi mana yang akan diambil oleh Brain.

"Meskipun mungkin anda tidak akan memerlukan bantuan apapun... Sebas-sama, saya akan memberi bantuan juga."

Brain berdiri di samping Climb. Sebas tidak akan memerlukan bantuan...tidak, bahkan tidak akan ada artinya mereka disana. Namun, untuk mencoba meniru Climb yang bertarung untuk orang lain, Brain memilih sebuah jawaban bahwa dirinya yang dulu tidak akan melakukannya. Meskipun hati bocah itu kuat, kemampuannya dengan pedang masih kurang. Dia harus melindunginya.

Brain menatap senjata yang dipegang orang-orang itu dan mengerutkan dahi.

"Racun... Kelihatannya mereka berpengalaman melihat bagaimana mereka menggunakan sebuah senjata yang bisa membunuh mereka... Apakah mereka assassin?"

Ada garis yang terpahat pada mata pedang mereka, juga disebut sebagai mail breaker (penghancur baju rantai). Cairan di mata pedang itu memberikan kilauan jahat. Dan cara gerakan mereka yang gesit terfokuskan pada gerakan mereka, berbeda dari ahli-ahli pedang itu, semuanya memastikan ucapan Brain.

"Climb-kun, berhati-hatilah. Meskipun akan berbeda jika kamu memiliki item magic yang bisa menghalangi poison, anggap dirimu mati jika kamu terkena sekali saja."

meskipun kemampuan fisik Brain membuat poison tidak efektif, akan sulit bagi Climb untuk menahan mereka.

"Melihat bagaimana kalian tidak langsung menyerang setelah menunjukkan diri, bolehkah aku berasumsi bahwa kalian merencanakan mengurung serangan dan memiliki dua orang lainnya yang sedang menunggu? Karena kami sudah mengetahui titik itu, pertama, apakah kita akan menerobos mereka?"

Sebas dengan sengaja bersuara keras agar musuhnya bisa mendengarnya, menyebabkan orang-orang itu sejenak terdiam. Mereka gemetar karena rencana mereka untuk menyerang sambil mengepung sudah diketahui.

"Kelihatannya itu adalah pilihan yang paling aman. Akan lebih baik menghancurkan barisan depan dan menyerang mereka yang ada di belakang."

Brain setuju dengan Sebas. Namun, ide itu ditolak oleh yang menawarkan.

"Ah, tapi nantinya akan ada kemungkinan mereka kabur. Aku akan menangani tiga orang di depan. Bagaimana kalau kalian berdua di sisi lainnya dan menghadapi dua orang yang akan datang?"

Brain membalas bahwa dia mengerti dan Climb menganggukkan kepala setuju. Ini adalah pertarungan Sebas dan mereka adalah yang memaksa membantu. Selama Sebas tidak membuat kesalahan kritis, mereka harus mengikuti instruksinya.

"Baiklah, ayo maju."

Brain bicara kepada Climb dan memutar kepalanya kepada orang-orang itu. Meskipun dia menunjukkan sisi dirinya yang tidak dijaga kepada orang-orang yang dipenuhi dengan rasa permusuhan tersebut, berkat Sebas, dia tidak khawatir. Saat dia menyerahkan punggungnya kepada Sebas, dia merasakan perasaan aman yang meningkat, seperti sebuah dinding tebal yang telah dibuat di sekitarnya.

"Sekarang, meskipun ini adalah hal yang disayangkan... Aku akan menjadi musuhmu. -Oh tidak, aku tidak bisa membuatmu tidak setia dengan mereka berdua."

Ketiak Brain melihat ke arah bahunya, Sebas sedang menggenggam tiga pisau kecil di jari-jari tangan kanannya. Dia menjentikkan jari-jarinya dan pisau-pisau yang dilemparkan ketiga pria tersebut kepada sisi tak terlindung dari Brain dan Climb seluruhnya jatuh ke tanah.

Rasa haus darah di mata para musuh itu berkurang drastis.

jelas seja, melihat pisau-pisau yang mereka lemparkan dihadang seperti itu akan membuat siapapun kehilangan semangat bertarung. Jadi kalian akhirnya menyadari seberapa kuat Sebas-sama, eh? Tapi sudah terlambat.

Tidak ada jalan untuk kabur dari pak tua itu. Meskipun jika kalian bertiga berpencar ke arah yang berbeda.

"Menakjubkan."

Climb berjalan ke samping Brain.

"Memang benar. Jika seseorang berkata bahwa Sebas-sama adalah yang terkuat di Kingdom, aku pasti akan menganggukkan kepala."

"Bahkan lebih kuat dari Kapten Prajurit?"

"Maksudmu Stronoff. Sebenarnya, melawan tetua itu, Aku..Aku..., maaf. Aku akan bicara seperti biasanya. Bahkan jika Stronoff dan aku menyerangnya bersama-sama, tidak mungkin kami bisa menang... Ah, mereka disini."

Dua orang lainnya muncul ketika mereka berputar di sudut. Seperti yang diduga, mereka berpakaian seperti tiga orang sebelumnya. Ada suara pedang yang terhunus dan Brain juga mengikutinya.

"Alasan bahwa mereka tidak menyisakan seseorang sebagai penyergap untuk melempar pisau mungkin karena tetua sudah melihat rencana mereka."

Seorang penyergap hanya efektif jika itu adalah sebuah keterkejutan, gagal dalam hal tersebut, mereka hanya akan memisahkan kekuatan mereka. Karena mereka sudah diketahui, mereka mungkin sudah bertekad bahwa bekerja sama dari awal akan memberikan peluang kemenangan yang lebih besar.

"Itu adalah pemikiran yang naif... Climb, aku akan menangani yang di kanan, kamu hadapi yang ada di kiri."

Brain memeriksa cara mereka bergerak dan menebak yang mana yang lebih lemah dari dua orang itu, lalu memberi instruksi kepadanya. Si Bocah mengangguk dan mengangkat pedangnya. Tiada keraguan adalah hal yang unik bagi seseorang yang mengalami situasi dimana nyawa mereka dipertaruhkan. Brain lega bocah ini bukan seorang perjaka dalam pertarungan yang sebenarnya.

Climb seharusnya bisa mengalahkan yang itu tapi... karena dia menggunakan racun, itu akan jadi pertarungan yang sedikit merepotkan.

Meskipun Climb memiliki pengalaman bertarung, dia kelihatannya tidak seperti seseorang yang berjalan di jalan yang penuh darah dimana bertarung melawan pengguna racun sangat sering. Ini mungkin adalah pertama kalinya bagi Climb bertarung melawan racun. Brain juga, dia selalu waspada berlebihan ketika bertarung melawan monster yang menggunakan asam atau racun, membuatnya sulit baginya untuk menunjukkan kekuatannya yang penuh dalam situasi tersebut.

Bukankah akan lebih baik jika aku akan membunuh yang di sebelah kanan dengan cepat dan menolongnya? Akankah itu akan menguntungkannya? Apakah aku menginjak tekadnya untuk membantu dengan kekuatannya sendiri? Apakah aku harus bertarung sebagai gantinya? Tidak... akankah Sebas-sama membantunya jika keadaan menjadi terdesak? Apakah aku harus melangkah jika tak ada tanda bahwa dia akan membantunya? Tidak kukira aku akan mengkhawatirkan hal ini...

Brain menggaruk kepalanya dengan tangan yang tidak sedang memegang katana dan menatap langsung ke arah musuh.

"Sekarang ini, maaf tapi aku harus membuat menjadi tumbal untuk memenuhi waktuku yang luang."

Tiga serangan.

Sebas mendekat dan dengan tinjunya, menanamkan serangan kepada masing-masing lawan. mereka bahkan tidak bisa bereaksi, jangan mempertahankan diri. Dan dengan itu, selesai sudah.

Jelas sekali. Dengan kekuatan tempur yang termasuk kelas atas bahkan di dalam Nazarick, Sebas bisa mengalahkan asssassin dengan level seperti ini hanya dengan jari kelingkingnya.

Dia mengalihkan matanya ke arah lawan yang roboh dan melihat pertarungan di belakangnya.

Brain mengungguli lawannya dari awal hingga akhir dan Sebas bisa melihatnya tanpa khawatir.

Assassin yang dia hadapi kelihatannya sedang mencari celah agar bisa kabur. Namun, Brain tidak memperbolehkannya dan melawannya seperti sedang bermain dengannya. Tidak, daripada disebut seperti itu, kelihatannya dia sedang mencoba menggunakan berbagai macam variasi serangan dan membuang 'karat' di tubuhnya.

Dia memang menyebutkan tentang waktu luang. Dan kelihatannya alasan dia tidak menyerang dengan serius adalah karena khawatir tentang Climb dan ingin bersiap untuk melompat dan menolong di saat kapanpun. Dia lebih perhatian daripada yang aku duga.

Sebas menggerakkan matanya dari Brain ke arah Climb.

Yang disini seharusnya juga tidak apa.

Adu serangan, meskipun senjata beracun bisa membuat tidak tenang, situasinya tidak cukup buruk sehingga dia harus langsung pergi menolongnya. Menyakitkan rasanya jika orang asing yang baik harus terseret ke dalam masalah yang dia sebabkan. Namun-

Jika kamu tidak bilang ingin menjadi kuat, aku akan pergi kesana untuk membantumu. Sebuah pertempuran dengan nyawa dipertaruhkan juga adalah latihan yang bagus. Aku akan membantumu jika keadaan menjadi berbahaya.

Climb menggunakan pedangnya untuk mengalihkan tusukan lawan.

Keringat dingin mengalir di punggungnya. Hampir berhasil menusuk armor miliknya. Sebuah wajah kecewa berkelebat di wajah musuhnya.

Climb menempatkan pedangnya di depan dan mengukur jarak diantara mereka. Lawannya di sisi seberang bergerak maju dan mundur untuk menghentikannya mengukur jarak.

Biasanya, Climb akan menahan dengan perisainya dan menggunakan pedangnya untuk menyerang. Kesulitannya saat ini dalam bertarung dengan hanya pedang disingkirkan baik dari pikiran dan tubunya. Bukan hanya itu, senjata beracun juga memberikan beban baginya. Dia tahu betul bahwa penghancur baju rantai dikhususkan untuk menusuk, dan semacamnya, itu adalah satu-satunya bagian yang harus dia waspadai. Tapi meskipun begitu, seperti yang dia duga, pemikiran tidak boleh terkena satupun goresan membuat gerakannya tumpul.

Dia bisa merasakan kelelahan yang semakin meningkat, bukan hanya di tubuhnya, tapi pikirannya juga. Nafasnya semakin tidak beraturan.

Hal yang sama berlaku juga bagi lawanku. Aku bukan satu-satunya yang kelelahan.

Sepertinya, dahi lawannya juga licin karena keringat. Dia sangat lincah, menggunakan gerakan cepat untuk menjadikan musuh tidak teratur, itu adalah gaya yang cocok untuk seorang assassin. Itulah kenapa memberikan satu luka saja di lengan atau kaki akan membuat assassin kehilangan keuntungan dan menghancurkan keseimbangan kekuatan antara mereka.

Pertarungan itu akan diputuskan oleh serangan tunggal.

Itu adalah alasan dari kegelisahan mereka yang mengalir. Tentu saja, ini adalah bagaimana sebuah pertarungan antara mereka yang memiliki skill yang mirip. Bagaimanapun juga, itu akan lebih jelas dalam pertarungan tertentu.

"Haa!"

Dengan nafas yang berat, Climb menyerang. Itu adalah sebuah ayunan kecil dengan sedikit kekuatan dibaliknya. Sebuah ayunan yang lebar akan membuka sebuah celah yang besar jika dia luput.

Assassin itu dengan mudah menghindari serangannya dan menusukkan tangannya ke arah baju rantai. Memprediksikan gerakan selanjutnya, Climb menjawa waspada terhadap tangan asassin.

Climb menahan pisau yang terbang ke arah matanya dengan pedangnya.

Itu adalah nasib baik. Untungnya, dia masih bisa menangkis serangan karena dia sudah memfokuskan perhatiannya dengan hati-hati.

Namun tanpa memberinya peluang bernafas lega, assassin itu menyerang bawah.

Oh tidak!

Sebuah getaran merangkak di tulang belakangnya.

Dia tidak mungkin bisa menghadang serangan tambahan ini. Takut akan pisau membuatnya menangkis dengan ayunan yang lebar. Karena pedangnya masih di udara, dia tidak bisa menariknya dengan cepat untuk menyamakan timing untuk menyerang balik. Meskipun dia ingin terfokus pada menghindar, assassin tersebut mengalahkannya dalam hal kelincahan.

Dia tersudut. Setidaknya, menggunakan lengannya sebagai perisai dan-

Saat Climb membulatkan tekad, assassin yang menyerangnya tiba-tiba menutupi wajahnya dan melompat ke belakang dengan jangkauan yang lebar.

Sebuah batu kecil dengan ukuran sebesar kacang datang melayang dan mengenai kelopak mata kiri assassin tersebut. Menekan hingga batasnya, Otak Climb yang cepat memastikannya.

Meskipun tanpa berbalik, dia tahu siapa yang telah melemparkanya. Sebagai bukti, dia mendengar suara Sebas datang dari belakang tubuhnya.

"Ketakutan adalah emosi yang berharga. Namun, jangan sampai dikalahkannya. Aku sedang melihatnya dari tadi, tapi ini adalah pertarungan yang sangat tumpul dan setengah hati. Jika musuhmu memiliki tekad mengorbankan sebuah lengan, itu pasti akan menjadi kematianmu. Jika kekuatanmu meninggalkanmu, menanglah dengan kepalamu. Ada waktunya ketika otak melebihi tubuh."

Ya!

Menjawab di dalam kepalanya, dia terkejut ketika dia mendapatkan kembali ketenangannya. Itu bukan sebuah perasaan aman dari bersandar kepada seseorang untuk membantunya. Namun, itu karena seseorang sedang melihatnya.

Dia tidak bisa sama sekali menghapus ketakutan jika dia mungkin akan mati. Namun-

"Jika... aku mati, tolong bilang Renner-sama, tolong bilang pada sang putri bahwa saya bertarung dengan baik."

Dia mengeluarkan helaan nafas panjang dan pelan-pelan mengangkat pedangnya.

Climb melihat bahwa cahaya di mata assassin itu berbeda dengan sebelumnya. Meskipun waktu mereka singkat, mungkin hati mereka telah menemukan sebuah sambungan melalui pertarungan yang mempertaruhkan nyawa mereka ini.

Seperti bagaimana Climb menemukan tekadnya, assassin itu juga kelihatannya mengetahui dan menemukannya pula.

Assassin itu melangkah ke depan. Tak usah dikatakan, dia memperpendek jarak tanpa berkata apapun.

Mempertimbangkan jika dia telah memasuki jangkauannya, Climb menurunkan pedangnya. Dalam sekejap, assassin itu melompat ke belakang. Dia telah membaca kecepatan pedang Climb dan menggunakan dirinya sebagai umpan untuk mencoba tipuan.

Tapi ada satu hal yang terlewatkan dari assassin itu.

Tidak diragukan lagi, assassin itu telah melihat sebagian besar teknik berpedang Climb. Namun, itu hanya mengecualikan satu serangan, tebasan vertikal yang sangat dipercayai oleh Climb. Tebasan itu lebih berat dan lebih cepat dari serangan apapun lainnya.

Pedang yang menancap di bahu assassin itu dihentikan oleh baju rantai dan tidak membelahnya menjadi dua sama sekali. Namun, bisa dengan mudah menembus tulang belikat, menembus daging, dan bahkan menghancurkan pedang di bahunya.

Assassin tersebut meronta-ronta saat dia bergulung-gulung di tanah. Luka yang sangat kuat sehingga teriakannya menjadi hening, air liur menetes dari mulutnya.

"Bagus sekali."

Sebas muncul dari belakang dan tanpa susah menendang perut assassin itu.

Dengan hanya itu, assassin itu menjadi boneka yang putus benangnya dan tidak bergerak. Dia telah jatuh pingsan.

Di sudut matanya, Brain sudah mengalahkan assassin lawannya dan sedikit mengangkat tangan untuk mengucapkan selamat kepadanya.

"Kalau begitu mari kita mulai interogasinya. Jika kalian memiliki hal yang ingin kalian dengar, tolong jangan ragu dan bertanyalah."

Sebas membawa salah satu dari mereka dan membangunkannya. Tubuh pria itu terguncang saat dia mulai sadar, Sebas lalu menggerakkan tangannya ke dahi pria itu. Semua ini bahkan tidak sampai dua detik. Meskipun dia tidak sedang menekannya dengan keras, kepala pria itu melengkung  mundur dan balik seperti sebuah ayunan.

Mata pria itu sudah kehilangan fokus, seperti mata pemabuk.

Sebas mulai bertanya. Meskipun bibir assassin itu seharusnya tersegel dengan rapat, pria itu tidak menyembunyikan apapun dan mulai berceloteh. Melihat pemandangan aneh itu, Climb bertanya.

"Apa yang anda lakukan?"

"Ini adalah skill yang disebut 'Palm of the Puppeteer'. Untungnya bisa aktif tanpa ada halangan."

Meskipun itu adalah skill yang tak pernah ia dengar, lebih penting lagi, Climb mengerutkan dahi dengan informasi pria itu.

Mereka adalah assassin dari Eight Finger yang dilatih oleh salah satu dari 'Six Arm', anggota terkuat dari kelompok keamanan. Mereka mengikuti Sebas untuk membunuhnya. Brain bertanya kepada Climb.

"...Aku tidak terlalu yakin tapi, bukankah Eight Finge adalah organisasi kriminal yang sangat besar? Kurasa mereka ada hubungannya dengan kelompok tentara bayaran.."

"Kamu benar. 'Six Arm' adalah nama dari enam anggota terkuat dari organisasi itu. Aku dengar masing-masing dari mereka memiliki kekuatan yang setara dengan petualang peringkat adamantium. Kita tidak tahu seperti apa tampang mereka karena itu adalah persoalan mengenai dunia bawah tanah."

Dan Succulent, orang yang muncul di kediaman Sebas, adalah anggota dari Six Arm yang disebut 'Devil of Illusion'. Rencananya adalah membunuh Sebas agar dia bisa dengan mudah memanipulasi tuan yang cantik.

Setelah mendengar hingga titik ini, Climb merasa sebuah hawa dingin merasuk ke tubuhnya. Hawa dingin itu datangnya dari Sebas.

Saat Sebas pelan-pelan berdiri, Brain bertanya.

"Lalu apa yang Sebas-sama lakukan mulai sekarang?"

"Aku sudah memutuskan. Aku akan hancurkan lokasi yang bermasalah itu. Dari apa yang dia katakan, kelihatannya Succulent juga ada disana. Sebuah percikan api seharusnya cepat-cepat diinjak."

Baik Climb dan Brain menarik nafas mereka dengan balasan Sebas yang sepenuhnya tidak perduli itu.

Fakta bahwa dia akan menyerang mereka artinya dia cukup yakin untuk menang melawan petualang dengan peringkat adamantium - dengan kata lain, yang terkuat di antara umat manusia.

Tapi bahkan itu pun dirasa bisa diterima.

Dia mengalahkan tiga orang assassin dalam sekejap dan bahkan Unglaus-sama yang terkenal waspada terhadapnya. Siapa sebenarnya Sebas-sama ini? Apakah dia adalah petualang dengan peringkat adamantium di masa lalu?

"...Namun, kelihatannya mereka juga telah menculik beberapa orang. Akan lebih baik bagiku untuk bergerak dengan cepat."

"Benar, jika para assassin tidak kembali, mereka akan menyadari bahwa ada yang tidak beres dan memindahkan orang-orang yang diculik ke tempat lain. Maka kita tidak akan bisa menyelamatkan mereka."

Semakin banyak waktu berlalu, semakin banyak kerugian di pihak ini dan di waktu yang sama, semakin banyak keuntungan bagi musuh. Itu adalah situasi saat ini bagi orang yang disebut Sebas.

"Kalau begitu aku akan langsung mulai penyerangan. Aku minta maaf tapi aku tidak berniat untuk merubah pikiranku. Bolehkan aku meminta kepada kalian berdua untuk membawa para assassin ini ke kantor penjaga?"

"Ahhh, tunggu Sebas-sama. Jika tidak apa bagi anda, tolong perbolehkan aku untuk membantu! Tentu saja, hanya dengan persetujuan anda."

"Saya juga setuju, Sebas-sama. Sebagai bawahan dari Renner-sama, menjaga ketertiban umum di ibukota adalah jelas tugas saya. Jika orang-orang Kingdom menderita, saya akan menyelamatkan mereka dengan pedang saya."

"...Meskipun Unglaus-kun mungkin tidak apa, akan sedikit berbahaya bagi Climb-kun."

"Saya tahu bahayanya."

"Hey, Climb...apakah kamu pernah mendengar menjadi beban? Yah, dari sudut pandang Sebas-sama, mungkin tidak ada banyak perbedaan antara aku dan dirimu."

"Tidak tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya khawatir dengan keamanan Climb-kun. Tolong ketahuilah bahwa saya takkan bisa melindungi anda seperti sebelumnya."

"Saya sudah bersiap."

"..Apa yang akan kita lakukan mungkin akan berakhir melukaimu, atau kehormatan tuanmu. Apakah tidak ada kesempatan lain yang lebih tepat bagimu untuk mengambil resiko terhadap nyawamu?"

"Menutup mata hanya karena itu berbahaya akan membuktikan bahwa aku tidak cocok sebagai seorang pria untuk melayani tuanku. Seperti bagaimana orang lain menolong lainnya, jika mungkin, aku ingin mengulurkan tanganku kepada mereka yang menderita."

Seperti ketika dia mengulurkan tangan kepadaku-

Seakan mereka menangkap sebuah kilatan tekadnya yang kuat, Sebas dan Brain berubah saling melihat satu sama lain.

"...Apakah kamu sudah mempersiapkan tekadmu?"

Dari pertanyaan Sebas, Climb menganggukkan kepala sekali.

"Saya mengerti, kalau begitu tak ada yang perlu dikatakan lagi. Tolong pinjamkan kekuatan kalian."