Seri Monogatari:Nekomonogatari (Putih)/Macan Tsubasa 009

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

009[edit]

Seandainya Rumba ada, reruntuhan ini bisa dibersihkan, tapi sayangnya dia sudah terbakar bersama rumah, aku pun tidak bisa lagi bergantung padanya untuk membangunkanku di pagi hari.

Meski begitu, aku yakin kok aku bisa bangun tepat seperti biasanya, jangan remehin aku.

Tubuh manusia itu punya sesuatu yang disebut jam biologis.

Irama tubuh yang tidak mudah dipatahkan.

Belum lagi aku ini orangnya tidak tahu bagaimana rasanya 'setengah sadar’ — kalau dipikir-pikir, tapi kenyataannya berbeda.

Aku tidak terlambat bangun.

Sebaliknya, aku bangun sebelum waktu yang sudah ditetapkan — dan terlebih lagi, aku bukan bangun, tapi terbangun.

Mestinya tidak ada yang membangunkanku sebab Rumba sudah tiada.

"Hanekawa-san!"

Aku ditarik-tarik orang yang membangunkanku.

Dalam kondisiku yang sekarang ini, pemandangan luarbiasa yang menghampar ini apa bisa disebut ‘setengah sadar’? — aku kesenangan, menunggu sampai kesadaranku mencapai pada tahap sadar.

Aku melihat Senjougahara-san di depanku, memegang kerahku,

Aku, merasa sangat senang.

"Kau baik-baik saja? Kau masih hidup?! "

"H-Hah? Ap? Pagi? "

Masih belum sadar dengan situasi, aku - melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan dalam waktu yang cukup lama — memberi salam pagi.

Aku kebingungan.

Terlebih, wajah dingin anggun Senjougahara-san menatap lurus ke arahku, wajahnya merah menyala karena menangis.

"Kau baik-baik saja?"

Senjougahara-san mengulang pertanyaannya.

Masih tidak tahu kenapa dia begitu khawatirnya,

"Y-Ya."

Aku mengangguk.

Aku berantakan oleh semangatnya.

"........."

Setelahnya, Senjougahara-san akhirnya melepas kerahku dan menggigit bibir, tampak ia sedang menahan ledakan dari matanya yang berkaca-kaca, dan kemudian

"Bodoh!"

Dia menamparku.

Aku ditarik.

Aku ditampar.

Aku bisa saja menghindarinya kalau aku mau, tapi penampilannya sangat menakutkan hingga aku membiarkan diriku ditampar.

Tidak, mungkin aku memang tidak bisa menghindarinya.

Pipiku terasa terbakar dan menyengat.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh! "

Tidak hanya sebatas tamparan pertama, Senjoughara-san masih terus menamparku – terus menerus, tangannya yang terkepal memukul dadaku, seperti anak kecil yang sedang meluapkan amarahnya.

Tidak sakit.

Tapi sangat menyakitkan.

"Se... seorang gadis! Sendirian! Tidur, di, tempat seperti ini...! Bagaimana kalau terjadi sesuatu? "

"... Maaf."

Aku minta maaf.

Yah, aku baru saja meminta maaf — meski begitu, aku tidak berpikir ada suatu alasan untuk merenungkan apa yang baru kulakukan, permainan pramuka-pramukaan dan perasaan mengalami suatu hal yang menarik.

Apapun itu,

tidak salah lagi aku membuat Senjougahara-san, si Senjougahara-san, menjadi sangat khawatir padaku.

Walaupun aku memang sembrono, aku sedikit senang juga.

Aku senang.

"nggak, aku nggak maafkan. Aku nggak akan maafkan kamu. "

Sambil mengatakannya, Senjougahara-san memelukku, begitu eratnya, begitu menempelnya, begitu melekatnya padaku.

Seakan dia tidak akan pernah melepaskannya lagi.

"Aku nggak akan maafkan kamu. Walau kamu minta maaf sekalipun. "

"Ya ... Aku mengerti. Aku tahu. Maaf. Maaf. "

Meski ia berkata demikian, aku terus mengulang kata maafku.

Aku balas memeluknya,

dan terus meminta maaf.

Pada akhirnya, butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi Senjougahara-san berhenti menangis dan saat itu, saat itu adalah jam biasa aku bangun, seperti biasa.



Balik ke 007 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke 010