Shinigami wo Tabeta Shoujo Indo:Bab 28

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 28 - Kacang dari Mayor rasanya pahit dan asam[edit]

Hari Kedua pertempuran.
Gak ada konflik skala besar yang terjadi seperti kemarin. Peperangan itu berakhir dengan pertempuran-pertempuran kecil dimana hanya saling menembakkan anak panah.


Hari Ketiga.
Perang itu dalam keadaan buntu. Kedua pasukan jatuh kedalam situasi dimana mereka gak bisa bertindak. Kedua belah pihak cuma bisa saling memperhatikan, dan matahari terbenam dengan tenang.


Lalu Hari Keempat.
Legion Yalder sampai didekat Daratan Tinggi Carnas. Menerima informasi itu, Barbora memberi perintah untuk mulai merebut Carnas lagi.
Seperti yang direncanakan, Octavio menginstruksikan unit Schera dan Konrad untuk memecah formasi musuh. Secara bersamaan, unit Barbora dan unit Borbon maju perlahan untuk menarik perhatian musuh.
Pasukan Pembebasan juga mengerahkan pasukan utama Fynn, Behrouz dan Altura.


Hari malapetaka ini akan menjadi hari paling mengerikan dalam Perang Pembebasan.
Dibawah mentari yang panas terik yang mana teriknya gak wajar untuk musim semi, pertempuran dimulai.


Legion Yalder bergerak ke sisi barat Dataran Tinggi Carnas. Yalder mengernyit melihat perkemahan ketat yang dibangun di Dataran Tinggi itu.


"Ini buruk. Mereka membangun formasi yang lebih kokoh dari yang diperkirakan. Menerobosnya dengan waktu singkat akan berat– komandan musuh nampaknya cukup kompeten."


"Jenderal, ini bukanlah situasi untuk memuji mereka. Kita harus bergegas merebut tembak itu."


Sidamo memberi peringatan, dan Yalder mengangguk bilang kalau itu sudah jelas.


"Aku tau! Tembakkan sinyal api! Beritahu pasukan detasemen di sisi lain untuk memulai serangan-!"


"Siap-!"


Mematuhi perintah Yalder, seorang prajurit mengeluarkan sinyal api. Ini untuk memberi sinyal pada Schera dan yang lainnya yang telah dikerahkan di bagian timur.
Rencananya adalah membagi sayap kiri musuh dan kemudian menekan Dataran Tinggi Carnas dari dua sisi. Setelah itu, mereka berencana menguasai tempat itu. Keberhasilan dari rencana ini terletak pada penyesuaian waktu mereka.


"Sidamo-! Kerahkan infanteri! Target, perkemahan di Dataran Tinggi Carnas-! Koordinasikan unit pemanah dan hujani mereka secara terus-menerus-! Dan hancurkan pertahanan mereka dengan pelontar batu-!"


"Dimengerti. Utusan, beritahu semua infanteri untuk bergerak. Suruh para engineer memasang pelontar batu dan kemudian dukung infanteri. Maju sambil tetap bersama-!"


“Dimengerti-!”


Setelah memberi instruksi si utusan, Sidamo mengamati Dataran Tinggi Carnas. Dari perkemahan di daratan tinggi itu berkibar bendera Pasukan Pembebasan.
Kayaknya hampir semua garison dikerahkan untuk menghadapi mereka. Yang mana artinya sisi timurnya cukup rentan. Kalai mereka menyerang disana, pasti itu akan mengubah arus peperangan. Mereka gak boleh mengabaikan peluang ini. Ini merupakan tugasnya sebagai seorang staf perwira untuk memanfaatkan setiap peluang.


"Bangkitlah semuanya-! Pertempuran ini akan menentukan nasib Kerajaan! Kita harus menang-!"


“UOOOOOOOOOOOOOOOOOOO–!!!!”


Disemangati Yalder, dan para prajurit yang mengikuti dia dari Antigua dan Belta bersorak menanggapi kata penyemangat dari komandan mereka.
Moral dan pelatihan dari para prajurit ini yang sudah melalui banyak cobaan bersama tergolong cukup tinggi diantara Pasukan Kerajaan. Gak ada lagi disini yang akan mengabaikan Kerajaan.


–Pertempuran terjadi di bagian barat Dataran Tinggi Carnas.


* * *


Divisi Borbon menarik perhatian sayap kanan misihu. Pemimpin mereka, Mayjen Borbon, adalah seorang pria yang sangat pasif dan kurang tegas, tapi tugas ini bisa dibilang sangat cocok untuk dia.
Dia selalu ragu-ragu dalam segala hal dan butuh waktu lama sebelum membuat keputusan.


"Komandan Borbon! Apa perintahmu!?"


“U, hmm. Aku menerima instruksi dari Jenderal Barbora untuk menyerang musuh tapi...... Ya. Mungkin kita harus menyerang? Atau mungkin bertahan. Aku gak mempelajari soal ini kau tau. Untuk mempertahankan garis depan, pertama kita harus–"


“Komandan!”


"Tunggu, aku masih berpikir. Aku adalah seorang pria yang berhasil naik pangkat sampai Mayor Jenderal. Gak peduli apapun situasinya, aku harus bergerak dengan hati-hati. Kalah disini akan menciptakan situasi dimana kita gak akan bisa pulih lagi. Kalau kita gak memanfaatkan waktu.... Biar aku berpikir sebentar lagi. Dalan latihan simulasi, apa yang kulakukan....?"


Dengan santai, Borbon berusaha mengingat isi dari simulasinya. Staf Perwira bawahannya mendekat, kehabisan kesabaran, tapi Borbon sama sekali gak peduli.


"Komandan, kita tak punya waktu untuk itu! Pertempuran sudah dimulai! Kau harus segera memberi instruksi pada para prajurit-!"


"Diam! Aku masih berpikir!"


"K-komandan!"


"Haruskah kita menyerang....? Haruskah kita bertahan...."


Borbon gak tau yang mana yang lebih baik. Haruskah mereka menyerang? Atau haruskah mereka bertahan? Dia terus ragu-ragu, dan gak bisa memberi instruksi pada para bawahannya. Ironisnya, ternyata itu lebih baik.


Menghadapi mereka, divisi Behrouz barisan depan dari Pasukan Pembebasan melakukan serangan, tapi divisi Borbon gak menghadapi mereka, malah menghindar, licin kayak belut.
Ketidakmampuan Borbon untuk mengambil keputusan pada akhirnya menjadi instruksi pada anak buahnya untuk membuat keputusan sendiri sesuai keadaan di tkp.
Disisi lain, karena Behrouz memiliki pengalaman panjang dalam mengkomando, para bawahannya mematuhi instruksi dia dengan patuh, percaya kalau dia akan memimpin mereka menuju kemenangan kalau mereka mengikuti dia.
Kepatuhan itu memgakibatkan keterlambatan dalam pergerakan mereka, dan mereka gak bisa menanggapi pergerakan Pasukan Kerajaan yang amburadul dan menyesuaikan diri dengan situasi.
Yang paling diperioritaskan oleh komandan barisan depan Pasukan Kerajaan adalah jangan sampai mati. Dia akan bertempur dengan cara itu agar gak melanggar regulasi militer, menanganinya dengan tepat, dan kemudian mundur. Lalu saat dia menilai bahwa ada celah untuk dimanfaatkan, dia akan melakukan serangan, menyesuaikan dirinya sendiri.
Meski moral mereka rendah, mereka merupakan pasukan pilihan yang dilatih oleh mendiang Sharov. Ada banyak orang hebat diantara para bintara. Kemungkinan besar, kalau Borbon mengkomando mereka secara langsung, mereka mungkin akan terpojok dan dikalahkan dengan cepat. Pria itu gak punya pengalaman tempur dalam memimpin sayap.


"Arrrrrrgh, musuh nampaknya cukup handal-! Mereka berpura-pura menyerang lalu mundur, mereka mundur lalu menyerang. Hindari pengejaran terlalu jauh, kemungkinan besar ada pasukan penyergap-! Jangan terpancing-!"


Behrouz membanting tongkat komandonya dan mengamuk. Mereka adalah lawan yang sangat sulit dihadapi. Mereka secara terampil mementahkan momentum miliknya. Akan sesuai dengan rencana musuh kalau mereka mengejar terlalu jauh seperti ini.


"Komandan, bagaimana jika memerintahkan sebuah penyerangan besar-besaran? Dari yang kulihat, pergerakan musuh tidaklah dikomando sedemikan rupa secara sengaja. Haruskah kita menerapkan tekanan lebih besar dan melihat bagaimana hasilnya? Bisa saja, mereka mungkin akan hancur."


Seorang staf perwira yang meragukan soal kemampuan kepemimpinan dari para komandan Kerajaan gak berpikiran bahwa para komandan itu bisa mengkomando sampai seperti itu. Dia merasa bahwa, kemungkinan, bintara dilokasi bergerak sesuai dengan penilaiannya sendiri. Tentu saja, Behrouz juga paham akan hal itu. Musuh gak punya rencana. Dari pengalamannya selama bertahun-tahun, dia paham akan hal itu melalui intuisinya, tapi, Behrouz menggeleng pada usulan si staf perwira yang gak sabaran. Seraya memasang ekspresi penyesalan.


"Ahli Strategi kita dengan tegas melarang serangan besar-besaran–, sampai strateginya dijalankan, kita tak boleh melakukan serangan besar-besaran, itulah yang dia katakan padaku. Mungkin komandan musuh adalah seorang jenius, atau mungkin seorang yang idiotnya tak tertolong lagi. Mustahil bagiku untuk melakukan apa yang dia lakukan. Mempercayakan komando pada penilaian di tkp, jika itu berjalan dengan buruk, seluruh pasukan akan hancur berantakan."


Saat ini, Behrouz harus melanjutkan pertempuran yang aneh ini karena unit utamanya diperintahkan agar gak bergerak.
Sayap kanan telah sepenuhnya jatuh kedalam keadaan buntu. Kemungkinan besar, seperti yang diinginkan musuh.


(Tahan sampai dimulainya operasi-! Kalah dan menangnya pertempuran ini bergantung pada komando Tuan Ahli Strategi. Kau harus menang bagaimanapun caranya. Kuserahkan padaku, Tuan Diener!)


–Dataran Bertusburg bagian timur: remis.


"Pecah sayap kiri musuh."


Setelah menerima perintah Octavio, Kavaleri Schera dan unit Konrad menyerang dengan ganas, memotong area perbatasan antara dataran wilayah timur dan Dataran Tinggi Carnas.
Kavaleri yang dipimpin oleh Schera menerobos formasi Pasukan Pembebasan, dan menerjang maju seraya terus berkoordinasi dengan Konrad.


"Kolonel, sejauh ini semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Aku akan mengirim sinyal pada Mayjen Octavio!"


Katarina turun dari kudanya dan mulai bersiap untuk mengeluarkan sinyal api.


"Baiklah, kuserahkan soal sinyalnya padamu-! Seseorang, kirim kontak pada Konrad. Bilang pada dia untuk mempertahankan posisinya sampai Mayjen Octavio tiba! Setelah it, kita akan menyerang Dataran Tinggi Carnas-!!"


"Siap ndan!!"


"Kalau kita bergabung dengan Konrad, formasi kita akan kokoh! Jangan menghentikan pergerakan kalian! Kalian akan tertembak!! Terus bergerak dan bantai musuh-!!"


Schera mengangkat sabit miliknya dan berteriak. Moral para kavaleri meningkat drastis. Seorang utusan mulai bergerak menuju unit Konrad.


Mereka sudah mencapai tujuan pertama mereka untuk memecah musuh, tapi itu sama seperti membelah lautan selama beberapa saat.
Kalau mereka gak segera membangun sebuah bendungan, airnya akan menelan mereka lagi. Disekitar mereka, Pasukan Pembebasan mulai mengatur ulang formasi mereka untuk mengepung mereka, dan hanya masalah waktu saja sampai persiapan mereka selesai.


Kavaleri Schera telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk membuka sebuah lubang kecil. Serbuan divisi Octavio sangat penting untuk keberhasilan operasi ini.
Kavaleri Schera berjumlah 3.000, unit Konrad berjumlah 5.000, dan divisi Octavio berjumlah 30.000. Itulah jumlah total prajurit yang dikerahkan untuk membagi sayap kiri musuh. Kalau berhasil, Dataran Tinggi Carnas akan bisa direbut lagi, selain itu, mereka bahkan bisa menargetkan markas pusat musuh.
Perintah diberikan pada mereka oleh komandan divisi Octavio sangat sederhana dan jelas. Segera setelah Kavaleri Schera mengirim sinyal api, dia akan segera memberi perintah untuk menyerang.
Untuk sesuatu yang sesederhana itu, bahkan Octavio yang berhati lemah bisa melakukannya, itulah penilaian Barbora.


"......Mayjen Octavio, sinyal api sudah muncul dari Unit Schera."


Ajudan Guerard melapor pada Octavio sambil mengamati menggunakan teropong.
Octavio tersenyum sinis dan menjawab,


"Kukuh–, penilaian dari seorang perwira pemula yang gak tau teknik perang gak bisa diandalkan. Aku yang memutuskan kapan menggerakkan divisi. Masih terlalu dini untuk menyerang. Terlalu dini, begitu kan menurutmu?"


"Siap–, peluang ini terlihat prematur. Terlalu tak sabaran mengejar prestasi. Kolonel Schera telah keliru dalam penilaiannya. Aku yakin penilaian dari pria yang dipoles melalui ratusan pertempuran. Mayjen Octavio, harus diutamakan."


"Fumu, maka begitu saja. Kontak semua unit. Perintahkan mereka agar tidak bergerak sampai aku memberi sinyal. Larang mereka bergerak apapun yang terjadi. Pembangkangan akan dibebani pelanggaran regulasi militer dan akan diberi hukuman berat, katakan itu pada mereka."


"Dimengerti. ......Namun, ini sama seperti prediksi Mayjen. Penilaianmu membuatku kagum."


Puji Guerard, dan Octavio tertawa riang.


"Sepertinya Dewa Bintang memihak kita. Jika Jenderal Barbora naik pangkat menjadi Panglima, aku pasti juga akan naik pangkat. Pasukan pemberontak akan musnah, dan pengganggunya akan mati disini. Gak akan ada lagi orang yang menghalangi aku. Tentu saja, kau akan mengikuti aku juga. Aku bukanlah orang yang melupakan kesetiaan."


"Siap ndan–, aku akan mengikutimu sampai ujung dunia!"


"Baiklah kalau begitu, kita lihat sama-sama, saat-saat terakhir dari gadis kecil itu yang tidak sadar dengan posisinya, hancurnya ketenaran 'Dewa Kematian' yang dirumorkan. Seperti apa dia akan mati? Kuhaha-! Ini sungguh menyenangkan!"


Mengeluarkan teropong dari pinggangnya, dia memperhatikan sambil mendengus ke tempat unit Schera bertempur. Pasukan Pembebasan dengan cepat menggerakkan pasukan mereka untuk mengepung Schera dan yang lainnya. Celah yang mereka buat dengan mempertaruhkan nyawa mereka menutup tanpa banyak perlawanan.


(Cewek bodoh. Inilah yang kau dapatkan karena beranggapan saling membahu denganku. Kukuh–, tangisi, benci kebodohanmu sendiri, lalu matilah–!)


–Divisi Octavio gak bergerak.


* * *


Tanpa dukungan divisi Octavio pada bagian belakang mereka, unit Schera dan Konrad telah terisolasi sepenuhnya. Bahkan gak sampai satu jam, mereka terkepung, dan dalam situasi genting, mereka mulai ditekan oleh Pasukan Pembebasan. Katarina mengirim sinyal api berkali-kali, tapi Octavio gak menunjukkan tanda-tanda bergerak. Mereka cuma menonton unit Schera dan Konrad dari kejauhan.


"Kenapa, kenapa mereka gak bergerak-!? Kalau seperti ini, peluang yang kita ciptakan akan–"


Katarina membuang silinder penembak api yang sudah kosong. Schera menenangkan dia sambil tersenyum masam.


"Kita diabaikan oleh si sampah Octavio. Sangat mudah dipahami."


"Tapi kenapa-!? Kalau mereka gak bergerak sekarang, operasi ini akan gagal total–!"


"Bagi sampah itu, aku mungkin sebuah halangan dan gangguan yang lebih besar daripada pasukan pemberontak. Dan juga, dia akan membuang kemenangan, dan dia akan memilih tewasnya 8.000 prajurit. Bukankah begitu?"


Menggoyang-goyang pelan sabit yang bertengger dipundaknya, Schera memberitahu Katarina. Sambil membelai badan kuda barunya yang masih belum terbiasa dia tunggangi.
Segera setelah dia kembali, dia akan membunuh Octavio. Sudah pasti, akan dibunuh. Schera betul-betul berniat melakukannya.


"N-Nggak mungkin."


Sambil menyentuh kacamatanya dengan tangan gemetar, Katarina tercengang. Pemikiran gak masuk akal semacam ini, membiarkan peluang kemenangan mereka hilang begitu saja merupakan hal yang gak masuk akal. Kenapa orang tolol kayak gitu mendapatkan posisi komandan divisi? Itu sangat gak masuk akal.
Meski begitu, realitasnya sama seperti yang dikatakan Schera. Divisi Octavio gak bergerak.


"......Kolonel. Kalau begini, kita akan dimusnahkan tanpa bisa berbuat apa-apa. Kita harus meninggalkan satu unit untuk mengulur waktu, dan unit yang lain akan menyerang Dataran Tinggi Carnas, seperti yang direncanakan. Bahkan saat ini, Legion Yalder sedang melakukan sebuah serangan. Kita harus mendukung dia dari sini."


Konrad yang bermandikan keringat dan belepotan debu, memberi saran pada Schera sambil terengah-engah.
Unit infanteri miliknya dalam formasi persegi berupaya keras menggunakan busur dan anak panah serta menusukkan tombak, gak membiarkan musuh mendekat.
Pasukan kavaleri yang gak boleh berhenti, terus bergerak berputar-putar sambil menghadapi musuh. Tapi meski demikian, mereka sudah berada pada batas mereka. Pasukan musuh semakin banyak. Gak lama lagi, tembok pertahanan mereka akan jebol. Perbedaan jumlah mereka terlalu jauh


"M-Meski begitu, kita ini nggak dalam posisi memberi dukungan, dan kalau kita melakukan itu, maka artinya–"


Katarina menyuarakan keraguannya. Usulan Konrad berujung pada mengorbankan sebuah unit.


"Tentu saja, mereka harus siap dimusnahkan. Sebenarnya, mereka sudah pasti akan mati. Tapi, jika kita berhasil merebut kembali Dataran Tinggi Carnas, pertempuran ini masih bisa dimenangkan. Jika kita tak bisa merebut dataran tinggi itu dan kita dimusnahkan, pertempuran ini sama saja dengan kekalahan untuk pihak kita. Jadi, kita harus melakukan serangan apapun resikonya."


"Baiklah kalau begitu, aku dan kavaleriku akan tetap disini. Sebelah timur dari sini bisa terlihat bendera Komandan Tertinggi pasukan pemberontak. Kurasa mungkin Altura ada disana. Kalau kita membunuh dia, pertempuran ini akan berakhir kan? Kami akan bertindak sebagai pengalih perhatian, dan bunuh pimpinan para anjing ini saat kami sedang mengalihkan perhatian mereka."


Schera menunjuk barisan musuh yang ada di kejauhan. Pada bendera Pasukan Pembebasan ada lambang keluarga kerajaan. Itu adalah bendera milik Altura.
Tetap saja, gak peduli gimana seseorang memberi teori, menyerang tempat itu adalah hal yang mustahil. Mereka harus menerobos banyak barisan formasi yang ada disekitar tempat itu, dan kemudian harus menghancurkan pertahanan perkemahan itu. Kalau seseorang mempertimbangkan bahwa musuh akan datang mendukung dari keempat sisi, maka itu mustahil layaknya menjungkir balikkan langit dan bumi.


Gak peduli seberapa keras Schera berjuang, dia gak akan bisa bertahan dari hujan anak panah. Meski Schera bisa bertahan, kudanya gak akan bisa. Saat dia kehilangan tunggangannya, dka akan langsung dikepung oleh infanteri dan pada akhirnya akan terbunuh. Konrad menggeleng dan membantah opini Schera.


"Kolonel, dengan Kavaleri mu, kau bisa menerobos pengepungan ini dan menyerang Dataran Tinggi Carnas. Dan juga, infanteri milikku tak punya mobilitas sebesar itu. Biar kami yang tinggal."


"Mayor Konrad. Pangkat adalah hal mutlak dalam kesatuan. Bukankah kau sendiri yang bilang begitu beberapa hari lalu? Perintah seorang perwira atasan adalah hal mutlak. Itulah arti menjadi seorang prajurit. Patuhi perintahku. Unitmu yang akan melakukan serangan pada Dataran Tinggi Carnas."


Schera menjatuhkan sebuah anak panah yang melesat kearahnya, dan memberi perintah. Dia mengeluarkan sebuah sabit dari pinggangnya dan melemparkannya pada pria yang mengkomando para pemanah di kejauhan. Sabit itu menancap pada pelindung dada pria itu, dan sasarannya langsung berhenti bernafas. Para pemanah Pasukan Pembebasan terkejut, dan menghentikan serangan mereka selama beberapa saat.


Menganggap sudah gak ada lagi yang perlu dibicarakan. Schera memutuskan untuk memberi perintah untuk menyerang perkemahan Altura.
Konrad menghela nafas panjang, dan mengeluarkan sesuatu. Metode ini akan jauh lebih cepat daripada berbicara dengan cewek ini.


".....Kau sama sekali gak berubah sejak di Belta huh, Kolonel Schera. Biarpun sudah diambang kematian, kau masih bisa sesantai itu."


"Cara bicara kayak gini sangat cofok buatmu daripada formalitas yang canggung. Dan juga, kalau kau udah paham, cepat pergi sana. Kita harus membunuh pimpinan pemberontak. Gak ada waktu buat ngobrol santai."


Konrad menarik tali kekang yang dipegang Schera, dan mengeluarkan dua kacang besar. Ada satu kacang panggang dengan tanda X.
Kacang panggang, sebuah produk dari Belta yang Schera inginkan sebelum pertempuran.


".....Kita akan memutuskannya dengan ini. Sama seperti yang kita lakukan di Belta. Orang yang dapat kacang yang ada tandanya adalah pemenangnya. Pemenangnya akan pergi menuju Carnas, dan yang kalag akan tetap disini untuk mengulur waktu. Oke?"


"......Sebetulnya aku mau nolak, tapi kau pasti gak akan menerimanya kan?"


Tanya Schera dengan ekspresi takjub.
Konrad mengangguk.


"Itu betul. Dengarin pendapat seniormu."


".....Baiklah. Cepat lakukan. Kita kehabisan waktu."


Konrad mengocok kedua kacang itu di tangannya, dan memegang satu di masing-masing tangannya. Schera memilih tangan kiri. Saat tangan Konrad yang besar dan berlumuran darah dibuka, disana ada kacang dengan tanda x.


".....Keberuntunganmu bagus sekali, Kolonel Schera. Sesuai yang disetujui, kau lah pemenangnya. Kolonel akan pergi ke Dataran Tinggi Carnas. .......Sisanya serahkan padaku."


Konrad memberikan kacang bertanda itu pada Schera, dan menyembunyikan kacang yang satunya.


"Tunjukin tangan kananmu. Buka tangan kananmu dan tunjukin ke aku, Mayor."


Mengabaikan kata-kata Schera, Konrad memasukkan kacang yang ada ditangan kirinya ke mulutnya dan mengunyahnya secara berlebihan.


"Gak ada waktu lagi, Kolonel. Pergilah ke Dataran Tinggi secepatnya!"


Teriak Konrad, dan Schera dalam diam memutar kepala kudanya. Janji tetaplah janji. Dia adalah pemenangnya, dan Konrad kalah. Begitulah adanya.


".......Katarina–, suruh kavaleri membentuk formasi!! Kita akan bergerak menuju Dataran Tinggi Carnas-!!"


“S-siap-!! Dimengerti!!”


"Konrad, kuserahkan sisanya padamu. Jika ada umur panjang boleh kita jumpa lagi."


"Serahkan padaku-!! Suatu hari nanti, mari kita jumpa lagi!"


Konrad memecah unitnya menjadi tiga, dan dia menyuruh salah satunya ke utara sebagai umpan dan yang satunya lagi bergerak maju dengan menjadikan perkemahan Komandan Tertinggi Altura sebagai sasaran mereka. Yang unit yang terakhir akan mendukung serbuan Schera sampai titik darah penghabisan.
Gak satupun dari mereka yang punya harapan bisa pulang dalam keadaan hidup.
Musuh harus melindungi Altura sambil mencegah mundurnya mereka dan menghadang serbuan Schera. Formasi tempurnya pasti akan kacau balau.
Konrad akan ikut serta dalam penyerangan ke perkemahan Altura. Dia sudah membulatkan tekad untuk mengangkat tombaknya sampai nafas terakhirnya.


Schera mengatur ulang kavaleri, dan melakukan serangan kearah Carnas.
Infanteri Konrad menerobos barisan musuh untuk mendukung mereka. Para prajurit yang kelelahan tewas satu per satu, tapi Kavaleri Schera terus maju.
Konrad menatap sang Dewa Kematian untuk yang terakhir kalinya, dan mengukir erat-erat pemandangan itu pada matanya.
Meskipun seorang gadis kecil, dia adalah seorang wanita pemberani seperti dari sebuah dongeng. Namun meski begitu, dia memiliki disposisi yang besar, serta perilaku dan ekspresi yang gak sesuai dengan seorang pahlawan.
Konrad gak bisa menahan tawa sarkas.
Seorang staf perwira senior berdiri yang berdiri disampingnya berbicara padanya.


"Mayor, aku punya sesuatu yang bagus, apa kami boleh mengangkatnya? Kau pasti juga akan cukup senang dengannya, Mayor."


“......Apaan itu?”


“Ini.”


Yang dikeluarkan staf perwira senior itu adalah, bendera dari Pasukan Keempat yang sudah hancur. Yang sekarang terdapat lambang dari mendiang David.


"Aku ijinkan. Hmph, kau memang seorang penimbun handal."


"Aku tidak betul-betul menyukai Jenderal David, tapi kau sudah merawat kami, Mayor. Bisa sampai sejauh ini bersamamu, merupakan sebuah kehormatan."


Para prajurit disekitar menatap Konrad, dan mengangguk setuju. Lalu, mereka menunjuk kearah perkemahan Altura yang ada di kejauhan.
Setiap orang membulatkan tekad mereka.


"......Maaf. Aku akan meminta kalian mendampingiku sampai akhir."


"Siap–!!"


"Pasukan Keempat dari Kerajaan Yuze, Batalion Infanteri Belta, mulai serangan-!! Tunjukkan keberanian kita pada mereka-!! Penggal kepala Altura, pemimpin pasukan pembebasan-!! Maju-!"


Bendera Pasukan Keempat berkibar megah.
Konrad mengangkat tombaknya dan mulai berlari, bertindak sebagai barisan depan.
Para prajurit mengikuti dia. Semua orang lelah, dan nafas mereka sudah kacau. Hujan anak panah menciptakan banyak mayat.
Meski begitu, mereka tetap menyerbu barisan musuh sambil berteriak keras dan gak menunjukkan rasa takut.


"HIDUP PASUKAN KEEMPAT! HIDUP BATALION KONRAD!!"


"HIDUP KERAJAAN YUZE-!!"


"SERANG-!!"


"Maju-!!"


Tombak milik Konrad menikam tenggorokan seorang prajurit Pasukan Pembebasan. Dia segera mencabutnya dan menjatuhkan tubuh seorang prajurit muda.

“UOOOOOOOOOOOOOO–!!!!”


* * * *


"Prajurit kerajaan menyerang-! Bersiap-!"


"Apa mereka gak takut mati-!?"


"Jangan biarkan mereka menerobos! Didepan mereka adalah perkemahan Putri Altura!"


"Musuh membagi diri ke tiga arah-! S-Silahkan beri perintah untuk mengejar-!!"


"Musuh hanyalah sebuah pasukan kecil, apa yang kau takutkan-! Tak bisakah kau tenang!!"


Pasukan Kerajaan menyerbu sampai titik darah penghabisan, gak takut akan kematian, dan membuat Pasukan Pembebasan disekitar mereka jatuh kedalam keadaan kacau. Pasukan musuh berpencar ke tiga arah–yang mana dan bagaimana cara mereka mengejar?
Instruksi komandan sangat lambat, jika ini berlanjut, sudah pasti kalau pengepungan mereka akan rusak. Hanya dengan goyahnya dia, jumlah korban meningkat.


Unit Konrad bertempur gagah berani. Mereka menerobos barisan di tiga tempat, dan menggunakan semua kekuatan mereka untuk berjuang menuju perkemahan.


“Hah-, Hah-!”


Didepan Konrad yang memegang tombaknya serta luka di sekujur tubuhnya, muncul wakil komandan Pasukan Pembebasan, Alan. Dia berpikir itu aneh bahwa dia dipaksa membunuh seorang prajurit.


"Seorang komandan yang sangat terkenal. Aku Wakil Komandan Pasukan Pembebasan, Alan Keyland. Aku ingin bertarung denganmu."


".....Mayor Konrad dari Pasukan Pembebasan! Aku datang-!!"


Pedang dan tombak saling berhantaman. Alan mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan mengeluarkan serangan ganas. Konrad menunggu kesempatan sambil menangkis serangan-serangan itu dengan tombaknya. Dia membuat Alan kerepotan dan segera setelahnya menepis pedang milik Alan.


“–Kuh-!”


“Rasakan ini-!”


Tikaman Konrad mengikis pipi Alan. Alan tersentak karena ketajaman dari tusukan tombak itu. Melihat kesempatan ini, Konrad melakukan tusukan lagi, tapi dia jatuh berlutut saat dia melakukannya. Staminanya sudah habis.


“S-Sial–”


“Persiapkan dirimu-!”


Pedang panjang milik Alan diayunkan kebawah.


“......Jenderal..... David, aku... minta... ma...af. Kolonel, sisanya.... kuserahkan.... padamu–”


Konrad tumbang kedepan. Setelah Alan memenggal Konrad, dia memerintahkan agar Konrad dimakamkan secara layak. Dia adalah seorang prajurit gagah berani yang sangat jarang di Pasukan Pembebasan.
Konrad gugur, para prajurit yang terisolasi gugur satu persatu seolah mengikuti dia. Unit pengalihan yang menuju ke utara juga mengalami nasib yang sama. Unit yang mendukung Schera, saat mereka kehabisan anak panah milik mereka, menyerbu secara langsung, dan tewas satu per satu.


Menunggangi kuda disamping Schera, Katarina menoleh dan melihat kebelakangnya selama beberapa saat. Unit Konrad tertelan oleh pasukan musuh, dan dia melihat kemusnahan mereka dengan mata kepalanya sendiri.
Disaat yang sama, mayat yang tergeletak dibelakang mereka meledak, menghasilkan kabut asap.


"Kolonel, unit Konrad telah musnah."


".....Begitukah, sayang sekali. Tapi, kita pasti akan bertemu mereka cepat atau lambat."


Sambil mengayunkan sabitnya dengan satu tangan, Schera mengeluarkan kacang yang diberikan Konrad padanya dan memasukkannya kedalam mulutnya.
Rasanya sangat pahit... dan asam. Wajah Schera meringis. Karena darah yang menempel ditangannya, kacang itu jadi ada rasa zat besinya juga.


“Kolonel?”


“Bukan apa-apa, rasanya cukan agak pahit.”


Di belakang mereka, kavaleri musuh mengejar. Kecepatan dari Kavaleri Schera yang maju sambil menghadapi musuh didepan mereka sangatlah lamban. Katarina mengirim sinyal dengan matanya pada seorang penunggang, dia melakukannya supaya Schera gak menyadarinya. Schera gak perlu tau.
"Bertarunglah sampai kau mati, dan ulur waktu". Inilah perintah yang diberikan Katarina pada mereka sebelumnya. Pada akhirnya, dia juga berniat melakukannya dan bertarung sampai titik darah penghabisan.


300 prajurit yang berada dipaling belakang dalam diam putar balik dan mulai menyerang pasukan pengejar. Mereka adalah pion korban. Agar perwira atasan mereka bisa bergerak maju, mereka harus mengulur waktu.
Katarina menilai bahwa mereka gak akan bisa berhasil kalau mereka nggak menyiapkan tumbal, gak peduli seberapa hebatnya Schera.
Menatap Daratan tinggi Carnas, Schera nggak menyadarinya. Dan juga dengan cara yang gak dia sadari, Katarina dan yang lainnya bergerak maju sambil mengelilingi Schera.


"Jadi sisi ini emang betul-betul kekurangan orang. Musuh sudah mengirim pasukan utama mereka untuk menghadapi Legion Yalder. Kita akan menyerbu perkemahan musuh. Kita gak boleh menyia-nyiakan waktu yang berharga yang sudah diciptakan Mayor Konrad untuk kita."


"Benar. Seperti yang direncanakan, kita akan merebut Dataran Tinggi Carnas. Aku pasti akan melakukannya."


Schera dan 2.000 penunggang secara paksa menerobos pasukan musuh sambil terus bergerak menuju dataran tinggi itu. Yalder melakukan serangan ganas dari sisi barat. Dataran Tinggi Carnas ternyata bisa dijepit sesuai rencana. Tentu saja, bisa dikatakan juga bahwa Kavaleri Schera juga terjepit.
Berapa lama 300 pengunggang bisa menahannya? Sebuah perjuangan sampai mati dimulai.


Kavaleri itu menghadang pengejar, penuh kesetiaan mengerjakan tugas mereka.


"Kami adalah Kavaleri Schera."


"Kalian gak boleh lewat."


"Jayalah Kolonel Schera. Hidup Kolonel."


Kavaleri Schera mengayunkan tombak mereka, menumpahkan darah segar. Banyak anak panah menancap pada zirah mereka, dan juga ada seseorang yang terkena panah diwajahnya.
Namun meski demikian, kavaleri gak kehilangan kehendak mereka untuk bertarung, dan terus menjadi hambatan di tengah jalan menuju Dataran Tinggi Carnas. Mereka berhasil mengulur waktu lebih dari 30 menit. Mereka sudah mendekati batas daya tahan tubuh mereka, tapi demi Tuan mereka, mereka terus mengayunkan tombak mereka sampai titik darah penghabisan.
–tersisa 200 penunggang.


".........J-Jangan takut-! Musuh sudah terluka! Unit tombak, maju-!!"


"T-Tapi-! Mereka itu monster-! Harusnya mereka sudah gak bisa bergerak!"


"Diam–, ini perintah! Maju-!!"


Menerima perintah dari seorang perwira komandan Pasukan Pembebasan, sebuah unit tombak yang terdiri 500 orang dengan takut-takut bergerak maju.
Melihat itu dari belakang, Vander menyemangati mereka, memberi dorongan tambahan.
Dia sudah menerima perintah dari Ahli Strategi Diener dan datang ke tempat ini memimpin sebuah unit.


"Bagi siapapun yang membunuh kavaleri itu akan dihadiahi satu koin emas per kepala! Semuanya berjuanglah-!!"


"S-Satu koin emas-!?"


"P-Per kepala!?"


"Ya! Sesuai ijin Ahli Strategi Diener! Untuk kemenangan Pasukan Pembebasan, maju-!"


Mata dari para prajurit berubah. Kalau mereka mendapatkan satu koin emas, mereka bisa hidup mewah selama berbulan-bulan. Meskipun para prajurit musuh sangat kuat, mereka sudah diambang kematian. Mereka bisa menghabisi musuh kalau mereka menyerang bersama-sama.


Vander mengangkat tangan kanannya dan para prajurit yang berada dibawah komandonya menunggu. Mereka bersenjatakan busur mekanis, crossbow.
Crossbow merupakan sebuah senjata yang mana siapapun bisa mendapatkan hasil secara seimbang. Butuh waktu untuk mengisi anak panahnya, tapi kekuatannya bisa dijamin.
Tanpa sepengetahuan unit tombak, mereka membentuk barisan dan membidikkan senjata mereka.


"Unit tombak, serbu-!! Bunuh musuh!!"


500 prajurit dibawah perwira yang mengkomando infanteri melakukan serangan. Tak gentar, kavaleri dari unit Schera mengayunkan senjata mereka, menyebarkan kematian.
Seketika langsung berubah menjadi pertarungan jarak dekat, tapi unit tombak yang memiliki keunggulan jumlah sepenuhnya terdorong mundur. Para kavaleri ini sudah siap mati dan dalam arti tertentu telah menjadi para prajurit Dewa Kematian, tak lagi takut terluka. Semangat juang mereka jauh berbeda dari para prajurit Pasukan Pembebasan yang masih sayang nyawa.


"S-Sial-!"


"S-Selamatkan aku-! Sudah kuduga ini mustahil!!"


"Berjayalah Kolonel Schera-!!"


Seorang penunggang menghujam kepala dari prajurit yang meminta bantuan menggunakan tombak yang dipegang secara terbalik. Sebuah tombak ditusukkan dari samping ke perut si penunggang, dan dia memuntahkan darah. Dia mengibaskan tombak itu, dan seraya menjatuhkannya, dia menusuk wajah si prajurit menggunakan tombak miliknya. Prajurit infanteri itu tewas, dan si penunggang tetap hidup.


Melihat situasi dan kondisinya, Vander melaksanakan perintah yang diberikan padanya oleh Diener sambil gemetar dalam hatinya.


"Tak peduli berapa banyak korban yang diperlukan, bunuh Dewa Kematian beserta kavaleri miliknya."


Dia menurunkan tangan kanannya, dan para pemanah menembakkan panah mereka. Anak panah itu gak hanya mengenai kavaleri itu, tapi juga infanteri sekutu mereka.


"K-Kapten-! Apa yang kau lakukan! Apa kau sudah gila-!?"


Teriak penuh amarah dari perwira komandan infanteri lain yang mengepung kavaleri itu. Menembakkan panah yang akan friendly-fire sekutu mereka sendiri bukanlah sebuah komando yang waras.


"Diam. Mereka gak akan bisa dibunuh kalau kita gak melakukan ini. Dalam hal ini, ini merupakan pengorbanan yang gak bisa dihindari. Mereka akan mengorbankan nyawa mereka dan tertusuk bersama kavaleri Dewa Kematian. –Selanjutnya, Tembak-!!"


Serangan kedua ditembakkan. Kavaleri dan unit tombak terkena anak panah dan tewas.


"Y-Yang kau katakan itu sama sekali gak masuk akal! Segera hentikan-!"


"Lettu. Ini adalah medan perang. Ini adalah sebuah rencana untuk menekan korban sesedikit mungkin. Apa kau paham?"


Dengan ekspresi jengkel diwajahnya, Vander memarahi Lettu yang masih muda itu.


"–T-Tapi, itu tidaklah benar untuk menembak sekutu! Mereka sekutu kita kan!?"


"Orang-orang itu adalah kavaleri Dewa Kematian yang bisa dengan mudah menepis panah kita. Jadi umpan hidup diperlukan untuk menghentikan mereka. Mereka menyerbu dengan kehendak, keberanian dan keteguhan mereka demi Pasukan Pembebasan. Aku hanya bisa menghormati tekad mereka. Tak ada masalah, kan?"


"Itu karena kau lah yang memancing mereka dengan uang!!"


"Apa kau mencela kematian mereka? Orang-orang kita bertarung demi keadilan. Diantara rekan-rekan kita dalam Pasukan Pembebasan tak ada yang bekerja atas dasar uang. Kematian mereka adalah sesuatu yang harus dibanggakan."


"–Cih!"


"Habisi mereka. Jangan biarkan ada yang lolos. Bantai mereka. Lagipula mereka tak bisa diselamatkan."


Vander menjentikkan jarinya, dan gelombang tembakan ketiga dilakukan. Gak ada satupun orang yang masih bergerak setelah serangan itu.
Para prajurit dari Kavaleri Schera yang berada diambang kematian, dihabisi oleh para prajurit disekitar mereka. Anak panah itu dilumuri racun. Gak peduli seberapa besar semangat juang mereka, itu percuma saja kalau tubuh mereka gak bisa bergerak.
Ini merupakan senjata yang dipersiapkan untuk membunuh para prajurit Dewa Kematian.


"Ini, ini salah-!"


Lettu muda itu membuang pedang miliknya. Para prajurit dibawah komandonya berusaha menenangkan dia, tapi dia mengibaskan mereka.


".......Lettu. Jaga ucapanmu. Komentar kasar lebih jauh lagi akan dianggap sebagai pembangkangan regulasi militer. Kali ini aku akan mengabaikannya. Mulai sekarang pikirkan dulu sebelum kau berbicara."


"–Cih. Aku akan memulai pengejaran! Permisi-!"


Dengan wajah jengkel, Lettu muda itu kembali ke unitnya.
Vander melihat dirinya sendiri yang dulu pada sosok pria itu.


"............."


(.......Ini demi keadilan. Aku nggak salah. Aku berbeda dengan orang-orang yang membunuh anak-anak. Aku bertarung demi masyarakat. Jadi, aku nggak salah. Betul, aku nggak salah. Aku pasti benar.)


Vander mengulangi dalam hatinya, dan dia mengepalkan tangannya. Dihadapan dia tergeletak mayat-mayat dari mantan rekan-rekannya, dan mayat-mayat rekan-rekannya saat ini. Dia benar. Kalau dia gak meyakini demikian, dia gak akan bisa berdiri di medan perang. Oleh karena itu, dia gak salah.


"Aku nggak salah-!"


Erang Vander, berlari ke wilayah yang lebih tinggi sambil menatap kavaleri yang mengibarkan bendera hitam terkutuk itu. Dia punya satu tugas lagi. Pembawa yang pesan membawa suatu arahan mungkin sudah sampai di pasukan di Dataran Tinggi.


* * * *


–Pasukan Kerajaan, markas Barbora.


"Kirim utusan ke Octavio– Perintahkan dia untuk segera maju-!"


Barbora dengan jengkel menendang mejanya dan memberi perintah seorang utusan.
Dia sudah menerima laporan bahwa Schera dan Konrad sudah menyerang dan berhasil membagi musuh. Dia marah besar kenapa Octavio gak memulai serangan sesuai rencana. Kalau terus begini mereka akan gagal. Tidak, mereka mungkin sudah terlambat.


"Kalau dia membantah, suruh polisi militer menangkap dia!! Tak bisakah orang itu menggerakkan pasukannya-!!?"


Utusan itu segera lari, dan Mayjen Larus yang ada disamping Barbora mengamati kondisi pertempuran menggunakan teropong. Celah yang dibuat oleh Kolonel Schera dengan mempertaruhkan nyawanya telah tertutup. Para prajurit yang terkepung kemungkinan besar telah dimusnahkan. Mereka tewas sia-sia.
Saat ini Legion Yalder tengah mendaki ke Dataran Tinggi Carnas dari barat. Mereka gak bisa mengubah operasi saat ini. Karena keputusan bodoh dari Octavio. Bahaya kekalahan kini mendekati Pasukan Kerajaan. Mereka harus membagi pasukan mereka untuk merebut Dataran Tinggi. Pertempuran ini semakin menguntungkan musuh.


"Bangsat-!! Mereka semua gak berguna-!! Apa mereka gak bisa mengkomando-!? Apa saja yang dipelajari si tolol itu seraya mendaki sampai jadi seorang jenderal-!!? Octavio, peringatan saja gak cukup untuk ini-!!"


Suara Barbora yang penuh amarah bergema. Dalam diam Larus menuju ke unitnya sendiri tanpa menjawab Barbora. Dia tau kalau Barbora gak punya kepasitas kepemimpinan. Akan seperti apa pertempuran ini kalau Sharov ada disini? Sambil mengenang mendiang perwira atasannya, Larus menghela nafas panjang.


(Ini masih belum pasti siapa pemenang dan pecundangnya. Itu akan sulit, tapi kami harus memulihkan diri. Gak peduli seberapa busuknya kerajaan ini, ini merupakan negara yang Jenderal Sharov ingin lindungi. Aku harus membalas budi pada Jenderal meski nyawaku yang jadi bayarannya.)


Setelah memerima tuntutan mendesak dari Barbora, divisi Octavio akhirnya memutuskan untuk bergerak. Terompet dibunyikan seraya mereka bergerak masuk ke pertempuran. Unit-unit didepan mereka sudah sangat kelelahan setelah bertempur melawan Schera dan Konrad. Octavio yakin mereka akan runtuh kalau diserang pasukan besar miliknya dari depan, mereka pasti akan hancur.


"Bunuh musuh unit Schera dan Konrad yang telah berjuang keras dan dimusnahkan! Wahai para pejuang gagah perkasa dari Pasukan Pertama yang mulia, maju-! Jangan sampai tertinggal! Bantai mereka! Jika kalian ingin prestasi, inilah saatnya-! Semua unit, serbu!"


Sambil mengeluarkan kata-kata yang gak tau malu, Octavio mengangkat pedangnya. Berbalut zirah megah, dia memasang senyum puas diwajahnya. Dalam pikiran pria ini, dia sudah menang.


* * * *


Markas diatas Dataran Tinggi Carnas.


Divisi Ghamzeh dari Pasukan Pembebasan dipaksa melakukan pertempuran habis-habis. Agresi dari Pasukan Kerajaan membuat gempuran dari barat menjadi kacau, dan 20.000 prajurit yang diberikan pada dia dibagi dua untuk pertahanan.
Justru karena ini adalah Dataran Tinggi, medannya sulit, dan butuh waktu untuk mengatur ulang unit-unit.
Dia diberitahu oleh seorang utusan bahwa unit musuh yang menyerang unit di timur telah sepenuhnya terkepung di kaki daratan tinggi itu, dan gak lama lagi mereka akan musnah. Karena gak lagi mendapatkan tekanan dari timur, Ghamzeh memutuskan untuk menghadapi Legion Yalder, yang melancarkan serangan bunuh diri, dengan seluruh pasukannya. Dia sangat antusias soal membuat mereka merasakan sebuaj llh serangan dari tempat tinggi.


"Hadapi prajurit musuh, dan turun kearah mereka-! Utusan, perintahkan seluruh pasukan untuk memanfaatkan momentumnya dan serbu dari tempat tinggi-! Samarkan dirimu-! Jumlah kita sama, dan kita memiliki keuntungan dalam hal moral dan medan, kita tak boleh kalah-!"


"Dimengerti!"


"Kita akan membalas dendam atas penghinaan di Bukit Golbahar-! Semua unit bergerak-!"


(Kalau kita unjuk gigi disini, faksi Belta akan tenggelam. Kita harus memusnahkan divisi musuh gimanapun caranya. Gak cukup cuman dengan mempertahankan dataran tinggi. Aku akan mengikuti kemauan Diener-!)


Setelah selesai mengatur, pasukan itu melakukan serangan besar-besaran di waktu yang buruk pada Legion Yalder yang menyerang mereka, lalu–


"Je-Jenderal Ghamzeh!! S-Serangan musuh!"


"Tenanglah-! Divisi yang ada di barat adalah satu-satunya musuh! Habisi mereka-!"


"B-Bukan itu-! Kavaleri musuh menyerbu dari timur Carnas dengan kecepatan yang gila-!! B-Bendera hitam berlambang gagak putih! Itu sang Dewa Kematian! Dewa Kematian Schera ada disini!!"


"Jangan konyol! Bukankah mereka sudah dikepung di kaki Dataran Tinggi-!? Apa kau sudah gila–"


Sebuah ledakan menghancurkan pertahanan perkemahan saat kavaleri musuh muncul. Yang berada dipaling depan kavaleri itu adalah sang Dewa Kematian yang berlumuran darah. Sebuah mayat menggantung di ujung sabitnya, dia melesat kearah Ghamzeh.
Dewa Kematian itu melemparkan mayat itu layaknya kantong sampah, dan pilar api muncul disertai goncangan dari sebuah ledakan. Para prajurit Ghamzeh mengejang saat mereka kehilangan nyawa mereka. Kavaleri yang ada dibelakang sang Dewa Kematian menghamburkan dan membantai para penjaga yang telah jatuh kedalam keadaan panik.
Ghamzeh meragukan matanya sendiri.


(A-Aneh sekali. Meskipun aku mengurangi prajurit di timur, bagaimana bisa mereka menerobosnya semudah itu!? Disana sudah kutempatkan 5.000 penjaga-!)


Perasaan sangsi melintas dalam benak Ghamzeh.


(......Tunggu. Ada sebuah laporan bahwa salah satu bawahan Diener bergerak disekitar Dataran Tinggi. ......Jangan bilang, ini adalah kelakuan Diener–)


Darah segar yang masih hangat terciprat ke wajah Ghamzeh yang tengah tenggelam dalam pikirannya. Saat dia tiba-tiba tersentak dari pemikirannya, sang Dewa Kematian berada tepat didepannya.
Semua bodyguard Ghamzeh telah tewas. Hanya dalam waktu singkat, sebuah adegan berdarah yang sadis terjadi di perkemahan dataran tinggi itu.


"Ternyata kau gampang banget dicari di tengah medan perang. Baiklah kalo gitu, mati sana."


“–Kuh-!”


Bilah sadis itu terayun kearahnya, dan merobek tubuh Ghamzeh bagian atas. Karena dia secara reflek bergerak ke belakang, dia telah menghindari luka fatal, tapi sekarang mustahil bagi dia untuk menghindari serangan berikutnya.
Sambil menatap darah merahnya yang berhamburan layaknya itu gak ada hubungannya dengannya, Ghamzeh sudah pasrah akan kematiannya. Dan, dia paham apa penyebab kematiannya.


–Dia telah ditipu oleh Diener. Gak peduli seberapa hebatnya Schera, dia menganggap kalau Schera gak mungkin bisa menembus 5.000 prajurit yang dikerahkan di bagian timur dalam waktu sesingkat ini. Gak peduli seberapa kuat Schera, mereka seharusnya masih bisa mengulur waktu. –Tapi, sang Dewa Kematian ada disini.
Betul, tanpa adanya penjaga. Pria itu, sudah membantu sang Dewa Kematian. Atau lebih tepatnya, dia bisa bilang kalau Diener memanfaatkan sabit Dewa Kematian.
Dataran Tinggi Carnas ini, merupakan sebuah tiang gantung yang dipersiapkan untuk dia. Ini merupakan sebuah eksekusi untuk Ghamzeh yang secara jelas menjadi lawan politiknya Diener setelah perang. Dan algojonya adalah perwira wanita yang ada dihadapannya.
Ghamzeh menghunus pedangnya dengan tangannya yang gemetaran.


(......Diener. kuharap aku bisa membunuhmu secara langsung. Kutunggu kau di Neraka-!)


Saat dia mempererat genggamannya pada pedang tersebut, bilah melengkung melesat memenggal kepalanya.


Setelah merebut dataran tinggi itu, Schera turun dari kudanya dan mengambil kepala Ghamzeh yang telah terpenggal. Kepala itu memasang ekspresi penuh kebencian.


".......Teriakan kemenangan kita. Sekeras yang kau bisa agar Legion Yalder bisa mendengarnya. Sampaikan pada semua orang bahwa Dataran Tinggi Carnas telah jatuh, bahwa kita telah memenggal kepala jenderal musuh, dan bahwa operasi ini berjalan sesuai rencana."


Dia melemparkan kepala itu pada Katarina dan memberi instruksi pada Katarina.


"–Siap-, serahkan padaku-!!"


Schera menghamburkan kacang panggang yang dia dapatkan dari Konrad ke tanah yang berlumuran darah. Dia gak memikirkan apapun. Hanya saja, dia merasa seperti dia harus melakukan ini. Dia menutup kantongnya dan mengikatnya lagi di pinggangnya. Seseorang gak boleh menyia-nyiakan makanan.


Katarina memasang bendera Kavaleri Schera pada perkemahan Dataran Tinggi. Lalu, dia mengangkat kepala jenderal musuh dan berteriak.


"Kavaleri Schera telah mengambil alih Dataran Tinggi Carnas!! Kemenangan milik kita!!! Hidup Kolonel Schera-!!"


"Puji Kolonel Schera!"


"Jaya Kavaleri Schera-!!"


"Schera! Schera-!!"


Para anggota kavaleri dengan megah mengibarkan bendera perang mereka. Meski mereka sudah dibuang, mereka telah merebut Dataran Tinggi Carnas dibawah Schera.
Sambil menatap divisi Octavio yang ada dibawah, para prajurit dari kavaleri Schera mengangkat senjata mereka ke langit dan meneriakan kemenangan.
Teriakan perang menggema di Dataran Tinggi yang berserakan mayat. Pasukan Pembebasan yang ada di barat Carnas, tergoncang oleh terebutnya Dataran Tinggi itu, mulai bergerak mundur.
Yalder membantai mereka saat dia naik ke dataran tinggi dan berhasil bergabung dengan Schera. Dataran Tinggi Carnas telah sepenuhnya jatuh dibawah kendali Pasukan Kerajaan.


* * * *


–Kamp Pasukan Pembebasan, Pavilion Diener.


"Tuan Diener, Dataran Tinggi Carnas telah jatuh, dan Ghamzeh tewas dalam pertempuran. Dewa Kematian meneriakan kemenangan di Carnas."


"Aku paham. Sesuai yang direncanakan, bawa unit sapi khusus ke depan. Tunggu sinyalnya."


"Dimengerti."


“...........”


Setelah menerima laporan dari mata-matanya, Diener menatap Dataran Carnas dengan tatapan dingin. Sebuah bendera hitam berkibar di dataran tinggi itu.


(Sebagian besar sesuai rencana. Aku sudah menyingkirkan Ghamzeh yang mungkin akan menjadi sebuah hambatan nantinya, dan aku sudah mengusir Dewa Kematian itu ke tempat tinggi. Perhitunganku sedikit meleset karena Pasukan Kerajaan ternyata terlalu gak kompeten, tapi itu bukan masalah.)


"Divisi musuh mendekat dari depan!"


"Jangan melakukan pergerakan. Beritahu semua orang untuk mundur sejauh yang mereka bisa. Dan juga suruh para pemanah standby. Sampai aku memberi instruski, kalian tak boleh bergerak. Orang yang melanggarnya akan dihukum berat."


"Siap–!"


Setelah para prajurit disekitar pergi, Diener menancapkan sebilah pisau pada satu titik di peta yang ada diatas meja. Bilah tajamnya menancap dimana Ibukota Kerajaan Blanca berada.


(......Akhirnya. Sekarang hanya tinggal sinyalku. Dengan itu, perang ini akan berakhir. Semuanya berada di telapak tanganku.)


"Mari kita saksikan kehancuran Kerajaan. Kukuh–"


Dia menahan tawa yang hampir saja keluar, dan dia menuju ke barisan depan setelah merobek peta itu dengan pisau. Kondisi Pasukan Kerajaan dimusnahkan secara brutal, para prajurit dari Pasukan Kerajaan akan tewas seraya menjerit penuh penderitaan, komedi penuh gelak tawa ini gak lama lagi akan terjadi, dia harus menonton komedi ini dari kursi vip barisan depan.
Ini merupakan pembalasan untuk orang-orang yang telah membesarkan dia, memanfaatkan dia, dan kemudian membuang dia. Dia gak akan membiarkannya berakhir begitu saja. Perdana Menteri Farzam dan Raja Kristof– sampai dia mengirim mereka ke neraka, balas dendamnya belum berakhir. Dia gak akan pernah mengakhirinya begitu saja.


Dengan tali kekang dipasang pada kepala mereka, sebuah unit sapi cologne yang menarik kereta dilepaskan kearah Pasukan Kerajaan yang ada didepan mereka.
Mereka menghembuskan nafas keras melalui hidung mereka, dan mereka mulai mengintimidasi dan menunjukkan keagresifan terhadap lawan, tapi mereka gak bisa menggerakkan kepala mereka sesuka mereka. Kemarahan mereka tampaknya semakin besar. Warna mata mereka berubah menjadi merah agresif.


"Pengerahan penyihir khusus selesai."


"Kapanpun kau siap, menunggu perintah!"


"Unit sapi, lakukan serangan pada Pasukan Pertama."


Diener memberi perintah. Para prajurit bergerak dibelakang sapi dan mengangkat senjata siksaan mereka: sebuah tombak pendek melengkung.


"Unit sapi lakukan serangan-!"


"Luncurkan serangan-! Target, barisan depan musuh, unit infanteri!"


"Baiklah–, habisi mereka-!"


Para prajurit menusuk bagian bagian belakang sapi-sapi itu menggunakan tombak pendek melengkung milik mereka. Mereka berteriak sangat keras, dan sapi Cologne mulai berlari. Kata yang tepat untuk menggambarkan serbuan mereka adalah 'serudukan maut". Yang terlihat oleh sapi-sapi itu hanya Pasukan Kerajaan yang ada di depan. Sambil menarik kereta yang berisikan mesiu dan ranjau sihir, kawanan sapi Cologne itu menyerbu ke depan. Mengabaikan diri mereka sendiri yang kesakitan, sapi-sapi Cologne itu hanya menyerbu ke depan, dan terus maju. Mereka bahkan gak goyah meski terkena serangan anak panah.


"Mereka datang! Barisan depan, angkat perisai-! Asalkan kita bisa menghentikan serbuan pertama, gak ada yang perlu ditakutkan-! Pemanah, tembak mereka-!"


"Angkat perisai-!! Jangan sampai barisan rusak-!!"


Pasukan kerajaan membentuk barisan untuk menghentikan mereka. Karena mereka sudah mendapatkan informasi sebelumnya bahwa Pasukan Pemebebasan kemungkinan akan menggunakan sapi, mereka memasang postur bertahan dengan perisai.
Sampai serangga sekalipun gak bisa lewat, para prajurit meringkuk, merendahkan pinggang mereka, dan memperkuat pijakan mereka untuk menghentikan serbuan sapi-sapi itu.
–Disaat kawanan sapi itu menghantam barisan perisai itu, suara ledakan beruntun menggelegar di medan perang.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya